Rumi menatap lekat wajah bocah perempuan itu. Hatinya terenyuh melihat wajah mungil itu menatapnya dengan raut wajah sendu berubah jadi tangis.
Rumi bangkit dari ranjangnya. Berjalan perlahan mendekati bocah itu. Senyum menguar lembut dari wajah teduh itu. "Ummi?" tanya Rumi dengan dahi berkerut. Ia tak paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, berusaha membuat bocah mungil itu untuk tak kecewa. Tanpa kata gadis mungil itu menghambur memeluk erat tubuh Rumi. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Rumi, lalu terisak dalam dekapan perempuan berhati lembut itu. "Ummi kenapa perginya lama? Kenapa perginya nggak ngajak Asya? Kenapa nggak pernah telepon Asya?"Deretan tanya dengan nada suara parau itu membuat Rumi membatu di tempat. Suasana hatinya yang memang sedang tidak baik-baik saja membuat mata perempuan itu seketika mengabur. Sesaat setelahnya bulir bening mengalir perlahan. Tangan Rumi mengusap lembut rambut lurus hitam pekat itu. Menikmati dekapan hangat tubuh mungil menguar aroma wangi buah di kepalanya itu. Sekarang Rumi mulai paham siapa yang dipanggil ummi oleh Asya. Ya, dirinyalah yang dipanggil ummi, namun ia sendiri belum tahu apa alasannya. "Maafkan Ummi, ya, Sayang, kalau Ummi perginya terlalu lama. Ummi nggak ajak Asya karena nggak mau Papa kesepian. Ponsel Ummi juga ketinggalan, makanya nggak bisa telepon Asya."Suara Rumi tercekat di tenggorokan. Suasana haru membuat keduanya tergugu dalam keadaan saling berpelukan. "Asya kangen Ummi. Jangan pernah pergi lagi tinggalin Asya," ucap gadis kecil itu di sela isak tangis. Kedua tanyannya kian erat merengkuh leher Rumi. Tak ada kalimat yang keluar dari bibir Rumi, lidahnya kelu untuk berucap seiring suasana hati yang mengharu biru. Rumi tak tahu apa yang terjadi, yang terpenting sekarang hanyalah, membuat Asya senyaman mungkin dalam dekapannya. Rumi belum pernah merasakan bagaimana memiliki seorang anak, meski sekarang ia tengah mengandung. Namun, sekarang ia mulai merasakan akan seperti apa kehidupannya setelah kelahiran anaknya kelak. Beberapa menit setelahnya keduanya masih saling berpelukan. Asya seolah enggan melepaskan pelukannya seiring rindu yang membuncah di dada. Rumi menikmati luahan rasa dari tubuh mungil itu bermenit-menit, hingga akhirnya ia merenggangkan pelukannya."Sekarang Ummi harus janji, kalau Ummi nggak akan pernah ninggalin Asya lagi," ucapnya dengan suara terisak. Rumi mengusap lembut pipi bulat yang kini basah oleh air mata. Mencium lembut kening bocah mungil itu. Setelahnya mengangkat jari kelingking kanannya, menautkan pada kelingking Asya. Tak butuh waktu lama bagi Rumi untuk menghadirkan rasa untuk Asya, karena hanya dalam waktu beberapa menit saja kebersamaan mereka, rasa sayang itu telah hadir dan perlahan berkecambah. "Udah nangisnya? Mau peluk Ummi lagi?" tanya Rumi sambil mengusap air matanya sendiri. Asya tak menjawab, lalu kembali mendekap tubuh Rumi. Berusaha meluahkan rindu yang selama setahun ini tertahan. Rindu belaian hangat dari tangan lembut seorang ibu sebagai pengantar tidur malamnya. Rindu kecupan lembut di pucuk kepalanya setiap bangun dari tidur, bahkan di setiap momen kebersamaan mereka. Rumi mengangkat tubuh mungil itu, membawanya ke atas ranjang. Hingga akhirnya Asya kembali merenggangkan pelukannya. Mata bulatnya menatap lekat wajah Rumi. Ada rindu juga sepi di sana. Tangan Rumi membingkai wajah basah berkulit lembut terawat itu. Menelisik setiap inci wajah yang telah membuatnya jatuh hati hanya dalam waktu sekejap saja. Perlakuan Asya terhadapnya, mampu membuat Rumi merasa hatinya begitu dekat dengan anak perempuan itu. "Asya sudah sarapan?" tanya Rumi kemudian. Sejujurnya bukan pertanyaan itu yang ingin ia lontarkan, melainkan: ke mana ummi Aysa pergi? Sejak kapan ummi Asya pergi? Namun, Rumi sama sekali tak sampai hati menanyakan hal itu pada Asya. Asya mengangguk pelan. Bibirnya tertutup rapat. Banyak tanya yang memenuhi tempurung kepalanya. Namun, bocah itu lebih memilih memuaskan netranya menatap wajah teduh di hadapannya. "Sekarang mau main sama Ummi?" tanya Rumi dengan senyum lembut. Asya mengangguk cepat. Namun, sinar matanya masih sendu. "Asya masih sedih?" tanya Rumi ketika melihat Asya masih membeku menatapnya. Kembali gadis mungil itu mengangguk dengan bibir bergetar, berusaha menahan bulir bening yang kembali mengalir dari pelupuk matanya. Rumi kembali mengusap lembut pipi Asya yang nampak memerah. "Kalau sedih terus, kapan mau mainnya?" tanya Rumi dengan senyum lembut. Hatinya terenyuh menatap wajah Asya, meski sejujurnya ia masih tak paham entah sebab apa perempuan yang Asya panggil ummi itu pergi. Apakah karena tak mendapatkan restu? Atau karena diusir sang suami seperti keadaan dirinya saat ini? Mengingatnya membuat hati Rumi kembali berdenyut nyeri. "Asya mau main sama Ummi di sini saja," ucap Asya dengan raut wajah memohon. Kalimat Asya membuat Rumi tersadar. Kembali ia sibukkan dirinya dengan Asya, berharap akan menjadi penawar dari luka sisa semalam. "Oke, Anak Baik. Sekarang mau main apa?" tanya Rumi dengan senyum termanisnya, berharap kesedihan Asya segera pergi, pun kesedihannya. "Asya mau Ummi baca cerita sambil peluk Asya," pintanya penuh harap. Rumi menautkan alis. Ia sama sekali belum pernah melakukan hal demikian. Namun, demi Asya ia akan melakukannya. "Baiklah. Asya punya buku ceritanya?" tanya Rumi kemudian. Asya mengangguk cepat. "Boleh, dong, Ummi minta tolong Asya buat ngambilin bukunya. Ummi tunggu di sini."Asya tak beranjak, ia terdiam dengan kepala setengah tertunduk. Rumi merasakan ada sesuatu yang salah dalam kalimatnya. "Kenapa? Apa ucapan Ummi ada yang salah?" tanya Rumi. Tangannya kembali membingkai wajah cantik berpipi bulat itu. Asya menggeleng. "Asya takut," jawabnya dengan wajah sendu. "Takut kenapa?" tanya Rumi dengan dahi berkerut. "Takut Ummi kembali ninggalin Asya lagi," jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Rumi nampak menghela napas panjang. Dadanya tiba-tiba sesak kala mendengar kalimat Asya barusan. 'Sedalam itukah rasa di hatinya untuk sang ibu?' Rumi membatin.Ada rindu yang sama tiba-tiba menyelinap di hati Rumi, rindu pada perempuan terbaik dalam hidupnya. Perempuan yang ia panggil 'Ibu'. Perempuan yang tak akan pernah lagi ia temukan di tempat manapun di dunia ini. Ya, Rumi rindu sang ibu yang telah meninggal sepuluh tahun lalu karena penyakit gagal ginjal. "Jangan takut lagi, insya Allah Ummi akan tetap bersama Asya di sini," ucap Rumi dengan dada berdenyut nyeri. Asya kembali menggeleng. "Dulu juga Ummi bilang insya Allah nggak akan ninggalin Asya," jawabnya dengan wajah sedih. Rumi menengadah menatap langit-langit kamar, berharap bulir dari matanya yang kembali memuai tak sampai menetes. Entah untuk keberapakalinya Rumi menghela napas panjang. Sesak dadanya setelah peristiwa semalam kini bertambah. "Baiklah, Ummi temani Asya buat ngambilin buku cerita Asya, ya. Sekarang Ummi udah di sini. Nggak ada alasan Asya buat sedih lagi," bujuk Rumu sambil kembali memeluk anak perempuan itu. Asya mengangguk dengan wajah sendu. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi pagi datang ke kamar di mana Rumu berada, kembali muncul di balik pintu. Perempuan itu menghentikan langkahnya ketika melihat Asya dalam pelukan Rumi. Wajahnya berubah sendu. Telunjuk perempuan paruh baya itu ia letakkan di bibir kala tatapannya beradu dengan Rumi, sebagai isyarat untuk diam. Suasana hening, hanya isak Asya yang sesekali terdengar. Anak perempuan itu hanyut dalam rindu yang baru mencair. Sedang perempuan bertubuh berisi itu tetap mematung dengan ekspresi yang membuat Rumi kian bingung. Beberapa menit setelahnya pelukan keduanya terlerai. "Yuk, Ummi, temenin Asya ke kamar," ucap Asya seraya memegang pergelangan tangan Rumi. Rumi dilanda kebingungan. Ia tak paham harus bagaimana. Namun, ia segera mengikuti langkah Asya ketika perempuan paruh baya itu mengangguk memberi isyarat. Asya sedikit tersentak ketika melihat perempuan yang setiap hari menemaninya, kini tengah berdiri di ambang pintu. "Eh, M—Mbok Sumi. Liat Mbok, Ummi kembali. A—Asya udah bilang 'kan, kalau Um—Ummi pasti kembali," ucap gadis kecil itu dengan sisa-sisa isak yang membuat suaranya terputus-putus. Tiba-tiba wajah perempuan yang Asya panggil Mbok Sumi berubah muram, beberapa detik kemudian berurai air mata. Rumi semakin tak paham.Bergegas Rumi meneguk minumannya. Jujur saja, kalimat Firdaus barusan mampu membuatnya tersentak. Hati Rumi tergelitik untuk bertanya, apa yang diketahui laki-laki itu tentangnya lewat Mbok Sumi, hanya saja ia terlalu sungkan, hingga akhirnya Firdaus kembali bersuara. "Jangan banyak pikiran, supaya bayimu sehat. Jangan khawatirkan tentang tempat tinggal dan kehidupanmu selanjutnya. Jika kau bersedia, tetaplah tinggal di rumah itu dan menganggap Asya seperti anak kandungmu sendiri, meski kelak setelah kamu memiliki anak dari rahimmu sendiri." Suara Firdaus terdengar sedikit serak. Hatinya berdesir hebat setiap berada di dekat Rumi, meski sebenarnya jarak pemisah antara mereka berneter-meter. "Kurasa tidak terlalu baik jika kamu memilih untuk tinggal sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Lebih lagi aku tak tega melihat Asya kembali p atah hati untuk kesekian kalinya." Rumi hanya membeku. Tatapannya jatuh pada jemari yang melingkar di pinggang botol plastik di tangannya. Fird
"Apa maksudmu?" Firdaus bertanya dengan kepala setengah tertunduk. Rumi tak langsung menjawab, memilih diam beberapa saat. "Beristirahatlah di rumah, Pak. Bapak sudah sangat lelah setelah seharian bekerja, lebih lagi dalam keadaan berpuasa." Rumi berucap sepelan mungkin, berharap kalimatnya tak menyinggung perasaan Firdaus. Firdaus terdengar mendesah pelan. "Tolong jangan memintaku untuk pulang malam ini. Keadaanmu masih belum pulih, dan di sini tak ada siapapun yang menemanimu." Firdaus berucap dengan tatapan luruh di atas lantai berkeramik senada dengan warna dinding ruangan. "Maaf sebelumnya jika perkataanku membuat Bapak tak nyaman, tapi inilah adanya, kita adalah dua orang asing yang tak seharusnya berada dalam ruangan yang sama sepanjang malam, ucap Rumi dengan kepala kian tertunduk. Jujur lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kalimat barusan, hanya saja hatinya mengatakan jika ia harus berani. "Jika memang kamu keberatan aku berada di sini, aku akan tidur di mushola
Suasana canggung di ruang rawat Rumi terus saja terasa semenjak pertemuan Asya dan Firdaus sejak satu jam lalu. Bahkan hingga kini, saat Firdaus mengajak Asya untuk kembali ke rumah, gadis kecil itu kembali melayangkan protesnya terhadap sang ayah. "Abi kenapa pulang? Terus siapa yang nungguin Ummi di sini kalau Abi pulang sekarang?" Asya menatap ke arah Firdaus dengan mata menyipit, merasa tak terima dengan ajakan sang ayah. Firdaus berjongkok di depan sang anak, dua tangannya menyentuh bahu Asya pelan. "Sayang, Abi butuh istirahat karena besok harus kerja. Ummi di sini sama Mbok Sumi. Asya juga besok harus sekolah, jadi sekarang kita pulang dulu, ya. Kan, besok sepulang sekolah masih bisa jenguk Ummi ke sini." Firdaus berusaha membujuk sang anak, meski hasilnya masih sama. "Nggak mau, Asya mau nemenin Ummi di sini. Asya nggak mau nanti Ummi pergi lagi." Asya mengerucutkan bibirnya, kali ini matanya tampak berkaca-kaca dengan kedua tangan saling meremas satu sama lain. Fird
Penunjuk waktu di dinding kamar bercat putih itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Rumi perlahan membuka matanya. Ia baru saja sadar dari pingsannya. Spontan tangan Rumi mengusap lembut perutnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan. Ruangan yang tampak tak biasa menurutnya. Kini tatapan mata Rumi terhenti pada laki-laki yang tengah duduk di samping nakas, laki-laki yang kini fokus ke layar ponsel di tangannya. Rumi merasakan lidahnya kelu untuk sekedar menyapa, hingga akhirnya ia lebih memilih berusaha bangkit meski dengan selang infus di tangan serta tubuh lemasnya. "Kamu sudah bangun?" Firdaus segera mematikan ponselnya ketika sadar Rumi tengah susah payah untuk duduk, meski ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Rumi hanya menjawab dengan senyum kecut. Jujur, ia tak nyaman karena terus merasa merepotkan Firdaus. "Istirahat aja dulu. Sebentar lagi Asya akan datang," lanjut Firdaus sambil mendekatkan kursinya ke ranja
Rumi masih berkutat dengan pekerjaannya ketika ponsel berdering. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. "Assalamualaikum," ucapnya santun, terlebih setelah tahu siapa sang penelepon. "Maaf, siang ini saya banyak kerjaan, jika tidak keberatan nanti sore sepulang kantor saya tunggu di ruang kerja saya," ucap laki-laki dari seberang sana dengan suara pelan. Siapa lagi kalau bukan Firdaus, laki-laki yang akhir-akhir ini menunjukkan perhatiannya pada Rumi. "Baik, Pak," jawab rumit singkat. Ritme jantungnya berubah cepat setelah menerima telepon dari laki-laki itu. Bukan cinta, melainkan rasa kagum sekaligus hormat. Rumi cukup paham pembicaraan seperti apa yang dimaksud Firdaus. Apalagi kalau bukan tentang dirinya yang tengah berbadan dua, dan tentunya Asya juga. Ketakutan selalu hadir di hatinya ketika berbicara tentang masa depannya. Ia khawatir antara Asya dan calon buah hatinya salah satunya akan ada yang terabaikan. Dan Rumi tak ingin itu terjadi. * Sepanjang siang hingg
Rumi hanya mematung di tempatnya berdiri. Tak bisa menjawab apa-apa selain diam dengan suasana hati mengharu biru. Tak tahu lagi kalimat seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Akbar maupun keluarganya. Perlakuan mereka persis bak malaikat penolong bagi Rumi. Melihat Rumi hanya diam, Akbar akhirnya kembali ke mobil dan mengambil plastik pembungkus barang belanjaan yang dibeli di minimarket bersama Asya tadi. "Ini. Jangan lupa diminum," ucap Akbar dengan nada pelan. Sejujurnya ia ingin berbicara dengan bahasa lebih akrab lagi, hanya saja sikap Rumi yang selalu menjaga jarak membuatnya sadar tentang kedudukannya di hati perempuan itu. "Terima kasih," ucap Rumi akhirnya. Ia meraih pemberian Akbar lalu membawanya masuk rumah tanpa berkata-kata. * Dua bulan berlalu kepergian Rumi dari rumah Akbar. Namun, ingatannya tentang Akbar masih begitu lekat di kepala. Kerap kali ia berusaha mengenyahkan kenangan tentang mantan suaminya itu, sayangnya, hati kecilnya tak