Share

4. Pertemuan tak terduga

Part 4

"Apa rencanamu?"

"Aku ingin sewa ruko buat memulai usahaku."

"Wah, bagus dong. Kamu mau usaha apaan, Dev?"

"Pengennya sih salon rias pengantin. Aku memang belum punya perlengkapan yang banyak, tapi aku ingin mencobanya. Selama di luar negeri aku ikut kursus makeup dan ingin kusalurkan ketika pulang. Jadi ilmuku tidak sia-sia. Dan aku juga ingin punya penghasilan sendiri saat di Indonesia, tidak melulu harus pergi jadi TKW."

"Wah, keren banget. Jadi sekarang kamu jago dandan dong. Nanti kalau aku nikah, kamu yang jadi MUA-nya ya!"

"Bereeeeess, siapa takut."

Lalu keduanya tertawa tanpa ada beban. Sekian lama baru bertemu lagi, membuatnya ingin sekali melepas rindu, ngobrol santai dan mengingat masa sekolah yang seru dulu.

"Apa kamu tidak akan menggugat cerai suamimu itu?" tanya Rita dengan nada serius.

"Ya pasti aku akan menggugat cerai. Tapi itu nanti, aku masih belum puas untuk bermain-main dengannya. Aku ingin mengambil hakku kembali."

"Jadi kau akan membuat dia dan keluarganya jatuh miskin seperti sedia kala?" tanya Rita kembali.

Devi terdiam lalu menggela nafasnya dalam-dalam.

"Sekarang aku mau menikmati kehidupanku dulu, masalah itu akan kupikirkan nanti."

"Baiklah, aku akan mendukung semua keputusanmu. Katakan padaku kalau kamu butuh bantuan, Dev."

"Terima kasih, Rita."

Usai perjalanan 3 jam, akhirnya sampai juga di rumah Rita. Rumah bercat biru telor asin dengan desain minimalis, sisi kanan dan kirinya penuh dengan tanaman hias.

"Assalamualaikum," ucap Rita dengan nada setengah berteriak. Gadis berusia 25 tahun itu terus tersenyum ceria. Ya sahabat Devi yang satu ini memanglah belum menikah, dia masih ingin menikmati masa lajangnya. Berbeda nasib dengan Devi, Rita memanglah tergolong anak yang mampu, ia pun mengenyam pendidikan sampai bangku kuliah. Saat ini ia tengah bekerja di tempat usaha kakaknya. Walaupun mereka berbeda strata sosial, tapi Rita tak pernah mempermasalahkan hal itu. Justru dia sangat senang berteman dengan Devi. Sosok Devi tidak seperti yang lain, berteman karena ada maunya. Bersama Devi, Rita bisa menjadi dirinya sendiri. Mereka berteman baik sejak keduanya mengenyam bangku SMP. Dulu biasanya selalu bertiga bersama Sinta, tapi kini sudah tak sejalan.

"Waalaikum salam," sahut suara dari dalam. Pintu perlahan terbuka, sesosok laki-laki usia berkisar 30 tahun muncul dari balik pintu.

"Kak Reyhan, tumben ada di rumah?" tegur Rita. Biasanya sang kakak, meskipun hari weekend dia akan menetap di tempat usahanya, bermalam disana dengan tumpukan pekerjaan.

"Hmmm," jawabnya singkat, sekilas ia memandang wanita di samping adiknya kemudian berlalu begitu saja.

"Ayo masuk, silahkan duduk," ajak Rita sambil menarik tangan Devi.

"Kak, kakak gak mau tau aku sama siapa sekarang?" cegah Rita pada sang kakak. Dia mengejarnya ke dalam.

Reyhan menghentikan langkahnya.

"Dia Devi, Kak. Devi, teman SMP-ku dulu. Kakak masih ingat kan? Dulu kan kakak suka godain Devi," tutur Rita.

"Ehem, itu kan udah masa lalu," tukasnya lagi. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Devi. Penampilannya sekarang sudah jauh berbeda dari pada dulu. Pertemuan terakhirnya itu ketika melihat Devi dan Reno menikah.

"Kak, tunggu dulu. Devi baru pulang dari Taiwan. Dia mau nginap disini," ucap Rita lagi.

"Nginap? Dia kan sudah bersuami. Kenapa tak pulang ke rumahnya saja?"

"Tapi Kak, Devi sedang ada masalah dengan rumah tangganya."

"Lari dari masalah itu namanya pengecut. Kenapa tidak selesaikan masalah itu baik-baik? Dan kamu Rita, baiknya gak usah ikut campur urusan rumah tangga orang lain," sahut kakaknya.

Mendengar percakapan kakak beradik itu, Devi bangkit dan menghampiri mereka.

"Rita, sebaiknya aku pulang saja," ucap Devi lagi.

"Eeeh, tidak. Kita kan baru sampai, kamu tetap disini dulu. Jangan dengerin omongan kakakku ini." Rita jadi tak enak hati dengan ucapan Reyhan. Sosok pria yang dulu suka usil dan jahil kini menjadi dingin dan kaku. "Kamu sih kak, ngomongnya pedes banget!" lanjut Rita

"Kakak kamu benar kok. Aku pulang ya, biar aku cari kontrakan saja."

"Jangan Dev, kamu kan masih capek. Please ..." Rita merajuk.

Reyhan berlalu mengambil tas dan baju gantinya, kemudian pergi lagi.

"Kakak mau pergi?" tanya Rita saat melihat Reyhan membawa tas ransel.

"Ya. Kasihan temanmu, hari ini sudah sore. Besok saja kalau mau cari kontrakan."

Mendengar jawaban kakaknya, Rita tersenyum. Ia tahu, kakaknya adalah orang baik, dia pasti tak tega mendengar kondisi Devi.

"Dev, kamu bisa nginap disini."

"Apa gak repotin kamu, sampai kakakmu harus pergi dari sini?"

"Sudah biarkan saja. Lagian dia juga jarang menginap di rumah kok. Biasanya dia nginap di toko."

"Terima kasih banyak, Rita. Berkat semangat dan dukunganmu aku jadi punya kekuatan."

"Harus dong, jangan mau kalah sama pengkhianat."

***

Reno bolak-balik di halaman rumahnya sembari memegang ponsel. Sejak tadi pagi, ia tak bisa menghubungi Devi. Ia hanya ingin bertanya tentang keadaannya sekarang.

"Pak, aku minta uang lima ribu buat jajan!" pinta Silvi.

"Apa? Jajan? Enggak ada, uangnya habis!" sahut Reno setengah membentak.

"Huhuhu, katanya tiap bulan ibu selalu kirim uang, tapi aku minta uang lima ribu aja gak boleh." Silvi menangis sesenggukan.

"Silvi, harusnya kamu tuh makan, bukan jajan terus."

"Aku bosen pak, makan lauknya cuma tempe aja sama kecap. Nenek gak pernah masak yang enak. Bapak sama nenek boleh makan bakso atau mie ayam. Kenapa aku gak boleh? Aku cuma mau jajan aja, bapak marah-marah. Hiks hiks," sahut Silvi. Ia mulai kritis dengan keadaan.

"Silvi! Jangan bikin bapak tambah pusing! Nih ibumu dari pagi gak bisa dihubungi!"

Silvi menatap bapaknya dengan tajam. "Bapak, Jahat!!" Usai berteriak, gadis kecil itu berlari tak tentu arah menjauh dari rumah.

"Silvi, kamu mau kemana? Silvi! Awas aja kalau kamu pulang, bapak akan menghukummu!!" teriak Reno lagi. Tapi bocah kecil berumur enam tahunan itu, sudah menghilang dari pandangannya.

"Kamu kenapa sih marah-marah terus? Kuping ibu sampe panas dengernya!" tegur ibu yang datang sembari membawa bungkusan kresek bening.

"Hah! Ini semua gara-gara gak ada motor, jadi aku gak bisa kemana-mana, Bu! Aku gak bisa ketemu sama Sinta. Terus itu ibu beli apaan lagi?"

"Salahmu sendiri motor dijual. Ini? Ini ibu beli bakso."

"Pantas aja tadi Silvi bilang begitu."

"Terus kemana itu bocah?"

"Lari kesana. Gak tahulah paling main sama temannya."

Bu Witi berlalu masuk ke dalam seolah tak peduli dengan sang cucu.

"Hah! Gak anak gak istri gak ibu sama aja! Tak bisa diajak bicara serius, tidak seperti Sinta yang mau mendengarkan keluh kesahku," gumam Reno. Lelaki itu mengacak-acak rambutnya, kesal. Tinggal 5 hari lagi pernikahannya dengan Sinta, tapi tak ada satupun barang yang ia siapkan. Tak ada karena memang tak punya uang. Uang yang ada ditangan hanya cukup untuk makan sehari-hari bulan ini.

***

Gadis kecil itu menangis tersedu-sedu di pinggir jalan, di dekat toko buku. Ia terduduk sembari memeluk lututnya. Perasaannya sangatlah sedih. Setiap hari dimarahi oleh bapak atau nenek. Jauh dalam lubuk hatinya ia merindukan sosok ibunya, dia ingin sekali bertemu dengannya.

Devi dan Rita tengah berjalan hendak ke toko buku, tempat Reyhan berada usai mencari ruko kosong yang disewakan. Tak sengaja mereka bertemu dengan gadis kecil yang terduduk di teras.

"Siapa ya anak itu? Sudah petang begini kenapa belum pulang?" tanya Devi.

"Mungkin anaknya pelanggan kakakku," jawab Rita. Mereka saling berpandangan sejenak.

Suara tangisannya makin terdengar jelas. "Huhuhu, aku kangen ibu," isaknya.

"Nak, kamu siapa?" tanya Devi sembari memegang pundaknya. Gadis kecil itu mendongak, netranya tampak sembab, wajahnya basah oleh air mata.

"Sayaaang?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status