Apa yang kau rasakan ketika kesalahpahaman memisahkanmu dari orang yang kau cintai? Itu pula yang Akbar rasakan. Ia harus menelan sesal ketika tahu jika istrinya yang berselingkuh hanyalah korban fitnah. Cinta yang begitu besar membuat hatinya patah. Lebih lagi ketika ia kembali dipertemukan dengan Rumi—mantan istrinya, namun Rumi selalu menghindar karena luka hati sebab kata talak. Mampukah Akbar meyakinkan Rumi untuk rujuk? Ataukah Rumi lebih memilih untuk tetap tinggal pada hati lain yang tulus mencintainya?
View More"Bangun kau, Bajingan!"
Bentakan suara bariton membuat wanita itu menggeliat, perlahan ia membuka matanya. Betapa terkejutnya Harumi ketika mendapati pemandangan sang suami, Akbar, tengah memukuli pria asing. Lebih mengejutkan lagi, pria asing tersebut berada dalam kondisi setengah telanjang, sementara tubuh Harumi sendiri tak jauh berbeda. "Ada apa ini?" Harumi memekik ketika mendapati tubuh polosnya di bawah selimut. Ia mengeratkan pelukannya pada selimut dengan degup jantung berlompatan. "Katakan apa yang sudah kalian lakukan di sini?!" Suara bentakan Akbar membuat Harumi menggigil ketakutan. Kepalanya sibuk menerka apa yang sudah terjadi. Laki-laki asing bertelanjang dada serta mengenakan bawahan di atas lutut itu hanya tersenyum menyeringai. Buk! Buk! Buk! Hantaman demi hantaman dari kepalan tangan Akbar mengenai tubuh laki-laki itu, membuat tubuh kurus berambut ikal itu tersurut. Beberapa saat ia meringis menahan nyeri, namun ia seolah tak memiliki niat untuk membalas pukulan Akbar. Harumi menggelengkan kepala berulang kali, melihat Akbar meluahkan amarahnya membuat ia ketakutan. Air matanya seketika berjejalan ke luar saat kalimat dari bibir laki-laki asing itu menembus gendang telinganya. "Kami saling mencintai," ucapnya sambil mengelap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah segar dengan ujung-ujung jari. Entah dari mana kekuatan pada diri Harumi muncul, kini ia bangkit dan dengan cepat mengenakan pakaiannya yang sedari tadi terkapar di lantai. Air matanya tak henti mengucur karena rasa takut bercampur getir membuncah di dalam dada. "Bohong! Aku sama sekali tidak mengenalmu!" teriak Rumi, membuat Akbar serta laki-laki asing itu menoleh seketika. Sedari tadi keduanya tak menyadari jika Rumi sudah sadar dari tidurnya Akbar tersenyum sinis. Ia memindai tubuh istrinya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kau tak perlu memainkan drama di sini, karena sekarang aku tau siapa kamu," ujar Akbar membuat hati Rumi seketika hancur. Kalimat yang diucapkan dengan nada merendahkan itu berhasil merobek dinding hatinya. Rumi menghambur lalu bersimpuh di kaki Akbar, namun dengan cepat Akbar menjauh agar tangan Rumi tak bisa menyentuhnya. "Aku tak sudi disentuh tangan perempuan pengkhianat! Aku bekerja keras demi membahagiakanmu, tapi apa yang kau lakukan? Kau membawa laki-laki lain ke rumah ini saat aku dan Mama tidak ada di rumah!" Untuk keduakalinya hati Rumi berkeping oleh kalimat laki-laki tercintanya. Bahkan kali ini terasa lebih hancur. Beberapa detik Rumi terdiam. Air matanya kian bersesakkan ke luar, membuat dadanya kian sesak. "Kumohon percayalah padaku, Bang. A—aku sama sekali tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ta—tadi Dara mengirim makanan, setelah makan makanan itu aku merasa ngantuk dan akhirnya tidur. Aku nggak tau apa yang terjadi detelahnya, dan tiba-tiba terbangun karena suara Abang marah-marah." Rumi berusaha menjelaskan dengan napas tersengal. Akbar berjongkok, kini antara wajahnya dan wajah Rumi tampak sejajar, hanya terpisah ruang kosong kurang dari setengah meter. "Maksudmu kamu mau memfitnah Dara adikku, hah?!" desis Akbar sinis. Rumi menggeleng cepat dengan wajah bersimbah air mata. "Bukan—bukan begitu, a—aku hanya menjelaskan—" "Menjelaskan jika kau sudah mengotori kamar ini dengan keringat laki-laki lain?" Rumi merasakan dadanya kian sesak, lidahnyapun ikut kelu. Ia seolah kehabisan kalimat untuk membuktikan semuanya setelah deretan fitnah yang dilayangkan Akbar untuknya. Sedang laki-laki asing itu kini sibuk mengenakan pakaiannya. Rumi sangat paham jika Dara tak mungkin berbuat buruk padanya setelah apa yang mereka lalui selama ini. Ya, Dara selalu bersikap baik padanya, pun dengan Astuti—ibu mertuanya. Dua orang terdekat Akbar itu tak pernah menampakkan sikap tak sukanya pada Rumi. "Aku sungguh tak tahu kenapa semua bisa jadi begini. Demi Allah, aku tak pernah mengajak laki-laki itu untuk datang, bahkan aku sama sekali tidak mengenalinya," ucap Rumi di sela isak tangis pilu. Akbar kembali berdiri, ia berjalan lalu duduk di sisi tempat tidur. Menghadap sisi kanan tubuh Rumi. "Itu adalah alasan klasik ketika seseorang ketahuan berselingkuh." Kali ini kalimat Akbar terdengar santai, namun penuh penekanan. Rumi menggeleng pelan. Matanya terpejam dengan tangan kanan mencengkeram kuat dadanya. "Demi Allah, aku tak melakukannya," rintihnya dengan putus asa. "Jangan pernah membawa sumpah untuk menutupi keburukanmu. Dan kau bajingan! Pergi detik ini juga jika kau tak ingin nyawamu berakhir di tempat ini!" Rumi lagi-lagi menggigil ketakutan ketika bentakan keluar dari bibir Akbar. Mata laki-laki itu memerah, menatap nanar ke arah laki-laki asing itu. Tanpa menunggu lebih lama laki-laki itu melangkah pergi dengan langkah ringan. Tak tampak sesal ataupun takut pada raut wajah yang menampakkan lebam di beberapa sisi. Kini yang tersisa hanyalah Akbar dan Rumi bersama rasa yang bercampur aduk. Marah, benci, jijik, juga canggung. Beberapa menit berlalu setelah kepergian laki-laki itu keduanya hanya diam. Hanya isak-isakan kecil yang masih terdengar dari bibir Rumi. Ia ingin menyesali semuanya, tapi ia sendiri tak tahu apa yang harus ia sesali, mengingat ia sendiri tak pernah melakukannya. "Pergilah! Rumah ini tak bisa lagi menampungmu. Mulai detik ini kamu bukan lagi istriku!" ucap laki-laki itu dengan suara tercekat di tenggorokan. Istri yang selama ini ia puja, kini tak lebih seperti seorang pelacur di matanya. Hati Rumi kembali tercabik. Ia sangat paham makna kalimat yang baru saja meluncur dari bibir Akbar. Kalimat yang mampu mengubah status halal menjadi haram, kalimat yang sukses membangun benteng antara mereka berdua. Rumi mendongakkan kepala. Mengusap kasar air mata yang masih terus memaksa untuk ke luar. Ia sadar jika kini air matanya tak lagi berfungsi untuk meluluhkan hati Akbar. "Kumohon, biarkan aku untuk tetap di sini hingga amarah Abang mereda dan kita bisa memperbaiki semuanya," ucap Rumi dengan nada memohon. "Pergilah, kehadiranmu di sini hanya akan membuatku tambah membencimu!" ujar Akbar dengan dada kembang-kempis. Rumi menggeleng cepat. Tangannya mengusap kasar wajah basahnya. "Aku bersumpah atas nama Allah, tak pernah ada nama laki-laki mana pun di hati ini selama kita menikah. Dan aku bersumpah, peristiwa malam ini tak ada sedikitpun andilku!" Rumi menjeda kalimatnya. Ia tengah berusaha mengurai sesak yang tak kunjung mereda, meski hasilnya kian sesak. "Aku meyakini jika ada dalang di balik semua ini. Aku meyakini jika semuanya akan terbongkar dengan bantuan tangan Tuhan." Akbar bergeming, hingga akhirnya Rumi memilih berjalan ke arah lemari di mana tempat ia menyimpan barang-barang miliknya, lalu mulai membereskan pakaiannya, memasukkannya ke dalam tas lusuh yang enam bulan lalu dibawanya datang ke rumah ini. "Ridhoi semua salahku, baik disengaja ataupun tidak selama ini. Aku pergi. Jaga diri Abang baik-baik. Aku hanya berharap agar rasa di hati ini segera runtuh bersama langkah kakiku keluar dari rumah ini." Rumi terdiam setelah kalimat terakhirnya, beberapa detik kemudian melangkah ke luar. Tak ingin lebih lama lagi menikmati luka yang kian berdenyut nyeri. Tak ada lagi salam perpisahan meski hanya berupa kecupan singkat di keningnya. Rumi sadar, jika saat ini Akbar bukan lagi miliknya. Akbar mematung dengan kepala kian tertunduk. Kalimat Rumi barusan mampu menciptakan kaca-kaca di mata laki-laki itu, namun segera ditepis oleh amarah yang masih tersisa. Kini langkah itu terhenti di pagar rumah bertingkat itu. Rumi berbalik, menatap lekat bangunan penuh kenangan manis di hadapannya. Terbayang saat-saat Akbar dengan senang hati membantunya merawat tanaman hias di taman samping. Hatinya kembali berdenyut nyeri ketika menyadari ada sesuatu yang kini tumbuh dalam rahimnya. Sesuatu yang selalu ditunggu oleh pasangan suami istri seperti mereka. Sesuatu yang baru kemarin siang ia ketahui kehadirannya. Ya, Rumi tengah mengandung darah daging Akbar. Bayangan sambutan dengan penuh suka cita akan kejutan Rumi kini musnah tak bersisa. Hanya ada kebencian dalam tatapan muak sang suami. "Tetaplah tumbuh dengan baik, Nak. Percayalah, kau akan baik-baik saja. Mama berjanji akan menjagamu semampu Mama. Yakinlah kita bisa menghadapi apapun yang akan terjadi di depan sana." Air mata Rumi kembali tumpah, seiring tangan yang kini mengusap perutnya yang masih rata. Bersambung ....Bergegas Rumi meneguk minumannya. Jujur saja, kalimat Firdaus barusan mampu membuatnya tersentak. Hati Rumi tergelitik untuk bertanya, apa yang diketahui laki-laki itu tentangnya lewat Mbok Sumi, hanya saja ia terlalu sungkan, hingga akhirnya Firdaus kembali bersuara. "Jangan banyak pikiran, supaya bayimu sehat. Jangan khawatirkan tentang tempat tinggal dan kehidupanmu selanjutnya. Jika kau bersedia, tetaplah tinggal di rumah itu dan menganggap Asya seperti anak kandungmu sendiri, meski kelak setelah kamu memiliki anak dari rahimmu sendiri." Suara Firdaus terdengar sedikit serak. Hatinya berdesir hebat setiap berada di dekat Rumi, meski sebenarnya jarak pemisah antara mereka berneter-meter. "Kurasa tidak terlalu baik jika kamu memilih untuk tinggal sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Lebih lagi aku tak tega melihat Asya kembali p atah hati untuk kesekian kalinya." Rumi hanya membeku. Tatapannya jatuh pada jemari yang melingkar di pinggang botol plastik di tangannya. Fird
"Apa maksudmu?" Firdaus bertanya dengan kepala setengah tertunduk. Rumi tak langsung menjawab, memilih diam beberapa saat. "Beristirahatlah di rumah, Pak. Bapak sudah sangat lelah setelah seharian bekerja, lebih lagi dalam keadaan berpuasa." Rumi berucap sepelan mungkin, berharap kalimatnya tak menyinggung perasaan Firdaus. Firdaus terdengar mendesah pelan. "Tolong jangan memintaku untuk pulang malam ini. Keadaanmu masih belum pulih, dan di sini tak ada siapapun yang menemanimu." Firdaus berucap dengan tatapan luruh di atas lantai berkeramik senada dengan warna dinding ruangan. "Maaf sebelumnya jika perkataanku membuat Bapak tak nyaman, tapi inilah adanya, kita adalah dua orang asing yang tak seharusnya berada dalam ruangan yang sama sepanjang malam, ucap Rumi dengan kepala kian tertunduk. Jujur lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kalimat barusan, hanya saja hatinya mengatakan jika ia harus berani. "Jika memang kamu keberatan aku berada di sini, aku akan tidur di mushola
Suasana canggung di ruang rawat Rumi terus saja terasa semenjak pertemuan Asya dan Firdaus sejak satu jam lalu. Bahkan hingga kini, saat Firdaus mengajak Asya untuk kembali ke rumah, gadis kecil itu kembali melayangkan protesnya terhadap sang ayah. "Abi kenapa pulang? Terus siapa yang nungguin Ummi di sini kalau Abi pulang sekarang?" Asya menatap ke arah Firdaus dengan mata menyipit, merasa tak terima dengan ajakan sang ayah. Firdaus berjongkok di depan sang anak, dua tangannya menyentuh bahu Asya pelan. "Sayang, Abi butuh istirahat karena besok harus kerja. Ummi di sini sama Mbok Sumi. Asya juga besok harus sekolah, jadi sekarang kita pulang dulu, ya. Kan, besok sepulang sekolah masih bisa jenguk Ummi ke sini." Firdaus berusaha membujuk sang anak, meski hasilnya masih sama. "Nggak mau, Asya mau nemenin Ummi di sini. Asya nggak mau nanti Ummi pergi lagi." Asya mengerucutkan bibirnya, kali ini matanya tampak berkaca-kaca dengan kedua tangan saling meremas satu sama lain. Fird
Penunjuk waktu di dinding kamar bercat putih itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Rumi perlahan membuka matanya. Ia baru saja sadar dari pingsannya. Spontan tangan Rumi mengusap lembut perutnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan. Ruangan yang tampak tak biasa menurutnya. Kini tatapan mata Rumi terhenti pada laki-laki yang tengah duduk di samping nakas, laki-laki yang kini fokus ke layar ponsel di tangannya. Rumi merasakan lidahnya kelu untuk sekedar menyapa, hingga akhirnya ia lebih memilih berusaha bangkit meski dengan selang infus di tangan serta tubuh lemasnya. "Kamu sudah bangun?" Firdaus segera mematikan ponselnya ketika sadar Rumi tengah susah payah untuk duduk, meski ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Rumi hanya menjawab dengan senyum kecut. Jujur, ia tak nyaman karena terus merasa merepotkan Firdaus. "Istirahat aja dulu. Sebentar lagi Asya akan datang," lanjut Firdaus sambil mendekatkan kursinya ke ranja
Rumi masih berkutat dengan pekerjaannya ketika ponsel berdering. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. "Assalamualaikum," ucapnya santun, terlebih setelah tahu siapa sang penelepon. "Maaf, siang ini saya banyak kerjaan, jika tidak keberatan nanti sore sepulang kantor saya tunggu di ruang kerja saya," ucap laki-laki dari seberang sana dengan suara pelan. Siapa lagi kalau bukan Firdaus, laki-laki yang akhir-akhir ini menunjukkan perhatiannya pada Rumi. "Baik, Pak," jawab rumit singkat. Ritme jantungnya berubah cepat setelah menerima telepon dari laki-laki itu. Bukan cinta, melainkan rasa kagum sekaligus hormat. Rumi cukup paham pembicaraan seperti apa yang dimaksud Firdaus. Apalagi kalau bukan tentang dirinya yang tengah berbadan dua, dan tentunya Asya juga. Ketakutan selalu hadir di hatinya ketika berbicara tentang masa depannya. Ia khawatir antara Asya dan calon buah hatinya salah satunya akan ada yang terabaikan. Dan Rumi tak ingin itu terjadi. * Sepanjang siang hingg
Rumi hanya mematung di tempatnya berdiri. Tak bisa menjawab apa-apa selain diam dengan suasana hati mengharu biru. Tak tahu lagi kalimat seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Akbar maupun keluarganya. Perlakuan mereka persis bak malaikat penolong bagi Rumi. Melihat Rumi hanya diam, Akbar akhirnya kembali ke mobil dan mengambil plastik pembungkus barang belanjaan yang dibeli di minimarket bersama Asya tadi. "Ini. Jangan lupa diminum," ucap Akbar dengan nada pelan. Sejujurnya ia ingin berbicara dengan bahasa lebih akrab lagi, hanya saja sikap Rumi yang selalu menjaga jarak membuatnya sadar tentang kedudukannya di hati perempuan itu. "Terima kasih," ucap Rumi akhirnya. Ia meraih pemberian Akbar lalu membawanya masuk rumah tanpa berkata-kata. * Dua bulan berlalu kepergian Rumi dari rumah Akbar. Namun, ingatannya tentang Akbar masih begitu lekat di kepala. Kerap kali ia berusaha mengenyahkan kenangan tentang mantan suaminya itu, sayangnya, hati kecilnya tak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments