Share

Takut Kehilangan

"Mbok Sumi kenapa nangis, Mbok?" tanya Asya dengan muka muram. 

Perempuan paruh baya itu berjongkok, memeluk erat tubuh Asya, sedang tangan Asya menggenggam erat tangan Rumi.

"Syukurlah, Non, Ummi akhirnya kembali. Jadi anak baik, ya, biar Ummi makin sayang," bisik Mbok Sumi dengan air mata kian deras. 

Rumi semakin tak paham. Namun, ia berusaha menerka apa yang sebenarnya terjadi. 

Mbok Sumi melerai pelukannya, bibirnya tersenyum lembut pada Asya, lalu melirik ke arah Rumi dengan wajah penuh harap. 

"Kenapa Ummi baliknya lama? Asya pasti kangen banget sama Ummi. Iya, kan, Sya?" tanya Mbok Sumi seraya menatap Rumi lekat.  

Asya mengangguk cepat sambil mengusap sisa air matanya yang terasa menggelitik wajah dengan sebelah tangannya. 

"Baiklah, sekarang mau ajak Ummi ke mana?" tanya Mbok Sumi sambil melempar senyum ke arah Asya. 

"Mau ajak Ummi buat ambil buku cerita di kamar Asya," jawabnya dengan binar bahagia. 

"Ya, sudah. Mbok mau beresin peralatan makan Ummi dulu, Nak. Asya baik-baik, ya, sama Ummi." 

Mbok Sumi bangkit lalu masuk ke kamar. Sedang Asya dan Rumi melangkah ke kamar Asya. 

Keduanya berjalan melewati ruang keluarga. Rumah besar bercat didominasi warna putih itu nampak lengang. Rumi bahkan tak bertemu siapa-siapa sepanjang langkahnya mengikuti Asya ke kamarnya. 

Asya membawa Rumi menaiki anak tangga. Keduanya berhenti di depan pintu kamar. Dengan cekatan Asya memutar gagang pintu, menampakkan ruangan yang dipenuhi nuansa merah muda. 

Asya masuk sambil menggandeng tangan Rumi. Sejak tadi tak sedetik pun ia melepas pegangannya di tangan perempuan yang ia panggil ummi itu. 

"Ini buku-buku cerita kesukaan Asya, Ummi. Dan semua ini Abi yang belikan," ucap Asya dengan lidah cadelnya, sambil menunjuk susunan buku yang berjejer di atas meja belajar bergambar princess. 

Rumi berjalan mendekat, menyentuh deretan buku-buku cerita para sahabat Nabi, hingga tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam islam. Rumi menyimpulkan jika laki-laki yang Asya panggil Abi adalah laki-laki yang taat agama serta penyayang keluarga. 

"Terus, Asya mau Ummi bacakan cerita yang mana?" tanya Rumi dengan senyum lembut. 

Asya berpikir sejenak, lalu menarik satu buku yang ada di urutan terdepan yang berjudul "KISAH UWAIS AL QARNI".

"Ini, Ummi," ucapnya sambil mengangsurkan buku bergambar kartun dengan nuansa khas Negeri Padang Pasir itu. 

"Oke, siap. Sekarang kembali ke kamar Ummi, ya," ucap Rumi sambil meraih buku yang tadi diberikan Asya. 

"Di sini aja, Ummi. Asya pengen Ummi temenin Asya di kamar ini," ucapnya dengan tatapan penuh harap. 

"Ya, sudah. Sekarang Asya pengen Ummi duduk di mana?" tanya Rumi setelah berpikir sejenak. 

Asya kembali menarik tangan Runi, membawa perempuan itu ke arah ranjangnya. 

"Ummi duduk di sini," ucapnya memberi arahan. 

Rumi hanya tersenyum kecil, lalu menuruti kemauan gadis kecil itu. Ia duduk di atas ranjang dengan sprei berwarna biru muda itu. 

Tanpa Rumi minta, Asya naik ke tempat tidur, lalu membaringkan kepalanya di pangkuan Rumi. 

Dapat ia rasakan betapa kini dirinya bak pemeran sebuah film yang harus menjalani skenario yang sebelumnya belum pernah ia pelajari. Namun, nalurinya seolah terus menuntun apa yang harus ia lakukan. 

"Ummi mulai, ya," ucap bernada tanya dari bibir Rumi. 

"Iya, Ummi," jawab Asya sambil menatap wajah Rumi dengan berbaring terlentang. 

Rumi mulai membaca cerita dari buku yang ia letakkan di samping Asya. Ia sengaja membiarkan Asya bebas menatap wajahnya. Menit demi menit mereka lalui dalam suasana menenangkan. Tak terasa jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. 

Sebelah tangan Rumi pelan membelai rambut lembut Asya, hingga mata Asya perlahan tertutup. Ia terlelap bersama kantuk yang menderanya. 

Rumi menutup buku ketiga yang ia baca untuk Asya. Menatap lekat wajah cantik itu. Hidung mancung serta dagu lancip membuat wajah Asya nampak sempurna. 

"Sudah tidur?" tanya sebuah suara serupa bisikan. 

Rumi seketika mendongak ke arah pintu masuk. Mbok Sumi melangkah mendekat. Lalu duduk di ranjang tepat di ujung kaki Asya. 

"Sudah, Mbok, sekitar sepuluh menit yag lalu," jawab Rumi setengah berbisik. 

Detik selanjutnya perempuan paruh baya itu menatap lekat ke arahnya, membuat Rumu mengalihkan pandangan pada Asya karena merasa tak nyaman. 

"Kehadiranmu membuat Asya teringat almarhumah umminya," ucap Mbok Sumi dengan wajah sendu. 

Rumi mengangkat wajah. Mengetahui bahwa perempuan yang Asya sebut 'Ummi' itu sudah meninggal, membuat hati Rumi berdesir hebat. 

"Setelah umminya meninggal Asya sering menangis. Ia bahkan sempat sakit karena rindu. Asya tak tahu apa itu meninggal, yang ia tahu hanyalah, umminya pergi sementara dan akan kembalinsuatu saat kelak," lanjut Mbok Sumi dengan nada sendu. 

Mbok Sumi bercerita dengan mata berkaca-kaca. Masih pekat di ingatannya bagaimana pilunya tangis gadis kecil itu setahun lalu. Bahkan baju sang ibu terus menjadi peneman tidurnya hingga kini. 

"Lalu, apa yang membuat Asya menganggapku adalah umminya?" tanya Rumi tak mengerti. 

Mbok Sumi kembali menghela napas panjang. 

"Aku juga sempat tak percaya ketika semalam Tuan membawamu ke sini. Kamu sangat mirip dengan almarhumah. Bahkan gaya berpakaian hingga warna pakaian yang tengah kamu kenakan, adalah gaya berpakaian dan warna kesukaan almarhumah. Dan mungkin setelah ini saya harus memanggilmu Nyonya juga, persis seperti panggilan saya pada almarhumah, supaya Non Asya tak bertanya-tanya."

Rumi menunduk, menatap pakaian yang sejujurnya ia sangat ingat baju mana yang tengah ia pakai semalam, gamis hitam lebar dengan garis coklat tua lurus dari tengah dada hingga ke ujung, serta jilbab lebar berwarna hitam pekat. 

Entah ke mana baju itu dan entah siapa yang menggantikannya semalam. Rumi tak sempat memikirkannya sekarang. 

"Lihatlah di sana, itu adalah foto almarhumah sekeluarga," ucap Mbok sumi. Telunjuknya teracung ke arah sebuah figura di atas nakas. 

Sesaat Mbok Sumi bangkit, meraih figura foto yang ia maksud, lalu menyerahkannya pada Rumi. 

Mata dengan bulu-bulu lentik itu membulat. Betapa tidak, perempuan yang ada dalam figura itu memang mirip dengannya, yang membedakannya hanyalah, bentuk alis juga ukuran mata. Perempuan dalam foto itu memiliki alis sedikit lebih melengkung dibandingkan dirinya, serta mata yang sedikit lebih kecil, sedang mata Rumi terlihat lebih bulat. 

"Kasihan Asya," gumam Rumi. Namun mampu ditangkap oleh telinga Mbok Sumi. 

"Begitulah. Mbok nggak tau bagaimana nanti jika kau sudah pergi dari sini," ucap Mbok Sumi dengan suara lirih. Hatinya bertambah nyeri kala membayangkan akan seperti apa patah hatinya Asya ketika Rumi pergi. 

Rumi bungkam, tak ada kalimat yang pantas menjadi jawaban. Ia tak ingin mengecewakan Asya, tapi ia pun tak mungkin menghabiskan waktu di tempat asing ini. 

Terdengar helaan napas panjang dari bibir Mbok Sumi. 

"Sudahlah, sekarang lebih baik kamu mandi dulu, biar Mbok yang nemenin Asya. Setelah itu makan dulu, baru kembali ke sini," ucap perempuan itu begitu peduli. 

Rumi menikmati kasih sayang Allah terhadapnya. Ternyata di kota besar seperti ini masih tersisa orang baik. 

Perlahan Rumi menaruh kepala Asya di atas bantal. Lalu bangkit perlahan agar gerakan tubuhnya tak membangunkan Asya. 

*

Rumi menikmati makan siang di meja makan setelah selesai mandi dan mengqadha shalat subuh. Sejak tadi pagi ia bahkan belum mandi.  

Suapan demi suapan membuat nasi di piring Rumi tandas. Baru saja ia hendak bangkit setelah meneguk air putih dari gelasnya, Asya berlari lalu menghambur ke pelukannya sambil menangis. Mbok Sumi mengekor dengan napas ngos-ngosan di belakangnya dengan wajah getir. 

Rumi kelimpungan, ia segera melepaskan piring kotor di tangannya ke atas meja. Mendekap tubuh mungil Asya. Bersamaan dengan itu, seorang perempuan tua mendekat sambil memutar roda kursi yang ia duduki. 

Tatapan mata renta itu terpaku pada Rumi dan Asya, menatap keduanya dengan mata berkaca-kaca. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status