KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG

KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG

By:  Jingga Rinjani  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 rating
33Chapters
7.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Aku pulang setelah dua bulan berada di luar negeri. Tanpa memberitahu orang rumah, aku datang secara diam-diam bermaksud memberikan kejutan. Namun, bukannya memberi kejutan, justru aku lah yang menerima kejutan itu. Ya, kejutan atas perlakuan istri pada ibuku sendiri!

View More
KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
user avatar
Fajar Destian
seru critanya coba diadaptasi jdi film
2024-03-11 01:14:48
0
33 Chapters
BAB 1
KEJUTAN SAAT AKU PULANG KAMPUNG"Dasar mertua cacat! Masa makan yang benar saja tak bisa?!" Langkah kakiku terhenti saat mendengar lengkingan suara Zahra-istriku, ketika aku memasuki rumah. Hari ini aku memang pulang tanpa memberitahu pada Zahra atau anggota keluargaku yang lain. Kejutan, niatnya. Namun, melihat keadaan kini, kenapa malah jadi aku yang terkejut? "Tapi, Zah, tangan Ibu kan belum sembuh betul," ucap Ibu dengan nada sedih pada menantunya itu. "Ya nggak mau tahu, nanti mau aku foto biar Mas Gani tahu, aku mengurusmu dengan baik, Bu," ucap Zahra. Aku masuk dengan mengendap-endap, lalu mengintip dari kaca celah pintu kamar Ibu. Hatiku teriris melihat pemandangan di depan sana. Ibu, wanita yang paling kucinta, kini tengah terduduk di kursi dengan tumpahan makanan di atas tubuhnya. Ibu memang mengalami stroke ringan. Beliau masih bisa berbicara, bisa jalan juga setelah melakukan terapi. Zahra tidak tahu aku pulang, ia tahunya aku masih ada di Semarang, tempat kerjaku s
Read more
BAB 2
"Luka memang apa ini, Bang?" tanya Mila. Mungkin karena mendengar suara Mila, Ibu terbangun. Beliau terkejut karena baju bagian punggungnya terangkat. Ibu langsung duduk dengn susah payah. Aku sudah tak bisa menahan ini semua. "Bu, jujur lah sama Gani. Apa ini semua perbuatan Zahra?" Akhirnya, Ibu mengangguk. Air mataku langsung menetes, membayangkan kesakitan yang setiap hari dirasakan oleh ibu. Biarlah aku dianggap melow, daripada dianggap durhaka karena tak mementingkan ibu kandungku sendiri. "Bu, selama ini, Mbak Zahra melarang Ibu menemui kami?" tanya Fikri. Lagi-lagi, Ibu mengangguk. "Tapi kenapa, Bu?" "Ibu nggak tahu, Fik. Ibu juga kangen sama anak-anak Ibu. Tapi, Zahra justru menyiksa Ibu tiap Ibu bilang ingin bertemu dengan kalian. Bukan hanya punggung saja, tapi ini juga..." Ibu mengangkat baju bagian depannya, lalu terbuka lah semua luka itu. Aku memejamkan mata, tak tega melihat orang tua satu-satunya mengalami kesakitan itu, juga merasa bersalah karena Ibu mengala
Read more
BAB 3
"Kamu sudah pulang, Mas?" Suara Zahra terdengar di belakangku. Aku berbalik, tampak ia dan keluarganya sudah berdiri di belakang kami. Aku mengerutkan kening, jadi Zahra habis menjemput orang tuanya? "Iya." Aku menyalami Bapak dan Mama, lalu menyuruh mereka duduk di ruang tamu bersama Ibu dan juga kedua adikku. Kubawa Zahra ke kamar, aku yakin, saat ini ia hanya ingin aku bersikap baik padanya, makanya mengundang kedua orang tuanya. "Kenapa, Mas? Kamu pasti kangen, kan, sama aku?" tanyanya sambil mencoba memeluk tubuh ini. Aku mundur beberapa langkah, membuatnya mengerutkan kening karena sikapku. Bayangan ia yang bermesraan dengan lelaki lain, membuatku enggan bersentuhan dengannya. "Loh, kenapa, Mas?" "Kamu kenapa bawa Bapak dan Mama?" tanyaku. "Lah, emang kenapa? Kan biasanya juga, setiap kamu pulang, Bapak dan Mama pasti ke sini." Memang benar. Setiap aku pulang, mereka akan ke sini. Menemuiku dengan dalih lama tak bersua, namun nanti pulangnya menyuruh Zahra untuk meminta
Read more
BAB 4
"M-mas," ucapnya setelah berhasil mengambil ponselnya dari genggamanku. Aku menatapnya tajam, memastikan ia terintimidasi oleh tatapanku. Berhasil, ia ketakutan sekarang. "Siapa itu?" tanyaku sambil mendekatinya. "Oh, dia? Dia ini Rohim, sepupuku." "Oh, ya? Lantas, kenapa hanya diberi nama titik?""Ke-kemarin, aku buru-buru Mas pas menyimpan nama dia.""Bukan karena kamu main-main sama dia, kan?" "Nggak, Mas! Aku hanya setia dan cinta padamu. Tak ada orang lain lagi," ucapnya sambil berusaha meraih tanganku. Aku mengamgguk, kemudian berlalu dari kamarnya. Kamila dan Fikri sudah pulang karena besok harus kerja. Aku pun akan menghubungi kantor dan menerima penawaran pindah ke kantor pusat kembali, meskipun bonusnya dikurangi. "Halo, Pak. Maaf mengganggu hari libur anda. Tapi, saya ingin menerima tawaran untuk pindah dari kantor cabang ke kantor pusat," ucapku pada Pak Andi. "Baik, nanti akan saya hubungkan langsung ke pimpinan." "Terima kasih." Akhirnya aku bisa tenang. Merawa
Read more
BAB 5
"Nggak papa. Maaf juga kalo aku menyinggungmu, Zah," ucapku. Lalu aku merebahkan tubuh, dan tidur menyamping. Aku bisa mendengar helaan napas panjangnya, lalu ikut merebahkan diri. Aku tak bisa tertidur lelap, hingga akhirnya beberapa menit kemudian, terasa gerakan dari ranjang. Benar, Zahra bangun diam-diam, dan berdiri di depanku. Aku bisa merasakan itu. Lalu, saat ia berbalik, aku membuka mata sedikit. Melihat ia berjalan dengan berjinjit, membuatku mengerutkan kening. Kenapa ia jalannya seperti itu? Mencurigakan.Setelah ia menutup pintu, gegas aku pun bangun. Mengikutinya dengan langkah perlahan. Ke mana ia? Kenapa nggak keliatan? Aku melihat pintu kamar Ibu terbuka. Saat mengintip, terlihat Zahra ada di sana. Aku pun berdiri di belakang pintu. "Bu, coba bilangin sama anak Ibu, jangan suka ngungkit aku yang nggak punya anak!" ucap Zahra, suaranya tak terlalu kencang, mungkin takut aku mendengar. "Tapi, Zah, wajar kalau Gani ingin punya anak. Kalian sudah menikah tiga tahun le
Read more
BAB 6
Segera aku bergegas, membereskan berkas yang masih berserakan di atas meja. Setelah beres, aku pun turun ke bawah dan masuk ke dalam mobil.Beruntung, malam ini tampak sepi. Mungkin karena baru selesai hujan sehingga banyak orang lebih memilih berdiam diri di dalam rumah.Untuk langkah pertama, aku membawa dua orang satpam komplek ke rumah Pak RT. Di sana, kuceritakan semua. Awalnya mereka tak percaya, namun setelah kutunjukkan bukti, mereka pun mendukung.Kulihat Pak RT mulai menghubungi warga lain, tentu saja melalui ponsel. Setelah dirasa siap, kami pun berjalan pelan menuju rumahku yang berjarak lima rumah dari tempat Pak RT."Yang tabah ya, Pak Gani," ucap Bu RT, yang diangguki oleh ibu-ibu lain."Aamiin. Makasih banyak ya, Ibu-ibu. Saya juga nggak menyangka, kalau tindakan saya yang tiba-tiba ingin memasang cctv ini, justru malah membongkar perselingkuhan istri saya," jawabku berbohong, padahal aku sudah curiga dari lama. Biarlah mereka menganggap bahwa aku ini suami bodoh, kare
Read more
Bab 7
Klek!Kunyalakan lampu kamar. Zahra terlihat panik dan menutupi wajahnya. Saat ia bergeser, baru aku bisa melihat wajah selingkuhannya itu."Mas Beni?!" teriakku tak percaya.Mas Beni, adalah suami dari Mbak Sinta, alias kakak kandung Zahra sendiri. Hatiku mencelos saat melihat mereka dalam keadaan t*lanj*ng bulat. Sesak, sakit, kurasakan bersama.Aku merangsek maju, memberi bogem mentah pada laki-laki yang telah menodai pernikahannya dan juga merusak rumah tanggaku."Br*ngsek!"Kutarik ia untuk turun, lalu memukulinya. Ibu-ibu menjerit, bukan karena melihatku menghajar kakak iparku sendiri. Melainkan karena mereka melihat Mas Beni tanpa b*sana.Bug!Bug!Kupukuli ia dengan membabi buta, tanpa ampun, tanpa belas kasihan. Kutumpahkan semua kekesalan padanya."Sudah, Pak Gani! Berhenti!"Pak RT dan dua satpam tadi memisahkanku dengan Mas Beni, begitupun warga lain. Teriakan Zahra terasa menggema, memek
Read more
BAB 8
Mas!""Gani!"Zahra dan Mas Gani kompak teriak, sementara aku tersenyum pada mereka."Kenapa?""Mas, tolong jangan lakukan itu!" pinta Zahra."Kenapa?""Aku malu, Mas.""Iya, Gan. Apalagi, banyak temanku di area ini. Tolong, selamatkan harga diriku. Jangan arak kami," pinta Mas Beni dengan melas.Aku tertawa. Lucu. Mereka sungguh lucu."Untuk apa malu, Mas? Zah? Bukannya kalian sudah tak memilikinya lagi? Bahkan berzina saja kalian tak malu pada Allah. Ini cuma dilihat makhluknya Allah saja, kalian malu?""Mas, tolong.""Jangan mau enaknya saja kamu, Zah. Kamu menyakiti Ibu dan aku, kamu juga harus menerima konsekwensinya. Arak saja mereka!""Aku janji nggak akan melakukannya lagi, Mas. Aku khilaf.""Aku tak peduli nantinya mau kamu lakuin apa nggak, karena itu sudah bukan urusanku.""Mas, jangan begitu.""Sejak kapan?" tanyaku."Ya? Sejak kapan kalian berhubungan di belakangku dan Mbak Sinta?" tanyaku sambil menatap tajam Zahra, dan juga Mas Beni."E-empat tahun."Mataku membeliak se
Read more
BAB 9
Pagi hari.Aku berangkat kerja dengan tidak semangat. Semalam, Zahra ternyata sudah dibawa pulang oleh orang tuanya. Terbukti saat aku keluar dari kamar Ibu dan hendak masuk ke kamarku, sudah tak ada lagi dia. Hanya ada Om Ahmad dan Pak RT yang menungguku."Wei, lemes amat?" Aku terkejut saat Leman, teman kerjaku, memegang bahu."Eh, Lu.""Kenapa, sih? Kok kaya nggak bersemangat gitu? Abis tempur, ya?""Tempur gundulmu peyang! Gue, cerai sama Zahra," jawabku."Apaaa? Cerai?" Teriakan Leman sontak membuat beberapa karyawan satu divisi denganku, menoleh.Aku menunduk, meminta maaf pada mereka karena telah mengganggu. Kuseret Leman menuju ruanganku."Jangan berisik, b*go! Ngapain lu teriak? Sekalian aja lu pake toa biar seluruh kantor tau kalau gue cerai sama Zahra!" sungutku."Wah, boleh tuh. Lu mau diobral?"Bug!Kulemparkan map kosong ke wajahnya. Ia tertawa lebar. Begitulah, Leman. Sahabat semasa SMAku. Ia paling senang jika aku tersiksa, tapi memang ini persahabatan, kan?"Kok bisa,
Read more
BAB 10
Segera aku berlari menuju tempat berdiri Mila dan juga Ibu yang terletak jauh di halaman. Tadi memang sengaja aku menyuruh mereka berdiri di sana. "M-mas Gani?" "Iya." Zahra langsung salah tingkah dan merapikan bajunya. Entah, kenapa ia keluar dari tempat gelap dengan baju acak-acakan? "Kenapa, Mas? Kamu mau mengajak aku balikan, kan?" tanyanya dengan tingkat kepedean di atas rata-rata. "Nggak usah ngawur. Aku mau balikin baju kamu yang ketinggalan. Juga tas-tasnya. Masih kurang baik apa aku? Seharusnya kubakar saja semua ini," ucapku padanya. Lama-lama, aku malah jadi keliatan lebay. "Bilang aja kamu kangen, Mas," ucapnya sambil memeluk lenganku.Aku bergidik ngeri, lalu melangkah maju bersama Mila, meninggalkan karung tempat tas tadi yang tengah dibuat senderan tubuh Zahra. Begitu melangkah, ia otomatis terjatuh. "Mas, tega banget, sih?" Aku hanya m
Read more
DMCA.com Protection Status