"Nah, sudah selesai, Nona," kata Marta begitu selesai memoleskan make-up terakhir di wajahku.
Perlahan aku membuka mata, dan melihat wajahku dalam cermin. Mataku membulat, seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Apa itu aku?"Sekarang Nona berganti pakaian dulu, ya?" kata Marta lagi sambil mengulurkan beberapa pakaian yang digantung.Aku mengangguk, lalu segera mengganti pakaian dan jilbab yang dipilihkan oleh Marta. Setelah memakainya, aku memandangi diriku sekali lagi di depan cermin.Ayu si gadis kampung itu telah tiada, menjelma menjadi wanita anggun dengan penampilan resminya. Aku menarik napas dalam-dalam. Hari ini aku harus menunjukkan pada mereka, bahwa aku bukan orang yang bisa mereka remehkan lagi."Supir sudah menunggu di bawah, Nona," kata Marta, sambil sedikit membenarkan jilbabku.Sesaat kemudian dia mengacungkan jempolnya sambil tersenyum, pertanda penampilanku sudah oke. Aku membalas senyumannya, seraya mengucapkan terima kasih. Aku segera turun ke bawah, dan melihat Dhafa berdiri di loby membelakangiku."Dhafa," panggilku. "Bagaimana penampilanku?"Dhafa menoleh padaku. Sesaat matanya tampak membulat, lalu cepat-cepat memalingkan muka, menyembunyikan mukanya yang memerah. Aku langsung cemberut melihat ekspresinya itu."Penampilanku aneh, ya?" tanyaku.Dhafa tak langsung menjawab. Dia mengusap hidungnya, lalu berkata lirih."Kamu cantik."Mukaku langsung memerah. Sesaat aku menunduk, tersipu malu. Ah, kenapa aku jadi canggung begini?"Hari ini aku tidak bisa menemanimu, karena aku harus mengantarkan Johan dan Istrinya ke acara itu juga," kata Dhafa kemudian. "Kamu harus berhadapan dengan mereka sendirian."Aku membuang napas, lalu mengangguk penuh keyakinan. Dhafa tampak tersenyum."Aku pergi dulu," katanya sambil berlalu."Dhafa," panggilku.Dhafa menghentikan langkah, lalu menoleh padaku."Terima kasih," kataku."Aku akan berusaha."Dhafa mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya. Aku masih memperhatikan punggungnya yang pergi menjauh. Bismillah, aku memantapkan diriku lagi....Mobil yang mengantarku berdiri di depan gedung besar dan tinggi. Supir membukakan pintu untukku. Aku melangkah turun, lalu berjalan mantap memasuki gedung itu, dengan dua orang body guard di belakangku.Dari jauh tampak sekelompok wartawan sedang mewawancarai seseorang. Aku berhenti melangkah sejenak. Mataku sedikit membulat, ketika melihat ternyata yang sedang mereka wawancarai adalah Mas Johan dan Shafira.Tapi yang paling menyita perhatianku adalah anak dalam gendongan Shafira. Syakila sudah berumur hampir lima bulan sekarang. Dia tampak cantik dengan gaun berwarna merah, yang selaras dengan penampilan Shafira dan Mas Johan.Aku menahan napas, juga menahan perasaan rinduku. Dengan percaya diri aku melanjutkan langkah. Seorang wartawan melihatku, dan berbicara pada temannya. Saat mereka juga melihatku, para wartawan itu tiba-tiba menyerbu ke arahku."Apa benar, anda Nona Ayu Kusumaningtyas, pimpinan perusahaan baru yang sedang di ujung kesuksesan sekarang?""Tolong beritahu kami, produk apa yang akan perusahaan anda luncurkan berikutnya?""Hari ini anda akan memperoleh penghargaan. Bagaimana perasaan anda?"Berbagai pertanyaan memberondong ke arahku. Aku melirik ke arah Mas Johan dan Shafira yang dari tadi menatapku dengan pandangan heran. Mungkin mereka belum mengenaliku sepenuhnya. Mereka tampak saling berbicara, dan terlihat menyangkal satu sama lain.Para body guard yang mengawalku menghalangi para wartawan yang mengebutiku, lalu membukakan jalan untukku. Aku melanjutkan langkah lagi, melewati Mas Johan dan Shafira yang masih memperhatikanku dan bertanya-tanya siapa aku.Aku memasuki ruangan para tamu undangan dan duduk di kursi VIP. Para body guardku berdiri di sisi ruangan, tak jauh dariku. Beberapa saat kemudian, acara meriah itu pun dimulai. Aku sedikit canggung karena tak satupun orang di sana yang kukenal. Tapi aku berusaha bersikap biasa dan penuh percaya diri.Ketika mengamati sekeliling, ternyata Johan dan Shafira duduk tak jauh dari tempatku. Tatapan mereka terlihat mengarah tajam ke arahku. Aku membalas senyuman mereka dengan senyuman sombongku, lalu memalingkan muka dari mereka, dan fokus pada MC yang sedang membawa acara."Mari kita sambut, pimpinan perusahaan yang belakangan ini sukses mendobrak pasaran, Nona Ayu Kusumaningtyas!"Para hadirin semua berdiri dan bertepuk tangan meriah, termasuk Mas Johan dan Shafira. Aku berdiri dari dudukku, dan melangkah penuh percaya diri naik ke atas panggung. Tak lupa kuberikan senyumku yang paling manis dan jahat.Beberapa orang memberiku piagam dan penghargaan. Aku menerimanya dan berterima kasih."Nona, tolong beri tahu kami bagaimana anda bisa sukses dalam waktu singkat?" tanya MC itu padaku.Aku tersenyum, seraya menjawab."Produk kami bukan hanya menembus kalangan menengah ke atas saja, tapi juga kalangan menengah ke bawah. Jadi, kami berusaha agar orang-orang dari kalangan ke bawah bisa menikmati produk kami sesuai dengan kemampuan mereka, tapi tetap dengan kwalitas yang terbaik."Semua hadirin bertepuk tangan dan saling berbicara satu sama lain, dan tampak memujiku. Aku melirik Mas Johan dan Shafira yang berdiri mematung dengan muka tegang mereka."Adakah seseorang yang menjadi inspirasi anda hingga bisa sesukses ini?"Aku rersenyum lagi."Ada," jawabku sambil menatap tajam ke arah Mas Johan, tetap dengan senyum manisku. "Inspirasi saya adalah mantan suami saya, yang saat ini sedang berdiri di sebelah sana."Aku menunjuk ke arah Mas Johan. Semua pandangan langsung tertuju padanya, dan beberapa saat mereka saling berbicara satu sama lain, sehingga suasana agak sedikit gaduh. Shafira tampak gugup. Mas Johan menatapku tajam, dan aku membalasnya dengan senyum kemenangan."Mamaaa...," Dhafa kecil menangis sambil berlari ke arah mamanya.Sarah langsung mendekap putra semata wayangnya itu."Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil mengelus rambut puteranya."Johan merebut mainanku!" rengeknya. "Kenapa sih, dia selalu merebut semua milikku?"Sarah tersenyum. Dia menghapus air mata puteranya, lalu mencium keningnya."Dia tidak merebut semua milikmu. Dia hanya menjaganya, dan suatu saat nanti akan mengembalikannya padamu."Benarkah?" tanya Dhafa dengan wajah polosnya.Ibunya mengangguk, lalu memeluknya."Suatu saat nanti, apa yang dimiliki Johan akan jadi milikmu juga."...Dhafa tersenyum sambil melihat pemandangan langit dari jendela pesawat."Apa yang kau pikirkan? Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Sonia tiba-tiba.Dhafa tak menjawab. Dia hanya membuang napas."Senang sekali kita pulang tepat waktu musim semi. Jadi kita bisa melaksanakan acara pertunangan secara outdoor," kata Sonia membuka-buka majalah.Aku membuang napas lagi. Dia sedang dalam perjalanan
Ayu berlari di sepanjang bandara internasional itu, berharap bisa menemukan Dhafa. Dia terus berlari, menerobos kerumunan orang-orang, kloter demi kloter dia telusuri, tapi tak juga menemukan sosok Dhafa di antara mereka. Hingga ketika dia hampir putus asa, dia melihatnya diantara orang-orang yang antri untuk cek in."Dhafa!" panggilnya dari jauh.Dhafa menoleh, begitupun Sonia yang ada di sampingnya. Ayu dan Dhafa saling bertatapan, tapi tak berkata apa-apa.Sonia menepuk bahu Dhafa."Aku duluan, kutunggu di dalam," katanya, sambil menyerahkan tiket pada petugas bandara.Ayu masih berdiri di tempatnya. Tadi begitu banyak yang ingin dia ungkapkan pada Dhafa. Tapi kini dia kehilangan kata-kata. Dia bahkan tak bisa mengucapkan 'jangan pergi'.Dhafa berjalan mendekat, lalu berdiri di hadapan Ayu. Bibir Ayu bergetar, tapi dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya air matanya yang mengalir, mewakili isi hatinya. Dhafa menyentil pelipisnya Ayu, lalu mengusap air matanya dengan ujung jarinya."Jan
Belum sempat Johan mengatakan sesuatu lagi, tiba-tiba Ayu duduk bersimpuh di kakinya seraya menangis."Tolong maafkan aku, Mas. Aku pergi ke sini tanpa ijin dari Mas. Aku benar-benar merindukan ayahku! Kumohon, biarkan aku di sini sebentar lagi! Setelah itu, aku akan menerima jika Mas dan Mama mau menghukumku!"Napas Johan sesak seketika. Ternyata ingatan Ayu belum pulih, dan ternyata selama menikah dengannya dia begitu menderita. Johan duduk di hadapan Ayu, dan seketika memeluknya dengan erat."Maafkan aku, sudah membuatmu begitu menderita," ucap Johan penuh penyesalan. "Mulai sekarang aku janji akan membuatmu bahagia. Aku janji tidak akan mengurungmu dan mengekangmu lagi. Aku akan menjagamu sampai kapanpun!"Mata Ayu membulat mendengar kata-kata Johan."Mas tidak marah?" tanya Ayu lirih."Mas tidak marah, tidak akan pernah marah lagi padamu. Mulai hari ini, biarkan aku membuat kau dan Syakila hidup bahagia."Ayu tersenyum bahagia, lalu membalas pelukan Johan dengan penuh keharuan. T
"Ikutlah denganku, akan kubuat kau jadi kaya."Ayu tersentak bangun. Sesaat dia memegang kepalanya yang masih terasa nyeri. Dia selalu memimpikan hal yang sama. Seseorang, entah siapa, dalam mimpi itu mengulurkan tangan padanya. Ayu memegang dadanya. Entah kenapa seperti ada yang hilang, tapi dia tidak bisa mengingatnya.Ayu menatap sekeliling. Dia masih berada di rumah sakit. Tiba-tiba matanya mengarah pada setangkai bunga mawar putih di atas meja. Ayu mengambilnya, lalu membelainya seraya tersenyum. Siapa yang memberinya bunga itu?"Asallamualaikum.""Waalaikumussalam," Ayu menatap pintu, dan melihat Johan masuk sambil menggendong Syakila."Kata dokter hari ini kau sudah boleh pulang. Aku akan membantumu bersiap-siap," kata Johan seraya tersenyum.Ayu membalas senyumannya. Tiba-tiba Johan mengeluarkan seikat bunga mawar merah dan memberikannya pada Ayu. Mata Ayu membulat senang seraya menerimanya."Setelah mawar putih, sekarang mawar merah? Sekarang mas jadi romantis," kata Ayu deng
Johan berlari sebisa mungkin menuruni bukit, sambil menggendong tubuh Ayu yang tak sadarkan diri. Untunglah dia hanya terjatuh di sisi jurang, tapi kepalanya terbentur batu dengan keras."Kau harus bertahan, Ayu, kau harus bertahan! Demi Syakila, kau tidak boleh mati!" raungnya sepanjang jalan.Napas Johan memburu, paru-parunya seakan kering karena kehabisan oksigen. Dia masih berjuang menuruni bukit untuk menyelamatkan wanita yang dulu pernah dibuangnya itu.Sampai di perkampungan, Johan melihat para warga ramai berkumpul karena mobil pick up yang akan membawa hasil perkebunan mereka ke kota sudah datang. Johan mempercepat larinya menuju ke arah mobil itu sambil berteriak minta tolong."Tolong, tolong selamatkan istri saya, Pak! Bawa kami ke rumah sakit! Tolong!" teriaknya.Baru kali ini Johan meminta bantuan orang lain dengan kata 'tolong'. Dia bahkan tanpa sadar menyebut Ayu sebagai istrinya."Bagaimana dengan barang dagangan kami?" tanya salah satu warga."Saya akan bayar! Saya ak
Dhafa masih berdiri mematung sambil memperhatikan Ayu dan Johan dari jauh. Entah apa yang dia rasakan. Dia hanya bisa menatap nanar ke arah mereka."Kok mereka kelihatan bahagia begitu sih? Jangan-jangan mereka memang sengaja kabur bersama," gerutu Sonia.Dhafa akhirnya bergerak, tapi berjalan berbalik arah. Seketika Sonia sadar dia salah bicara. Dia cepat-cepat berlari mengejar Dhafa."Kau mau ke mana? Kita kan sudah berhasil menemukan mereka?" tanya Sonia sambil mendaki kembali bukit itu dengan susah payah.Dhafa diam tak menjawab. Dia tetap saja berjalan naik tanpa mendengarkan teriakan Sonia. Sesampainya ke atas, dia langsung menaiki mobilnya lagi. Sonia dengan susah payah berusaha naik ke atas. Napasnya memburu begitu sampai ke mobil."Kau itu menyebalkan! Tadi kau ngotot pengen cepat mencari mereka! Sekarang kenapa malah pergi?" omelnya pada Dhafa.Dhafa masih terdiam di depan kemudi. Ada yang berat di dalam dadanya, entah apa."Sekarang bagaimana? Apa kita suruh polisi saja yan