Share

Kamu Harus Janji

Tubuhku sakit, tetapi aku tak rasa, karena yang jauh terasa sakit adalah hatiku. Ini karena kau tak percaya padaku.

***

Butuh waktu lebih lama bagi Mala untuk menenangkan ibunya yang terus menangis dengan tubuh kecilnya yang tak henti bergetar. Mala tak tega hati dan menyesal karena tidak bersama ibunya di awal-awal ketakutannya. Melihat kondisi Aryani yang berantakan, pastinya ketakutan itu sudah begitu menetap sampai ke hatinya.

Aryani masih menangis, tetapi tubuhnya sudah tak bergetar lagi. Rangkulan Mala dan juga belaian lembut di lengannya, perlahan membuat Aryani tenang. Sudah ada seseorang yang menemaninya dan itu adalah putri yang memang sudah seharusnya menjadi tameng bagi dirinya.

Jemari Mala lainnya  di atas tangan Aryani yang saling menumpu dengan gelisah. Mala mengusap lembut punggung tangan ibunya, berharap itu bisa menjadi penenang.

"Kamu sudah bertemu dengannya, 'kan? Kamu sudah lihat?" Aryani bertanya dengan suara lirih. Kepalanya masih menunduk menatap jari-jemarinya yang saling beradu.

Mala mengangguk. Ia paham maksud pertanyaan ibunya. "Bagaimana bisa Tante Ratna masih seperti itu, Ma?"

Mala sudah menanyakan hal serupa pada Bu Lis, tetapi pemabntunya itu tidak menjawab. Bahkan diamnya seperti sedang melamun ketimbang memikirkan jawabannya. Ternyata, meski menanyakan hal yang sama pada orang berbeda, Mala mendapatkan reaksi yang sama saja, yaitu diam.

Gerakan gelisah jemari ibunya berhenti. Tubuh Aryani menegang dan Mala bisa merasakan jika ibunya akan memberikan suatu reaksi yang entah apa. Dalam sekejap ibunya sudah berbalik sedikit menghadap Mala.

Jika Aryani bukan ibunya, Mala yakin saat ini ia sudah menjerit. Penampilan ibunya yang kusut saja sudah cukup memberikan gambaran mengerikan, kini ibunya melotot dengan wajah yang sangat dekat dengan dirinya, tentunya gambaran sosok Aryani semakin bertambah mengerikannya.

"Ma...?" Mala bersuara dengan gugup. Ia tidak yakin ibunya meolotot karena terkejut ataukah karena ketakutan lagi.

"Kamu tidak boleh pergi lagi! Kamu harus ada di sini! Di rumah ini!" desis Aryani. Kedua tangannya mencengkeram kedua lengan Mala dengan kuat hingga kuku-kukunya  menancap pada kulit Mala, membuat gadis itu mengaduh lirih.

"I...iya, Ma. Saya..., tidak pergi." Mala meringis menahan sakitnya.

"Tidak boleh! Tidak boleh pergi barang sehari saja. Kamu janji! Janji!"

"Iya, Ma. Ma..., sakit...," keluh Mala yang merasakan jemari ibunya semakin kuat. Entah dari mana ibunya yang tadi terlihat lemah, kini justru seperti memiliki kekuatan lebih.

"Kamu adalah penjaga saya. Kamu harus jagain saya. Kamu gak boleh pergi! Gak boleh!" Aryani memekik dengan suara meninggi.

Tubuh Aryani maju semakin dekat, membuat wajahnya dengan wajah Mala hampir seperti tak berjarak. Aroma napas Aryani yang menyengat, menderu di depan wajah Mala, membuat perut gadis itu teraduk-aduk ingin muntah. Mata Aryani membulat lebar dengan warna serat-serat merah pada bagian putih mata Aryani.

 "Kamu harus berjanji. Kamu harus janji tidak akan meninggalkan saya dan rumah ini. Janji!" bentak Aryani yang diakhiri dengan teriakan keras.

Mala sempat tergagap, tetapi ia memilih cepat-cepat memberikan jawaban. "Iya, Ma. Iya. Saya janji tidak akan pergi dari rumah ini."

Seketika angin dingin melintas di antara keduanya. Menghentikan emosi Aryani yang memuncak dan kebingungan Mala. Keduanya bergidik. Mala dan Aryani saling tatap dan kemudian saling melihat ke sekeliling. Keduanya tidak hanya sekedar merasakan udara dingin, melainkan merasa seolah ada seseorang yang tiba-tiba ada.

Tak lama, terdengar tawa kecil. Hanya sekilas. Hanya seperti mengambang di udara. Justru itu yang menakutkan. Tawa itu terdengar seperti sedang mengejek ibu dan anak yang terlihat takut sekaligus bingung.

Seiring hilangnya suara tawa, udara dingin pun menguap. Tak ada lagi perasaan adanya seseorang di kamar itu. Mala sudah bisa mengatasi rasa takutnya. Iba melihat wajah ibunya, Mala mencoba melepaskan tangan ibunya yang mencengkeram lengannya kuat.

"Ma.... Tidak ada apa-apa, Ma." Mala dengan sayangnya membelai kedua pipi ibunya.

Tapi mata Aryani masih nyalang berputar-putar. Seolah masih mencari-cari sesuatu. "Kamu dengar?"

Mala diam, dilema untuk menjawab jujur atau tidak. "Sttt.... Sudah, Ma. Gak ada apa-apa."

Aryani menatap putrinya dengan kernyitan dalam. "Kamu gak dengar?"

"Enggak," dusta Mala. Ia tak ingin ibunya membahas hal aneh malam ini. Dirinya melakukan perjalanan delapan jam lebih, ia kurang tidur karena hal-hal aneh yang terjadi seharian, tubuh dan pikirannya sudah tak mau dibebani lagi. "Gak ada apa-apa, Ma."

"Tadi ... tadi ...."

"Sudah, Ma. Tidak ada apa-apa. Mama perlu istirahat."

Mala terus mencoba merayu ibunya untuk melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Mala. Dengan suara lembut, Mala juga terus-menerus mengucapkan janjinya untuk tidak pergi meninggalkan ibunya dan rumah ini. Meskipun itu bertentangan dengan hatinya.

Butuh waktu lama, tetapi berhasil juga. Aryani merebahkan tubuhnya. Dalam keadaan yang sudah tak takut lagi, gurat kelelahan tergaris di wajah Aryani yang mulai tirus. Mala meminta ibunya untuk memejamkan mata dan istirahat. Aryani mau, asalkan Mala tidur di sisinya.

Dengan sangat terpaksa Mala memenuhi keinginan ibunya. Meski hubungannya dengan Aryani tak pernah baik juga tak pernah dekat, tetapi keterpaksaan Mala bukan karena itu, melainkan aroma kamar yang tak sedap ditambah kebersihannya.

Mala bertekad untuk membersihkan kamar Aryani esok hari. Tak peduli jika ibunya menolak, berontak, dan kemudian marah besar. Bahkan kalau perlu, Mala akan memaksa Aryani mandi.

Tatapan Mala terarah pada langit-langit kamar Aryani. Ada banyak kejadian mengejutkan sejak kedatangannya dan sejak sebelum keputusannya pulang, Mala sudah memiliki pertanyaan yang kemudian bertambah sejak ia sampai di rumahnya. Semuanya sulit dinalar dan ia tak menemukan jawaban. Terutama perihal Ratna.

Mala adalah seorang yang tertutup di kota kelahirannya ini, ia tak memiliki kerabat dan juga tak memiliki teman apalagi sahabat. Mala seolah menjauhi semua. Mala tak punya alasan untuk itu, ia hanya tak ingin terlalu dekat dengan siapa pun, kecuali dengan Arman.

Teringat Arman, Mala menghela napas.

"Gagah juga ia jadi polisi. Siapa kekasihnya sekarang?" gumam lirih Mala.

"Kamulah."

Mala tersentak dan menoleh ke arah Aryani yang tidur dengan posisi miring menghadap dirinya. Mata Aryani tampak terpejam rapat. Salah satu tangannya ada di bawah pipi dan tangan satunya masih memegangi pergelangan tangan Mala.

"Ma? Mama belum tidur?"

"Dia menyukaimu."

Mala melihat bibir ibunya yang bicara dengan mata yang terpejam rapat. Mala tidak yakin jika ibunya maish tersadar tetapi juga tidak percaya ibunya bisa bicara dalam tidurnya. Apalagi yang ibunya ucapkan adalah apa yang ia pikirkan.

"Mama belum tidur?" tanya ulang Mala, berharap kali ini ada jawaban.

"Tapi...."

"Tapi apa, Ma?"

Hening. Ibunya tak bicara. Bahkan bibirnya terkatup rapat.

"Ma...?" Mala mengusap tangan ibunya yang masih memegang pergelangan tangan kanannya. Berharap dengan belaiannya, Aryani akan bicara lagi atau bahkan membuka matanya. "Mama tidur?"

Tak ada reaksi. Mala justru mendengar sesuatu. Suara dengkuran halus Aryani. Lagi-lagi, Mala tak mendapatkan jawaban apa-apa.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status