Hari itu Dhafa menyuruhku untuk berkemas, karena aku akan segera pindah ke apartemen dan tinggal di sana. Aku melihat sekeliling rumah yang sudah beberapa bulan kutempati itu. Aku suka rumah itu, meskipun tak tahu itu rumah siapa.
Tiba-tiba aku ingat satu ruangan yang Dhafa melarangku untuk membukanya. Aku mengamati pintu ruangan yang terkunci itu. Kucoba membukanya, tapi tak bisa. Akhirnya aku mengintip di lubang kunci pintu. Terlihat sebuah kamar dengan banyak rak buku. Ah, aku penasaran ada apa di dalamnya.Aku langsung pergi ke belakang rumah dan berjalan ke samping ruangan itu. Ada jendela tinggi di sana. Aku segera pergi ke gudang dan mengambil tangga lipat. Perlahan kutaruh tangga itu tepat di bawah jendela, dan aku mulai memanjat.Kucoba membuka jendelanya, tapi terkunci juga. Karena kesal kugedor jendela itu dengan keras. Tak kusangka engselnya terbuka karena sudah tua dan berkarat. Aku melonjak gembira. Segera kubuka jendela itu dan aku memanjat masuk.Kamar itu terlihat rapi, meskipun sebagian tampak berdebu. Aku mengamati rak-rak buku yang berjejer. Apa istimewanya tempat ini? Kenapa Dhafa melarangku memasukinya?Aku membelai buku-buku yang berjejer di sana dengan ujung jariku. Lalu mengamati jejeran piala yang tersimpan rapi di lemari kaca. Tak sengaja mataku tertuju pada sebuah foto dalam bingkai kecil. Foto seorang wanita cantik berjilbab panjang, dan seorang anak laki-laki. Aku tersenyum. Itu pasti Dhafa dan ibunya. Ternyata Dhafa sedari kecil sudah ganteng, pikirku.Ketika aku melihat satu foto lagi di samping foto itu, jantungku berdegup kencang. Aku mengucek mataku, takut salah lihat. Tapi ternyata, itu memang benar foto orang yang kukenal. Foto Papanya Mas Johan, suami dari Nyonya Asmi, yang sudah meninggal tujuh tahun yang lalu. Kenapa fotonya ada di sini? Siapa Dhafa sebenarnya?Semalaman aku terus memikirkannya. Apa hubungan Dhafa dengan keluarga itu? Dan apa yang membuat Dhafa dendam pada keluarga mereka? Aku ingin sekali mengetahuinya....Beberapa hari kemudian Dhafa menjemputku, dan membawaku ke apartemen yang dia maksud. Sepanjang perjalanan aku hanya diam memikirkan apa yang kutemukan beberapa waktu yang lalu. Sesekali aku meliriknya yang sedang fokus menyetir."Kenapa diam saja? Sakit gigi?" tanyanya tiba-tiba hingga membuatku salah tingkah."Ah, enggak kok," aku memalingkan muka, menatap ke luar jendela mobil.Kutarik napas dalam-dalam. Aku percaya pada Dhafa jadi akan kutunggu dia bercerita atas keinginannya sendiri.Mobil berhenti tepat di depan sebuah apartemen mewah. Kami turun, lalu masuk ke dalam dan naik ke atas lift. Begitu kami keluar dari lift, aku begitu terkejut karena disambut oleh tiga orang perempuan."Selamat datang, Nona Ayu!" sapa mereka kompak.Aku melotot pada Dhafa, penuh pertanyaan. Dhafa tersenyum lalu memperkenalkan mereka satu persatu."Ini Greta, dia akan mengajarimu cara makan, berjalan, cara bertemu dengan tamu, dan semua yang berhubungan dengan tata krama," katanya sambil menunjukkan wanita yang sudah agak berumur itu.Wanita yang tampak galak mirip guru BP itu tersenyum padaku."Ini Marta, dia yang akan mengurus perawatan badan dan wajah, make up, juga baju yang akan kau kenakan," kata Dhafa lagi sambil menunjuk wanita berambut ikal.Wanita cantik itu melambaikan tangan sambil tersenyum ceria."Dan yang ini Shella, dia akan mengajarimu bahasa dan komputer," Dhafa menunjuk wanita berjilbab dan berkaca mata.Wanita itu juga tersenyum padaku. Aku hanya bisa meringis bingung. Ternyata jadi orang kaya itu serepot ini. Ingin rasanya aku kabur saja....Sejak hari itu, setiap harinya aku mulai mengikuti pelatihan keras selama tiga bulan. Aku harus belajar ini itu, tidak boleh pakai ini itu, tidak boleh melakukan ini itu, pokoknya hal yang harus dilakukan oleh konglomerat.Waktu masih jadi istri Mas Johan aku tidak pernah diajari apapun, karena memang aku hanya mirip seperti boneka, seperti burung dalam sangkar. Aku bahkan tidak diijinkan sekalipun keluar rumah. Saat Bapak meninggal pun, aku tak diijinkan pulang.Aku duduk sambil mengelus kakiku yang bengkak, karena belajar berjalan menggunakan sepatu hak tinggi. Rasanya sakit sekali. Belum lagi aku harus tetap mendengarkan materi bahasa inggris di telingaku dengan ear phone.Tiba-tiba seseorang mengulurkan salep padaku. Ternyata Dhafa. Dia duduk di sampingku. Aku mengambil salep dari tangannya dan mengoleskannya di kakiku. Setelah itu kulepas ear phone di telingaku seraya membuang napas."Capek?" tanyanya.Aku mengangguk."Maaf, ya?"Aku tersentak mendengar dia minta maaf."Kenapa minta maaf?" tanyaku."Secara tidak langsung, aku sudah memanfaatkanmu untuk tujuanku juga."Aku tersenyum."Jangan minta maaf, aku justru berterima kasih," kataku. "Kalau kau tidak menyelamatkanku waktu itu, aku pasti sudah mati sia-sia. Kau juga banyak sekali menolongku. Kau bahkan membantuku bertemu dengan anakku. Aku tak tahu cara membalas semuanya."Dhafa tersenyum, lalu mengulurkan sebuah undangan padaku. Aku mengerutkan kening seraya menerimanya. Undangan pertemuan para pengusaha."Tunjukkan yang terbaik dalam acara itu. Karena Johan pasti juga akan datang," katanya.Aku menelan saliva, lalu mengangguk mantap."Mamaaa...," Dhafa kecil menangis sambil berlari ke arah mamanya.Sarah langsung mendekap putra semata wayangnya itu."Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil mengelus rambut puteranya."Johan merebut mainanku!" rengeknya. "Kenapa sih, dia selalu merebut semua milikku?"Sarah tersenyum. Dia menghapus air mata puteranya, lalu mencium keningnya."Dia tidak merebut semua milikmu. Dia hanya menjaganya, dan suatu saat nanti akan mengembalikannya padamu."Benarkah?" tanya Dhafa dengan wajah polosnya.Ibunya mengangguk, lalu memeluknya."Suatu saat nanti, apa yang dimiliki Johan akan jadi milikmu juga."...Dhafa tersenyum sambil melihat pemandangan langit dari jendela pesawat."Apa yang kau pikirkan? Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Sonia tiba-tiba.Dhafa tak menjawab. Dia hanya membuang napas."Senang sekali kita pulang tepat waktu musim semi. Jadi kita bisa melaksanakan acara pertunangan secara outdoor," kata Sonia membuka-buka majalah.Aku membuang napas lagi. Dia sedang dalam perjalanan
Ayu berlari di sepanjang bandara internasional itu, berharap bisa menemukan Dhafa. Dia terus berlari, menerobos kerumunan orang-orang, kloter demi kloter dia telusuri, tapi tak juga menemukan sosok Dhafa di antara mereka. Hingga ketika dia hampir putus asa, dia melihatnya diantara orang-orang yang antri untuk cek in."Dhafa!" panggilnya dari jauh.Dhafa menoleh, begitupun Sonia yang ada di sampingnya. Ayu dan Dhafa saling bertatapan, tapi tak berkata apa-apa.Sonia menepuk bahu Dhafa."Aku duluan, kutunggu di dalam," katanya, sambil menyerahkan tiket pada petugas bandara.Ayu masih berdiri di tempatnya. Tadi begitu banyak yang ingin dia ungkapkan pada Dhafa. Tapi kini dia kehilangan kata-kata. Dia bahkan tak bisa mengucapkan 'jangan pergi'.Dhafa berjalan mendekat, lalu berdiri di hadapan Ayu. Bibir Ayu bergetar, tapi dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya air matanya yang mengalir, mewakili isi hatinya. Dhafa menyentil pelipisnya Ayu, lalu mengusap air matanya dengan ujung jarinya."Jan
Belum sempat Johan mengatakan sesuatu lagi, tiba-tiba Ayu duduk bersimpuh di kakinya seraya menangis."Tolong maafkan aku, Mas. Aku pergi ke sini tanpa ijin dari Mas. Aku benar-benar merindukan ayahku! Kumohon, biarkan aku di sini sebentar lagi! Setelah itu, aku akan menerima jika Mas dan Mama mau menghukumku!"Napas Johan sesak seketika. Ternyata ingatan Ayu belum pulih, dan ternyata selama menikah dengannya dia begitu menderita. Johan duduk di hadapan Ayu, dan seketika memeluknya dengan erat."Maafkan aku, sudah membuatmu begitu menderita," ucap Johan penuh penyesalan. "Mulai sekarang aku janji akan membuatmu bahagia. Aku janji tidak akan mengurungmu dan mengekangmu lagi. Aku akan menjagamu sampai kapanpun!"Mata Ayu membulat mendengar kata-kata Johan."Mas tidak marah?" tanya Ayu lirih."Mas tidak marah, tidak akan pernah marah lagi padamu. Mulai hari ini, biarkan aku membuat kau dan Syakila hidup bahagia."Ayu tersenyum bahagia, lalu membalas pelukan Johan dengan penuh keharuan. T
"Ikutlah denganku, akan kubuat kau jadi kaya."Ayu tersentak bangun. Sesaat dia memegang kepalanya yang masih terasa nyeri. Dia selalu memimpikan hal yang sama. Seseorang, entah siapa, dalam mimpi itu mengulurkan tangan padanya. Ayu memegang dadanya. Entah kenapa seperti ada yang hilang, tapi dia tidak bisa mengingatnya.Ayu menatap sekeliling. Dia masih berada di rumah sakit. Tiba-tiba matanya mengarah pada setangkai bunga mawar putih di atas meja. Ayu mengambilnya, lalu membelainya seraya tersenyum. Siapa yang memberinya bunga itu?"Asallamualaikum.""Waalaikumussalam," Ayu menatap pintu, dan melihat Johan masuk sambil menggendong Syakila."Kata dokter hari ini kau sudah boleh pulang. Aku akan membantumu bersiap-siap," kata Johan seraya tersenyum.Ayu membalas senyumannya. Tiba-tiba Johan mengeluarkan seikat bunga mawar merah dan memberikannya pada Ayu. Mata Ayu membulat senang seraya menerimanya."Setelah mawar putih, sekarang mawar merah? Sekarang mas jadi romantis," kata Ayu deng
Johan berlari sebisa mungkin menuruni bukit, sambil menggendong tubuh Ayu yang tak sadarkan diri. Untunglah dia hanya terjatuh di sisi jurang, tapi kepalanya terbentur batu dengan keras."Kau harus bertahan, Ayu, kau harus bertahan! Demi Syakila, kau tidak boleh mati!" raungnya sepanjang jalan.Napas Johan memburu, paru-parunya seakan kering karena kehabisan oksigen. Dia masih berjuang menuruni bukit untuk menyelamatkan wanita yang dulu pernah dibuangnya itu.Sampai di perkampungan, Johan melihat para warga ramai berkumpul karena mobil pick up yang akan membawa hasil perkebunan mereka ke kota sudah datang. Johan mempercepat larinya menuju ke arah mobil itu sambil berteriak minta tolong."Tolong, tolong selamatkan istri saya, Pak! Bawa kami ke rumah sakit! Tolong!" teriaknya.Baru kali ini Johan meminta bantuan orang lain dengan kata 'tolong'. Dia bahkan tanpa sadar menyebut Ayu sebagai istrinya."Bagaimana dengan barang dagangan kami?" tanya salah satu warga."Saya akan bayar! Saya ak
Dhafa masih berdiri mematung sambil memperhatikan Ayu dan Johan dari jauh. Entah apa yang dia rasakan. Dia hanya bisa menatap nanar ke arah mereka."Kok mereka kelihatan bahagia begitu sih? Jangan-jangan mereka memang sengaja kabur bersama," gerutu Sonia.Dhafa akhirnya bergerak, tapi berjalan berbalik arah. Seketika Sonia sadar dia salah bicara. Dia cepat-cepat berlari mengejar Dhafa."Kau mau ke mana? Kita kan sudah berhasil menemukan mereka?" tanya Sonia sambil mendaki kembali bukit itu dengan susah payah.Dhafa diam tak menjawab. Dia tetap saja berjalan naik tanpa mendengarkan teriakan Sonia. Sesampainya ke atas, dia langsung menaiki mobilnya lagi. Sonia dengan susah payah berusaha naik ke atas. Napasnya memburu begitu sampai ke mobil."Kau itu menyebalkan! Tadi kau ngotot pengen cepat mencari mereka! Sekarang kenapa malah pergi?" omelnya pada Dhafa.Dhafa masih terdiam di depan kemudi. Ada yang berat di dalam dadanya, entah apa."Sekarang bagaimana? Apa kita suruh polisi saja yan