Sirrr dug, dug, duuuggg!
Mungkin, inilah yang disebut dengan kiamat kecil. Tahukah kalian, apa yang terjadi? Waktu aku membuka mata yang sebenarnya masih lengket kuadrat, ternyata tubuhku yang indah, lembut dan wangi ini berada dalam gendongan Kenzy. Bayangkan, betapa sekaratnya aku saat menyadari itu! Awalnya, kukira masih di pesawat dan saking lelahnya aku tertidur tapi ternyata … Berani-beraninya dia menggendongku seperti ini? Oooh, ooohhh, my God! Apa yang sebenarnya telah terjadi, ada apa? Apa aku tertidur lagi? Bukannya tadi sudah minum tiga cangkir kopi hitam---minuman terlarang versi Mbah Mi---makan sekantong cokelat lagi yang berarti selama di dalam pesawat aku sudah menghabiskan dua kantong cokelat? Kenapa masih tertidur juga, sih? Ya ampuuun! Kalau begini kan, aku jadi malu?
What?Kamar sebelas di lantai sebelas?Biyuuuh, ini, sebenarnya ini rahasia terbesar dalam hidupku. Sungguh. Nggak seorang pun di dunia ini tahu, kecuali Galih. Mama, Papa dan Mbah Mi? Nggak juga, aku nggak pernah bercerita pada mereka. Untuk apa? Well, mereka orang yang praktis dan realistis. Kalau tahu aku fobia lift, waaahhh, bisa-bisa mereka langsung heboh. Hebohnya? Membawaku ke rumah sakit jiwa atau minimal ke psikiater. Wuaaahhhh, tentu saja aku nggak mau dan ya, yaaahhh, sekarang lah sesuatu yang bernama lift itu sedang menantiku di sana. Mungkin, ooohhh, mungkin dengan jumawanya lift itu malah tersenyum dan melambai-lambaikan tangan untuk menyambut kedatanganku nanti. Ugh, kenapa nggak naik pesawat yang langsung mendarat si Jaka
Mama, Papa dan Mbah Mi terlihat duduk-duduk santai di beranda depan, sewaktu aku pulang kuliah. Sempat kulihat, di hadapan mereka terhidang sepiring nugget pisang dan tiga mug teh. Tapi sayang, hari ini terlalu melelahkan sehingga langsung permisi masuk ke rumah, setelah menyalami dan mencium punggung tangan mereka, satu per satu. Biyuuuh, aku juga nggak tahu, bagaimana bisa Arunika melalukan semua itu pada kami. Sampai-sampai Galih cemburu dan semakin possessive hari ini, berlipat-lipat dari biasanya. Bayangkan! Aku masih di kelas saja, dia sudah menjemput dan menunggu di kantin Jurusan. Hal yang nggak pernah terjadi sebelumnya.Siapa itu Yustico pun aku nggak tahu, nggak kenal. Bagaimana bisa dia menyampaikan berita bohong, katanya aku dan dia main tikung di belakang. Padahal baru seminggu saling kenal di media sosial.
Jlep, plaaasss!Aku baru saja selesai mandi, masih dalam balutan bath jas putih polos fasilitas hotel karena baju tidur tertinggal di kamar ketika Kenzy entah apa yang dilakukannya di sana, berdiri tegak di samping jendela. Kalau nggak salah, karak antara jendela itu dengan pintu kamar mandi ini, sekitar lima tiga meter. Aku juga nggak terlalu memperhatikan, apakah Kenzy menghadap ke luar jendela atau sebaliknya. Hanya satu yang menyerap konsentrasi secara utuh saat ini, berjalan dengan hati-hati ke tempat tidur, jangan sampai terjauh dalam bentuk apapun. Pastinya, nggak mau disentuh Kenzy lagi meskipun dalam keadaan tak sadarkan diri. Modus! Well, vertigo masih menjajah tubuhku dengan segala kekuasaannya sehingga terasa begitu berat. Kepala yang terasa pusing berputar-putar, juga perut yang mual kuadrat kali empat
Dalam detik-detik yang berdetak begitu cepat, seolah-olah roda yang berputar menuju ke suatu tempat, aku dihunjam ketakutan yang tak tergambarkan. Belum. Selama ini Kenzy belum pernah bersikap seserius dan setegas itu di depanku. Serius, tegas sekaligus lembut namun justru berhasil menciptakan kengerian hanya dalam waktu kurang dari lima sepuluh detik. Wuaaahhhh, Kenzy menggenggam erat-erat Tulip di tangan kanannya, seolah-olah itu selembar kertas yang baru saja dirobeknya karena banyak typo saat menulis. Dia benar-benar terlihat geram, sekarang. Wajahnya terlihat semerah batu bata, tanpa senyuman barang satu inci dan kedua bola matanya yang biru tergenang air. Nyaris tumpah.Di sini, di tepi tempat tidur, aku hanya bisa menunduk memejamkan mata, rapat-rapat. Terutama setelah Kenzy dengan gerakan selembut angin memutar ba
Hampir tengah malam dan kami belum tidur. Sebenarnya, aku sudah nggak sanggup lagi menahan kantuk tapi bagaimana lagi, Kenzy masih sibuk dengan Tulip. Karena merasa bersalah, dia mewajibkan diri untuk memastikan kalau semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Overall, kondisi Tulip sehat, sih. Tapi Kenzy berdalih, kekuatan amarah bisa lebih parah dari ketinggian gedung pencakar langit. Jadi, di sinilah kami sekarang berada, di atas hamparan karpet bulu di sisi tempat tidur, memeriksanya. Mulai dari touch screen (terutama, karena ini yang paling penting), speaker, torch dan yang terakhir camera.Meskipun terlihat lega, Kenzy tetap membuka Tulip, memeriksa bagian dalam, "Nya, sekuat apapun smartphone, akan menjadi rapuh kalau berhadapan dengan bara amarah dalam diri Kenzy Van Snoek!"
Perlahan-lahan namun pasti, mobil mewah yang tadi menjemput kami di bandara memasuki halaman rumah yang terlihat mewah dan megah di bilangan Jalan Sosrowijayan. Refleks, aku menggenggam jari-jemari tangan Kenzy yang terasa dingin. Sejujur-jujurnya kukatakan, dadaku dipenuhi dengan gelenyar-gelenyar lembut yang menyakitkan. Menyesakkan, sehingga dalam hati berdoa sekhusyuk mungkin, semoga nggak vertigo lagi. Jangan, jangan. Ya ampuuun! Jauh-jauh pulang dari Sleedorn Tuin hanya untuk menjadi pusat perhatian karena muntah-muntah hebat atau malah pingsan? Wuaaahhhh, big no!Kenzy memandang wajahku dari samping, begitu dirver memarkir mobil berwarna putih mengikat itu di samping pohon kelengkeng yang berbuah sangat lebat. Sekian detik kemudian, dia mendesah berat, menghela napas panjang. Serta merta aku menoleh, menyelam hingga ke d
Jujur, kagum pada ketabahan Kenzy. Meskipun sempat ambyar kuadrat---terutama saat di makam Papa Snoek dia terlihat shocked dan nyaris pingsan---tapi lekas membaik dari waktu ke waktu. Sekarang malah sudah terlihat tenang dan mulai bisa tersenyum. Salut, salut, salut. Kalau aku, mungkin masih pingsan-pingsan sampai tahun ke depan. Oh, nggak, sepuluh tahun yang akan datang. Ya ampuuun! Aku kan, hanya punya Papa di dunia ini? Ya, yaaahhh ada Kenzy, sih. Tapi kan, nghak mungkin menjadi Papa? Iya, kan?Aku, menceritakan ini, bukan berarti lebih tabah dari pada Kenzy. Bagaimana mungkin? Laaah, baru sampai di makam saja, aku sudah nggak berdaya. Nggak, atas saran Mbak Pie dan Pak Sinto, aku nggak menangis sama sekali tapi rasanya seperti tubuh yang kehilangan ruh. Terlebih, saat melihat foto Papa Snoek yang diletakkan di a
Ternyata, Arunika datang ke rumah Sosrowijayan untuk menemui aku, atas permintaan Galih. Pelan-pelan sekali, nyaris berbisik dia menyampaikan itu padaku, "Sorry Nya, Galih yang nyuruh gue ke sini buat nemuin Lo. Lo nggak apa-apa kan, Nya?"Sumpah!Meskipun jetlag parah tapi aku masih bisa mengingat, bagaimana Kenzy telah mengancam Galih waktu kami bermalam di Changi Airport Hotel. Dia akan membuat Galih tutup buku kehidupan kalau sampai berani mengganggu atau mendekati aku lagi. Tapi ini, dia malah meminta Arunika untuk mengunjungi aku, bayangkan! Well, meskipun Kenzy terlihat tenang dan santai, seolah-olah nggak peduli tapi jangan meremehkan dia, lho. I mean look, he can be the strongest boxer in the world, really. By t