Hanin terbangun saat mendengar tangisan Dipta. Ini sudah yang ketiga kalinya malam ini Dipta menangis. Bergegas diraihnya bayi mungil itu. Setelah mendapat apa yang dia butuhkan, Dipta langsung tenang kembali. Hanin memperhatikan lamat-lamat wajah anaknya yang sedang menyusu sambil terpejam. Ah … sungguh, dia sangat mencintai makhluk ini.Wanita itu melihat ke arah jam dinding. Waktu menunjukkan jam dua dini hari. Tidak seperti biasanya, malam ini tidur Dipta seperti gelisah. Sepertinya ikatan mereka sangat kuat. Karena sebenarnya hati Hanin pun sedang gelisah.Wanita bermata teduh itu masih terbawa perasaan tentang kejadian di warung siang tadi."Sita." Suara Hanin terdengar berbisik.Hanin tidak habis pikir, entah apa yang ada di otak wanita itu hingga mendatanginya kembali. Apakah Sita benar-benar berpikir dia akan bersedia datang? Atau sebenarnya wanita itu hanya ingin menunjukkan padanya bahwa besok dia telah sah menyandang gelar sebagai Nyonya Dimas?Setetes air mata Hanin meng
Setiap kali melihat dan memikirkan Dipta, hatinya selalu merasa tercubit. Dia merasa sangat bersalah pada buah hatinya itu.Andai dulu dia menolak lamaran Dimas, mungkin dia tidak akan membuat seorang anak ini lahir dan tumbuh tanpa kehangatan kasih seorang ayah. Andai dia melakukan sedikit aturan ketat tentang jadwal dan tempat Dimas mengunjungi Rindu, mungkin saat ini mereka sedang bercengkrama di kamar, tertawa, bercanda, bergantian menimang Dipta.Andai, andai dan masih banyak andai yang lainnya.Setelah puas berkeluh kesah, Hanin akhirnya membereskan mukena dan meletakkan pada tempatnya. Kemudian wanita itu kembali berbaring sambil membelai wajah anaknya.Pun di sini.Terpisah dua puluh kilometer dari tempat Hanin membuai Dipta. Di sini, Dimas tengah membelai Rindu.Sudah beberapa malam ini Rindu memilih tidur di rumah Dimas. Gadis kecilnya itu begitu bahagia akhirnya bisa menghabiskan banyak waktu dengan ayahnya.Ada yang hangat di hati Dimas saat akhirnya dia bisa membayar tahu
Dimas bergegas keluar dari kamar menuju pintu depan saat mendengar gedoran yang terus menerus dari tadi. Jam setengah lima, dia baru saja selesai menunaikan ibadah shalat Shubuh.Sedikit menggerutu lelaki itu membuka pintu. Siapa pula Shubuh-Shubuh begini bertamu? Ini waktunya beribadah! Selain itu dia sibuk hari ini, harus bersiap-siap untuk akad jam delapan nanti."Sita?!" Sedikit terkejut Dimas mempersilahkan Sita masuk."Kenapa ke sini? Kamu tidak siap-siap dandan untuk acara hari ini?" Dimas langsung memberondong mantan sekaligus calon istrinya itu dengan pertanyaan. "Hanin tidak akan datang." Sita berbicara dengan pandangan lurus ke depan."Hanin?""Kemarin siang aku mendatanginya. Wanita itu bilang dia tidak akan datang."Dimas menarik napas panjang. Setelah itu ikut duduk di samping Sita. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran wanita cantik ini.Sita datang masih menggunakan baju tidurnya. Baju berbahan satin dengan warna merah marun itu terlihat sangat cocok di
"Kita buktikan pada mereka kalau kita tidak sejahat itu! Seiring berjalannya waktu, hati Hanin pasti akan luluh. Sehingga kita bisa membina hubungan baik lagi dengan Hanin. Orang-orang itu akan melihat dengan mata kepala mereka sendiri, Ta. Pada akhirnya citra diri kita akan kembali seperti semula.""Kau masih tetap ingin berhubungan dengan Hanin?!""Lalu aku harus bagaimana?" Dimas mengacak rambutnya frustasi. Sekilas dia melirik jam dinding, sudah hampir jam lima."Telepon Hanin sekarang!""Apa yang harus kukatakan ditelepon?" Dimas akhirnya pasrah, berjalan ke kamar mengambil ponsel.Dimas benar-benar lelah menghadapi keras kepala Sita. Lelaki itu terduduk di pinggir kasur. Tanpa sengaja matanya melirik Rindu yang masih tertidur pulas.Ah … andai bukan karena Rindu, mungkin dia sudah kabur saja saat ini. Mungkin. Sita benar-benar membuatnya kacau. Apa yang harus dia katakan pada Hanin Shubuh-Shubuh begini? Memintanya datang ke pernikahan? G*la!Dimas akhirnya berdiri mengambil p
"Nin, di depan ada tamu." Hanin yang sedang menemani Dipta bermain mengerutkan kening."Siapa, Bu?""Entahlah, Nin. Katanya ingin bertemu kamu." Mbok Ti duduk di sebelah Hanin.Hanin tampak berpikir sejenak. Siapa yang bertamu hari minggu? Warung tutup. Dia memang libur setiap sabtu dan minggu, mengikuti hari kerja. Karena memang sasaran pasar warungnya adalah karyawan kantor yang berlokasi di sekitar sana."Titip Dipta dulu ya, Bu." Wanita itu akhirnya berdiri, bergegas mengambil jilbab yang dia letakkan di sandaran sofa."Umi … Mimimi …." Dipta yang melihat Ibunya seperti akan meninggalkannya langsung bereaksi."Dipta, anak shalehnya umi. Di sini sebentar sama nenek, ya?" Hanin sedikit membungkuk, mensejajarkan tingginya dengan badan Dipta.Bayi berusia sebelas bulan itu mengangguk, sejenak kemudian menggeleng. Membuat Hanin dan Mbok Ti tertawa geli melihat tingkahnya yang menggemaskan.Dipta sedang lucu-lucunya. Ada-ada saja tingkahnya yang mengundang tawa. Bayi laki-laki itu sudah
"Jum'at kemarin, Halim menyampaikan idenya pada tim kami, kemudian langsung kami usulkan pada atasan dan sudah disetujui. Kalau Mbak Hanin tidak keberatan, kami bermaksud ingin menjadi penyumbang tetap untuk kegiatan yang biasa Mbak Hanin lakukan." Sambungnya."Masya Allah." Hanin menutup mulutnya karena terkejut."Kalau mbak Hanin setuju, setiap rabu kami akan mengantarkan biayanya agar kamis Mbak Hanin bisa berbelanja kebutuhan. Dari kami berencana menyumbang dua juta lima ratus setiap minggunya." Halim ikut membantu Arni memberikan penjelasan. Hanin hanya mengangguk-angguk. Antara terkejut dan bersyukur, wanita itu masih berusaha mencerna semua informasi. "Kira-kira bagaimana, Mbak Hanin?" tanya lelaki itu."Alhamdulillah Mbak Arni dan Mas Halim. Tentu saja saya setuju." Hanin tersenyum menanggapi pertanyaan dari Halim."Perihal apa yang membuat saya harus menolak orang yang ingin berbuat baik?"Ucapan Hanin disambut dengan tawa oleh kedua tamunya. "Untuk menyumbang kami member
Sita membanting pintu kamar dengan keras kemudian meletakkan laptop dan tas tangannya di atas meja.Wanita cantik itu terlihat sangat kesal.Dimas yang sedang duduk di kasur hanya melirik Sita dengan ujung mata. Lelaki itu menarik napas panjang. Kemudian kembali sibuk dengan ponselnya."Mana Rindu?""Sudah tidur.""Sudah kubilang jangan tidurkan dulu dia sebelum aku pulang! Harus berapa kali kukatakan, Mas?!"Dimas mendengus. Sedikit enggan dia mengalihkan pandangan dari ponselnya. Lelaki itu kemudian menatap istrinya yang sedang berdiri sambil berkacak pinggang."Kau lihat sekarang sudah jam berapa, Ta?" Dimas menunjuk pada jam dinding berwarna silver dengan bentuk yang sangat unik."Ini sudah hampir jam sepuluh malam! Besok Rindu harus masuk sekolah pagi. Bukankah kita sudah sepakat paling malam waktu tidur Rindu adalah jam sembilan?" sambung Dimas."Lagi pula, apa saja yang kau kerjakan di kantor? Sudah hampir satu minggu ini kau selalu pulang menjelang jam sepuluh malam." Dimas ak
Sejak saat itulah Sita selalu meributkan hal-hal yang kadang dianggap sepele oleh Dimas. Bahkan wanita itu kadang mengabaikannya tanpa sebab. Apakah luka yang dibuatnya terlalu dalam? Sebesar itukah kesalahannya hingga Sita pantas tak menghormatinya?Bunyi pintu kamar mandi ditutup membuat Dimas membuka mata. Pikirannya yang tadi melayang-layang ke banyak hal telah kembali seutuhnya."Kau sudah makan, Ta?""Sudah. Tadi aku makan di kantor. Delivery." Sita mulai menyalakan pengering rambut. Wajahnya terlihat lebih segar setelah keramas.Dimas menarik napas panjang. Kapan lagi dia bisa menikmati masakan rumahan? Dulu hampir setiap hari dia menikmati masakan Hanin. Wanita itu benar-benar pintar meracik bahan makanan. Lidah Dimas selalu dimanjakan oleh masakan Hanin yang pasti enak.Lelaki itu menatap Sita yang tengah duduk di meja rias. Dia paham, dari dulu Sita tidak bisa memasak, bahkan dari dulu juga sikap Sita kadang sulit dikendalikan. Semua itu terasa ringan saja baginya. Tetapi m