"Jadi, maksudmu aku hanya pelarianmu?!" Hanin menggenggam erat ujung bajunya. Tangannya gemetar. Dia sangat takut dengan jawaban yang akan keluar dari mulut suaminya itu.
Dimas patah-patah mengangguk. Entah kenapa hatinya ikut terasa sakit, mengetahui jawabannya sendiri untuk setiap tanya Hanin.
Hanin menengadah. Sayapnya telah patah. Lelaki yang dilayaninya sepenuh jiwa raga, tempatnya mel8abuhkan perahu cinta, ternyata tidak pernah menganggapnya ada.
Jika dibandingkan dengan Sita, mantan istri suaminya, Hanin memang bukan apa-apa. Dia bukan tandingan Sita. Sudah jelas wanita rupawan itu lebih unggul dalam segalanya. Tetapi tidak bolehkah dia dicinta walau parasnya tak secantik Sita?
Hanin tergugu. Sungguh, dalam mimpi terburuk sekalipun, dia tidak pernah membayangkan akan mendapati kenyataan ini, saat tujuh bulan benih Dimas tumbuh menempati rahimnya, lelaki itu dengan tega menyayatkan luka.
"Sejak kapan pembicaraan kembali bersama itu kalian mulai, Mas?" Hanin mengelap air mata dengan ujung jilbabnya. Tidak mungkin dalam waktu singkat mereka memutuskan kembali, pasti ini sudah dibicarakan cukup lama.
Dimas memejamkan mata. Sekejap ingatannya terlempar kembali pada pertemuannya dengan Sita empat bulan lalu.
"Nanti gantian saja mengantar Rindu ke sekolah, Ta. Aku bisa sekalian berangkat kantor menjemput Rindu dari sini. Sekolah Rindu searah kan dengan kantorku." Dimas mengusap kepala Rindu.
Hari itu tanggal kunjungan rutinnya menemui Rindu. Setiap seminggu sekali, Dimas akan menghabiskan waktu dengan anak gadisnya itu. Sabtu bersama Hanin, maka hari minggu bersama Rindu. Hampir setiap kunjungan Hanin ikut bersama Dimas, mereka akan mengajak Rindu bermain keluar atau hanya sekedar makan bersama di rumah Sita.
Hanin dan Sita cukup dekat, walau tidak bisa dikatakan akrab. Ada jarak yang masih saja tercipta antara mereka. Sekuat hati Hanin mendekatkan diri, tapi Sita seolah memang sengaja menjaga batasan yang tercipta. Ada luka di sana. Jauh di dalam hatinya, Sita menangis melihat kebahagiaan rumah tangga mereka.
"Gampanglah itu, Pak. Masih tahun depan ini." Sita tertawa sambil menepuk pelan bahu Dimas.
Dimas ikut tertawa, ada yang berdesir di dada saat tangan Sita menyentuh bahunya.
"Hanin sehat?" Sita membuka suara setelah mereka terdiam cukup lama.
"Sehat." Dimas menjawab singkat. Agak kurang nyaman baginya membicarakan Hanin di depan Sita.
"Tadi dia tidak ikut, hamil muda membuat tubuhnya mudah sekali lelah." Dimas menambahkan, setelah melihat wajah penasaran Sita.
"Sama seperti aku hamil Rindu dulu, kan. Hampir setiap waktu shalat maghrib dan shubuh Mas selalu memijat kepalaku." Sita mengulum senyum.
Dimas tertawa lebar menanggapi omongan Sita. Dulu kehamilan mantan istrinya itu sedikit unik. Setiap menjelang maghrib dan shubuh, Sita selalu merasa sakit kepala dan tidak bisa makan apa-apa. Tapi ketika siang hari, Sita baik-baik saja seperti tidak sedang hamil.
"Nanti adiknya Rindu akan seperti itu juga tidak ya kira-kira?" Sita tertawa kecil.
Dimas terdiam sejenak. Lidahnya kelu. Hatinya mendadak sakit membayangkan Sita akan hidup dengan lelaki lain di masa depan. Egois. Mungkin itu kata yang tepat untuknya.
"Sudah ada yang dekat?" Dimas bertanya serius, menatap Sita.
"Banyak." Sita tertawa, menanggapi sambil bercanda pertanyaan Dimas.
Dimas tersenyum tanggung mendengar jawaban Sita. Mengalihkan pandangannya pada Rindu, yang sedang asik menyusun mainan puzzle berbentuk Princess Elsa.
"Wanita biasanya sulit menerima orang baru, Mas. Kalau sudah nyaman, mereka biasanya lebih memilih memaafkan yang lama, daripada harus penyesuaian lagi dengan yang baru." Sita membenarkan rambutnya yang tergerai.
Dimas terdiam. Mencerna kalimat Sita barusan.
"Apalagi sudah ada anak, banyak pertimbangan yang harus diambil sebelum melangkah ke jenjang selanjutnya." Dimas menatap Sita.
Dia benar-benar tahu Sita seperti apa. Sebelum mengambil keputusan, mantan istrinya itu pasti sudah memikirkan secara matang konsekuensi atas pilihannya.
"Apakah nanti pasangan baru itu akan sebaik pasangan sebelumnya? Bisakah dia menyayangi dan menganggap anakku seperti anaknya? Ya pokoknya banyaklah pertimbangan." Sita mengulum senyum menatap Dimas yang seperti sedang berpikir.
"Entah bagaimana single mom di luar sana. Kalau aku, andai kau masih sendiri, aku lebih memilih kembali daripada harus mencari yang baru. Apalagi kita berpisah bukan karena keinginan kita." Sita menunduk.
Dimas terkejut mendengar ucapan Sita. Hatinya basah. Lamat-lamat dia memperhatikan wanita yang pernah mengarungi rumah tangga selama tiga tahun dengannya itu.
"Andai kau masih sendiri." Sita mengangkat kepala. Menatap Dimas dengan mata berkaca.
Dimas terkesiap. Akankah kesempatan hidup bersama dengan orang yang sangat dia cinta itu masih ada?
"Kau tahu sendiri, sebelum Papa meninggal. Beliau sudah meminta maaf pada kita. Berarti beliau memberikan restu, Mas. Ya, andai kau masih sendiri." Sita terisak.
Dimas kembali meneguk teh beraroma melati yang tinggal separuh. Dadanya sesak mengingat kembali pembicaraannya dengan Sita empat bulan lalu.
"Jadi, kalian mulai berencana kembali bersama saat aku tidak ikut menemanimu kesana empat bulan yang lalu, Mas?" Hanin meremas tangannya.
"Belum ada pembicaraan serius ke arah sana, Nin." Dimas mengambil tangan Hanin. Menggenggamnya dengan kedua tangan.
"Lalu?" Wajah Hanin buncah oleh kesedihan. Air matanya mengalir tak dapat dihentikan.
"Aku baru menyinggung masalah itu melalui W* tadi malam." Dimas tak kuasa menatap mata Hanin.
"Kau yang mengajak kembali, Mas?" Cepat saja Hanin menyambar omongan Dimas.
"Aku masih sangat mencintai Sita, Nin." Entah kenapa Dimas merasa janggal dengan kalimatnya sendiri.
Hanin menarik tangannya dari genggaman Dimas. Wanita berkerudung coklat muda itu menutup wajah dengan kedua tangan. Bahunya terguncang, hatinya sangat sakit mendengar perkataan suaminya.
"Apa jawaban Sita?" tanya Hanin kembali terdengar. Dia berusaha mengatasi kesedihannya.
"Dia bersedia, dengan syarat aku sudah tidak terikat dengan siapa-siapa." Suara Dimas terdengar serak.
Jauh di dalam hatinya, dia sungguh tidak ingin menyakiti Hanin, wanita bersahaja yang selama hampir dua tahun mendampingi dan melayaninya sepenuh hati.
"Maksudnya?" Alis Hanin bertaut. Kedua tangannya terkepal di atas paha.
Dimas memejamkan mata. Hatinya ikut sakit mendengar isak tertahan wanita yang masih sah menjadi istrinya.
"Kau minta aku mundur, Mas?"
"Maafkan aku, Nin. Aku masih sangat mencintai Sita." Dimas menjawab lirih. Entah kenapa dia tidak terlalu yakin dengan jawabannya sendiri.
Hanin terisak kencang. Tangis itu sudah tidak bisa lagi dia tahan. Dadanya sesak. Entah sudah berapa kali sepagi ini suaminya itu mengatakan sangat mencintai Sita. Sementara di lain sisi, lelaki itu mengatakan sedikit pun tidak ada rasa cinta untuknya.
"Bagaimana dengan anak di dalam rahimku ini, Mas? Tegakah kau membiarkannya tumbuh tanpa sosok seorang Ayah?" Hanin mengelus perutnya. Sesuatu di dalam sana bergerak pelan. Seolah tahu, bundanya sedang tidak baik-baik saja.
"Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya, Nin. Nafkah kalian akan selalu kutepati." Dimas menunduk, tidak mampu menatap mata Hanin yang terluka.
"Lalu, bagaimana dengan kehadiranmu?" Hanin menggigit bibirnya kuat-kuat. Terasa asin menyapa lidahnya. Sakit. Bibirnya berdarah. Tapi jauh lebih sakit lagi hatinya.
"Rindu sudah sangat dekat denganku, Nin. Sementara dedek belum tahu bagaimana ak …."
"Jadi maksudmu, kau tidak mau mengenal anak kita, Mas?" Cepat Hanin memotong kalimat Dimas. Wanita itu menatap tak percaya wajah tampan suaminya yang masih menunduk.
"Rindu sempat merasakan kehadiranku sebelum aku dan Sita bercerai, Nin. Akan lebih mudah bagi dedek menjalaninya, jika dia tidak sempat mengenalku." Suara Dimas tercekat di ujung kalimatnya. Sungguh. Hatinya kini sangat bimbang.
Hanin terpana. Tidak menyangka lelaki yang selama dua tahun ini menjadi imamnya, ternyata mampu setega itu pada keturunannya.
Apakah suaminya itu tidak ada rasa sayang sedikit pun pada buah cinta mereka?
Cinta? Ah…
Bukankah sudah sangat jelas Dimas mengatakan tidak ada cinta untuknya?
Hanin tertawa miris. Menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan suratan takdir, yang digariskan untuknya.
"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela
"Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian
"Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan
"Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb
"Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik
"Bu Levy, ada tamu." Security memberitahu Levy yang sedang sibuk dengan setumpuk dokumen dan laptop di depannya."Tamu? Siapa, Pak?" Levy mengernyitkan kening sambil melirik jam di tangannya. Siapa yang bertamu sesore ini? Sepuluh menit lagi bahkan adzan maghrib akan berkumandang."Namanya Pak Dimas, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Orangnya menunggu di ruang tunggu tamu." Security menjawab sambil pamit undur diri.Levy mengangguk pada security. Hatinya mendadak sedikit ciut. Ada apa gerangan Dimas kemari? Apa benar lelaki itu tahu dia yang pertama kali menyebarkan video Sita melabrak Hanin di warung?"Levy?"Levy terkejut saat mendengar ada yang menyebut namanya"Eh, Dim?" Sedikit tergagap dia mengangkat kepala, menatap Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya."Bisa bicara sebentar?" Dimas bertanya dengan tatapan tajam."Maaf. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Levy meletakkan tangan pada tumpukan dokumen di atas meja "Ini hal penting.""Maaf
"Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R
"Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"