Di antara bayang-bayang Kenzy yang mengulum senyum manis dan segenggam kebahagiaan, aku menguatkan diri untuk tanda tangan. Meskipun air mata tak kunjung berhenti dan keringat dingin semakin deras mengalir, aku berusaha untuk menguatkan diri. Kuat, tegar untuk Kenzy. Demi suami tercinta sepanjang masa. Miss D dan Doctor menunggu dengan sabar di seberang meja. Tenang, Miss D mengusap-usap punggung tanganku, senyumnya terlihat tipis tapi tulus. Sementara Doctor duduk bersedekap tangan dengan raut wajah setegang robot lowbat.
Sungguh, sampai detik ini, aku masih merasa jahat!
Jahat, karena harus melalukan semua ini, meskipun itu demi kebaikan Kenzy. Cukup, cukup satu musim dia menjalani masa komanya. Nanti, besok jangan lagi. Aku sudah nggak sanggup lagi melihatnya seperti ini. Oooh, ooohhh, my God! Baru satu kali itu aku me
De Swiiing!Entah bagaimana awalnya, aku nggak terlalu ingat, rasa-rasanya ada sesuatu yang aneh di ruang perawatan ini tapi nggak tahu, apa. Om Dirga masih berdiri sambil menyedekapkan tangan di bawah kaki Kenzy, sama seperti posisinya semula. Miss D sudah selesai melepaskan sonde dan sekarang Doctor, dibantu Nurse mulai melepaskan jarum infus yang tertancap di punggung tangan sebelah kanan. Mereka melakukan transfusi darah dari sana. Sampai di sini aku memandang ke segala arah, mengingat keanehan yang sempat kurasakan tadi.Nothing is weird but I feel that!Kembali, aku memandangi wajah Kenzy yang kadang-kadang tertutup tangan Doctor atau Nurse karena pekerjaan mereka melepas ventilator belum selesai. Wajah yang kalau dalam keadaan sehat terlihat tampan dengan
Menjadi isteri Kenzy bukan perkara yang mudah bagiku. Bukan hanya karena karakternya yang bertolak belakang denganku, tapi terutama dunianya yang hitam kelam. Nggak, aku nggak seputih awan di langit biru, tentu saja. Tapi setidaknya, nggak pernah menjajal apalagi sampai terjerat di dunia yang baginya surga. Sampai sekarang aku masih belum mengerti, bagaimana bisa begadang setiap malam, mabuk-mabukan, berjudi dan menghambur-hamburkan uang untuk wanita penghihur bisa disebut Surga. Bukankah Surga itu tempat yang paling nyata, indah dan suci?Kenzy, Kenzy! Mau sampai kapan dia begini? Nggak sadar apa, umurnya sebentar lagi sudah tiga puluh enam tahun? Apa masih belum puas, bersenang-senang di dunia hitam kelam, bagaikan langit putih yang diselimuti awan mendung. Tebal dan hitam.Sebenarnya, kadang-kadang aku malu pada Papa dan diri sendiri terutama, karena masih belum berhasil merubah Kenzy. Jangankan berhasil, bisa bertahan di sini saja sudah Alhamdulil
Detik-detik berdetak begitu lambat, seolah-olah slow motion mode on dalam sebuah adegan film. Kenzy masih menunggu jawaban atas ajakannya tadi. Sejujur-jujurnya kukatakan, aku mau tapi takut. Kenzy malah tertawa terpingkal-pingkal, terjungkal-jungkal menciptakan gugup. Terlalu gugup, sehingga aku menuduhnya seperti ini di dalam hati, "Tuh kaaan, apa kubilang? Kenzy pasti ingkar janji?"Kok, tertawa?" tanyaku sambil menarik keranjang roti, "Ada yang lucu?"Hampir delapan bulan hidup bersama, tapi belum pernah aku melihatnya tertawa selepas ini. Apalagi sampai memberikan tatapan yang menyenangkan, nggak memicingkan mata seperti biasanya. Aneh, kan? Apa dia benar-benar serius, mengajakku makan malam? Eh, jangan-jangan, ada udang di balik batu? Oh ya, jelas, dia sedang mabuk. Apalagi?Roti tawar sudah selesai kumasukkan ke dalam keranjang dan sekarang sudah tersusun rapi. Berdasarkan urutan Expired Date. Sejak hari pertama kami di
Aku memang manusia biasaYang tak sempurna dan kadang salahNamun di hatiku hanya satuCinta untukmu luar biasaLagu Manusia Biasanya Yovie & Nuno masih mengalun merdu di kamar Kenzy. Entah mengapa, hampir seharian ini dia memutar lagu-lagu lawas berbahasa Indonesia. Bukan, bukan berarti aku memperhatikan kebiasaaan dia, sih. Terserah saja dia mau memutar lagu apa, kapan, dimana dan sampai kapan. That is not my business. Tapi masalahnya volumenya itu lhooo, sudah seperti di Baar and Karaoke saja?Aku mau mendampingi dirimuAku mau cintai kekuranganmuSlalu bersedia bahagiakanmuApapun terjadi kujanjikan aku adaNah, kaaan?Bukannya dipelankan malah semakin dikeraskan! Bagaimana aku bisa konsentrasi belajar kalau begini ceritanya? Masa harus mengungsi di kamar tamu lagi, sih? Bukan apa-apa, aku malas naik turun tangganya. Belum lagi, di sana nggak ada pemanas ruangannya. Duh, duuuhhh, perlu pertimbangan sejuta k
Deru angin dingin yang mengantarkan beku, membuatku tersadar, sudah sampai di belakang rumah. Serta merta pandanganku tertuju pada rumah boneka berpagar kayu merah jambu, rumah khas Belanda. Garasi sepeda yang terletak di samping kiri pintu pagar terlihat teduh dan hangat. Dinding kayunya yang bercat ungu muda, terlihat kontras dengan warna pagar. Kontras yang manis, menurutku.Di samping garasi sepeda, aku memanfaatkan lahan kecil---sekitar tiga kali empat meter---sebagai taman bunga. Sebenarnya, aku nggak begitu suka bertaman atau berkebun. Tapi, hanya itu yang bisa kulakuan untuk mengisi waktu luang di rumah. Dari pada bengong alias blank, kan? Lebih baik diisi dengan hal-hal yang bermanfaat.Begitu semangatnya, sampai-sampai aku membeli dua rak bunga putar dan meletakkannya di ujung taman. Sebenarnya, itu tempat untuk meja barbecue. Tapi karena Kenzy nggak pernah mengadakan, aku menggantinya dengan rak putar. Dua-duanya dipenuhi dengan bunga mawar dan dan aster. Warn
Seven months seven days.Itu usia pernikahan kami. Pernikahan yang terikat kuat meskipun berdasarkan sebuah kata pusaka, terpaksa. Bukan hanya aku yang terpaksa, tetapi Kenzy juga. Kami sama. Sama-sama terpojok oleh pahit dan sakitnya keadaan.Meskipun tetap nggak adil, menurutku. Iya, nggak adil, karena harus berdampingan dengan Kenzy yang sudah rusak ... Malu untuk mengakuinya, sebenarnya. Takut juga. Sebelum menikah denganku, Kenzy sudah sering terlibat dengan kasus obat-obatan terlarang. Sebelum menikah denganku, sudah beberapa kali keluar masuk hotel prodeo.Terapi di Rumah Sakit Jiwa pun sudah dijalaninya beberapa kali namun belum membuahkan hasil. Entah bagaimana, papanya yang rekan bisnis Papa, tiba-tiba punya pemikiran ajaib. Menurut pendapatku, papanya bukan mendapatkan wangsit secara misterius seperti yang diutarakannya. Aku yakin, dia hanya memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Well, sebagai rekan bisnis, pasti dia tahu kalau perusahaan Papa seda
Sumpah, meskipun sudah membaca Pippi Longstocking karya Astrid Anna Emilia Lindgren---secara acak---dan Love, Star Girl karya Jerry Spinelli---juga secara acak---nyatanya perasaanku belum membaik juga. Rasanya seperti selembar kertas yang disobek dengan kasar oleh seseorang karena berulang kali typo, diremas-remas hingga membentuk bola lalu dilemparkan begitu saja ke tempat sampah. Plung dan hilang. Tenggelam di antara sekeranjang sampah yang lain.Yeaaahhh, andai selembar kertas memiliki perasaan, sih!Ummm, sepertinya aku membutuhkan sesuatu selain buku, deh? Itu, untuk menghapus jejak dan bayangan Marcella dari ingatan yang mulai over loaded. Saloon and Spa, shopping, gardening atau berjemur di pantai? Tapi, masa sendiri, sih? Ahaaa, aku tahu, aku tahu! Es krim. Titik.Segera, aku mengemasi tiga novel
Aku meninggalkan speltuin yang semakin ramai oleh anak-anak dengan perasaan yang semakin berat, porak poranda. Takjub dengan semua yang menimpaku hari ini. Kenzy yang mengamuk di kamar mandi tadi pagi, tanpa sebab yang kuketahui. Katakanlah dia mabuk kuadrat dan mengacak-acak lemari perlengkapan dengan sempurna. Tetap saja amazing tralala, rasanya. Ketika aku menyalurkan empati dengan menanyakan apa yang telah terjadi, dia malah semakin mengamuk. Matanya melotot besar sekali seolah-olah aku baru saja menegurnya dengan kata-kata, "Hei, apa yang kamu lakukan, Kenzy?"Auto mundur alon-alon lah, aku. Tahu, kan? Mundur perlahan-lahan. Menyelamatkan diri. Kalau sudah melotot seperti itu, berarti mabuknya parah. Jadi, lebih baik aku yang mengalah. Nggak, nggak mungkin kembali ke kamar. Takut. Jadi, aku langsung berderap menuruni tangga menuju ruang makan keluarga yang terletak di dapur.