Share

Perkenalan Tak Terduga

Arman merasakan aura berbeda yang saling berbenturan di sekitar rumah Mala. Ada uadara yang terasa berat dan berbeda, berbenturan dengan udara sekitar yang memang asri dan alami. Arman sejak kecil selalu memiliki kepekaan akan adanya dimensi lain. Ia bisa merasakannya melalui adanya perbedaan suhu atau aura atas suasana sekitar. Dan pagi ini Arman merasakan bahwa ada dimensi yang salah di sekitar rumah Mala.

Arman tidak mengerti apa itu selain bahwa ada yang salah dari rumah Mala. Arman berdiri dan melihat-lihat sekitar. Ia penasaran akan bagaimana isi di ruang tamu atau ruang utama rumah Mala. Mumpung dia toh sudah di dalam area rumah Mala.

Arman terkejut saat melihat seorang pria berumur, berdiri di tengah ruangan. Sorot matanya begitu tajam. Pria itu mengenakan kemeja cokelat gelap dengan motif garis-garis vertikal warna hitam. Ia mengenakan semacam kain sewek panjang yang menjadi ciri kalau ia adalah golongan kaum priyayi.

Arman mengenali pria itu sebagai Kakek Jabar, kakeknya Mala. Seseorang yang menjadi pemimpin keluarga sekaligus menjadi pengganti sosok ayah karena Mala sudah kehilangan sang ayah sejak ia masih dalam kandungan.

Kakek Jabar terlihat berbeda bagi Arman. Kakek Jabar dikenal Arman sebagai seorang yang ramah, murah senyum, dan suka bergurau. Namun, kali ini sangat berbeda. Kakek Jabar sangat dingin. Wajahnya kaku, selain sorot mata yang sangat tajam, bibir Kakek Jabar juga tak tersungging senyum.

"Pagi, Kek. Masih ingat saya?" sapa Arman sembari mengangguk sopan dan tubuh sedikit membungkuk sebagai bentuk hormat.

Tak ada jawaban dari Kakek Jabar. Arman mengira Kakek Jabar melupakannya dan tidak suka padanya. Perasaannya tak nyaman. Arman berpikir untuk mengundurkan diri, menjauh dari pandangan Kakek Jabar, dan kembali duduk di kursi rotan teras.

Tapi tiba-tiba tangan Kakek Jabar terangkat dan telapaknya mengibas lemah. Kibasan yang mengartikan agar Arman pergi. Pengusiran tanpa kata-kata.

"Maaf, Kek. Saya sudah menganggu pagi-pagi. Saya pamit dulu sama Mala, Kek," ujar Arman.

Angin yang sangat dingin mendesir melalui tengkuk Arman, membuat tubuh Arman melentik karena terkejut sekaligus merasa aneh. Ia mengusap tengkuknya dengan ketidaknyamanan.

"Jangan. Jaga."

Arman mendelik menatap kakek Jabar. Bibir Kakek Jabar masihlah terkunci rapat membentuk garis lurus. Tapi, Arman sangat yakin mendengar seseorang bicara padanya, dan itu adalah suara Kakek jabar. Ia belumlah lupa dengan suara Kakek Jabar yang dalam juga sedikit serak, pita suara yang agak rusak akibat merokok tembakau tanpa filter.

Masih dengan kebingungannya tentang bagaimana Kakek Jabar bicara, Arman bertanya, "Jangan apa. Kek? Saya harus jaga apa?"

"Hihihi...."

Arman terlonjak dan refleks menoleh ke asal suara yang berada di belakangnya. Kening Arman berkerut, melihat sosok gadis kecil beranjak remaja yang ia lihat tadi di dekat rumah korban pembunuhan, kini berada di halaman rumah Mala dengan wajah ceria dan tawa kecil.

"Bisa melihat, hihihi...."

"Hai," sapa Arman berusaha bersikap baik.

"Apa saja yang sudah dilihat?"

Si gadis bertanya sembari mendekati Arman. Ia menaiki lima anak tangga teras dan berdiri anak tangga terakhir dengan kedua tangan saling berpaut di belakang. Senyumnya tak lepas dari wajahnya yang dinilai Arman sangat cantik. Ada bagian wajah si gadis muda yang mengingatkan Arman akan Mala.

Arman tak mengenali si gadis. Setidaknya sepanjang waktu ia menjadi orang terdekat Mala, ia tak pernah melihat adanya gadis lain selain Mala di rumah itu. Ia juga tak pernah tahu jika ibu Mala mengandung lagi. Lagi pula, jika ibu Mala hamil, dengan siapa?

Poinnya adalah Arman tak mengenali si gadis juga tak menemukan garis merah hubungan si gadis dengan Mala sampai sebegitu santainya masuk ke dalam rumah Mala. Seolah si gadis muda bukanlah orang asing.

"Ahhh.... Dia pergi."

Arman mengernyit bingung. Tak mengerti arah pembicaraan si gadis muda. Tapi ia mengikuti arah pandangan si gadis dan Arman menoleh lagi ke dalam rumah Mala. Kakek Jabar sudah tidak ada. Entah sejak kapan perginya, yang jelas kepergian kakek Jabar menyisakan pertanyaan, terutama maksud dari ucapan Kakek Jabar.

"Namamu siapa?" tanya si gadis muda.

Arman tak ada kesempatan berpikir apa-apa lagi. Ia harus bersikap sopan meskipun itu terhadap seorang gadis kecil yang beranjak remaja.

"Arman. Kamu siapa?" Arman mendekat dan mengulurkan tangan.

Laki-laki itu terkejut saat menggenggam jemari kecil si gadis, terasa sangat dingin seperti es. Memang ini masih pagi, tapi matahari sudah muncul, embun dan kabut sudah mulai menyingsing. Tak mungkin suhu tubuh masih sangat rendah.

"Duduk." Si gadis mempersilakan Arman duduk sedangkan dirinya duduk di kursi rotan satunya.

Arman pun duduk. "Kamu belum sebutkan nama."

"Oh, iya, hehehe.... Saya Ratna."

"Adiknya Mala, ya?"

"Bukan."

"Adik sepupu." Arman mencoba berspekulasi.

"Bukan."

Arman garuk-garuk kepala bingung. Adik kandung, bukan. Sepupu, bukan.

"Saudara tiri?" Spekulasi terakhir Arman. Mungkin saja saat ia pendidikan, lulus SMA, ibunya Mala menikah lagi. Meskipun Arman tak melihat sosok laki-laki baru di rumah Mala, selain Kakek Jabar.

Tawa lebar keluar dari bibir Ratna. Tawa yang menular karena Arman ikut tertawa.

"Tante dari mana?"

Sontak tawa Arman berhenti. Menatap Mala bingung. Sebutan 'Tante' terdengar janggal, saat Arman mengikuti arah tatapan dingin Mala. Sebagai polisi, Arman tak bodoh untuk langsung menyimpulkan aklau Ratna adalah tantenya Mala. Tapi masalahnya, Arman tidak pernah tahu Mala punya tante, apalagi segini mudanya.

Ratna berdiri mendekati Mala. "Jalan-jalan. Sama sepertimu. Hmmm.... Baunya manis. Bu Lis goreng banyak, ya?"

Mala diam saja. Menatap tajam tanpa gentar pada Ratna. Ratna berbalik menatap Arman, mengabaikan ketidaksukaan Mala.

"Sering-sering main ke sini, ya, Arman. Di sini tidak lelaki, wanita semua. Jadi kurang perlindungan." Mala mengerling. Menepuk lembut lengan Mala dan melangkah santai masuk ke dalam rumah.

Sedangkan tubuh Mala menggigil ngeri. Kata-kata Ratna, 'kurang perlindungan', terasa seperti sebuah pemberitahuan kalau sekarang di rumah Mala sedang ada ancaman tak kasat mata. Mala menatap punggung Ratna dengan perasaan campur aduk. Antara marah dan takut.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status