Lingga dan Herman, nekad pergi kediaman juragan Karto sekaligus merupakan rentenir."Wah... Kalau gak ada jaminan,aku tidak mau meminjamkan uang dengan jumlah besar. Sama saja, kalian menjaminkan rumah Mia tetapi tidak ada sertifikat rumahnya. Kalau ada sertifikat rumahnya,detik ini cair uang 100 juta". Ucap pak Karto,memang benar menginginkan rumah dan tanah milik Mia. Dia tahu,jika lahan besar dan panjang bisa menanam sawit miliknya.Lingga dan Herman,saling menoleh mendengarnya. Sudah pasti mereka tidak mendapatkan pinjaman uang."Sebenarnya, aku sangat menginginkan tanah dan rumah istrimu Herman. Aku tahu, lahannya sangat panjang ke belakang. Pas untuk menanam sawitku nanti, bakalan untung besar". Ucap pak Karto lagi."Sudah dimana-mana juragan,kami tidak menemukan sertifikat rumah itu. Apa jangan-jangan tanahnya sengketa yah,mana mungkin Mia menyimpan di tempat lain". Lingga, menggaruk-garuk pelipisnya."Tidak. Aku pernah tau, tentang tanah milik orangtuanya Mia. Tanah itu,bukan
Adel, tercengang yang menampar wajahnya adalah ibu mertuanya sendiri.Sedangkan di ambang pintu adik iparnya,Mia yang tersenyum manis ke arahnya."Mia, ngapain kamu ke sini?". Tanya Herman, kebingungan atas kedatangan istrinya."Aku sudah lama menunggu mu,mas. Token listrik habis mas,aku perlu uang untuk membelinya. Mana uang bulanan ku,mas?". Mia, menadah tangannya ke depan sang suami.Mia, mendelik ke arah kakak iparnya masih mengelus-elus pipinya itu. "Gimana mbak, rasanya di tampar? Enak pasti yah,kasian sekali". Ejek Mia, menyunggingkan senyumnya."Kamu bisa nunggu aku pulang, Mia. Kaki pincang sok-sokan kemana-mana,yang ada membuat orang susah". Gerutu Herman, tidak menyukai kedatangan istrinya."Diam kamu, Mia! Semua ini, gara-gara kamu tidak memberikan sertifikat rumah itu!". Bentaknya Adel, matanya memerah habis menangis."Aku tidak mau mbak,karena hartaku satu-satunya". Kata Mia, menoleh ke arah ibu mertuanya nampak kesal."Mana mas,uang bulananku? Kalau tidak ada,jangan minta
"Bagaimana bang,dapat uangnya?". Tanya Herman, setelah pulang dari kerja langsung mampir ke rumah ibunya. Jam dinding menunjukkan pukul 6 sore, sebentar pagi mau adzan magrib. Makan Malam dulu,baru pulang kerumah istrinya."Gak dapat, warisan keluarganya sudah di jual. Bahkan tanah warisannya milik Adel,di sita sama rentenir karena abangnya tak mampu bayar bulanannya. Satu-satu harapannya adalah sertifikat rumah ibu,tapi kamu tau sendiri bersikukuh tidak mau mengasih sertifikat rumah ini". Lingga, mondar-mandir tak karuan. Besok alasan apa lagi,agar dia dan keluarganya percaya. Kenapa serumit ini,sih? coba kalau Mia, dengan keihklasan sertifikat rumahnya. Pasti urusan ku sudah selesai, bahkan ongkang-ongkang santai."Ibu,gak setuju dengan idemu. Mau taruh dimana wajah ibu ibu, tetangga bakalan gosip". Bu Ratih,tetap mempertahankan rumahnya ini. Huuu...Semua ini, gara-gara menantu gak bisa ada yang benarnya."Mau gimana lagi bu,mbak Adel tidak ada uang sebanyak itu. Bahkan Mia, enggan
"Tidak! Aku tidak mau kehilanganmu, Liza. Lebih baik dia yang aku ceraikan, demi dirimu sayang". Lingga, menggeleng kepalanya. Mana mungkin aku melepaskan Liza,bisa hancur berantakan semuanya.Liza, tersenyum mengejek ke arah istri pertama suaminya itu. Lihatlah, istri tua suamimu malah memilih ku yang segala-galanya ini.Batinnya.Adel, terkejut mendengar ucapan sang suami demi wanita ini. Dia rela meninggalkan dirinya,tanpa memperdulikan hatinya sakit sekali. "Mas! Kamu ngomong apa sih, aku tidak mau bercerai dengan mu. Mentang-mentang dia kaya begitu, meninggalkan aku ini"."Adel,kamu diam! Makanya jadi istri yang becus dong, jadinya suami gak betah sama kamu". Sahut bu Ratih, tentu membela mantu kaya raya. Tentu saja,aku memilih mantu dari kaya raya,ibunya memiliki gelang emas banyak sekali"Benar kata ibu,mbak. Dulu bang Lingga pulang merantau,bukan melayani suami. Malah pulang ke rumah orangtua, berfoya-foya dengan jerih payahnya". Sambung Mia, menyudutkan kakak iparnya. Semakin
Hari demi hari berlalu, Mia semakin dingin dengan suaminya. Begitu juga dengan Herman, lebih banyak waktu di rumah ibunya makan dan tidur juga.Ceklekk...Pintu rumah di buka oleh Herman,nampak wajah kusut. Matanya tertuju pada istrinya,tengah menikmati semangkuk bakso.Mia, tidak memperdulikan kedatangan suaminya. Lebih menikmati bakso, sambil menonton televisi.Herman,duduk lemas di samping istrinya dan melirik Mia. Perutnya keroncongan sejak mencium aroma bakso, terlihat sangat lezat sekali."Uang darimana kamu bisa membeli bakso?". Tanya Herman, penasaran darimana istrinya mendapatkan uang."Kerja". Jawab Mia,sinis."Ck,kerja dimana Mia? Mana ada orang menerima kamu bekerja, kondisi kamu pincang". Herman, tidak memperdulikan perasaan istrinya itu."Jangan menghina kekuranganku, mas. Aku seperti ini,demi menyelamatkan ibumu loh. Selagi kita berusaha sendiri, pasti mendapatkan pekerjaan yang layak untuk ku". Mia, tersenyum mengejek ke arah suaminya itu."Ck, palingan kerja serabuta
Mia, tidak memperdulikan keluarga suaminya itu. Tidak tahu,kakak iparnya mendapatkan uang darimana untuk istri barunya. Dengar-dengar Adel, masih di rumah mertuanya itu."Gimana mas,bang Lingga dapat uangnya?". Tanya Mia, Kebetulan suaminya baru datang."Malah nanya macam-macam, suami datang bukannya di suguhkan kopi kek". Sungguh Herman,duduk lemas di lantai nampak jelas raut wajahnya kusut."Gimana mau bikin kopi, semuanya serba habis mas". Jawab Mia, tersenyum kecil."Ck,bilangnya sok-sokan kerja tapi gak bisa beli bahan dapur". Herman, menoleh ke arah istrinya itu."Kamu sendiri taulah, penghasilan cukup buat aku mas. Gak mungkin kan,aku mencukupi kebutuhan mu ini. Nanti malah kamu yang menumpang hidup sama aku, buktinya masih balik kerumah ini". Jawab Mia, membuat wajah suaminya marah padam."Aaaarrgghh.... Tidak bisakah kamu meringankan beban pikiran ku,ha?". Bentak suaminya, dengan tatapan tajam."Memangnya beban pikiran apa,mas? Kehidupan mu enak banget sudah,punya pekerjaan,g
Herman,duduk lemas di sofa ruang tamu. Sang ibu, meletakkan teh hangat untuk anaknya itu. "Herman, besok ada acara arisan di rumah ini. Jangan lupa bilangin sama istri mu buat bantuin-bantu,ibu. Sekalian deh,ibu minta uang buat beli makanan dan cemilan buat arisan gak banyak sejuta saja".Herman, mengerutkan keningnya mendengar ucapan sang ibu. "Loh, ngapain minta uang sama aku lagi bu. Aku sudah memberikan jatah 3 juta loh,gak ada uang untuk ibu". Tolaknya langsung."Loh, uang 3 juta buat kebutuhan sehari-hari ibu. Kalau ini, jelaslah beda Herman. Sudahlah,mana uangnya jangan banyak bantah ibu". Bu Ratih, langsung menadah tangan ke depan anaknya."Ibu, tau sendirilah gimana pengeluaran aku di rumah ini. Minta sama bang Lingga,atau mbak Adel. Uangku pas-pasan bayar ini,itu,bang Lingga belum tentu mau bayar sertifikat rumah ini". Herman, tidak menyanggupi permintaan ibunya."Ya sudah,ibu minta tolong sama abangmu. Terus,jangan bilang sama istri mu buat bantuin ibu besok". Bu Ratih, men
Sepulang dari bekerja di rumah pak RT,rupanya ada ibu mertua tengah menunggu kepulangan Mia. Kedatangan ibu mertuanya, sudah merasakan firasat buruk yang akan di hadapinya itu."Masuk,bu". Kata Mia, sudah membuka pintu rumahnya. Nampak jelas raut wajah ibu mertuanya, tidak menyukainya dan melongos masuk kedalam.Ngapain lagi sih,nenek lampir mampir segala. Anak sama ibu sama,bikin hidupku gak tenang.Batin Mia."Lama banget sih, pulang kerjanya lumutan kaki ni nungguin kamu. Cepetan sana, bikinkan minuman dingin biar seger daripada sumpek di sini. Jangan malas melayani ibu mertua,cukup jadi istri durhaka saja". Ucap bu Ratih, menyunggingkan senyumnya.Mia, bersikap biasa menghadapi sikap ibu mertuanya itu. "Di dapur gak ada apa-apa,bu. Bukannya jatah bulanan di kasih sama ibu, makanya di dapur kosong melompong. Mau air putih? Bentar yah,aku ambilkan"."Katanya kerja kamu,masa ngisi bahan dapur gak ada. Percuma dong,kerja gak punya apa-apa". Cibir bu Ratih, mengikuti menantunya ke dapur