"Pagi, Dokter," sapa Bu Sum memasuki ruangan dokter spesialis saraf dengan senyum sumringah berbeda dengan saat waktu Bu Sum datang pertama kali ke ruangan itu.
Ditemani Bagas, Bu Sum menceritakan perkembangan yang dia rasakan selama sebulan ini semenjak menggunakan collar neck secara rutin.
"Coba saya periksa dulu, ya," ucap Dokter Zainal, dokter senior di ruangan itu selain dokter berkacamata yang lain.
"Udah aman ya ini, syukurlah masih bisa kita observasi kemarin ya. Diingatkan lagi ibunya untuk tidak mengangkat atau mengerjakan pekerjaan yang berat."
"Terimakasih, Dokter." Mata Bu Sum masih mencari-cari. "Kalo dokter Rizal, hhmm maksud saya dokter residen yang waktu itu enggak kelihatan ya, Dokter?"
"Oh dokter Rizal, hari ini memang mengambil cuti ijin sakit, Bu Sum."
"Oh sakit." Bu Sum terdiam.
"Bu, ayo." Bagas menyentuh lengan ibunya agar bergegas meninggalkan tempat itu.
"Mbak-mu pulang jam berapa, Gas?" tanya Bu Sum setiba mereka di rumah.
"Bagas kurang tahu, Bu. Kenapa?"
"Ibu mau buatkan dokter Rizal makanan. Kan tadi dokter di rumah sakit bilang kalo dokter Rizal sakit. Apa kamu mau antarkan makanan ke kost nya?"
"Wah Bu, habis ini kan Bagas izin mau latihan basket. Gimana kalo Mbak Dara aja? Antar sore-sore juga nggak apa-apa kali, Bu." Bagas menaikturunkan alisnya.
"Ck, ya sudah kalo gitu. Eh jangan lupa sebelum pergi angkatin jemuran dulu," pesan Bu Sum lalu melangkah menuju dapur.
*****
"Nganterin makanan?" tanya Dara yang baru saja sampai. Gadis itu menarik kursi makan dan menuangkan minuman ke dalam gelas. "Dalam rangka apa?"
"Dokter Rizal sakit, Ibu mau kirimkan makanan untuk dia. Kasian Ra, anak kost apalagi sedang sakit."
"Ya ampun, Bu. Sudah pasti dia bisa mengurus dirinya sendiri, ditambah lagi kan dia dokter. Lagian ngapain sih kirim-kirim makanan, nanti di kira ada maksud yang enggak-enggak."
"Enggak boleh kayak gitu, Ra. Dokter Rizal itu baik loh, apalagi selama Ibu sakit dia sangat perhatian sama Ibu. Belum lagi—"
"Iya-iya, nanti Dara anterin makanannya. Dara mandi dulu, gerah."
Dara mengetik pintu itu sudah sebanyak lima kali, namun belum ada jawaban dari dalam kamar kost Rizal.
"Ck, mana sih orangnya."
Dara kembali mengetuk pintu itu, namun lagi-lagi tak satupun jawaban terdengar dari balik pintu. Dara merogoh tote bag nya, dia mulai menekan nama Rizal di layar ponselnya. Beberapa kali terdengar nada sambung namun belum juga terjawab.
"Aduh gimana ini?"
Kembali Dara mengetuk pintu kamar Rizal, hingga akhirnya dirinya tersentak lantaran tepukan di pundaknya.
"Astaga." Dara terkejut ketika melihat Rizal sudah berada di belakangnya.
"Dara?"
"Ka— kata ibu Pak dokter sakit, ja—jadi saya kesini mau anterin ini." Dara memberikan dua paper bag berisi nasi, sayur sop, ayam goreng dan beberapa buah-buahan. Dara melihat raut wajah Rizal yang memucat.
"Masuk dulu, yuk" ucap Rizal dengan suara pelan.
Dara melangkah mengikuti langkah Rizal memasuki kamar berukuran cukup besar itu. Ya, baru kali ini dia berada di suatu ruangan hanya berdua dengan lawan jenis tentu saja selain Bagas, adiknya.
Ruangan yang cukup rapih untuk seorang pria lajang. Lajang? Dara baru menyadarinya, apakah Rizal seorang lelaki tanpa pasangan atau dia sudah memiliki ke kasih.
"Sebaiknya Dokter berisitirahat dulu, saya pamit." Dara meletakkan dua paper bag tadi di atas meja bersebelahan dengan laptop Rizal.
"Aku bisa minta tolong sesuatu sama kamu?" Rizal mendekati tempat tidur dan merebahkan tubuhnya di sana.
"Hah?"
Mata Dara terbelalak melihat Rizal dengan santainya meringkuk di atas tempat tidur. Hatinya tergetar melihat lelaki itu sepertinya menahan sakit.
"Dokter mau saya bantu apa?"
"Hhmm ...."
Rizal masih belum menjawab pertanyaan Dara. Dara melangkah mendekat, ragu-ragu dia menyentuhkan tangannya pada dahi Rizal.
"Astaga, Dokter kenapa bisa panas begini. Dokter sudah makan?" Bergegas Dara membuka masakan yang dia bawa tadi, memindahkannya pada mangkuk serta piring.
"Dok, ayo kita makan dulu," ucap Dara sambil menggoyangkan lembut lengan Rizal.
Rizal beranjak, mengubah posisi tidurnya menjadi duduk di pinggiran tempat tidur. Dara memberikan sepiring nasi lengkap dengan isinya.
"Bisa?" tanya Dara, sungguh dia merasa kasihan pada lelaki itu. "Saya suapkan?" Dan sungguh baru kali ini dia menatap mata itu sangat lama.
"Maaf ya menyusahkan kamu." Rizal membuka mulutnya menerima suapan demi suapan dari Dara. "Kamu tadi sudah lama berdiri di depan pintu?"
"Lumayan sampai saya takut dokter di dalam kenapa-kenapa."
"Kamu khawatir?"
"Engg— eh iya lah, soalnya ibu bilang Dokter sakit. Eh ternyata orangnya malah keluyuran."
"Siapa?"
"Kamu ... eh Pak Dokter." Rasanya pipi gadis itu merona merah.
"Aku ke dokter," jawab Rizal lalu merogoh saku celana cargo-nya memberikan bungkus plastik berisi obat-obatan.
"Dokter pergi ke dokter?"
"Kenapa? Enggak boleh?" Rizal tertawa kecil lalu tiba-tiba meringis memegang kepalanya.
"Eh, kenapa?" Buru-buru Dara memberikan Rizal segelas air. "Sakit banget ya?"
Rizal tersenyum menahan sakit di kepalanya.
"Terus dokternya bilang Pak dokter sakit apa?"
"Tipes."
"Ya ampun, artinya Dokter harus istirahat total. Dokter kecapekan mungkin, kerjanya terlalu di forsir."
"Aku kira kamu orangnya nggak terlalu banyak bicara, nyatanya cerewet juga."
"Eh, maaf." Dara menelan kasar ludahnya.
"Aku malah seneng, walopun sedikit pusing." Rizal tertawa kecil. "Makasih ya, Dara."
Tatapan mata itu begitu tulus, entah mengapa Dara merasakan sesuatu yang menggelitik di hatinya.
"Sebaiknya saya pulang."
"Aku belum selesai, loh." Rizal mengingatkan jika isi piring makanannya yang belum habis.
"Takut bikin Dokter makin pusing kalo saya lama-lama di sini."
"Siapa bilang? Aku malah seneng kamu di sini. Besok kesini lagi, ya," kekeh Rizal.
"Jangan lupa di minum obatnya," ujar Dara beranjak dari duduknya dengan wajah cemberut.
"Eh, mau kemana?" Tangan Rizal menahan tangan Dara membuat rasa yang menggelitik di hatinya semakin terasa kuat apalagi debar jantungnya yang seakan ingin meloncat keluar
"Pulang." Wajah gadis itu merona merah.
"Yakin?"
"Astaga, orang sakit bisa nyebelin juga."
Rizal tertawa tapi tetap dengan sedikit meringis menahan sakit di kepalanya.
"Janji besok kesini."
Dara hanya diam lalu melangkah keluar dari kamar Rizal yang berhasil memporak-porandakan hatinya malam itu.
"Dara ... Dara ... Dara ...." Beberapa kali Rizal menyebut nama gadis itu. "Salah sendiri siapa suruh manis, kan aku jadi suka."
Mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah kontrakan Dara. Pagi itu Bu Sum sedang menyapu halaman, sambil tersenyum Bu Sum meletakkan sapu lidi tersandar di sisi pagar."Pagi Bu Sum," sapa Teguh."Pagi, Nak Teguh.""Kinan ... sini," panggil Teguh pada gadis kecil berusia sekitar lima tahun, yang masih bersembunyi di balik pagar. "Katanya mau kenalan sama Tante Dara, ini rumahnya," ucap Teguh sambil berjongkok membujuk anak perempuannya.Bu Sumi tersenyum, ada sesak di dadanya melihat seorang anak yang masih terlalu kecil sudah harus kehilangan ibunya. Membayangkannya saja sudah sesak apalagi gadis kecil itu yang merasakan bagaimana hidup tanpa seorang ibu."Ayo masuk, Uti punya coklat di dalam. Namanya siapa?" tanya Bu Sum lembut."Ditanya namanya siapa tuh, sama Uti. Teguh meraih jari-jari mungil itu mengajaknya melangkah masuk pekarangan."Kinan," ucapnya lirih."Ayo ikut Uti, Uti punya coklat dan biskuit, Kinan mau?""Mau," jawab Kinan sambil mengangguk-angguk."Nak T
Rizal melempar ponselnya ke atas ranjang, dadanya bergemuruh kesal. Bagaimana tidak dia kesal, hampir dua bulan dan dia tidak mendapatkan satu kabarpun tentang keberadaan dimana istrinya. "Ada apa sih ini sebenarnya!" BughTangannya menghantam tembok bercat putih di kamar mereka. "Arggh! Sialan, dimana kamu Ra!""Cal ... Ical, kamu kenapa?" Suara Donna dari balik pintu semakin menambah emosi Rizal."Cal ... kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Mama dengan ada suara keras dari dalam kamar. Cal—"Rizal masih tak bersuara, dadanya bergemuruh, nafasnya menderu."Bangsat!""Cal! Mama masuk ya ...." Donna mulai khawatir, dia berulang kali berusaha membuka pintu kamar Rizal."Pa ... Pa!" panggil Donna.Hanna dan suaminya berlari tergopoh-gopoh mendengar suara Donna yang memanggil Andreas. Sementara Andreas, keluar dari kamarnya dengan wajah panik."Ada apa?""Rizal, di dalam entah kenapa. Sepertinya dia sedang marah," ujar Donna."Cal, buka pintunya," ujar Hanna berusaha selembut mungkin untuk
Pintu pagar setinggi satu setengah meter itu masih terkunci. Kios tempat Bu Sum mencari rejekinya juga masih tertutup rapat padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Rizal tiba di Jogja pukul 10 pagi tadi, menempuh perjalanan dari bandara ke rumah Bu Sum sekitar hampir satu setengah jam. Rizal akhirnya memutuskan untuk menemui istrinya meski larangan Donna saat itu cukup keras. Jauh di lubuk hati lelaki itu dia begitu merindukan Dara selama tiga minggu ini."Cari siapa?" tanya wanita bertubuh kurus yang kebetulan lewat. "Eh, Mas Rizal?" Dia terkejut saat mendapati pria yang berdiri lama di sana adalah Rizal."Mbak Siti? Mbak Siti, kan?""Iya, Mas," jawab Siti nampak sedikit ragu. "Mm—mbak Dara nya nggak ikut, Mas?" "Loh, Dara nggak di rumah?""Bukannya Mbak Dara di Padang?" Wajah Siti bingung."Oh, mm— begini Mbak Siti," ujar Rizal pun bingung ingin mengatakan apa. "Kalo Dara sudah datang, tolong suruh langsung hubungi Saya, karena nomer dia dan nomer Ibu nggak bisa Saya hubun
"Selamat pagi."Synthia masuk ke ruangan yang dominan berwarna putih itu. Melengkok berjalan mendekati meja kerja Rizal."Pagi, Syn.""Aku bawain kamu sandwich dan ...." Synthia meletakkan dua cangkir berisi kopi kesukaan Rizal. “Sarapan dulu, yuk.”"Makasih, Syn." Rizal meraih roti sandwich yang sudah dibuka oleh Synthia. "Kamu bikin sendiri?"Synthia tertawa. "Ya nggak mungkin, Zal."“Sudah kutebak.” Rizal ikut tertawa."Bagaimana Dara? Sudah menghubungi kamu?" tanya Synthia penasaran."Belum, entah mau nya apa," jawab Rizal sedikit kesal. Sebersit senyuman memikat sudut bibir Synthia. Perlahan tapi pasti dia yakin, lelaki yang berada di hadapannya ini akan jatuh ke pelukannya.“Tapi mungkin aku akan ke Jogja, setelah urusan pekerjaan di rumah sakit selesai.”"Oh." Hati Synthia mencelos, tadinya dia berharap Rizal akan masa bodo akan kepergian Dara."Jadi, apa yang akan kita bahas hari ini?" tanya Rizal membuat Synthia kembali sadar dari lamunan."Untuk tempat tidur di gedung baru
"Selamat bergabung." Dara menerima uluran tangan Andi seorang HRD manager tempatnya bekerja. Atas bantuan Winda, Dara diterima bekerja di hotel milik Mr. Richard."Gimana, Ra?""Makasih ya, Win ... sampaikan terimakasihku pada Mr. Richard. Kalau nggak ada kalian pasti aku akan kesusahan dapet kerjaan di sini.""Mr. Richard bilang apa sih yang enggak buat kamu," ujar Winda tertawa renyah."Jangan mulai deh," ucap Dara ikut tertawa. "Kapan ke Bandung, Win?""Nantilah, kalo kerjaan agak longgar aku juga pengin ambil cuti buat healing, kali aja bisa dapet jodoh.""Hhmm ... itu lagi.""Ra, aku tutup dulu ya. Bos besar manggil nih.""Ok, makasih ya Win ...."Baru saja Dara mengakhiri pembicaraannya, sebuah pesan masuk dari Bu Sum."Jangan lupa makan, Ra. Ibu takut maag kamu kumat lagi.""Iya, Bu. Ini Dara mau ke apotik sekalian beli obat untuk stok di rumah, Ibu mau titip apa?""Ibu nggak titip apa-apa, kamu cepat pulang ya."Tanpa membalas kembali pesan Bu Sum, Dara memasuki sebuah apotik
"Apa nggak sebaiknya kamu menghubungi suamimu, Ra?"Bu Sumi menyusun satu per satu lipatan baju Dara ke dalam lemari. Sudah satu minggu ini, anak perempuannya itu hanya berdiam menatap keluar jendela kamar."Apa kata mertuamu nanti, nggak baik, Ra. Walau bagaimanapun kamu masih berstatus istri Nak Rizal, menantu dari Pak Andreas. Sepelik apapun masalah kalian, pantang seorang istri lari dari rumah, apalagi masih tinggal di rumah mertua.""Kasih aku waktu, Bu. Biarkan aku menenangkan pikiranku dulu, kalau sekarang dibicarakan nanti malah menambah emosiku saja.""Terserah kamu kalo begitu. Cuma yang namanya masalah nggak baik kalo berlarut-larut di diamkan." Bu Sum melangkah mendekati Dara, menepuk pundak anak perempuannya. "Ibu mau telpon ke Jogja dulu. Biar loundry dibereskan semua, dan stop terima loundry untuk sementara waktu sampai Ibu pulang.""Bu," panggil Dara menghentikan langkah kaki Bu Sum yang sudah mendekati pintu."Ya?""Maafin Dara jadi merepotkan Ibu."Bu Sum hanya terse