Share

Takut Kehilangan

Penulis: Rizka Fhaqot
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-31 09:40:54

"Mbok Sumi kenapa nangis, Mbok?" tanya Asya dengan muka muram. 

Perempuan paruh baya itu berjongkok, memeluk erat tubuh Asya, sedang tangan Asya menggenggam erat tangan Rumi.

"Syukurlah, Non, Ummi akhirnya kembali. Jadi anak baik, ya, biar Ummi makin sayang," bisik Mbok Sumi dengan air mata kian deras. 

Rumi semakin tak paham. Namun, ia berusaha menerka apa yang sebenarnya terjadi. 

Mbok Sumi melerai pelukannya, bibirnya tersenyum lembut pada Asya, lalu melirik ke arah Rumi dengan wajah penuh harap. 

"Kenapa Ummi baliknya lama? Asya pasti kangen banget sama Ummi. Iya, kan, Sya?" tanya Mbok Sumi seraya menatap Rumi lekat.  

Asya mengangguk cepat sambil mengusap sisa air matanya yang terasa menggelitik wajah dengan sebelah tangannya. 

"Baiklah, sekarang mau ajak Ummi ke mana?" tanya Mbok Sumi sambil melempar senyum ke arah Asya. 

"Mau ajak Ummi buat ambil buku cerita di kamar Asya," jawabnya dengan binar bahagia. 

"Ya, sudah. Mbok mau beresin peralatan makan Ummi dulu, Nak. Asya baik-baik, ya, sama Ummi." 

Mbok Sumi bangkit lalu masuk ke kamar. Sedang Asya dan Rumi melangkah ke kamar Asya. 

Keduanya berjalan melewati ruang keluarga. Rumah besar bercat didominasi warna putih itu nampak lengang. Rumi bahkan tak bertemu siapa-siapa sepanjang langkahnya mengikuti Asya ke kamarnya. 

Asya membawa Rumi menaiki anak tangga. Keduanya berhenti di depan pintu kamar. Dengan cekatan Asya memutar gagang pintu, menampakkan ruangan yang dipenuhi nuansa merah muda. 

Asya masuk sambil menggandeng tangan Rumi. Sejak tadi tak sedetik pun ia melepas pegangannya di tangan perempuan yang ia panggil ummi itu. 

"Ini buku-buku cerita kesukaan Asya, Ummi. Dan semua ini Abi yang belikan," ucap Asya dengan lidah cadelnya, sambil menunjuk susunan buku yang berjejer di atas meja belajar bergambar princess. 

Rumi berjalan mendekat, menyentuh deretan buku-buku cerita para sahabat Nabi, hingga tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam islam. Rumi menyimpulkan jika laki-laki yang Asya panggil Abi adalah laki-laki yang taat agama serta penyayang keluarga. 

"Terus, Asya mau Ummi bacakan cerita yang mana?" tanya Rumi dengan senyum lembut. 

Asya berpikir sejenak, lalu menarik satu buku yang ada di urutan terdepan yang berjudul "KISAH UWAIS AL QARNI".

"Ini, Ummi," ucapnya sambil mengangsurkan buku bergambar kartun dengan nuansa khas Negeri Padang Pasir itu. 

"Oke, siap. Sekarang kembali ke kamar Ummi, ya," ucap Rumi sambil meraih buku yang tadi diberikan Asya. 

"Di sini aja, Ummi. Asya pengen Ummi temenin Asya di kamar ini," ucapnya dengan tatapan penuh harap. 

"Ya, sudah. Sekarang Asya pengen Ummi duduk di mana?" tanya Rumi setelah berpikir sejenak. 

Asya kembali menarik tangan Runi, membawa perempuan itu ke arah ranjangnya. 

"Ummi duduk di sini," ucapnya memberi arahan. 

Rumi hanya tersenyum kecil, lalu menuruti kemauan gadis kecil itu. Ia duduk di atas ranjang dengan sprei berwarna biru muda itu. 

Tanpa Rumi minta, Asya naik ke tempat tidur, lalu membaringkan kepalanya di pangkuan Rumi. 

Dapat ia rasakan betapa kini dirinya bak pemeran sebuah film yang harus menjalani skenario yang sebelumnya belum pernah ia pelajari. Namun, nalurinya seolah terus menuntun apa yang harus ia lakukan. 

"Ummi mulai, ya," ucap bernada tanya dari bibir Rumi. 

"Iya, Ummi," jawab Asya sambil menatap wajah Rumi dengan berbaring terlentang. 

Rumi mulai membaca cerita dari buku yang ia letakkan di samping Asya. Ia sengaja membiarkan Asya bebas menatap wajahnya. Menit demi menit mereka lalui dalam suasana menenangkan. Tak terasa jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. 

Sebelah tangan Rumi pelan membelai rambut lembut Asya, hingga mata Asya perlahan tertutup. Ia terlelap bersama kantuk yang menderanya. 

Rumi menutup buku ketiga yang ia baca untuk Asya. Menatap lekat wajah cantik itu. Hidung mancung serta dagu lancip membuat wajah Asya nampak sempurna. 

"Sudah tidur?" tanya sebuah suara serupa bisikan. 

Rumi seketika mendongak ke arah pintu masuk. Mbok Sumi melangkah mendekat. Lalu duduk di ranjang tepat di ujung kaki Asya. 

"Sudah, Mbok, sekitar sepuluh menit yag lalu," jawab Rumi setengah berbisik. 

Detik selanjutnya perempuan paruh baya itu menatap lekat ke arahnya, membuat Rumu mengalihkan pandangan pada Asya karena merasa tak nyaman. 

"Kehadiranmu membuat Asya teringat almarhumah umminya," ucap Mbok Sumi dengan wajah sendu. 

Rumi mengangkat wajah. Mengetahui bahwa perempuan yang Asya sebut 'Ummi' itu sudah meninggal, membuat hati Rumi berdesir hebat. 

"Setelah umminya meninggal Asya sering menangis. Ia bahkan sempat sakit karena rindu. Asya tak tahu apa itu meninggal, yang ia tahu hanyalah, umminya pergi sementara dan akan kembalinsuatu saat kelak," lanjut Mbok Sumi dengan nada sendu. 

Mbok Sumi bercerita dengan mata berkaca-kaca. Masih pekat di ingatannya bagaimana pilunya tangis gadis kecil itu setahun lalu. Bahkan baju sang ibu terus menjadi peneman tidurnya hingga kini. 

"Lalu, apa yang membuat Asya menganggapku adalah umminya?" tanya Rumi tak mengerti. 

Mbok Sumi kembali menghela napas panjang. 

"Aku juga sempat tak percaya ketika semalam Tuan membawamu ke sini. Kamu sangat mirip dengan almarhumah. Bahkan gaya berpakaian hingga warna pakaian yang tengah kamu kenakan, adalah gaya berpakaian dan warna kesukaan almarhumah. Dan mungkin setelah ini saya harus memanggilmu Nyonya juga, persis seperti panggilan saya pada almarhumah, supaya Non Asya tak bertanya-tanya."

Rumi menunduk, menatap pakaian yang sejujurnya ia sangat ingat baju mana yang tengah ia pakai semalam, gamis hitam lebar dengan garis coklat tua lurus dari tengah dada hingga ke ujung, serta jilbab lebar berwarna hitam pekat. 

Entah ke mana baju itu dan entah siapa yang menggantikannya semalam. Rumi tak sempat memikirkannya sekarang. 

"Lihatlah di sana, itu adalah foto almarhumah sekeluarga," ucap Mbok sumi. Telunjuknya teracung ke arah sebuah figura di atas nakas. 

Sesaat Mbok Sumi bangkit, meraih figura foto yang ia maksud, lalu menyerahkannya pada Rumi. 

Mata dengan bulu-bulu lentik itu membulat. Betapa tidak, perempuan yang ada dalam figura itu memang mirip dengannya, yang membedakannya hanyalah, bentuk alis juga ukuran mata. Perempuan dalam foto itu memiliki alis sedikit lebih melengkung dibandingkan dirinya, serta mata yang sedikit lebih kecil, sedang mata Rumi terlihat lebih bulat. 

"Kasihan Asya," gumam Rumi. Namun mampu ditangkap oleh telinga Mbok Sumi. 

"Begitulah. Mbok nggak tau bagaimana nanti jika kau sudah pergi dari sini," ucap Mbok Sumi dengan suara lirih. Hatinya bertambah nyeri kala membayangkan akan seperti apa patah hatinya Asya ketika Rumi pergi. 

Rumi bungkam, tak ada kalimat yang pantas menjadi jawaban. Ia tak ingin mengecewakan Asya, tapi ia pun tak mungkin menghabiskan waktu di tempat asing ini. 

Terdengar helaan napas panjang dari bibir Mbok Sumi. 

"Sudahlah, sekarang lebih baik kamu mandi dulu, biar Mbok yang nemenin Asya. Setelah itu makan dulu, baru kembali ke sini," ucap perempuan itu begitu peduli. 

Rumi menikmati kasih sayang Allah terhadapnya. Ternyata di kota besar seperti ini masih tersisa orang baik. 

Perlahan Rumi menaruh kepala Asya di atas bantal. Lalu bangkit perlahan agar gerakan tubuhnya tak membangunkan Asya. 

*

Rumi menikmati makan siang di meja makan setelah selesai mandi dan mengqadha shalat subuh. Sejak tadi pagi ia bahkan belum mandi.  

Suapan demi suapan membuat nasi di piring Rumi tandas. Baru saja ia hendak bangkit setelah meneguk air putih dari gelasnya, Asya berlari lalu menghambur ke pelukannya sambil menangis. Mbok Sumi mengekor dengan napas ngos-ngosan di belakangnya dengan wajah getir. 

Rumi kelimpungan, ia segera melepaskan piring kotor di tangannya ke atas meja. Mendekap tubuh mungil Asya. Bersamaan dengan itu, seorang perempuan tua mendekat sambil memutar roda kursi yang ia duduki. 

Tatapan mata renta itu terpaku pada Rumi dan Asya, menatap keduanya dengan mata berkaca-kaca. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Maukah Kau Menikah Denganku?

    Bergegas Rumi meneguk minumannya. Jujur saja, kalimat Firdaus barusan mampu membuatnya tersentak. Hati Rumi tergelitik untuk bertanya, apa yang diketahui laki-laki itu tentangnya lewat Mbok Sumi, hanya saja ia terlalu sungkan, hingga akhirnya Firdaus kembali bersuara. "Jangan banyak pikiran, supaya bayimu sehat. Jangan khawatirkan tentang tempat tinggal dan kehidupanmu selanjutnya. Jika kau bersedia, tetaplah tinggal di rumah itu dan menganggap Asya seperti anak kandungmu sendiri, meski kelak setelah kamu memiliki anak dari rahimmu sendiri." Suara Firdaus terdengar sedikit serak. Hatinya berdesir hebat setiap berada di dekat Rumi, meski sebenarnya jarak pemisah antara mereka berneter-meter. "Kurasa tidak terlalu baik jika kamu memilih untuk tinggal sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Lebih lagi aku tak tega melihat Asya kembali p atah hati untuk kesekian kalinya." Rumi hanya membeku. Tatapannya jatuh pada jemari yang melingkar di pinggang botol plastik di tangannya. Fird

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Rasa yang Mulai Berkecambah

    "Apa maksudmu?" Firdaus bertanya dengan kepala setengah tertunduk. Rumi tak langsung menjawab, memilih diam beberapa saat. "Beristirahatlah di rumah, Pak. Bapak sudah sangat lelah setelah seharian bekerja, lebih lagi dalam keadaan berpuasa." Rumi berucap sepelan mungkin, berharap kalimatnya tak menyinggung perasaan Firdaus. Firdaus terdengar mendesah pelan. "Tolong jangan memintaku untuk pulang malam ini. Keadaanmu masih belum pulih, dan di sini tak ada siapapun yang menemanimu." Firdaus berucap dengan tatapan luruh di atas lantai berkeramik senada dengan warna dinding ruangan. "Maaf sebelumnya jika perkataanku membuat Bapak tak nyaman, tapi inilah adanya, kita adalah dua orang asing yang tak seharusnya berada dalam ruangan yang sama sepanjang malam, ucap Rumi dengan kepala kian tertunduk. Jujur lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kalimat barusan, hanya saja hatinya mengatakan jika ia harus berani. "Jika memang kamu keberatan aku berada di sini, aku akan tidur di mushola

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Asya Ingin Menemani Rumi

    Suasana canggung di ruang rawat Rumi terus saja terasa semenjak pertemuan Asya dan Firdaus sejak satu jam lalu. Bahkan hingga kini, saat Firdaus mengajak Asya untuk kembali ke rumah, gadis kecil itu kembali melayangkan protesnya terhadap sang ayah. "Abi kenapa pulang? Terus siapa yang nungguin Ummi di sini kalau Abi pulang sekarang?" Asya menatap ke arah Firdaus dengan mata menyipit, merasa tak terima dengan ajakan sang ayah. Firdaus berjongkok di depan sang anak, dua tangannya menyentuh bahu Asya pelan. "Sayang, Abi butuh istirahat karena besok harus kerja. Ummi di sini sama Mbok Sumi. Asya juga besok harus sekolah, jadi sekarang kita pulang dulu, ya. Kan, besok sepulang sekolah masih bisa jenguk Ummi ke sini." Firdaus berusaha membujuk sang anak, meski hasilnya masih sama. "Nggak mau, Asya mau nemenin Ummi di sini. Asya nggak mau nanti Ummi pergi lagi." Asya mengerucutkan bibirnya, kali ini matanya tampak berkaca-kaca dengan kedua tangan saling meremas satu sama lain. Fird

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Rumi Masuk Rumah Sakit

    Penunjuk waktu di dinding kamar bercat putih itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Rumi perlahan membuka matanya. Ia baru saja sadar dari pingsannya. Spontan tangan Rumi mengusap lembut perutnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan. Ruangan yang tampak tak biasa menurutnya. Kini tatapan mata Rumi terhenti pada laki-laki yang tengah duduk di samping nakas, laki-laki yang kini fokus ke layar ponsel di tangannya. Rumi merasakan lidahnya kelu untuk sekedar menyapa, hingga akhirnya ia lebih memilih berusaha bangkit meski dengan selang infus di tangan serta tubuh lemasnya. "Kamu sudah bangun?" Firdaus segera mematikan ponselnya ketika sadar Rumi tengah susah payah untuk duduk, meski ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Rumi hanya menjawab dengan senyum kecut. Jujur, ia tak nyaman karena terus merasa merepotkan Firdaus. "Istirahat aja dulu. Sebentar lagi Asya akan datang," lanjut Firdaus sambil mendekatkan kursinya ke ranja

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Rumi Pingsan

    Rumi masih berkutat dengan pekerjaannya ketika ponsel berdering. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. "Assalamualaikum," ucapnya santun, terlebih setelah tahu siapa sang penelepon. "Maaf, siang ini saya banyak kerjaan, jika tidak keberatan nanti sore sepulang kantor saya tunggu di ruang kerja saya," ucap laki-laki dari seberang sana dengan suara pelan. Siapa lagi kalau bukan Firdaus, laki-laki yang akhir-akhir ini menunjukkan perhatiannya pada Rumi. "Baik, Pak," jawab rumit singkat. Ritme jantungnya berubah cepat setelah menerima telepon dari laki-laki itu. Bukan cinta, melainkan rasa kagum sekaligus hormat. Rumi cukup paham pembicaraan seperti apa yang dimaksud Firdaus. Apalagi kalau bukan tentang dirinya yang tengah berbadan dua, dan tentunya Asya juga. Ketakutan selalu hadir di hatinya ketika berbicara tentang masa depannya. Ia khawatir antara Asya dan calon buah hatinya salah satunya akan ada yang terabaikan. Dan Rumi tak ingin itu terjadi. * Sepanjang siang hingg

  • KAU SESALI USAI KU PERGI   Menemani Asya

    Rumi hanya mematung di tempatnya berdiri. Tak bisa menjawab apa-apa selain diam dengan suasana hati mengharu biru. Tak tahu lagi kalimat seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Akbar maupun keluarganya. Perlakuan mereka persis bak malaikat penolong bagi Rumi. Melihat Rumi hanya diam, Akbar akhirnya kembali ke mobil dan mengambil plastik pembungkus barang belanjaan yang dibeli di minimarket bersama Asya tadi. "Ini. Jangan lupa diminum," ucap Akbar dengan nada pelan. Sejujurnya ia ingin berbicara dengan bahasa lebih akrab lagi, hanya saja sikap Rumi yang selalu menjaga jarak membuatnya sadar tentang kedudukannya di hati perempuan itu. "Terima kasih," ucap Rumi akhirnya. Ia meraih pemberian Akbar lalu membawanya masuk rumah tanpa berkata-kata. * Dua bulan berlalu kepergian Rumi dari rumah Akbar. Namun, ingatannya tentang Akbar masih begitu lekat di kepala. Kerap kali ia berusaha mengenyahkan kenangan tentang mantan suaminya itu, sayangnya, hati kecilnya tak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status