Suasana berubah canggung, terlebih setelah Rumi menyadari jika ada orang lain selain mereka bertiga di ruangan ini.
"Asya Sayang," ujar Rumi sambil mengusap lembut kepala Asya.Asya mendongak dengan bersimbah air mata. Ketakutannya akan kehilangan sosok ibu kembali menghantuinya setelah menyadari Rumi tak di sampingnya saat ia terbangun dari tidur."Jangan tinggalin Asya lagi, Ummi," jawabnya sambil tersedu.Rumi melirik pada wajah renta itu, lalu tersenyum santun. Di belakang perempuan itu kini Mbok Sumi berdiri sambil memegangi handle kursi roda."Asya dengar Ummi dulu," ujar Rumi lembut. "Asya boleh nangis, tapi jangan lama-lama, ya."Mendengar kalimat Rumi, Asya mengangguk cepat. Perlahan tangisnyapun mereda."Boleh Ummi salaman saman Nenek?" tanya Rumi dengan suara berbisik, sambil melirik pada perempuan di kursi roda itu."Itu Oma," ucap Asya disela isak tangisnya."Oh, iya, ya, kenapa Ummi bisa lupa." Rumi menepuk jidatnya sendiri sambil terkekeh pelan.Asya terkekeh sambil berurai air mata saat melihat Rumi yang kini tertawa pelan."Iya, Ummi lupa.""Iya. Ya, sudah, sekarang boleh 'kan, kalau Ummi salaman sama Oma?" tanya Rumi kembali meminta persetujuan.Asya mengangguk cepat. Tangannya sibuk mengusap air mata yang masih terus berurai."Yuk, temenin Ummi," pinta Rumi sambil menggandeng tangan mungil itu.Berjalan mendekat ke arah Saraswati, perempuan yang dipanggil Oma oleh Asya dan nuga Mbok sumi. Keduanya berada dalam jarak kurang dari tiga meter dari kursi makan di mana Rumi dan Asya berada.Rumi menunduk, mencium takzim punggung tangan kurus berwarna pucat itu. Dapat ia lihat wajah dingin perempuan tua itu menatapnya.Rumi tak heran, ekspresi Saraswati sangatlah wajar, mengingat maraknya kejahatan di zaman sekarang dengan berbagai motif. Dan dirinya adalah orang asing yang baru hitungan jam masuk ke rumah ini dan bersikap pura-pura akrab."Terima kasih telah mengizinkan saya untuk beristirahat di rumah ini, Bu. Saya hanya ingin mengucapkann terima kasih pada orang yang telah menyelamatkan saya semalam. Setelahnya, saya akan pamit," ucap Rumi dengan setengah berbisik serta senyum lembut.Tak ada jawaban yang keluar dari bibir perempuan itu. Ia hanya menatap datar pada Rumi, membuat Rumi memilih menghindari tatapannya karena rasa tak nyaman."Ummi mau ke mana? Ummi jangan pergi lagi. Asya nggak mau Ummi ninggalin Asya lagi. Huuuuu." Asya kembali merengek.Rumi menoleh pada Asya yang nampak muram. Tangannya mengusap lembut punggung anak itu."Ummi nggak akan ke mana-mana, Nak. Sekarang Asya mandi dulu, gih, udah bau asem," pinta Rumi dengan nada lembut."Mandinya sama Ummi," rengeknya sambil memeluk erat tangan Rumi.Rumi menoleh pada dua perempuan di hadapannya secara bergantian. Mbok Sumi mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa ia setuju, sedang perempuan yang dipanggil Oma oleh Asya itu hanya menatap dingin dengan bibir terkunci."Ya, sudah, yuk, mandi sama Ummi," ucap Rumi sambil membuka lebar kedua tangannya untuk menggendong Asya. Mengetahui kisah Asya membuat hatinya semakin tak tega untuk menolak permintaan bocah itu.Rumi berlalu sambil menggendong Asya, meninggalkan Mbok Sumi dan Saraswati yang masih membisu."Siapa perempuan itu?" tanya Saraswati, perempuan bernama lengkap Susilawati itu bertanya setelah punggung Rumi menghilang di balik dinding pemisah ruangan."Dia adalah perempuan yang ditolong Tuan semalam, Oma," jelas Mbok Sumi."Siapa nama perempuan itu?" Saraswati kembali bertanya. Nada suaranya masih tetap dingin."Aku bahkan belum menanyakannya," jawab Mbok Sumi jujur. Sejak tadi pagi ia memang belum berbicara banyak pada Rumi."Kenapa?" tanya perempuan renta itu dengan tatapan lurus ke depan. Ekspresi wajahnya nampak begitu sulit ditebak."Sepertinya dia tengah memiliki masalah serius sampai kabur dari rumah dan tidak membawa apa-apa. Bahkan tadi pagi saat saya ke kamarnya, dia nampak termenung. Aku membiarkannya untuk istirahat agar lebih baik lagi. Dan setelah aku masuk kembali, Non Asya sudah dalam pelukannya sambil menangis." Mbok Sumi menjelaskan.Saraswati nampak menghela napas panjang."Dia memang sangat mirip dengan Syifa," lirihnya pelan.Mbok Sumi mengangguk pelan, meski ia tahu jika anggukannya tidak terlihat oleh sang nyonya."Iya, Oma. Saya bahkan sempat kaget saat Tuan Firdaus membawanya semalam.""Apa kau tau apa alasan Firdaus membawanya ke sini?""Perempuan itu dalam keadaan pingsan. Kata Tuan, sepertinya dia kelelahan."Sekali lagi terdengar helaan napas panjang dari bibir perempuan renta itu."Akan lebih sulit membuat Asya terbiasa tanpa Syifa," keluh Saraswati dengan nada getir.Tak ada lagi jawaban Mbok Sumi. Ia pun merasakan kekhawatiran yang sama dengan yang majikannya itu rasakan.*Hanya dalam waktu beberapa jam saja, Rumi mampu menciptakan kedekatan dengan anak perempuan itu, meski sesekali hatinya kembali terasa nyeri kala bayangan Akbar melintas di kepalanya."Ummi kenapa diam?" tanya Asya kala melihat Rumi tak merespon panggilannya. Keduanya tengah menikmati waktu senja di taman samping rumah."Oh, iya, maaf, Sayang. Asya bicara apa tadi?" tanya Rumi dengan senyum lembut. Ia duduk lesehan di lantai keramik, pun dengan Asya. Anak perempuan itu sejak tadi sibuk mewarnai gambar di atas meja belajar kecil miliknya."Gambar Asya bagus 'kan, Ummi?" Asya mengacung sebuah gambar es krim yang tadi ia warnai."Oh, bagus banget, Anak Baik," puji Rumi dengan wajah menunjukkan rasa kagum."Yeeee, Asya hebat 'kan, Ummi," sahut Asya dengan binar bahagia. Ia kembali sibuk memilih gambar selanjutnya yang akan ia warnai."Hebat, dong. Anak Ummi gitu, loh," jawab Rumi sambil mengacung dua ibu jari ke arah Asya.Keduanya tertawa lepas. Kebersamaan itu tercipta begitu saja. Keduanya kini persis ibu dan anak yang kehadirannya tak dapat dipisahkan."Kalau udah besar, Asya pengen jadi apa?" tanya Rumi ketika Asya kembali sibuk dengan pensil warnanya."Dokter," jawabnya cepat.Rumi menautkan alis, bibirnya tersenyum simpul."Kenapa mau jadi dokter?" tanya Rumi dengan senyum lembut.Asya mengalihkan pandangannya dari buku gambar serta alat tulisnya. Ia menoleh pada Rumi."Bisa ngobatin Ummi, Abi, Oma, Mbok Sumi dan semua orang sakit, biar bisa sembuh," jawab Asya dengan binar bahagia.Rumi mengangguk-anggukkan kepala."Baiklah, Bu Dokter Kecil," ucap Rumi sambil mengucek puncak kepala Asya membuat anak perempuan itu tersenyum senang.Senja kian merangkak naik ketika seorang laki-laki jangkung berjalan mendekat ke arah mereka. Kesan dingin yang seolah tanpa ekspresi kini tampak di wajahnya."Abi!" seru Asya dengan wajah sumringah.Rumi yang semula sibuk meruncing pensil warna Asya yang mulai tumpul, seketika mengangkat wajah. Rumi melirik wajah tampan berhidung lancip. Wajah yang semalam sempat ia lihat dalam sinar lampu temaram di bawah rintik hujan. Laki-laki itu kini menatapnya datar.Tubuh jangkung itu kini berjongkok. Wajahnya seketika berubah hangat kala menatap wajah mungil sang anak."Sudah wangi," ucap laki-laki itu. Tangannya memegang lembut kedua bahu Asya, lalu mengecup kening sang anak."Sudah, tadi Ummi yang mandiin," ucap Asya, membuat Rumi dan Firdaus saling beradu tatap. Sedetik kemudian Rumi memilih menundukan kepala.Bergegas Rumi meneguk minumannya. Jujur saja, kalimat Firdaus barusan mampu membuatnya tersentak. Hati Rumi tergelitik untuk bertanya, apa yang diketahui laki-laki itu tentangnya lewat Mbok Sumi, hanya saja ia terlalu sungkan, hingga akhirnya Firdaus kembali bersuara. "Jangan banyak pikiran, supaya bayimu sehat. Jangan khawatirkan tentang tempat tinggal dan kehidupanmu selanjutnya. Jika kau bersedia, tetaplah tinggal di rumah itu dan menganggap Asya seperti anak kandungmu sendiri, meski kelak setelah kamu memiliki anak dari rahimmu sendiri." Suara Firdaus terdengar sedikit serak. Hatinya berdesir hebat setiap berada di dekat Rumi, meski sebenarnya jarak pemisah antara mereka berneter-meter. "Kurasa tidak terlalu baik jika kamu memilih untuk tinggal sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Lebih lagi aku tak tega melihat Asya kembali p atah hati untuk kesekian kalinya." Rumi hanya membeku. Tatapannya jatuh pada jemari yang melingkar di pinggang botol plastik di tangannya. Fird
"Apa maksudmu?" Firdaus bertanya dengan kepala setengah tertunduk. Rumi tak langsung menjawab, memilih diam beberapa saat. "Beristirahatlah di rumah, Pak. Bapak sudah sangat lelah setelah seharian bekerja, lebih lagi dalam keadaan berpuasa." Rumi berucap sepelan mungkin, berharap kalimatnya tak menyinggung perasaan Firdaus. Firdaus terdengar mendesah pelan. "Tolong jangan memintaku untuk pulang malam ini. Keadaanmu masih belum pulih, dan di sini tak ada siapapun yang menemanimu." Firdaus berucap dengan tatapan luruh di atas lantai berkeramik senada dengan warna dinding ruangan. "Maaf sebelumnya jika perkataanku membuat Bapak tak nyaman, tapi inilah adanya, kita adalah dua orang asing yang tak seharusnya berada dalam ruangan yang sama sepanjang malam, ucap Rumi dengan kepala kian tertunduk. Jujur lidahnya begitu berat untuk mengucapkan kalimat barusan, hanya saja hatinya mengatakan jika ia harus berani. "Jika memang kamu keberatan aku berada di sini, aku akan tidur di mushola
Suasana canggung di ruang rawat Rumi terus saja terasa semenjak pertemuan Asya dan Firdaus sejak satu jam lalu. Bahkan hingga kini, saat Firdaus mengajak Asya untuk kembali ke rumah, gadis kecil itu kembali melayangkan protesnya terhadap sang ayah. "Abi kenapa pulang? Terus siapa yang nungguin Ummi di sini kalau Abi pulang sekarang?" Asya menatap ke arah Firdaus dengan mata menyipit, merasa tak terima dengan ajakan sang ayah. Firdaus berjongkok di depan sang anak, dua tangannya menyentuh bahu Asya pelan. "Sayang, Abi butuh istirahat karena besok harus kerja. Ummi di sini sama Mbok Sumi. Asya juga besok harus sekolah, jadi sekarang kita pulang dulu, ya. Kan, besok sepulang sekolah masih bisa jenguk Ummi ke sini." Firdaus berusaha membujuk sang anak, meski hasilnya masih sama. "Nggak mau, Asya mau nemenin Ummi di sini. Asya nggak mau nanti Ummi pergi lagi." Asya mengerucutkan bibirnya, kali ini matanya tampak berkaca-kaca dengan kedua tangan saling meremas satu sama lain. Fird
Penunjuk waktu di dinding kamar bercat putih itu sudah menunjukkan pukul tujuh malam, ketika Rumi perlahan membuka matanya. Ia baru saja sadar dari pingsannya. Spontan tangan Rumi mengusap lembut perutnya, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan. Ruangan yang tampak tak biasa menurutnya. Kini tatapan mata Rumi terhenti pada laki-laki yang tengah duduk di samping nakas, laki-laki yang kini fokus ke layar ponsel di tangannya. Rumi merasakan lidahnya kelu untuk sekedar menyapa, hingga akhirnya ia lebih memilih berusaha bangkit meski dengan selang infus di tangan serta tubuh lemasnya. "Kamu sudah bangun?" Firdaus segera mematikan ponselnya ketika sadar Rumi tengah susah payah untuk duduk, meski ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Rumi hanya menjawab dengan senyum kecut. Jujur, ia tak nyaman karena terus merasa merepotkan Firdaus. "Istirahat aja dulu. Sebentar lagi Asya akan datang," lanjut Firdaus sambil mendekatkan kursinya ke ranja
Rumi masih berkutat dengan pekerjaannya ketika ponsel berdering. Hari ini terasa begitu melelahkan baginya. "Assalamualaikum," ucapnya santun, terlebih setelah tahu siapa sang penelepon. "Maaf, siang ini saya banyak kerjaan, jika tidak keberatan nanti sore sepulang kantor saya tunggu di ruang kerja saya," ucap laki-laki dari seberang sana dengan suara pelan. Siapa lagi kalau bukan Firdaus, laki-laki yang akhir-akhir ini menunjukkan perhatiannya pada Rumi. "Baik, Pak," jawab rumit singkat. Ritme jantungnya berubah cepat setelah menerima telepon dari laki-laki itu. Bukan cinta, melainkan rasa kagum sekaligus hormat. Rumi cukup paham pembicaraan seperti apa yang dimaksud Firdaus. Apalagi kalau bukan tentang dirinya yang tengah berbadan dua, dan tentunya Asya juga. Ketakutan selalu hadir di hatinya ketika berbicara tentang masa depannya. Ia khawatir antara Asya dan calon buah hatinya salah satunya akan ada yang terabaikan. Dan Rumi tak ingin itu terjadi. * Sepanjang siang hingg
Rumi hanya mematung di tempatnya berdiri. Tak bisa menjawab apa-apa selain diam dengan suasana hati mengharu biru. Tak tahu lagi kalimat seperti apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Akbar maupun keluarganya. Perlakuan mereka persis bak malaikat penolong bagi Rumi. Melihat Rumi hanya diam, Akbar akhirnya kembali ke mobil dan mengambil plastik pembungkus barang belanjaan yang dibeli di minimarket bersama Asya tadi. "Ini. Jangan lupa diminum," ucap Akbar dengan nada pelan. Sejujurnya ia ingin berbicara dengan bahasa lebih akrab lagi, hanya saja sikap Rumi yang selalu menjaga jarak membuatnya sadar tentang kedudukannya di hati perempuan itu. "Terima kasih," ucap Rumi akhirnya. Ia meraih pemberian Akbar lalu membawanya masuk rumah tanpa berkata-kata. * Dua bulan berlalu kepergian Rumi dari rumah Akbar. Namun, ingatannya tentang Akbar masih begitu lekat di kepala. Kerap kali ia berusaha mengenyahkan kenangan tentang mantan suaminya itu, sayangnya, hati kecilnya tak