Pov Hanin"Mas, tutup lagi pintunya!" Teriakku lalu berlari ke luar. "Kenapa, Nin?" tanyanya dengan raut kebingungan. "Mas,tutup pintunya... A--ada ular!" jawabku seraya menunjuk pintu yang masih terbuka. "Apa!""Tutup dulu, Mas!"Dengan sedikit bingung Mas Bayu menutup pintu kamar Nisa dari luar. Tangannya menarik pintu agar tak terbuka. "Bagaimana ini, Mas? Kasihan Nisa. Dia pasti digigit ular lalu pingsan. Kita harus cepat menolongnya, tapi ular itu masih berada di samping tubuhnya," ucapku dengan gemetaran. Bayangan ular berwarna hijau kembali hadir dan membuatku bergidik ngeri. "Ada apa, Bu, Pak? Kenapa ribut-ribut?" tanya Bi Leha dari belakang seraya menutup mulut karena menguap. "Ada ular di kamar Nisa, Bi.""Apa!""Cepat kamu minta tolong orang, Bi. Di pos pasti masih banyak orang. Kasihan Nisa," perintah Mas Bayu. Bi Leha segera berlari sambil berteriak minta tolong. Aku dan Mas Bayu memilih berdiri di depan pintu dengan perasaan takut yang semakin besar. Rasa tak teg
"Bagaimana, Nin?" "Pernikahan akan tetap dilanjutkan, Mas. Semua demi kebaikan kita." Mas Bayu membuang napas kasar lalu membalikkan badan. Kami duduk berdekatan tetapi saling diam. Keadaan ini membuatku serba salah. Bukankah pernikahan ini atas dasar keputusan bersama? Meski aku sedikit mendominasi. "Keluarga Bu Nisa?" tanya seorang suster. "Kami keluarganya, Sus." Aku berdiri lalu melangkah mendekat. "Mari silakan masuk," ucapnya ramah. Kami masuk ke ruang IGD. Nisa sudah terbangun dari pingsannya. Bibirnya terlihat pucat, tapi dia masih tersenyum kala melihat kedatanganku. Kedatangan kami lebih tepatnya. "Bagaimana keadaan adik saya, Dok?" tanyaku. "Alhamdulillah Mbak Nisa mendapat pertolongan tepat waktu. Sehingga racunnya tidak menyebar ke seluruh tubuh. Untuk sementara Mbak Nisa harus dirawat inap terlebih dahulu sampai kondisi Mbak Nisa benar-benar pulih.""Alhamdulillah, terima kasih, Dok.""Silakan urus administrasinya agar pasien segera dipindahkan ke ruang rawat ina
Pov BayuAku tak menyangka akan mengucapkan ikrar janji suci untuk kedua kalinya. Aku tak tahu, haruskah bahagia atau bersedih? Sejujurnya aku tak memiliki perasaan apa pun kepada Nisa. Aku hanya tak mampu menolak permintaan Hanin,istri pertamaku. "Selamat Pak Bayu dan Mbak Nisa, kalian sudah resmi menjadi suami istri," ucap Penghulu.Aku tersenyum kaku dalam hati berkecamuk rasa bersalah yang tiada henti. Aku telah mengkhianati janji suci yang kuucapkan pada Hanin dulu. Ya,meski semua permintaan istriku. Namun kenapa aku begitu bodoh sehingga mau menuruti semua permintaan gilanya. "Pak Bayu cincinnya dipasangkan di jemari istrinya dong," ucap salah satu saksi.Aku menoleh ke arah Hanin,dia tersenyum lalu menganggukkan kepala perlahan. Memberi isyarat agar diri ini segera memasangkan cincin ke jari manis Nisa,istri keduaku.Hanin mengalihkan pandangan saat aku menatap lekat netranya dari kejauhan. Aku yakin dia pun merasakan luka,sama seperti yang kurasakan kini. Namun apa mau dikat
Hari ini Nisa sudah diperbolehkan pulang. Semua administrasi rumah sakit sudah selesai. Kini saatnya kami pulang ke rumah. Mobil yang kulajukan menembus ramainya lalu lintas saat jam pulang kerja. Beberapa sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi. Mereka seolah terburu-buru agar sampai rumah. Anak dan istri pasti sudah menunggu di rumah. Mendadak aku merindukan Hanin dan ketiga anakku. "Kita langsung pulang atau mampir ke mana dulu, Nis?" tanyaku. "Pulang saja, Mas."Kendaraan roda empat kuparkirkan rapi di halaman rumah. Kami segera turun lalu berjalan menuju pintu utama. Tas berisi pakaian kuletakkan di depan pintu. Kurogoh kunci rumah. Sebelum Hanin pergi ia memberikan kunci rumah padaku. "Masuk, Nis. Kamu pasti capek," ucapku seraya mendorong pintu kayu jati itu. Rumah benar-benar sepi, tak ada teriakan Alma dan Azha saat berdebat. Tak ada pula tangis Ali yang meminta susu. Mereka masih menginap di rumah Bunda untuk beberapa hari ke depan. "Kamu mau makan atau istirahat?
Aku duduk di teras depan sembari melihat Azha dan Alma bermain bersama Kakeknya di halaman rumah. Mereka asyik berlari ke sana kemari sambil tertawa. Anak kecil memang hidup tanpa beban,mereka bisa tertawa lepas meski baru saja menangis. Mereka bisa hidup bebas tanpa masalah yang menghantui sepanjang waktu,berbeda dengan orang dewasa. Itu yang membuatku rindu menjadi anak-anak. “Hanin ....” Aku menoleh Bunda sudah berdiri di sampingku sambil menggendong Ali.Bunda menidurkan Ali di stroller kemudian menjatuhkan bobot di kursi, tepat sebelahku. Wanita yang sudah melahirkanku itu menatapku dengan sorot mata penuh tanda tanya.“Bunda ingin bertanya sesuatu?” tanyaku saat melihatnya termenung sambil menatapku. Beliau mengangguk.“Kamu menyesal meminta Bayu menikah lagi?” tanyanya sambil mengunci mata ini.“Apa aku terlihat menyesal,Bun?” Seulas senyum kuberikan padanya.“Jangan pernah coba-coba membohongi ibu kandung kamu sendiri,Nin. Sebagai seorang ibu,Bunda tahu apa yang kamu rasakan
“Sayang ....” Panggilan dan sebuah sentuhan di tangan membuatku terbangun.Perlahan kubuka mata lalu membalikkan tubuh ini ke samping. Aku dibuat terkejut dengan keberadaan Mas Bayu. Aku menggosok mata beberapa kali. Ini bukan mimpi,kenapa Mas Bayu bisa di sini? Bukankah inin waktunya bersama Nisa.“Mas, ini kamu?”Mas Bayu mendekat lalu mengecup pucuk kepalaku. “Ini nyata,Sayang. Aku di sini.”“Nisa mana,Mas?” tanyaku saat melihat Mas Bayu memindahkan Ali hingga berada di dekat tembok.Bukannya menjawab ia justru memeluk tubuhku erat. Kecupan demi kecupan ia berikan kepadaku. “Hanin,aku menginginkannya,” bisiknya.“Ta-tapi,Mas ka ....” belum sempat aku melanjutkan kata-kata,Mas Bayu sudah menempelkan bibirnya di tempat yang sama. Hingga akhirnya kami melakukan hal yang sudah beberapa hari tidak kami lakukan.“Terima kasih,Sayang,’ ucapnya lalu merebahkan tubuh di sampingku.“Nisa mana,Mas?” tanyaku lagi.“Nisa di rumah,Nin. Aku datang untuk menjemput kalian. Mas sudah rindu dengan k
pov Bayu"Da--darah," ucapku terbata. Aku semakin panik melihat Hanin meringis kesakitan sambil memegangi perutnya. Ya Allah, bagaimana ini? "Sa-sakit, Mas," rintihnya. Aku memungut pakaian dan mengenakan sekenanya. Lalu membantu Hanin memakaikan setelan baju tidur miliknya. Dengan hati-hati kubopong tubuh Hanin. Tak lupa kubawa hijab Hanin yang ada di luar lemari. Rasa bersalah menelusup di dalam sanubari. Jika aku tak meminta hakku malam ini, mungkin Hanin tak akan seperti ini. Kuakui, aku tak pernah mampu menahan gejolak yang tiba-tiba hadir. Aku terlalu egois hingga tak memikirkan bagaimana perasaan istriku. Ini pula yang membuat Hanin memintaku menolak lagi. "Ibu kenapa, Pak?" tanya Bi Leha saat berpapasan denganku di dekat pintu utama. "Titip anak-anak, Bi. Ali sendirian di kamar," ucapku lalu membawa Hanin masuk ke mobil. Kutinggalkan Bi Leha dengan tatapan penuh tanda tanya. Ini bukan saat yang tepat untuk menjelaskan masalah ini. Keselamatan Hanin jauh lebih penting. A
Satu minggu sudah aku tak bisa tidur nyenyak. Berulang kali Hanin memintaku tidur di kamar Nisa. Namun sekali pun tak pernah kulakukan. Aku tak ingin meninggalkan Hanin, meski aku tahu ini salah. Nisa berhak atasku. Tapi aku justru mengabaikan dirinya. Kutatap wanita yang sudah memberiku limpahan kebahagiaan itu. Dia terlelap sambil memeluk Ali. Dia memang sangat menyayangi kami. Itu pula yang membuat Hanin nekat memintaku menikah lagi meski aku tahu ia pun terluka. Suara denting terdengar jelas di tengah malam. Suaranya semakin membuat kepalaku terasa pusing. Aku beranjak lalu melangkah pergi. Duduk di kursi ruang makan sambil memijit kepalaku yang terasa berdenyut. Kuhirup aroma melati dari secangkir teh yang baru saja kubuat. Harumnya menyegarnya, tapi tetap saja tak bisa mengurangi gejolak yang ada di dalam diri. Ya Tuhan... Sampai kapan aku seperti ini? Pelan terdengar suara langkah kaki mendekat hingga akhirnya berhenti. Kutoleh kanan, Nisa berdiri sambil membawa gelas ya