EXTRA PART-- ZAHRA "Sekarang, kamu mau bagaimana untuk hidup ke depannya?" tanya Bapak padaku. Aku meremas jari jemari. Kini semuanya telah hancur. Mas Beni pun kini sudah mendekam di balik jeruji. "Jujur saja, Bapak malu. Apa sebaiknya Bapak kirim kamu ke rumah Pak De Wito di kampung?" Aku terkejut mendengar rencana yang Bapak ucapkan. Tinggal bersama keluarga adik Bapak di kampung? Aku membayangkan betapa menjijikannya di sana. Rumah yang dikelilingi dengan kandang ayam itu, tak pantas menjadi tempat tinggalku. "Zahra nggak mau, Pak." "Bapak nggak peduli, Zah. Pokoknya kamu harus tinggal di kampung bersama dengan Paman dan Bibimu," ucap Bapak. "Bu, tolong, Zahra nggak mau ke kampung. Tolong pucuk bapak, Bu."Ibu hanya terdiam, namun matanya juga terluka. Aku menjadi serba salah. "Zahra akan melakukan apapun, asal Bapak tidak mengirim Zahra ke kampung.""Kalau begitu, kamu mau Bapak masukkan pesantren supaya bisa berpikir jernih dan belajar agama sekalian? Selama ini, Bapak s
EXTRA PART ZAHRA (2)"Zah, aku serius, loh." Aku mengernyitkan kening. "Apa?" "Aku, ingin mengajakmu nikah." Debar dalam dada kian terasa. Haruskah aku menerimanya?__"Gimana ya..." Jujur saja aku bingung. Mas Leman adalah teman sekaligus rekan kerjanya Mas Gani di kantor dulu. Iya memang sudah berlalu, tapi rasanya aneh jika aku menikah dengan lelaki yang bahkan ada hubungan dengan mantan suamiku. "Please. Aku sudah mengumpulkan niat ini dari lama." "Tapi, Mas, kamu kan..." "Temannya Gani?" Perlahan aku mengangguk. Memang itu kenyataannya. "Tapi kita tinggal di sini. Lagipula kenapa? Gani bahkan sudah menikah lagi, dan sudah punya anak. Sudah berapa tahun kamu sendiri? Apa kamu nggak memiliki rasa sama aku?" Aku terdiam. Rasa? Yah, aku nyaman dengannya. Mas Leman orang yang perhatian. Beberapa kali, ia membawaku liburan ke pantai dan membelikan berbagai macam barang tanpa kupinta. Selama ini, aku membatasi diri untuk tak terlalu dekat dengannya. Namun sayang, rupanya Mas
KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG"Dasar mertua cacat! Masa makan yang benar saja tak bisa?!" Langkah kakiku terhenti saat mendengar lengkingan suara Zahra-istriku, ketika aku memasuki rumah. Hari ini aku memang pulang tanpa memberitahu pada Zahra atau anggota keluargaku yang lain. Kejutan, niatnya. Namun, melihat keadaan kini, kenapa malah jadi aku yang terkejut? "Tapi, Zah, tangan Ibu kan belum sembuh betul," ucap Ibu dengan nada sedih pada menantunya itu. "Ya nggak mau tahu, nanti mau aku foto biar Mas Gani tahu, aku mengurusmu dengan baik, Bu," ucap Zahra. Aku masuk dengan mengendap-endap, lalu mengintip dari kaca celah pintu kamar Ibu. Hatiku teriris melihat pemandangan di depan sana. Ibu, wanita yang paling kucinta, kini tengah terduduk di kursi dengan tumpahan makanan di atas tubuhnya. Ibu memang mengalami stroke ringan. Beliau masih bisa berbicara, bisa jalan juga setelah melakukan terapi. Zahra tidak tahu aku pulang, ia tahunya aku masih ada di Semarang, tempat kerjaku s
"Luka memang apa ini, Bang?" tanya Mila. Mungkin karena mendengar suara Mila, Ibu terbangun. Beliau terkejut karena baju bagian punggungnya terangkat. Ibu langsung duduk dengn susah payah. Aku sudah tak bisa menahan ini semua. "Bu, jujur lah sama Gani. Apa ini semua perbuatan Zahra?" Akhirnya, Ibu mengangguk. Air mataku langsung menetes, membayangkan kesakitan yang setiap hari dirasakan oleh ibu. Biarlah aku dianggap melow, daripada dianggap durhaka karena tak mementingkan ibu kandungku sendiri. "Bu, selama ini, Mbak Zahra melarang Ibu menemui kami?" tanya Fikri. Lagi-lagi, Ibu mengangguk. "Tapi kenapa, Bu?" "Ibu nggak tahu, Fik. Ibu juga kangen sama anak-anak Ibu. Tapi, Zahra justru menyiksa Ibu tiap Ibu bilang ingin bertemu dengan kalian. Bukan hanya punggung saja, tapi ini juga..." Ibu mengangkat baju bagian depannya, lalu terbuka lah semua luka itu. Aku memejamkan mata, tak tega melihat orang tua satu-satunya mengalami kesakitan itu, juga merasa bersalah karena Ibu mengala
"Kamu sudah pulang, Mas?" Suara Zahra terdengar di belakangku. Aku berbalik, tampak ia dan keluarganya sudah berdiri di belakang kami. Aku mengerutkan kening, jadi Zahra habis menjemput orang tuanya? "Iya." Aku menyalami Bapak dan Mama, lalu menyuruh mereka duduk di ruang tamu bersama Ibu dan juga kedua adikku. Kubawa Zahra ke kamar, aku yakin, saat ini ia hanya ingin aku bersikap baik padanya, makanya mengundang kedua orang tuanya. "Kenapa, Mas? Kamu pasti kangen, kan, sama aku?" tanyanya sambil mencoba memeluk tubuh ini. Aku mundur beberapa langkah, membuatnya mengerutkan kening karena sikapku. Bayangan ia yang bermesraan dengan lelaki lain, membuatku enggan bersentuhan dengannya. "Loh, kenapa, Mas?" "Kamu kenapa bawa Bapak dan Mama?" tanyaku. "Lah, emang kenapa? Kan biasanya juga, setiap kamu pulang, Bapak dan Mama pasti ke sini." Memang benar. Setiap aku pulang, mereka akan ke sini. Menemuiku dengan dalih lama tak bersua, namun nanti pulangnya menyuruh Zahra untuk meminta
"M-mas," ucapnya setelah berhasil mengambil ponselnya dari genggamanku. Aku menatapnya tajam, memastikan ia terintimidasi oleh tatapanku. Berhasil, ia ketakutan sekarang. "Siapa itu?" tanyaku sambil mendekatinya. "Oh, dia? Dia ini Rohim, sepupuku." "Oh, ya? Lantas, kenapa hanya diberi nama titik?""Ke-kemarin, aku buru-buru Mas pas menyimpan nama dia.""Bukan karena kamu main-main sama dia, kan?" "Nggak, Mas! Aku hanya setia dan cinta padamu. Tak ada orang lain lagi," ucapnya sambil berusaha meraih tanganku. Aku mengamgguk, kemudian berlalu dari kamarnya. Kamila dan Fikri sudah pulang karena besok harus kerja. Aku pun akan menghubungi kantor dan menerima penawaran pindah ke kantor pusat kembali, meskipun bonusnya dikurangi. "Halo, Pak. Maaf mengganggu hari libur anda. Tapi, saya ingin menerima tawaran untuk pindah dari kantor cabang ke kantor pusat," ucapku pada Pak Andi. "Baik, nanti akan saya hubungkan langsung ke pimpinan." "Terima kasih." Akhirnya aku bisa tenang. Merawa
"Nggak papa. Maaf juga kalo aku menyinggungmu, Zah," ucapku. Lalu aku merebahkan tubuh, dan tidur menyamping. Aku bisa mendengar helaan napas panjangnya, lalu ikut merebahkan diri. Aku tak bisa tertidur lelap, hingga akhirnya beberapa menit kemudian, terasa gerakan dari ranjang. Benar, Zahra bangun diam-diam, dan berdiri di depanku. Aku bisa merasakan itu. Lalu, saat ia berbalik, aku membuka mata sedikit. Melihat ia berjalan dengan berjinjit, membuatku mengerutkan kening. Kenapa ia jalannya seperti itu? Mencurigakan.Setelah ia menutup pintu, gegas aku pun bangun. Mengikutinya dengan langkah perlahan. Ke mana ia? Kenapa nggak keliatan? Aku melihat pintu kamar Ibu terbuka. Saat mengintip, terlihat Zahra ada di sana. Aku pun berdiri di belakang pintu. "Bu, coba bilangin sama anak Ibu, jangan suka ngungkit aku yang nggak punya anak!" ucap Zahra, suaranya tak terlalu kencang, mungkin takut aku mendengar. "Tapi, Zah, wajar kalau Gani ingin punya anak. Kalian sudah menikah tiga tahun le
Segera aku bergegas, membereskan berkas yang masih berserakan di atas meja. Setelah beres, aku pun turun ke bawah dan masuk ke dalam mobil.Beruntung, malam ini tampak sepi. Mungkin karena baru selesai hujan sehingga banyak orang lebih memilih berdiam diri di dalam rumah.Untuk langkah pertama, aku membawa dua orang satpam komplek ke rumah Pak RT. Di sana, kuceritakan semua. Awalnya mereka tak percaya, namun setelah kutunjukkan bukti, mereka pun mendukung.Kulihat Pak RT mulai menghubungi warga lain, tentu saja melalui ponsel. Setelah dirasa siap, kami pun berjalan pelan menuju rumahku yang berjarak lima rumah dari tempat Pak RT."Yang tabah ya, Pak Gani," ucap Bu RT, yang diangguki oleh ibu-ibu lain."Aamiin. Makasih banyak ya, Ibu-ibu. Saya juga nggak menyangka, kalau tindakan saya yang tiba-tiba ingin memasang cctv ini, justru malah membongkar perselingkuhan istri saya," jawabku berbohong, padahal aku sudah curiga dari lama. Biarlah mereka menganggap bahwa aku ini suami bodoh, kare