Share

Dia di Balik Pohon

Bersembunyi di balik pepohonan. Kamu mengawasiku.

Tak bisa benar-benar tidur. Selain karena aroma kamar yang masih tak membuatnya biasa, pikiran Mala juga penuh dengan banyak hal terkait dirinya dan keluarganya, terutama perihal si tante; Ratna. Logikanya tidak pernah sampai dengan sosok Ratna yang tak berubah di usianya yang bertambah.

Mala bangun dari tidurnya setelah melihat jam kecil yang berada di meja kecil sebelah tempat tidur. Masih subuh jam setengah lima, Mala berpikir untuk olahraga santai dengan lari pagi. Ia memutar tubuhnya dan melihat bagaimana ibunya tidur dengan sangat nyenyak setelah beberapa kali igauan yang membuat Mala sering kali terjaga.

Bagai seorang ibu, Mala dengan lembut membelai kening ibunya dan merapikan rambut-rambut halus yang mengganggu wajah ibunya. Setelahnya dengan sangat perlahan, Mala bangkit dari duduknya dan berjingkat keluar kamar.

Di luar kamar, Mala meregangkan otot sembari menghirup udara subuh yang menyelusup masuk dengan penuh kelegaan. Akhirnya ia bisa bernapas dan paru-parunya mendapat kesegaran.

Mala menoleh ke kamar Ratna. Pelan-pelan ia mendekat. Ada rasa penasaran akan keadaan si tante yang aneh. Mala ingin tahu apakah tantenya itu tidur dengan sangat nyenyak setelah memberikan teror ataukah justru baru saja tidur.

Di depan kamar Ratna, Mala merasakan tubuhnya menggigil. Ia mengabaikan dengan menganggap bahwa udara yang terlalu dinginlah yang membuatnya menggigil. Apalagi kota kecilnya berada di kaki gunung, yang pastinya saat begini subuh, udaranya seperti di kulkas.

Namun, lama-lama terasa sangat berbeda. Udara yang dingin itu seolah menekan dadanya dan itu membuat Mala merasa kesulitan bernapas. Dari pada pusing sendiri setelah semalaman susah tidur, Mala memutuskan untuk ke kamar kecil, berganti pakaian dan olahraga.

"Mbak Mala sudah bangun?" tegur Bu Lis yang muncul dari belakang dan hendak masuk ke dalam rumah.

Mala yang baru keluar dari kamar mandi, sempat menjingkat dan mendelik pada Bu Lis yang justru terkekeh kecil. "Bikin kaget aja."

"Saya juga kaget, hehehe.... Kok, sudah bangun?" tanya Bu Lis.

"Mau lari pagi, Bu Lis."

"Mau dibuatkan teh hangat dulu?"

"Bolehlah. Langsung antar ke kamar ya."

Bu Lis seketika terdiam bingung. Ia lupa di mana kamar nona mudanya. Mala yang merasa kalau Bu Lis bingung, menghentikan langkah dan menoleh dengan senyum geli.

"Kamar Kakek."

"Oh iya. Aduh!" Bu Lis menepuk keningnya sendiri dengan gemsa dan berlalu ke belakang untuk membuatkan teh manis hangat. Sedangkan Mala melanjutkan langkah menuju kekamar kakeknya.

***

Seperti layaknya seorang yang jarang pulang, setiap berpapasan dengan orang, Mala disapa dan diajak biacara ini dan itu. Di setiap momen begini, Mala menjadi kucing lucu yang ramah. Ia banyak tersenyum, menjawab dengan baik, dan menunjukkan kepedulian dengan menanyakan keadaan si penanya. Setelah berhasil melepaskan diri dari dialog, Mala akan bernapas lega dan berharap tak dihentikan untuk diajak bicara. Baginya yang canggung, disapa senyum saja sudah cukup.

Sampai kemudian ia sampai di suatu tempat yang beberapa orangnya mulai tak peduli padanya. Beberapa bahkan melewati dirinya dengan tergesa. Mala merasa ada yang aneh dan mulai penasaran. Orang-orang berjalan seolah punya tujuan yang sama dan Mala mengikuti.

Sampai Mala pada keramaian. Bukan pasar. Ada beberapa mobil polisi dan ada salah satu rumah yang menjadi pusat ramai.

"Katanya ada yang ketok-ketok pintu. Tapi satu rumah gak ada yang dengar." Seorang wanita berumur di dekat Mala bicara pada seorang di sebelahnya.

"Kok, tau mereka kalau ada yang ketok pintu? Kan gak ada yang dengar." Tanya seorang ibu-ibu lainnya. Pertanyaan yang mewakili keingintahuan Mala juga.

"Katanya sudah bangunin cucunya, disuruh dengerin juga. Tapi, cucunya gak dengar apa-apa," jelas perempuan pertama.

"Trus, Alhmarhum buka sendiri?"

"Iya. Tapi katanya gak ada siapa-siapa. Itu Almarhum kata cucunya sampai ngedumel kesel."

"Hiii..., bener-bener pagebluk ini namanya."

Yang lain mulai mengangguk-angguk dengan mimik wajah ngeri. Mulai lebih berbisik-bisik. Mala diam saja dengan tetap mencoba menangkap setiap percakapan. Matanya terus melihat ke arah rumah, sampai kemudian ia bisa melihat sosok yang ia pikirkan semalam; Arman.

Wajah lelaki itu terlihat serius saat bicara dengan dua orang lainnya. Sesekali tangannya menggaruk-garuk pangkal hidungnya dan memencet bagian cupangnya dengan kening yang berkerut dalam. Sesekali juga ia mengedarkan pandangan dengan tatapan serius saat seorang rekannya bicara.

Jantung Mala berdegup terus-menerus. Ia tak peduli lagi dengan kasus yang berada di sekitar rumah itu. Ia lebih peduli akan sosok Arman yang terlihat sangat tampan dan seksi meski wajahnya begitu kusut.

Akhirnya sebuah tandu dengan jenazah yang sudah dibungkus kantong bertuliskan 'POLISI' keluar dari rumah. Suara histeris dan jeritan dari keluarga dan kerabat, menambah pilu suasana sekitar. Setelah ambulan pembawa jenazah pergi, beberapa polisi langsung membubarkan kerumunan.

Mala memilih tetap di tempat menunggu Arman. Mala sedikit bingung pada diri sendiri kenapa juga harus diam di tempat. Namun, ada sebagian dari dirinya yang tak melulu tentang Arman, melainkan rasa penasaran akan apa yang terjadi. Mendengar langsung dari yang berkompeten tentu lebih baik ketimbang desas-desus sekitar.

Arman mengangguk-angguk dan kembali melihat sekitar. Ia tertegun saat pandangannya beradu dengan Mala yang menatapnya diam. Arman meyakinkan diri jikalau tatapan Mala memang tertuju padanya. Setelah yakin, Arman menyudahi percakapannya dengan sang rekan sembari mengingatkan sang rekan membuat laporan dan diskusi akan dilanjutkan di rumah sakit dengan tim ahli forensik.

Mala terpaku dengan deru di dada saat Arman menatapnya. Ia tak berkutik begitu juga kepalanya. Itu membuat tatapannya tak beralih dari Arman. Ia terus menatap Arman dengan pikiran yang tidak jelas. Semakin blingsatan saat Arman mendekat sembari tersenyum. Mala merasa ini tidak benar. Ia justru terlihat begitu menunggu Arman. Ini memalukan dan Mala merasa merendahkan diri sendiri menunggui seorang pria.

"Hai. Dari tadi?" tanya Arman dengan senyum khasnya yang selalu menampilkan gigi yang rapi.

"Gak juga," jawab dingin Mala. Sekuatnya ia menguasai diri agar tak terlihat kikuk.

"Habis olahraga?"

"Begitulah."

"Jalan atau lari?"

Mala mengernyit sedangkan Arman makin tersenyum lebar.

"Olahragamu, jalan pagi atau lari pagi?" tanya Arman kalem.

"Jalan dan lari. Dua-duanya."

"Wah, enak, ya. Pagi-pagi bisa olahraga. Sedangkan saya...." Arman mengarahkan pandangannya pada rumah yang di dalamnya baru saja terjadi kematian yang aneh. "Kasus."

"Resikomu." Mala dalam hati terkejut akan sikap ketusnya. Ia kesal pada diri sendiri yang menjawab sengit padahal Arman sudah berlaku baik. Sepertinya rasa malu dan pemikiran kalau dirinya menunggui Arman, membuat dirinya salah tingkah sendiri.

Arman sendiri lama-lama juga heran dengan sikap Mala. Meskipun sebenarnya gaya Mala yang ketus sudah dikenalnya sejak jaman sekolah, namun tetap saja Arman heran.

"Oke. Kamu mau melanjutkan olahragamu?" tanya Arman.

Pertanyaan sederhana yang disalahartikan Mala. Ia merasa Arman sedang mengusirnya dengan halus. Lagi pula orang-orang mulai membubarkan diri. Beberapa orang menyapa Arman dan berpamitan.

"Entah. Saya mau pulang saja. Silahkan dilanjut." Mala tak ingin menunggu respon Arman. Ia bergegas berbalik.

Saat itulah ia melihat bayangan Ratna berdiri anteng di bawah pohon pinggir jalan. Senyumnya tipis dan samar, tetapi masih bisa dilihat Mala. Mala benar-benar terkejut dengan adanya Ratna. Ia bertanya-tanya apakah Ratna mengikutinya. Jika iya, buat apa. Jika tidak, sejak kapan Ratna berada di situ dan sedang apa pagi-pagi begini dengan pakaian terusannya. Bukan pakaian olahraga.

"Kenapa?"

Pertanyaan lembut Arman membuat Mala menjingkat dan menoleh. A terkesiap dan mundur selangkah karena ternyata dirinya dan Arman begitu dekat.

"Eh, sorry, kaget, ya? Padahal saya sudah berusaha pelan nanyanya."

Mala memilih diam saja dan kembali mengarahkan pandangannya ke pohon tempat Ratna berdiri. Betapa terkejutnya Mala karena sosok Ratna sudah menghilang. Mala celingak-celinguk mencari bekas sosok Ratna. Ia bingung akan cepatnya sosok Ratna menghilang.

"Kok, gak ada?" Suara Arman terdengar keheranan dan ia juga celingukan membuat Mala makin heran.

"Siapa?" tanya Mala hati-hati.

"Anak perempuan tadi."

"Kamu lihat?" tanya Mala terkejut.

Sebagai polisi, tentu Arman peka akan sekitar. Ia melihat Mala yang bengong menatap ke arah pohon pinggir jalan. Di sana ia melihat sosok gadis kecil yang sepertinya akan remaja, berkepang dua, berdiri diam dengan senyum terarah pada Mala. Atman awalnya biasa saja, tetapi melihat ekspresi Mala dan kemudian kini cepatnya gadis itu menghilang, Arman jadi bertanya-tanya akan sosok si gadis kecil itu.

"Dia siapa? Kamu kenal?"

Kembali Mala diam tak menjawab. Ia dilema akan perlunya menjawab dan tidak.

"Ya." Mala menjawab sembari melanjutkan langkahnya. Ia memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Toh, ia sudah cukup jauh olahraga.

"Siapa?"

"Seseorang." Mala mempercepat langkahnya, bahkan ia seperti berlari kecil. Mala mengingatkan dirinya kalau Arman bertanya bukan sebagai seseorang melainkan sebagai polisi.

"Ya seseorang itu siapa?" desak Arman.

Mala menghentikan langkahnya dan berbalik. Kedua tangannya sengaja dilipat di dada sebagai bentuk superior untuk dirinya sendiri.

"Saya perlu ya, menjawab?" tanya Mala tanpe menyembunyikan kekesalannya.

"Perlu," jawab mantap Arman. "Orang bertanya itu ya harus dijawab."

"Tapi saya tak mau menjawab."

"Itu namanya tidak baik."

"Kok, tidak baik. Kan itu hak."

"Memang. Tapi, membuat orang penasaran itu tidak baik."

"Jadi guru sana." Mala melengos dan berlalu dengan berlari.

"Guru apa yang cocok buat saya?"

Mala mendelik tak percaya jika Arman ikut lari di sisinya.

"Kamu ngapain ikutan lari?" tanya Mala kesal dan ia menghentikan larinya.

"Kan olahraga."

"Kamu kan ada kasus."

"Biar aja menunggu. Lagi pula jenazahnya masih di otopsi."

"Kamu gak bawa kendaraan?"

"Bawa. Tapi tadi saya minta teman bawakan. Saya bilang kalau sama mau nostalgia."

Seketika wajah Mala terasa panas. Kata nostalgia terasa memalukan untuk didengar tetapi manis juga.

"Nostalgia gundulmu. Jauh-jauh. Saya mau pulang."

Mala kembali berlari dan Arman mengikuti di sisinya. Arman memutuskan tak mendesak Mala perihal si gadis kecil itu dan Arman cukup beruntung Mala tak banyak tanya perihal kasus yang tadi dilihat Mala.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status