"Bawa ini." Bu Sum menyerahkan kantung plastik berisi bubur ayam pagi itu.
"Apa ini, Bu?"
"Bubur ayam buat sarapan dokter Rizal."
"Loh kan Dara cuma mau anter baju ke Mas Teguh, Bu. Enggak ke tempat dokter Rizal."
"Sekalian, Ra. Kan satu tempat juga, lagian kasian anak rantau sakit tuh nggak ada yang ngurus. Mosok kamu tega, mana sakitnya tipes kan nggak bisa makan yang keras-keras dulu "
Dara menghela napasnya, dirapihkannya kembali baju-baju yang akan dia antar pagi ini.
"Ya sudah, Dara pergi dulu." Dara meraih kunci motornya. "Oh iya Bu, nanti Dara pulang agak sore ya. Dara mau ketemu temen di kampus, katanya ada lowongan kerjaan di tempat dia kerja."
Motor Mio itu berhenti di bangunan tiga lantai yang berisi para anak rantau. Dara mengetik pintu kamar Teguh, salah satu pelanggan laundry Bu Sum yang sangat baik padanya.
"Pagi Dara," sapa lelaki itu masih dengan wajah bangun tidur.
"Pagi Mas Teguh," balas Dara sambil tersenyum. "Mau antar baju, Mas." Dara memberikan tas laundry berisi dua packing baju pada pada Teguh.
"Makasih ya, Ra. Oh iya selamat atas wisudanya ya."
"Makasih, Mas. Kalo gitu lanjutin lagi aja Mas tidur nya, maaf ya Dara ganggu." Dara memutar tubuhnya dan melangkah menuju tangga.
"Eh iya, Ra. Makasih ya." Teguh melambaikan tangan pada Dara. "Loh Ra, mau kemana?" Teguh mengurungkan niatnya menutup pintu kamar.
"Ke atas Mas, mau anter pesanan ibu." Dara mengangkat kantung plastik berisi tempat makan.
"Hhmm." Teguh tersenyum usil. "Ke Pak dokter itu, ya? Pepet terus Ra ...." Teguh memberikan semangat pada Dara. Nyatanya kata-kata Teguh berhasil membuat wajahnya merona.
"Apaan sih, Mas Teguh. Ada-ada aja, udah ya Dara naik dulu."
Dara tersenyum simpul, langkah kakinya menaiki anak tangga, terus melangkah hingga berhenti di depan pintu kamar Rizal. Sebelum mengetuk pintu itu Dara memberanikan diri terlebih dahulu dan sedikit menebalkan mukanya lantaran ide Bu Sum pagi ini.
Pintu kamar terbuka, Rizal menyipitkan kedua matanya. Mimpi apa dia hingga gadis manis yang semalam berhasil membuat jantungnya berdebar itu sudah kembali berdiri di depan pintu kamarnya.
"Dara?'
"Pagi, Dok. Saya mau antar ini. Ibu bilang kalo sakit tipes belom boleh makan yang keras-keras. Ini buat Dokter sarapan."
Dara mengulurkan tangannya, memberikan bingkisan dari Bu Sum.
"Oh." Rizal mengacak rambutnya. Sejujurnya dia serba salah dengan penampilannya sekarang. Hanya mengenakan kaos oblong dan celana jogger yang sudah usang.
"Masuk dulu." Rizal membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
"Hhmm ... sepertinya saya pamit saja. Dokter juga kelihatan sudah baikan." Dara sedikit menundukkan kepalanya untuk berpamitan pada Rizal.
"Dara." Rizal menahan tangan Dara. "Sebenarnya aku masih belum baikan, kepalaku masih pusing. Kamu bisa tolongin aku buatkan teh? Please ...." Wajah tampan itu memohon meskipun hanya untuk mengelabui Dara agar tetap bersamanya pagi itu.
Dara mengerutkan alisnya, rasa-rasanya lelaki dihadapannya ini sudah berangsur baik tapi mengapa tiba-tiba wajah itu memelas memohon.
"Hanya membuatkan teh?" Dara memicingkan sudut matanya.
"Dan juga temani sarapan." Rizal menahan senyum. "Ya?" Wajahnya memastikan lawan bicaranya setuju dengan idenya.
"Tambah lama dong." Dara melangkahkan kakinya masuk ke ruangan itu.
"Malah bagus," jawab Rizal nyaris tak terdengar.
"Saya dengar loh." Dara berdiri di sisi meja kerja Rizal.
"Haha ... itu dispensernya nyalain biar airnya panas, di rak itu teh dan gulanya. Lalu cangkirnya di sana," ujar Rizal yang duduk santai di sisi tempat tidur.
Dara meletakkan secangkir teh di atas nakas, dia menarik kursi, matanya mengedar melihat tumpukan-tumpukan buku di atas meja. Beberapa judul tentang buku medis, ah manalah mengerti Dara. Ruangan ini cukup besar, dengan adanya dapur kecil di sudut ruangan. Diatas meja dapur ada kompor listrik, magic com dan rak piring kecil. Sudah bisa dipastikan lelaki bergelar dokter ini hanya makan sesekali di dalam kamarnya.
"Buburnya nggak di makan?"
Tatapan Rizal tak lepas dari gadis itu, padahal Dara hanya menawarkan bubur yang dia bawa.
"Apa?" tanya Dara serba salah.
"Berharap aku di suapin sih sebenarnya," ucap Rizal malu.
"Astaga." Dara membuang wajahnya ke arah lain sambil mengulum senyum.
"Boleh?"
Dara meraih kotak makan berisi bubur ayam khas Jakarta yang sebenarnya adalah bubur kesukaannya.
"Mau di aduk atau nggak?" tanya Dara.
"Apanya?"
"Buburnya," ucap gadis itu.
"Oh, aku kira perasaanku." Rizal tersenyum manis membuat wajah Dara merona. "Karena kalo perasaanku sudah teraduk-aduk dari semalam."
Dara ikut tersenyum, sumpah demi apapun debar jantungnya seperti ingin meloncat keluar.
"Melting ya? Sama, aku juga." Rizal kembali menggodanya.
"Aku pulang aja ya."
"Aku? Oh akhirnya ...," ucap Rizal lega saat Dara menggunakan kata aku untuk dirinya. "Jangan pakai kata saya lagi ya? Aku ngerasa kayak di ruangan interview," kekehnya.
"Kayaknya memang Dokter udah sembuh." Sambil menahan senyumnya Dara beranjak dari tempat duduknya.
"Eh mau kemana? belum juga makan." Rizal ikut berdiri. "Ok, aku janji nggak gitu lagi. Tapi aku lapar, suapin ya," ujarnya dengan nada manja. "Aku belom sembuh, serius."
Dara kembali duduk, kali ini dia ikut duduk di sisi tempat tidur. Suapan demi suapan dari tangan Dara habis di lahap Rizal. Rizal menghentikan suapan terakhir dari Dara. Dia menahan tangan gadis itu.
"Ini suapan terakhir, sedangkan aku belum tanya kamu udah makan atau belum."
"Aku sudah makan tadi, jadi selesaikan ini aku harus ke kampus," ujar Dara.
Rizal kembali membuka mulutnya seperti anak kecil. Kemudian Dara memberikan cangkir berisi teh tadi.
"Karena sudah selesai, aku pulang ya. Jangan lupa minum obatnya." Dara meraih totebag berwarna hitam miliknya di atas meja.
"Ngapain ke kampus? Bukannya urusan semua sudah selesai?" tanya Rizal ikut mengantarkan Dara menuju pintu.
"Ada teman nawarin kerja, aku mau coba. Semakin cepat dapet kerja semakin baik buat ibu, nggak harus terima banyak laundry lagi jadi dia bisa banyak istirahat."
"Oh. Kerja dimana?" tanya Rizal penasaran.
"Belum tau, aku pamit ya. Cepat sehat." Dara meninggalkan seutas senyum saat itu. Rizal melihat dari lantai dua kamar kostnya hingga gadis itu melaju dan tak lagi nampak.
Mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan rumah kontrakan Dara. Pagi itu Bu Sum sedang menyapu halaman, sambil tersenyum Bu Sum meletakkan sapu lidi tersandar di sisi pagar."Pagi Bu Sum," sapa Teguh."Pagi, Nak Teguh.""Kinan ... sini," panggil Teguh pada gadis kecil berusia sekitar lima tahun, yang masih bersembunyi di balik pagar. "Katanya mau kenalan sama Tante Dara, ini rumahnya," ucap Teguh sambil berjongkok membujuk anak perempuannya.Bu Sumi tersenyum, ada sesak di dadanya melihat seorang anak yang masih terlalu kecil sudah harus kehilangan ibunya. Membayangkannya saja sudah sesak apalagi gadis kecil itu yang merasakan bagaimana hidup tanpa seorang ibu."Ayo masuk, Uti punya coklat di dalam. Namanya siapa?" tanya Bu Sum lembut."Ditanya namanya siapa tuh, sama Uti. Teguh meraih jari-jari mungil itu mengajaknya melangkah masuk pekarangan."Kinan," ucapnya lirih."Ayo ikut Uti, Uti punya coklat dan biskuit, Kinan mau?""Mau," jawab Kinan sambil mengangguk-angguk."Nak T
Rizal melempar ponselnya ke atas ranjang, dadanya bergemuruh kesal. Bagaimana tidak dia kesal, hampir dua bulan dan dia tidak mendapatkan satu kabarpun tentang keberadaan dimana istrinya. "Ada apa sih ini sebenarnya!" BughTangannya menghantam tembok bercat putih di kamar mereka. "Arggh! Sialan, dimana kamu Ra!""Cal ... Ical, kamu kenapa?" Suara Donna dari balik pintu semakin menambah emosi Rizal."Cal ... kamu nggak kenapa-kenapa, kan? Mama dengan ada suara keras dari dalam kamar. Cal—"Rizal masih tak bersuara, dadanya bergemuruh, nafasnya menderu."Bangsat!""Cal! Mama masuk ya ...." Donna mulai khawatir, dia berulang kali berusaha membuka pintu kamar Rizal."Pa ... Pa!" panggil Donna.Hanna dan suaminya berlari tergopoh-gopoh mendengar suara Donna yang memanggil Andreas. Sementara Andreas, keluar dari kamarnya dengan wajah panik."Ada apa?""Rizal, di dalam entah kenapa. Sepertinya dia sedang marah," ujar Donna."Cal, buka pintunya," ujar Hanna berusaha selembut mungkin untuk
Pintu pagar setinggi satu setengah meter itu masih terkunci. Kios tempat Bu Sum mencari rejekinya juga masih tertutup rapat padahal waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Rizal tiba di Jogja pukul 10 pagi tadi, menempuh perjalanan dari bandara ke rumah Bu Sum sekitar hampir satu setengah jam. Rizal akhirnya memutuskan untuk menemui istrinya meski larangan Donna saat itu cukup keras. Jauh di lubuk hati lelaki itu dia begitu merindukan Dara selama tiga minggu ini."Cari siapa?" tanya wanita bertubuh kurus yang kebetulan lewat. "Eh, Mas Rizal?" Dia terkejut saat mendapati pria yang berdiri lama di sana adalah Rizal."Mbak Siti? Mbak Siti, kan?""Iya, Mas," jawab Siti nampak sedikit ragu. "Mm—mbak Dara nya nggak ikut, Mas?" "Loh, Dara nggak di rumah?""Bukannya Mbak Dara di Padang?" Wajah Siti bingung."Oh, mm— begini Mbak Siti," ujar Rizal pun bingung ingin mengatakan apa. "Kalo Dara sudah datang, tolong suruh langsung hubungi Saya, karena nomer dia dan nomer Ibu nggak bisa Saya hubun
"Selamat pagi."Synthia masuk ke ruangan yang dominan berwarna putih itu. Melengkok berjalan mendekati meja kerja Rizal."Pagi, Syn.""Aku bawain kamu sandwich dan ...." Synthia meletakkan dua cangkir berisi kopi kesukaan Rizal. “Sarapan dulu, yuk.”"Makasih, Syn." Rizal meraih roti sandwich yang sudah dibuka oleh Synthia. "Kamu bikin sendiri?"Synthia tertawa. "Ya nggak mungkin, Zal."“Sudah kutebak.” Rizal ikut tertawa."Bagaimana Dara? Sudah menghubungi kamu?" tanya Synthia penasaran."Belum, entah mau nya apa," jawab Rizal sedikit kesal. Sebersit senyuman memikat sudut bibir Synthia. Perlahan tapi pasti dia yakin, lelaki yang berada di hadapannya ini akan jatuh ke pelukannya.“Tapi mungkin aku akan ke Jogja, setelah urusan pekerjaan di rumah sakit selesai.”"Oh." Hati Synthia mencelos, tadinya dia berharap Rizal akan masa bodo akan kepergian Dara."Jadi, apa yang akan kita bahas hari ini?" tanya Rizal membuat Synthia kembali sadar dari lamunan."Untuk tempat tidur di gedung baru
"Selamat bergabung." Dara menerima uluran tangan Andi seorang HRD manager tempatnya bekerja. Atas bantuan Winda, Dara diterima bekerja di hotel milik Mr. Richard."Gimana, Ra?""Makasih ya, Win ... sampaikan terimakasihku pada Mr. Richard. Kalau nggak ada kalian pasti aku akan kesusahan dapet kerjaan di sini.""Mr. Richard bilang apa sih yang enggak buat kamu," ujar Winda tertawa renyah."Jangan mulai deh," ucap Dara ikut tertawa. "Kapan ke Bandung, Win?""Nantilah, kalo kerjaan agak longgar aku juga pengin ambil cuti buat healing, kali aja bisa dapet jodoh.""Hhmm ... itu lagi.""Ra, aku tutup dulu ya. Bos besar manggil nih.""Ok, makasih ya Win ...."Baru saja Dara mengakhiri pembicaraannya, sebuah pesan masuk dari Bu Sum."Jangan lupa makan, Ra. Ibu takut maag kamu kumat lagi.""Iya, Bu. Ini Dara mau ke apotik sekalian beli obat untuk stok di rumah, Ibu mau titip apa?""Ibu nggak titip apa-apa, kamu cepat pulang ya."Tanpa membalas kembali pesan Bu Sum, Dara memasuki sebuah apotik
"Apa nggak sebaiknya kamu menghubungi suamimu, Ra?"Bu Sumi menyusun satu per satu lipatan baju Dara ke dalam lemari. Sudah satu minggu ini, anak perempuannya itu hanya berdiam menatap keluar jendela kamar."Apa kata mertuamu nanti, nggak baik, Ra. Walau bagaimanapun kamu masih berstatus istri Nak Rizal, menantu dari Pak Andreas. Sepelik apapun masalah kalian, pantang seorang istri lari dari rumah, apalagi masih tinggal di rumah mertua.""Kasih aku waktu, Bu. Biarkan aku menenangkan pikiranku dulu, kalau sekarang dibicarakan nanti malah menambah emosiku saja.""Terserah kamu kalo begitu. Cuma yang namanya masalah nggak baik kalo berlarut-larut di diamkan." Bu Sum melangkah mendekati Dara, menepuk pundak anak perempuannya. "Ibu mau telpon ke Jogja dulu. Biar loundry dibereskan semua, dan stop terima loundry untuk sementara waktu sampai Ibu pulang.""Bu," panggil Dara menghentikan langkah kaki Bu Sum yang sudah mendekati pintu."Ya?""Maafin Dara jadi merepotkan Ibu."Bu Sum hanya terse