Pagi hari.Aku berangkat kerja dengan tidak semangat. Semalam, Zahra ternyata sudah dibawa pulang oleh orang tuanya. Terbukti saat aku keluar dari kamar Ibu dan hendak masuk ke kamarku, sudah tak ada lagi dia. Hanya ada Om Ahmad dan Pak RT yang menungguku."Wei, lemes amat?" Aku terkejut saat Leman, teman kerjaku, memegang bahu."Eh, Lu.""Kenapa, sih? Kok kaya nggak bersemangat gitu? Abis tempur, ya?""Tempur gundulmu peyang! Gue, cerai sama Zahra," jawabku."Apaaa? Cerai?" Teriakan Leman sontak membuat beberapa karyawan satu divisi denganku, menoleh.Aku menunduk, meminta maaf pada mereka karena telah mengganggu. Kuseret Leman menuju ruanganku."Jangan berisik, b*go! Ngapain lu teriak? Sekalian aja lu pake toa biar seluruh kantor tau kalau gue cerai sama Zahra!" sungutku."Wah, boleh tuh. Lu mau diobral?"Bug!Kulemparkan map kosong ke wajahnya. Ia tertawa lebar. Begitulah, Leman. Sahabat semasa SMAku. Ia paling senang jika aku tersiksa, tapi memang ini persahabatan, kan?"Kok bisa,
Segera aku berlari menuju tempat berdiri Mila dan juga Ibu yang terletak jauh di halaman. Tadi memang sengaja aku menyuruh mereka berdiri di sana. "M-mas Gani?" "Iya." Zahra langsung salah tingkah dan merapikan bajunya. Entah, kenapa ia keluar dari tempat gelap dengan baju acak-acakan? "Kenapa, Mas? Kamu mau mengajak aku balikan, kan?" tanyanya dengan tingkat kepedean di atas rata-rata. "Nggak usah ngawur. Aku mau balikin baju kamu yang ketinggalan. Juga tas-tasnya. Masih kurang baik apa aku? Seharusnya kubakar saja semua ini," ucapku padanya. Lama-lama, aku malah jadi keliatan lebay. "Bilang aja kamu kangen, Mas," ucapnya sambil memeluk lenganku.Aku bergidik ngeri, lalu melangkah maju bersama Mila, meninggalkan karung tempat tas tadi yang tengah dibuat senderan tubuh Zahra. Begitu melangkah, ia otomatis terjatuh. "Mas, tega banget, sih?" Aku hanya m
@Mbak Sinta:[Suruh istrimu untuk tak mengganggu suamiku lagi, Gan.] Aku diamkan saja, malas menanggapinya. Namun, beberapa pesan pun masuk kembali. @Mbak Sinta:[Gani!] Akhirnya, dengan setelah malas kubalas juga pesannya. [Mbak, aku ini sudah bercerai secara agama sama Zahra. Jadi kalau mau, bilangin saja sendiri.] [Tapi, Gan. Tadi pagi mereka datang ke sini. Mereka, meminta izin untuk menikah.?] G*la! Apa katanya? Mereka bakal menikah? Bahkan secara negara, Zahra masih istriku. Aku tak cemburu, hanya saja terkejut jika mereka senekat itu. Padahal, Mbak Sinta sangat baik orangnya. Hanya saja, salah menemukan seorang suami. Sudah pengangguran, juga kelakuannya yang astaghfirullah. Aku jadi teringat lagi sama rencana mereka yang kudengar waktu hari rabu malam, tepat saat aku sekeluarga datang untuk mengantarkan barang-barangnya Zahra. Flasbac
Loh, temenku pernah nemu kaya gini di kos-kos-an pacarnya, Bang," ucap Mila, saat sore hari kutunjukan penemuanku ini pada Ibu dan juga dia."Oh, ya? Terus kata temenmu, ini apa?" "Setelah tanya ke orang pintar, katanya ini adalah pelet." Mataku membeliak. Pelet? Aku jadi teringat sama balasan Leman. Ia juga mengatakan ini pelet, karena pernah menggunakannya. Dih, jadi ketahuan belangnya dia. "Pantes, selama ina Abang kaya bucin sama dia. Ga peduli apapun yang dia lakukan, dia minta, abang pasti akan mengangguk dan mengatakan iya." "Emang Abang kaya gitu, ya?" "Lah, gitu lah, kalau orang dipelet. Gak sadar. Iya kan, Bu?" tanya Mila pada Ibu yang dijawab dengan anggukan. Pantas saja. Terkadang aku merasa aneh pada diriku sendiri. Kadang ingin menolak, tapi mulut selalu mengatakan iya, kepala selalu mengangguk, pada setiap omongannya. Aku pun masuk ke dalam kamar, membaca pesan yang Leman kirimkan tadi dan membalasnya. [Jadi, selama ini gue beneran dipelet sama dia.] [Wih, mant
"Karena ia bahkan sampai berani bersumpah atas nama Allah di hadapanku dan Ibu.""Bro, zaman sekarang orang gampang mengucapkan hal yang bahkan menurut kita itu sakral. Emang bener, kita nggak boleh su'udzon. Tapi kalau udah ngelihat bukti kaya gitu, mau gimana lagi? Siapa yang naroh itu bacaan pengasihan di lemari lu kalau bukan bini lu itu? Lagian, kakak ipar lu yang cewek kok kayak b*go amat, sih? Udah liat suaminya selingkuh, bahkan sampai zina sama adik kandungnya sendiri, malah dibela begitu?" "Dia bukan adik kandungnya. Mbak Sinta hanyalah pancingan kalau kata orang zaman dulu, untuk mendapatkan Zahra." "Oh, pantas saja mereka nggak mirip." Aku mengangguk, lalu menghela napas panjang. Sekarang kepalaku malah terasa panas dan amat pening. Sepertinya terlali banyak pikiran, lebih baik besok aku ajukan cuti saja. "Si Intan, nanyain lu, kemarin," ucap Leman tiba-tiba. "Lu nggak ada kerjaan, sampai ngeghibah di meja gue?" tanyaku. "Udah beres. Bentar lagi kan udah mau jam pul
Mataku semakin melebar saat melihat Ibu mengeluarkan sebuah kertas dan memasukkannya ke dalam lemari bajuku. Tunggu, jadi, ini perbuatan Ibu? "Kenapa Ibu melakukan ini semua? Apa Ibu memang tak menyukai Zahra?" Ingin aku menanyakan ini semua, namun aku takut Ibu merasa tertekan. Apa yang sebenarnya terjadi, Bu?"Gani." Terdengar suara Ibu dari luar. "Ya, Bu?" "Ayo, kita makan malam. Fikri sudah pulang.", "Baik, Bu." Kami pun makan malam bersama. Tak ada keanehan di antara kami. Malah Ibu semakin bahagia kelihatannya. "Ehem, Bu. Soal kertas yang katanya pelet itu..." Aku sengaja menggantung ucapanku. "Ke-kenapa, Gan?" tanya Ibu, tanpa memandangku. "Apa bener, Zahra yang naruh, ya?" tanyaku sambil menatap Ibu. Baru kali ini, aku berani bertanya sambil menatap tajam matanya. Aku melakukan ini bukan karena ingin menjadi anak durhaka ataupun membela Zahra. Hanya saja, aku tak suka jika Ibu menebar fitnah, bahkan pada orang yang sudah tak bersangkutan denganku. "Ya kalau bukan Mb
Aku pun permisi sebentar sama Om Sobri dan berjalan ke depan, melewati Ibu-ibu yang tengah sibuk membantu mengupas sayuran. Saat sampai di depan, mataku membeliak sempurna. "Intan?" "Mas Gani?" Ini kali pertama aku bertemu dengannya setelah lima tahun tak bertemu. Wanita pertama yang mampu membuatku jatuh cinta, namun sekaligus memberi luka yang cukup mendalam. "Ada apa?" tanyaku datar. "Aku nggak tahu kalau ada acara di rumahmu. Aku ke sini, mau silaturahmi sama Ibu." "Ngapain? Apa karena kamu sudah mendengar aku yang telah bercerai? Makanya kamu berani ke sini setelah sekian lama?" "Mas, tolong dengerin penjelasan aku..." "Aku tak butuh penjelasanmu, Tan." "Intan?" Aku dan Intan menoleh ke pintu utama. Di sana Ibu sudah berdiri dan berjalan menghampiri kami. Intan memang akrab dengan keluargaku. Durasi hubungan lami yang lama, membuat mereka saling mengenal. "Kenapa nggak diajak masuk?" tanya Ibu. "Nggak lah, Bu. Nanti dibilang yang nggak-nggak sama orang lain." "Nggak-
"Aku nggak mau pergi, Bu! Aku mau ketemu sama Mas Gani," teriakan Zahra masih saja terdengar sampai ke sini. Karena suasana menjadi kian ricuh, aku pun keluar dan menarik lengannya sampai ke teras. Aku meminta Ibu untuk membubarkan ibu-ibu yang tengah rewang itu. "Mas, kamu mau kan kembali sama aku? Aku mohon, Mas. Aku masih cinta sama kamu," ucap Zahra. "Untuk apa, Zah? Aku nggak memiliki rasa apapun sama kamu lagi. Ditambah, kamu telah berbuat jahat pada ibuku. Apa jaminannya kalau hal yang sama tak akan kamu lakukan lagi?" tanyaku padanya. "Aku janji, Mas. Sumpah mati, aku akan bersikap baik dan mengurus Ibu dengan baik juga. Aku bisa jamin," jawab Zahra dengan suara bergetar. Ekor matakj menangkap sosok Intan yang tengah berdiri di samping kursi yang telah ditumpuk. Aku menghela napas, kenapa mereka berdua bisa datang ke sini, sih? "Maaf, Zah, tapi aku sudah mendaftarkan perceraian kita. Kamu tinggal tunggu hasilnya."Zahra membeliakkan matanya. Mungkin ia tak menyangka jika