Heran. Heran. Heran.
Dug!Begitulah bunyi detak jantungku ketika melihat siapa yang berderap menuruni tangga. Siapa lagi kalau bukan Marcella? Oh, siapapun dia, pasti terbuat dari plastik. Buktinya, sama sekali nggak punya perasaan. Nggak berperikemanusiaan. Satu lagi, pemikirannya nggak bisa bekerja dengan baik. Jelas, dia hanya mengandalkan kecantikannya saja. Sama seperti boneka bidadari, ... Cantik, indah dan mempesona tetapi sayang, hanya benda mati. Hanya mainan."Oooh, hiii, Anyaaa!" Marcella menyapaku, seolah-olah kami sudah sejak lama bersahabat dan saling menyayangi, "Hoe gaat it? Eh, sorry ... How are you, Anya?"Kalau dia berpikir aku akan tersenyum dan berbasa-basi menanggapi, itu salah besar. Nggak, nggak akan pernah. Aku memang ceriwis dan mudah bergaul, tapi bukan berarti nggak bisa berdiam diri dan menentukan sikap
Bergeming. Mematung.Hanya itu yang bisa kulakuan selama sekian detik. Nggak tahu tepatnya berapa, sulit bagiku untuk memperkirakannya. Seluruh hidup tanpa kecuali tergambar dalam suasana hati yang mirip Aceh seusai terguncang tsunami. Yeaaahhh, aku mihatnya di Google Image, tentu saja.Ketika kembali menapak di atas kesadaran, hanya bisa berdoa dalam hati semoga nggak setetes air liur pun keluar dari mulutku. Sungguh, waktu itu dalam keadaan terngaga yang membuatku merasa bodoh. Lemah, bodoh dan kekanakan. Sejujurnya, belum pernah aku merasakan malu yang sebesar ini, sebelumnya."Please, say yes, Anya?" Marcella menyibakkan poninya ke belakang, menyorotku penuh dengan tatapan kemenangan, "The night will be the most beautiful night for Me if You're ...?"Tanpa
Thanks a lot to my inner power yang telah menyampaikanku di flat Shopia tepat pada waktunya. Menurut perhitunganku sih, terlambat dua setengah menit. Tapi nggak menurut Shopia. Oooh, my goodness! Dia tersenyum ramah sekali saat menyambut kedatanganku.Flat Shopia berada di lantai tujuh belas, nomor tujuh di sebelah kanan lift. Dari luar terkesan biasa saja, seperti flat-flat yang sering aku lihat di sini atau pun Google Image. Tapi begitu masuk, aku langsung terhipnotis. Ruang tamunya memberi kesan mewah dan elegan, dengan beberapa lukisan bertema Leiden yang terpasang di dinding. Aku benar-benar nggak menyangka, kalau itu hasil sulaman Shopia.Wooow, amazing tralala!Dinding dengan wallpaper blue tosca polos itu benar-benar terlihat marching dengan sulaman kincir angin besar di atas pintu masuk. Begitu juga dengan kanal d
Let's Talk One Each Other'One, two, three!' aku menghitung di dalam hati yang sebenarnya nggak bisa dikatakan baik-baik saja tapi juga nggak terlalu buruk, 'Came on Anya, say hi to your best friend, please?'Bayangkan!Elize ada di samping meja kasir, sedang memasukkan uang koin ke dalam kantong khusus sambil terus menatap ke arahku, penuh dengan tanda tanya. Tak setipis kulit ari pun ia mengulas senyuman untukku, berbeda dengan ketika bertemu di jalan tadi. Sekarang, dengan wajah yang keruh, dia berjalan ke meja nomor empat. Selang satu meja dari mejaku.
Kejutan Yang HakikiLega. Lega. Lega.Plong!Akhirnya, selesai sudah aku membuang semua sampah di rumah ke tempat pembuangan sampah umum, di dekat kopermolen. Meskipun harus berlari-lari untuk itu tapi rasanya benar-benar lega. Nggak, aku nggak mau Kenzy mengatakan aku stupid, pikun atau dengan bad word yang lainnya hanya gara-gara lupa membuang sampah. Pernah, itu pernah terjadi. Sekali, ketika aku dalam penderitaan PMS yang selama ini belum pernah berdamai denganku. Kenzy, mana mau tahu soal itu? Namanya juga batu karang!Aku kalau sudah PMS jangankan membu
Sudah. Aku sudah menghapus kontak Elize dari Rose. Untuk apa menyimpannya lagi? Dia sudah nggak pantas untuk berada dalam kisah hidupku lagi. Nggak. Bahkan ketika dia memakai topeng Puteri Salju pun aku nggak akan menerimanya lagi. Cukup sudah cerita persahabatan kami hanya sampai di sini. Ibarat sekeping puzzle, dia nggak bisa terangkai lagi dengan kepingan puzzle yang lain. Bukan hanya gambarnya saja yang sudah mengelupas dan hilang entah kemana tapi juga sudah penyok dan robek-robek di sana-sini. Halooo, hanya ada dua keping puzzle, lho. Aku dan dia.Big no!Kalau dia nggak berkhianat, aku masih bisa memaafkan dan menerimanya kembali. Kekurangan diri bisa diminimalkan. Kelemahan bisa dikuatkan. Kekhilafan lumrah terjadi pada setiap manusia tapi ini, berani-beraninya dia bermesraan dengan Kenzy? Sedangkan dia tahu Kenzy
Cling, cling, cling!Akhirnya, sisa hari itu kuhabiskan dengan membersihkan kamar, seluruhnya. Menyedot debu, mengepel lantai dan membersihkan kaca jendela. Kaca lemari, kaca cermin dan bingkai foto, semuanya hingga tak ada sebutir debu pun menempel di kamar.Aku juga mengganti sprei dan bed cover---padahal baru kuganti kemarin pagi---demi mendapatkan nuansa hidup yang baru. Bukan hanya itu, sebelum mengganti dengan sprei dan bed cover yang baru, aku juga menurunkan mattras dan membersihkan bed yang nggak terlihat kotor.Puas dan lega sekali rasanya, melihat kamar yang jauh lebih bersih dan rapi. Seperti baru saja membuka lembaran hidup yang baru. Ah, andai sesederhana itu. Mungkin, aku nggak akan semerana ini sekarang. Nggak akan merasa rapuh dan nggak berguna sama sekali. Jujur, selain dua perasaan itu, aku juga kesepian. Biasanya, Elize selalu di sini, menemaniku.Apa, apa aku baru saja me
Klik, klik, klik!Seperti biasa, aku mengunci pintu kamar sampai pol, meskipun tahu kalau Kenzy sedang nggak ada di rumah. Nggak, aku nggak mau kecolongan lagi, dalam bentuk apapun. Cukup yang sekali itu, waktu demam. Titik. By the way, mengapa hari itu Kenzy bersikap sangat baik terhadapku, ya? Padahal kan, ada Marcella? Haha. Haha. Sekarang semakin sadar kalau diri ini masih terlalu polos, lucu dan unyu-unyu untuk hidup bersama Kenzy. Tentu saja dia bersikap sebaik itu, Anyelir Nuansa Asmara. Karena dia perlu kain yang tebal, panjang dan lebar untuk menyembunyikan hubungannya dengan Marcella. Haha. Haha. Siapa sangka kalau ternyata dengan EVH juga? Elize Van Harry.Oooh, my God!