Share

5. Melepas Rindu

Part 5

"Sayang?" pekik Devi, netranya berkaca-kaca, bertemu dengan putri kecilnya tak terduga seperti ini. Sudah lama ia tak melihatnya langsung, sesekali hanya melihatnya lewat foto. Reno, sang suami jarang sekali mau mengangkat panggilan videonya.

"Tante siapa?" tanya gadis kecil itu lugu. Sekian lama tak bertemu membuatnya kebingungan. Apalagi sekarang, Devi memutuskan untuk memakai jilbab.

"Ini ibu, Nak. Ini ibu," sahut Devi, tanpa kompromi lagi air matanya jatuh membasahi pipi.

"Ibu?" tanyanya sembari memperhatikan wajah Devi dengan seksama.

Devi mengangguk dan langsung memeluk tubuh kecil itu ke dalam dekapannya.

"Ibuuuu, aku kangen ibu ..." sahut Silvi, gadis kecil itu membalas pelukan ibunya dengan erat seakan tak mau lepas. Keduanya hanyut dalam rasa rindu yang begitu membuncah, mereka tumpahkan dalam tangis haru.

"Sayang, kamu kenapa ada disini?" tanya Devi sembari membelai rambut putrinya. "Ini kan jauh dari rumah. Kamu sama siapa? Sama bapak?" tanya Devi lagi.

Silvi menggelengkan kepalanya pelan.

"Maksudmu, kamu sendirian? Kamu gak takut, ini udah hampir malam kenapa pergi dari rumah?"

"Bapak marah-marah terus, Bu. Huhuhu," jawabnya sambil menangis. Mendengar penuturan anaknya membuat hati Silvi meradang. Kenapa suaminya tega memarahi anaknya sendiri.

"Tapi sayang, pergi dari rumah juga gak baik. Apalagi sampai malam begini. Kalau ketemu sama orang jahat gimana?"

Silvi masih terisak. "Silvi, pulang sama ibu yuk," ajak Devi pada putri kecilnya.

"Ibu mau pulang ke rumah bapak?"

Devi menggeleng pelan.

"Kita pulang ke rumah tante ya," ajak Rita ikut nimbrung obrolan mereka. Ia merasa prihatin dengan apa yang dialami Silvi. Pergi dari rumah? Bisa jadi karena bapaknya galak, dan anak kecil itu sudah tak kuat menahannya lagi.

"Emang boleh, Bu?"

"Boleh dong. Emangnya siapa yang larang?" Rita tersenyum, membuat gadis kecil itu mengangguk. Lantas ia masuk ke dalam toko, menuju ruangan kakaknya.

"Kak!" panggilnya hingga lelaki itu terlonjak kaget.

"Ada apaan kamu kesini?"

"Memangnya kakak gak denger dari tadi ada anak nangis? Harusnya ditolongin kek, kan kasihan," tegur Rita lagi.

Reyhan menggeleng. "Memangnya siapa yang nangis?"

"Kak, jadi orang kok gak peka banget. Kakak lihat sendiri deh."

Reyhan beranjak dari duduknya dan melihat keluar dari balik kaca. Devi tengah berpelukan dengan anak kecil.

"Anak kecil itu menangis dari tadi di depan toko kakak. Dia anaknya Devi, pergi dari rumah karena dimarahi bapaknya."

Reyhan menoleh sekilas ke arah adiknya, ia mengikuti adiknya keluar toko.

"Mas Reyhan? Maaf membuat kegaduhan di depan toko," ucap Devi ia merasa sungkan.

"Sebaiknya kalian pulang saja dari pada buat ribut disini," tegur Reyhan.

"Kak!!"

"Oh iya tunggu sebentar." Reyhan pergi begitu saja meninggalkan mereka.

"Maafin kakakku, Dev."

Devi tersenyum. "Tidak apa-apa, Rita. Aku mau langsung pulang saja ke ruko ya."

"Eh jangan dong, kamu kan janji mau nginep dulu. Lagian di ruko tadi masih kosong, belum ada kasurnya, kasihan Silvi."

Devi makin mempererat rangkulannya pada gadis kecil itu.

"Besok aku temani kamu belanja. Okey!"

Devi mengangguk. Tak lama Reyhan datang, membawa sebuah bungkusan kresek.

"Nih buat makan kalian," ucapnya sembari menyerahkan kresek itu pada adiknya.

"Apaan nih kak?"

"Buka aja di rumah."

"Wah tumben nih, makasih ya kak."

"Hmmm," sahut Reyhan kemudian berlalu ke dalam.

Setibanya di rumah, Rita langsung membuka bungkusan itu. 3 bungkus nasi padang untuk makan malam, serta 3 bungkus teh manis.

"Wah ini enak banget, ayo dimakan Silvi. Nih punya Silvi yang gak pedes," ucap Rita.

"Lauknya ayam goreng, Tante, pasti enak banget."

"Iya, ayo dimakan. Silvi pasti lapar kan?"

Gadis kecil itu mengangguk antusias dan memakannya dengan lahap.

"Bu, Silvi baru makan ayam goreng lagi nih, ternyata enak banget," ucapnya disela-sela makan.

"Memangnya Silvi gak pernah makan ayam goreng?" tanya Rita.

Gadis kecil itu menggeleng, membuat Devi dan Rita merasa iba.

"Nenek masaknya cuma tempe aja sama kecap."

Mendengar jawaban putrinya, makin membuat Devi merasa bersalah karena meninggalkannya terlalu lama.

"Keterlaluan," desisnya. Kristal bening kembali menggenang di pelupuk matanya. Selama ini dia kirim uang untuk keluarga agar mereka tidak kekurangan makan, tapi kenapa untuk mengurus seorang Silvi saja tidak bisa. Uang itu justru digunakan untuk foya-foya dari pada memberi makanan bergizi untuk putri kandungnya sendiri.

"Mulai sekarang Silvi tinggal sama ibu saja ya, ibu akan penuhi semua kebutuhan Silvi. Makannya Silvi, bajunya Silvi, sekolahnya Silvi. Silvi tinggal bilang mau apa, mau makan ayam goreng atau bakso, apapun itu kalau menyehatkan pasti akan ibu belikan."

"Beneran, Bu?"

"Iya, Sayang. Nanti ibu belikan baju yang bagus buat kamu."

"Asyiiiik makasih, Bu. Ibu terbaaaiiik."

***

Sementara di depan teras rumah, Reno terlihat khawatir. Sudah jam delapan malam, tetapi Silvi belum juga kembali pulang.

"Bu, gimana? Silvi ketemu?" tanya Reno. Bu Witi baru saja pulang mencari Silvi ke gang sebelah atau teman-teman yang lain tapi tak melihat keberadaan Silvi.

"Ibu udah cari kemana-mana, tapi gak ketemu itu bocah kemana perginya."

"Bu, gimana dong kalau Devi telpon dan Silvi gak ada?"

"Kamu sih! Emangnya tadi kamu ngapain aja sampai dia pergi?"

"Silvi minta uang jajan tapi gak kukasih Bu, terus dia lari gitu aja."

"Dah kamu tenang aja, kalau laper juga dia pasti pulang."

"Kalau gak pulang gimana? Ini kan udah malam, Bu."

"Ya dicari, kamu kan bapaknya. Ibu tadi udah nyari tapi gak ada, ibu capek mau istirahat."

Reno sudah menghubungi saudara-saudaranya bahkan ke Sinta juga, menanyakan keberadaan Silvi, tapi anak itu tak ada dimanapun, membuat pikirannya dilanda bingung.

"Aaarghhh! Kemana sih itu anak! Bikin susah orang tua saja. Gak anaknya gak ibunya suka ngilang sendiri!"

Reno mengacak-acak rambutnya, seperti orang stress. Tetiba ponselnya berdering. Keningnya berkerut ketika melihat private number tulisan yang tertera di layar ponsel.

"Halo, siapa ini?" tanya Reno ketus.

"Halo Mas, ini aku istrimu."

"Devi?"

"Iya. Mas, aku mau bicara sama Silvi," ucap suara di seberang telepon.

"Silvi?" Mendadak Reno menjadi gugup. "Itu Dev, Silvi sudah tidur."

"Tidur? Bangunkan sebentar ya, Mas. Please. Mungkin ini kesempatan terakhirku telepon."

"Terakhir? Maksudnya apa?"

"Tolong Mas, bangunkan Silvi sebentar, aku mau bicara."

"Anu Dev, sebenarnya Silvi--"

"Silvi kenapa?"

"Silvi pergi dari rumah dan dia belum pulang."

"Apa? Kok bisa? Kamu gak cari? Kamu ini gimana sih Mas, anak satu aja kok diterlantarin."

"Tadi udah cari tapi gak ada."

"Aku gak mau tau ya Mas, Silvi harus ketemu. Atau kalau tidak aku akan tuntut kamu karena sudah menelantarkan anak."

"Kamu kan diluar negeri mana bisa, Dev?"

"Oh, jadi kamu gak ada tanggung jawabnya sama sekali ya! Bisa aja dong, aku kan cerdas, aku bisa minta bantuan sama teman aku!"

"Jangan dong Dev, aku akan mencarinya lagi nanti."

"Cari sampai ketemu, Mas!"

"Iya, iya!"

Reno melayangkan tangannya ke udara sebagai bentuk kekesalannya. 'Harus kemana aku cari Silvi malam-malam begini?'

"Halo Mas, kamu masih disitu kan?"

"Hmmm ..."

"Aku mau ngomong penting, Mas."

"Ada apa?"

"Oh iya Mas, besok tolong siapin uang 150 juta."

"150 juta? banyak banget buat apa?"

"Mas, aku pengen ikut investasi, kebetulan temanku yang pegang. Katanya kalau kita invest 150 juta kita bakal dapat 3x lipatnya mas."

"Hah? Masa sih bisa sebanyak itu?"

"Iya, namanya juga investasi, Mas. Kan lumayan tuh, gak perlu kerja keras, cuma nanam modal saja udah dapat segitu."

"Tapi uang dari mana, Dev. Kemarin aja udah jual motor," sahut Reno bimbang.

"Mas kan bisa gadaikan sementara sertifikat rumah, nanti kalau modal plus untungnya udah balik langsung lunasin deh utang di Bank-nya. Gimana menurutmu, Mas?"

"Gimana ya? Aman dan terpercaya gak?"

"Ya pastilah, Mas. Dia kan teman aku, masa mau tega bohong sih. Sekarang aja dia udah kaya lho, punya kios usaha sendiri, punya mobil, rumah bagus," rayu Devi lagi.

"Tapi rumah yang kita bangun kan sertifikatnya belum turun, Dev."

"Emmh kalau gitu pinjam punya ibu. Sini biar aku yang ngomong."

"Nanti deh aku diskusikan dulu."

"Tapi Mas berminat 'kan?"

"Minat sih kalau dapatnya 3x lipat. Tapi--"

"Tenang aja, lusa temanku akan datang ke rumah, mau jelasin semuanya. Mas bisa pelajari berkas-berkasnya."

Reno terdiam.

"Ya sudah ya Mas, aku tutup dulu teleponnya. Menurutku sih ini kesempatan bagus lho, jarang-jarang ada yang kayak begini. Tapi terserah sih, kalau Mas gak setuju gak apa-apa. Oh iya, jangan lupa cari Silvi. Assalamualaikum."

Panggilan itu terputus begitu saja. Reno makin bimbang dibuatnya.

Sementara Devi tersenyum sambil merangkul putrinya yang tengah tertidur dalam pangkuannya.

"Hahaha, kamu cerdas banget Dev. Aku saluuut," ucap Rita.

"Saatnya besok bermain-main, kamu sudah siap kan?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status