Sepulang dari bekerja di rumah pak RT,rupanya ada ibu mertua tengah menunggu kepulangan Mia. Kedatangan ibu mertuanya, sudah merasakan firasat buruk yang akan di hadapinya itu."Masuk,bu". Kata Mia, sudah membuka pintu rumahnya. Nampak jelas raut wajah ibu mertuanya, tidak menyukainya dan melongos masuk kedalam.Ngapain lagi sih,nenek lampir mampir segala. Anak sama ibu sama,bikin hidupku gak tenang.Batin Mia."Lama banget sih, pulang kerjanya lumutan kaki ni nungguin kamu. Cepetan sana, bikinkan minuman dingin biar seger daripada sumpek di sini. Jangan malas melayani ibu mertua,cukup jadi istri durhaka saja". Ucap bu Ratih, menyunggingkan senyumnya.Mia, bersikap biasa menghadapi sikap ibu mertuanya itu. "Di dapur gak ada apa-apa,bu. Bukannya jatah bulanan di kasih sama ibu, makanya di dapur kosong melompong. Mau air putih? Bentar yah,aku ambilkan"."Katanya kerja kamu,masa ngisi bahan dapur gak ada. Percuma dong,kerja gak punya apa-apa". Cibir bu Ratih, mengikuti menantunya ke dapur
"Gimana bu, Mia atau mbak Adel mau bantuin hari ini?". Tanya Herman,baru datang bekerja dan langsung kerumah ibunya untuk makan malam. Jika dirinya langsung pulang,mana ada makanan di rumah karena istrinya tidak masak."Gak ada. Mereka berdua bikin kesal saja, Adel mana mau menolong ibu semenjak Lingga menikah lagi". Jawab bu Ratih, mendengus dingin."Yah...Sabar aja bu,ada kabar tentang bang Lingga gak?". Tanya Herman, was-was takut sang kakak meninggalkan tanggung jawabnya."Gak ada juga, nomornya tidak aktif". Jawab bu Ratih, dengan kesalnya. "Bukannya Lingga, mau mengadakan pesta pernikahan? Terus,kenapa gak kabarin kita?".Herman, menggaruk-garuk kepalanya. "Apa jangan-jangan bang lingga,kena tipu yah?"."Alah...Mana mungkin abangmu kena tipu,ngawur kamu ini. Herman,besok bawa istri mu ke sini untuk masak dan beberes rumah sekalian di rumah ibu. Bi Fatma,mau pulang kampung katanya ngambil cuti". Perintah sang ibu, yang hobi santai-santai tidak mengerjakan apapun di rumah. "Kalau
Mia, menyunggingkan senyumnya kala suaminya menggedor-gedor pintu rumah tidak bisa masuk kedalam lagi. Dia sudah mengganti kunci baru,agar suaminya tidak bisa menggunakan kunci cadangan dulu."Rasakan kamu mas, aku ogah memberikan tumpangan kepada benalu". Gumamnya pelan, tidak ada suara gedoran pintu lagi. Berarti suaminya itu, sudah pergi kerumah ibunya.Kemarin ada notif masuk uang dari jumkat, tapi pas cek saldo gak nambah kak.mohon konfirmasinya kakMia, melenggang masuk kedalam kamar dengan perasaan tenang. "Mas Herman,aku tidak akan mengalah demi dirimu itu. Diluar sana,masih banyak pria lain jauh lebih baik dari mu". Kata Mia, tersenyum manis.Herman, meninggalkan perkarangan rumah istrinya dan memukul setir mobil meluapkan emosi. "Sialan, Mia tidak main-main untuk berpisah dengan ku. Niatnya tidak membayar pinjaman dari juragan Karto, tidak perduli ibu tinggal di rumah Mia. Kalau seperti ini,mana bisa merayu Nindi dengan uang". Gerutunya, terpaksa harus kerumah sang ibu.Cuma
Herman, meletakkan dua lembar uang berwarna merah dan menyodorkan kepada Sisil. Hari ini,puas melempiaskn hasratnya dan mulai bersemangat untuk beraktivitas lagi."Makasih mas,kalau minta lagi bakalan aku service". Sisil, tersenyum semanis mungkin dan mengambil uang tersebut."Akhirnya aku bersemangat lagi,Sil. Tapi,kurang enak kalau tidak masuk ke situ". Ucap Herman, matanya melirik nakal ke bawah selangkangan Sisil."Mas Herman, kapan-kapan yah. Kalau Sisil, mendapatkan cuti menjaga kedai. Asalkan jangan di semak-semak, Sisil gak mau yah. Takutnya gatal-gatal tubuhku yang mulus ini, bolehlah di hotel atau vila". Sisil, berusaha menjerat Herman ke pelukannya."Baik, akan mas tunggu dan nomor telepon di simpan yah. Mas mau balik lagi,ke tempat ibu". Kedip mata Herman, tersenyum sumringah."Hati-hati mas, Sisil bakalan rindu". Sisil, melambaikan tangannya dan mengigit bibir nakalnya itu. Akan tetapi, Sisil berhasil merekam adegan tadi untuk pegangan agar mangsanya tidak bisa berkutik
Mia,tengah menyantap makan siang di warung bi Murni. "Makasih bi". Katanya, pesanan sudah datang dan perutnya keroncongan sejak tadi.Sisil, duduk disampingnya Mia yang baru datang. "Bi Murni,satu porsi gado-gado ekstra pedas yah!". Pintanya melirik sekilas ke arah Mia,lalu tersenyum smrik.Mia,cuman mengangguk pelan dan melanjutkan makannya. Tidak memperdulikan tatapan wanita di sampingnya itu, dia tau teman sekolah suaminya dulu."Kasian yah,kamu memang cantik tapi sayang cacat. Sudah cacat sok belagu banget lagi, tidak mau melayani suami. Kasian sekali mas Herman, harus mencari pelampiasan hasrat ke wanita lain. Oups... Kecoplosan deh". Sisil,nampak cekikikan tertawa.DegMia, seketika berhenti menyendok makanannya ke dalam mulut. Langsung menoleh ke arah Sisil, hatinya terasa teriris-iris mendengar ucapannya tadi."Gak papa,ambil saja. Aku tidak memperdulikan suami yang seperti itu, cocok sama kamu yang suka bekas". Ejek Mia, menyunggingkan senyumnya sontak membuat Sisil geram deng
Mia, diam-diam melakukan terapi urut di bagian kakinya. Suatu kebahagiaan baginya, kakinya berlahan-lahan membaik seperti semula. Meskipun menahan rasa sakit,ketika di urut oleh seorang wanita yang berumur tua."Makasih bu, kakiku mulai membaik seperti dulu". Mia,menyeka air matanya dan tak sia-sia kesabarannya selama ini."Alhamdulillah,nak. Kakinya sudah sembuh seperti semula lagi,kamu hati-hati berjalan yah. Ini belum sembuh total, beberapa hari ke sini lagi". Ucap seorang ibu itu, langsung di angguki Mia."Iya,bu. Terimakasih banyak,bu. Permisi dulu, sepertinya lumayan banyak antri ingin di pijat". Mia, mengulurkan tangannya dan memberikan upah juga.Dengan perasaan senang sekali, Mia berjalan menuju pulang kerumahnya. Dia bisa berjalan normal lagi, tidak kesusahan dan menahan rasa sakit di bagian kakinya."Mia, kakimu sudah sembuh?". Tanya bu Ratih, kebetulan bertemu dengan menantunya itu.Mia, tersenyum manis ke arah ibu mertuanya itu. "Alhamdulillah,bu. Berkat usaha sendiri, ta
Herman, tersenyum sumringah dan duduk di sebelah Nindi. Memberanikan diri untuk mendekati Nindi, terang-terangan di depan karyawan kantor lainnya.Nindi, melonjak terkejut melihat suami teman terang-terangan duduk di sebelahnya. Mau tak mau, berusaha bersikap biasa saja."Boleh kan, aku duduk di sini?" Tanya Herman, dengan nada lemah lembutnya."Boleh,pak". Jawab Nindi, mengangguk pelan. Astaga! Ngapain sih,buaya darat dekat-dekat sama aku. Jangan sampai deh,rekan kerja mikir macam-macam dekat sama suami orang."Makasih, silahkan mau makan apa saja. Aku yang bayar, sesekali mentraktir teman". Kekehnya Herman, mengubah posisi duduknya agar lebih dekat lagi.Beberapa pasang mata melihat ke arah mereka,ini adalah pertama kalinya."Jangan dekat-dekat pak,gak enak diliat orang lain". Tegur Nindi, merasa risih dekat dengan Herman.Herman,menoleh ke sekililing kantin nampak ramai dengan karyawan tengah makan siang dan menjadi pusat perhatian orang-orang juga."Santai saja,jangan memperdulika
Herman,tengah menunggu kepulangan Nindi di parkiran perusahaan. "Secepatnya aku memiliki Nindi,jangan sampai pria lain merebut dariku". Gumamnya pelan, gelisah gusar karena menunggu sang pujaan hati.Ada senyuman manis di sudut bibirnya Herman, segeralah mendekati Nindi ketika sampai di mobilnya."Nindi,aku mau ngomong sesuatu sama kamu". Kata Herman, senyum-senyum tidak jelas.Nindi,menghela nafas beratnya dan melihat sekeliling takut ada yang salah paham tentang dirinya nanti. "Mau ngomong apa,pak?".Meskipun Nindi,risih dengan tatapan Herman seperti tidak wajar saja."Nindi,aku pengen menjalin hubungan serius sama kamu. Boleh gak? Sebenarnya,aku sudah lama suka sama kamu. Pertama kalinya kamu jalan-jalan ke rumah Mia, setiap detik kepikiran kamu terus". Ucap Herman, tersipu-sipu malu mengatakan perasaannya.Nindi, menggeleng pelan mendengar ucapan Herman suami temannya itu. "Maaf,aku tidak bisa pak. Apa lagi,pak Herman suaminya teman saya. Apa kata orang pak,harga diriku bakalan di