Share

Bertemu Malaikat Penolong

Rumi kembali melangkah. Air matanya seolah tak ingin surut hingga detik ini. Hatinya terlalu berat untuk pergi karena cinta yang masih tertinggal di sini. 

'Entah siapa dalang dari semua ini.' Batih Rumi menebak-nebak siapa yang membencinya di rumah ini, namun ia tak menemukan alasan. Di rumah ini hanya ada mereka bertiga. Akbar, dirinya, dan Astuti—ibu mertuanya. 

Apakah ini ulah Astuti? Rumi menggeleng cepat. Perempuan paruh baya itu begitu menyayanginya. Tak pernah ia dapati perempuan itu berlaku tak pantas terhadapnya. 

'Mungkinkah ini ulah Laras?' batinnya kembali berbisik. Nama yang timbul di kepalanya saat ini membuatnya tak mampu untuk menepisnya. 

Laras adalah mantan istri suaminya, dan satu-satunya orang yang begitu membenci Rumi yang Rumi tahu. Namun, bagaimana Laras bisa melakukannya, sedangkan kunci rumah hanya ada pada Akbar, mertuanya, serta dirinya sendiri. 

'Rasanya Mama tak mungkin bersekongkol dengan Laras?' 

Rumi menepis dugaannya. Ia sangat paham jika Astuti tidak begitu menyukai Laras bahkan sejak Laras masih sah berstatus istri Akbar. Yang Rumi tau, Laras istri yang kurang menghargai suami, lebih lagi ia pernah ketahuan berselingkuh saat masih bersama Akbar. 

Sebaliknya, mertuanya itu begitu menyayangi Rumi. Astuti dan Rumi tak ubah ibu dan anak. Jika orang tidak mengenali mereka, pasti akan mengira Astuti dan Rumi adalah anak dan ibu kandung. Meski wajah mereka tidak mirip, tapi keduanya tampak sangat akrab. 

Bergegas Rumi mengusir bayangan Laras, khawatir jatuhnya fitnah seandainya Laras sama sekali tak melakukan apa yang ia pikirkan. 

'Kalau bukan Laras siapa lagi?'

Lagi dan lagi, Rumi kesulitan mengenyahkan bayangan perempuan berambut sebahu itu.. 

Sejak awal ia menikah dengan Akbar, Laras sudah menampakkan rasa benci pada Rumi karena Laras masih sangat mencintai Akbar. 

Mendung bergelayut manja. Rintik hujan perlahan mulai turun, menciptakan malam yang kian terasa suram. Rumi kini melangkah pergi, meninggalkan sejuta kenangan indah yang enam bulan terakhir ia rasakan. 

*

Malam kian beranjak ke tengah. Rintik gerimis mulai turun ke bumi. Desau angin malam berbisik lirih di telinga Rumi, menyapu kerudung lebar pembungkus kepalanya. Wajah Rumi masih sembab, meski air mata mulai bisa ia hentikan. 

Kakinya terus melangkah menjauh dari kenangan manis yang kini membuat sesak dadanya. Entah ke mana ia akan pergi. Rumi tak tahu pasti. Terbersit ingin kembali ke rumah di mana ia dibesarkan dulu. Namun, ia sadar jika telah melupakan sesuatu. 

Rumi terdiam ketika melewati deretan ruko penjual makanan yang masih terbuka. Memorinya berputar mengingat ponsel miliknya yang tengah mengisi daya di atas meja TV, lalu beralih pada dompet yang ia letakkan di lemari pakaian bagian atas. Ia menyadari jika dua benda penting itu kini tak satupun ia bawa. 

Tanpa benda itu ia merasakan langkahnya semakin tak terarah.

Terniat ingin kembali, sekedar mengambil benda penting itu. Namun, ia kembali mengurungkan niatnya. Kembali bertemu Akbar hanya akan membuat hatinya akan semakin luka. 

Hilangnya kepercayaan di hati laki-laki itu terhadapnya, membuat Rumi tak ingin terlihat seperti pengemis yang mengharapkan belas kasih mantan suaminya itu. 

Jika saja Akbar tak mengusirnya malam ini, Rumi akan memilih tetap tinggal sampai Akbar sedikit lebih sabar dan bisa memutuskan semuanya dengan kepala dingin. Namun, semua berbeda ketika Akbar mengusirnya dengan tanpa rasa iba. 

Cukup lama ia mematung di sisi jalan. Memikirkan ke mana kakinya akan melangkah. Rumi ingin pergi sejauh mungkin dari kehidupan Akbar, hingga seumur hidup ia tak pernah lagi bertemu mantan suaminya itu. 

"Mau ke mana, Dek?" tanya seorang laki-laki bertampang sangar yang kini duduk di atas motor,  di parkiran sebuah ruko yang sudah tutup. Rumi bergidik ngeri, sedetik setelahnya segera berlalu. Ia melangkah tak tentu arah sambil menenteng tas berisi pakaian seadanya, yang terpenting sekarang adalah terbebas dari tatapan menyeringai laki-laki itu. 

Rintik hujan kini berubah menjadi tetesan-tetesan berukuran besar, hingga menciptakan suara yang  memekakkan telinga. Rumi menghambur ke teras salah satu ruko yang sudah tertutup di sisi jalan, berlindung agar tak basah. Di sampingnya terdapat sebuah apotik yang masih terbuka. 

Bermenit-menit menunggu, hujan tak kunjung reda. Namun, malam kian berjalan ke tengah, membuat Rumi tak bisa berdiam diri di tempat ini. 

Baru saja ia akan melangkah, ketika suara yang sama kembali terdengar dari arah belakang. 

"Mau ke mana, Cantik?"

Laki-laki yang tadi ternyata masih mengikutinya hingga sekarang dengan menggunakan motor. 

Rumi menoleh dengan tubuh menggigil, dingin malam di bawah guyuran hujan kini menyatu dengan rasa takut yang luar biasa. 

Rumi berusaha menghindar dengan berjalan setengah berlari untuk menjauh, tatapannya fokus ke depan dengan napas memburu.

Suara langkah kaki terus mengejarnya, menambah rasa takut yang sedari tadi menyiksanya. 

Baru beberapa meter melangkah, dengan cepat tubuh Rumi ditarik ke belakang. Sedang sebelah tangan kekar membekap mulutnya dengan kuat. 

Tenaga yang kian terkuras karena lelah dan takut, membuat Rumi tak mampu memberikan perlawanan berarti. Berjam-jam menghabiskan tenaga dengan berjalan kaki membuat tubuhnya kian lemah. 

Susah payah Rumi melakukan perlawanan ketika tubuhnya diseret memasuki sebuah lorong kecil. Namun, hasilnya ia semakin kehabisan tenaga. 

Buk! Buk! 

Entah dari mana suara itu berasal, yang pasti Rumi tak merasakan tubuhnya membentur sesuatu. Yang ia rasakan bekapan di mulutnya terlepas, serta cekalan tangan kekar itu melonggar. 

Pukulan tangan di bagian tengkuk, membuat laki-laki itu terjengkang. Pegangan tangannya pada lengan Rumi ikut terlepas. Dalam hitungan detik kemudian pingsan. Rumi terjerembab ke tanah. 

Rumi berusaha bangkit untuk duduk dengan sisa tenaga yang ia punya. Melihat ke arah sosok laki-laki yang kini berdiri di bawah sinar temaram lampu jalanan. 

"Pergi dari sini!" seru laki-laki bertubuh jangkung itu pada Rumi.

Susah payah Rumi bangkit. Tubuhnya kian gemetar karena dingin dan takut yang menguasai dalam waktu bersamaan. Ia beringsut meraih tasnya. 

Dalam keremangan sinar temaram, serta rinai hujan yang terus turun, Rumi berusaha mencari tahu seperti apa wajah laki-laki itu. Terlalu gelap hingga hanya bentuk hidung lancip dengan tubuh tinggi saja yang dapat ia tangkap. 

"Terima kasih," lirihnya dengan suara bergetar. Air matanya kembali tumpah. Ia tak tahu seperti apa bentuk wajah laki-laki itu. Yang ia tahu, ia tak ubah bak seorang malaikat penolong. Tanpa kehadirannya, Rumi  tak tahu akan seperti apa sekarang, mungkin saat ini sedang menjadi pemuas nafsu laki-laki bajingan itu dan setelahnya ia akan dibuang, atau mungkin akan dilenyapkan. 

"Jangan keluyuran di malam buta seperti ini, banyak mata laki-laki bajingan yang tengah mengintai," ucap laki-laki itu sambil berbalik dan melangkah pergi. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g sekalian aja kau mati rumi. kayak dilahirkan g punya otak kau
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status