Share

Memohon

Rumi bangkit dengan susah payah, dengan terseok-seok ia berusaha menyusul langkah laki-laki itu. Tas pakaian berukuran tidak terlalu besar di tangannya kini terasa begitu berat. 

"Bisakah kau menolongku?" tanya Rumi dengan suara bergetar. Kaki lemahnya terus melangkah meski sesekali ia hampir saja terjatuh. 

Rumi mengabaikan rasa malu yang biasa melekat pada dirinya. Untuk kali ini ia terlalu berani untuk melakukannya, karena merasa hanya laki-laki itu yang bisa ia harapkan. 

Laki-laki itu berbalik. Keduanya kini sudah berada di muka gang sempit, di samping mereka ruko-ruko berjejeran dan sudah tutup, satu-satunya yang tersisa hanya apotik yang buka 24 jam. 

"Bukankah tadi saya sudah menolongmu?" tanyanya dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana. 

Rumi menunduk dalam ketika menemukan penolakan dari kalimat yang baru saja menembus gendang telinga. Namun, sesaat kemudian ia kembali mengangkat wajah, mengumpulkan keberanian untuk mengabaikan rasa malu dan tak nyaman di hatinya. 

"Saya mohon, tolong saya untuk malam ini saja," ucap Rumi dengan kedua tangan menangkup di dada. Air matanya kembali mengurai seiring harap yang begitu besar ia tumpahkan. 

Laki-laki itu hanya diam dengan tatapan lurus ke arah Rumi. Tak tampak rasa iba pada sorot matanya. Yang ada hanya tatapan datar dengan bibir terkunci. 

Rumi merasakan keadaan serba salah. Sejujurnya ia merasa sedikit khawatir, mengingat ia sendiri tak kenal siapa laki-laki itu. Namun, setelah kejadian tadi ia meyakinkan hatinya jika laki-laki itu memiliki rasa tulus di hatinya. 

"Bisakah kau mengantarkanku?" Rumi kembali memberanikan diri. Tak ia pedulikan akan seperti apa pikiran laki-laki itu terhadapnya, karena yang terpenting adalah bagaimana agar dirinya bisa terbebas dari malam menakutkan ini. 

Laki-laki itu hanya diam, tapi kali ini langkahnya mendekat, memangkas jarak antara dirinya dan Rumi. Tubuh jangkungnya membuat Rumi merasa tinggi badannya yang mencapai 160 sentimeter terlalu pendek. 

"Aku tak tahu harus ke mana," ucap Rumi dengan nada lirih hampir tak terdengar.

Beberapa saat ia memindai wajah Rumi dengan tatapan lekat, lalu berubah sendu, membuat Rumi tertunduk dalam. Namun, setelahnya ia mengusap kasar wajahnya. 

Laki-laki itu kembali berbalik, lalu melangkah pergi tanpa peduli dengan apa yang baru saja Rumi katakan. Rumi sama sekali tak paham sikap aneh yang ditunjukkannya. 

Setelah berada di halaman deretan ruko, ia melangkah masuk ke apotek tanpa menoleh pada Rumi. Tangannya sibuk mengibas sisa-sisa air hujan yang tadi sempat membasahi rambut hingga kemejanya. 

Rumi memaksa melangkah. Ia bukan pengemis yang akan bersujud memohon belas kasih dari orang yang tak berniat mengasihinya. Ia berjalan menerobos hujan lebat berharap kakinya masih kuat melangkah menuju rumah Linda yang masih berjarak lebih dari 5 km di depan sana. 

"Tetap kuat, Sayang, percayalah, setelah ini semua akan baik-baik saja."

Air matanya kembali berlinang ketika tangannya meraba perutnya. Air mata yang tumpah kini bercampur dengan rinai hujan yang membasahi wajah. 

Derasnya curahan air yang turun dari langit, serta desau angin dingin di malam buta kali ini membuat tubuh Rumi kian menggigil. Namun, tak ada pilihan lain selain terus melangkah, memangkas jarak untuk bisa sampai di rumah sahabatnya itu. 

Langkahnya kian tertatih. Tenaga yang kian terkuras membuatnya berulang kali harus berhenti sebentar di bawah guyuran hujan. Lalu kembali melangkah sambil memeluk tas pakaiannya, berharap air hujan tak membasahi lembaran-lembaran kain di dalam sana. 

Selangkah demi selangkah ia seret untuk menjauh, hingga akhirnya sisa tenaganya tak mampu lagi menopang tubuhnya. Kakinya melemas, pandangannya berubah gelap dan detik selanjutnya tubuhnya roboh bersama rinai hujan yang tak kunjung memelan. 

*

Pagi menyapa. Sinar matahari pagi menembus gorden kamar ketika seorang perempuan setengah baya membukanya. Rumi mengerjap perlahan, kepalanya terasa berdenyut nyeri. 

Ia tersadar ada yang berbeda. Ya, kamar ini bukanlah kamar yang biasa ia tempati saat di rumah Akbar, maupun di rumah peninggalan orang tuanya. 

Perlahan ia menyibak selimut tebal yang membungkus tubuhnya. Tatapan Rumi berpindah pada pakaian yang kini ia kenakan. Pakaian yang sama sekali tidak ia kenakan yang terdiri dari sebuah sweater tebal yang membungkus piyama. 

"Syukurlah kamu sudah sadar," ucap perempuan paruh baya dengan rambut disanggul yang kini berjalan mendekat. 

Rumi membeku dengan tatapan lurus nan kosong. Satu per satu kejadian menguras air mata tadi malam kembali berputar di kepalanya. Wajah Akbar kembali membuat hatinya meringis nyeri. Namun, sedetik kemudian rahangnya mengeras, manakala ingatannya tertuju pada wajah bajingan yang telah menidurinya membuat kehormatannya terasa tercabik. 

"Kamu baik-baik saja?" Pertanyaan dari perempuan bertubuh berisi itu kembali menyadarkan Rumi. 

"Saya di mana?" tanyanya dengan bibir bergetar. Ia tak tahu akan seperti apa kehidupan yang tengah menunggunya di depan sana. Pun tak tahu akan butuh waktu berapa lama baginya untuk menyembuhkan lukanya. 

"Ini rumah Tuan Firdaus. Semalam Tuan menemukan kamu pingsan di pinggir jalan," jawab perempuan itu santun. 

Hati Rumi berdesir. Ia kembali teringat laki-laki jangkung yang sempat menjadi malaikat penolongnya semalam. 

'Bukankah ia menolak untuk menolongku?' Hatinya berbisik. Namun, sedetik kemudian ia mengabaikannya. Yang terpenting sekarang adalah dirinya selamat, dan laki-laki itulah yang telah menjadi penyelamat baginya. 

"Bisakah saya bertemu dengannya?" tanya Rumi  penuh harap. Ia hanya ingin mengutarakan rasa terima kasih yang begitu besar.

"Tuan sejak tadi sudah berangkat ke kantor. Sebelum berangkat Tuan menitipkan pesan agar saya menjaga Nona sampai benar-benar pulih," jawab perempuan dengan rambut digelung itu. "Sekarang makanlah, nanti kalau sudah enakan boleh berjalan-jalan keliling  rumah kalau bosen di kamar." Perempuan itu berlalu pergi setelahnya. 

Perut yang terasa sangat lapar membuat Rumi bergegas meraih mangkuk bubur ayam yang sedari tadi menguar aroma menggoda. Dengan tangan bergetar suapan demi suapan bubur masuk ke mulutnya. 

Bubur di mangkuk hanya tersisa separuh, ketika pintu diketuk dari luar. 

"Masuk!" ujar Rumi dengan suara serak. Ia pun segera meneguk air dalam gelas di atas nakas. 

Seorang bocah berusia sekitar empat tahun menyembul dari balik pintu. Lalu menatap lekat pada Rumi dengan tangan masih bergelayut pada gagang pintu. 

Wajah mungil itu membeku tanpa ekspresi. Hanya mata bulatnya yang sesekali mengerjap saat menatap Rumi. 

Senyum Rumi seketika merekah. Diletakkannya kembali mangkuk bubur ke atas nakas. 

"Anak cantik mau masuk?" tanya Rumi dengan senyum lembut. Ia meyakini jika gadis cantik itu adalah putri si empunya rumah besar yang kini ia tumpangi. 

Tak ada jawaban. Anak perempuan itu terus menelisik wajah Rumi dalam diam. 

"Sini," ucap Rumi. Kedua tangannya terbuka ke arah bocah itu. 

Mata bulat itu mengerjap lebih cepat, tak lama setelahnya berubah berkaca-kaca. 

"Ummi ...," ucapnya dengan suara bergetar disusul tangis pecah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status