Hana yang memang duduk membelakangi Rio sama sekali tak berniat menoleh. Hati yang terlanjur sakit membuat Hana sama sekali tak memiliki rasa yang tersisa. "Memberi kesempatan kedua hanya akan menjadi sebuah sesal," lirih Hana. Hakim mulai paham sekarang."Jika butuh teman bercerita, kau bisa membaginya denganku, Na. Anggap saja kita masih sama seperti dulu. Kurasa kau pun paham." Hakim berucap pelan. Hana menyedot es teh di gelasnya, sekedar menyejukkan kerongkongan yang tiba-tiba terasa kering. "Menjadikan lawan jenis sebagai teman curhat adalah sebuah kesalahan. Aku tak berniat membuat Abang tak nyaman, hanya saja, aku tak ingin kesalahan yang dilakukan mantan suamiku akan terjadi pula dengan laki-laki bergelar suami yang lain. Semua perempuan sama, tak ingin laki-lakinya memiliki teman perempuan selebih dari rekan kerja, dan aku menganggap Abang sekarang bukanlah teman seperti dulu, melainkan rekan kerja," jelas Hana panjang lebar dengan suara pelan. Namun, terdengar sangat te
Harapan seolah kandas. Rio merasakan desir tak nyaman di hatinya. "Bisakah kita cuma bicara empat mata, Na?" tanya Rio penuh harap. Hakim nampak serba salah. Tangannya menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gatal. "Jika mau berbicara katakan saja di sini sekarang," ucap Hana masih dengan nada dingin. Matanya mengarah pada Hakim dengan tatapan tak bisa ditebak. Rio akhirnya duduk. Berbicara di sini sedikit lebih baik, ketimbang dirinya tak sama sekali dapat berbicara dengan mantan istrinya itu. Ia duduk di kursi antara Hana dan Hakim. Suasana seketika berubah canggung. Rio merogoh saku celananya di mana ia menaruh sesuatu sejak semalam. "Tolong, Na, tolong terima ini," ucap laki-laki itu dengan penuh harap. Ia mengangsurkan sebuah amplop coklat ke atas meja di depan Hana. Hana bergeming. Hakim tak jauh berbeda. Ia paham jika Hana secara tak langsung meminta dirinya hanya sebagai pendengar di sini, tidak untuk ikut campur. "Lima bulan kau tak pernah menampakkan batang hidungmu d
Hana menggeleng cepat. "Hanya dengan anak-anak saja." Wajah Rio kembali berubah lesu."Jangan pernah berharap sesuatu yang pecah berkeping akan kembali utuh. Aku bahkan akan menikah dua bulan lagi," ucap Hana sambil menatap lekat wajah Hakim.Laki-laki itu mengangguk pelan. Hanya ini yang dapat ia lakukan untuk membantu Hana saat ini. "Aku yakin semua belum terlambat, Na. Kita bisa memperbaiki semua ini," ucap Rio tak tahu malu. "Apanya yang belum terlambat? Kami bahkan sudah merancang hari pernikahan," sela Hakim dengan mimik wajah meyakinkan. Rio menatap kesal pada laki-laki tampan dengan dagu belah itu. "Aku sedang berbicara dengan Hana bukan denganmu," sergah Rio. Tatapan matanya menyiratkan kebencian. "Bang Hakim benar, kami bahkan sudah membicarakan hari pernikahan dan kedatanganmu hanyalah merusak kebahagiaan kami." "Jangan membohongiku Hana! Berapa kau membayar bajing*n ini untuk melakukan semuanya." Rio berucap dengan gigi bergemeretak. Suaranya terdengan pelan. Namun
"Kenapa, sih, nggak belajar masak sama mamanya Ira, Pa? Pasti Papa masaknya nggak gosong kayak gini," gerutu Shanum dengan bibir mengerucut. Laki-laki bertubuh tinggi itu kini berjongkok. Tangannya membingkai wajah mungil putri semata wayangnya itu. Pagi ini Shanum minta dibuatkan burger. Karena sibuk menyiapkan perlengkapan lainnya, akhirnya roti yang Hakim bakar di atas wajan sedikit menghitam. "Kan, nggak enak, Sha, kalau Papa belajar sama Tante Hana," ucap Hakim beralasan. "Kenapa? Kan, Tante Hana baik," ucap Shanum polos. "Tante Hana perempuan, Sayang, sedangkan Papa laki-laki. Nggak enak, kan, kalau belajar masak sama Tante Hana. Mendingan nanti kita cari yang sama-sama laki-laki saja, ya," bujuk Hakim. "Tapi nanti masakannya bakal beda," protes Shanum. "Ya, kita cari yang masakannya enak dong. Sekarang, Papa bakar lagi rotinya, ya. Shanum mandi dulu nanti mau ke sekolah," bujuk Hakim. "Tapi, nanti siang makan di tempat Tante Hana, ya." Ia mengajukan syarat. Hakim berpi
"Semoga enggak, Na." Hakim terkekeh. "Gini, Na, tadi pagi Shanum merengek ngajak makan siang di tempat kamu, tapi akunya sibuk. Bisa nggak kira-kira kalo ke sananya Shanum ikut kamu, nanti aku yang jemput. Kalau nggak, nanti aku share lock, biar yang kerja di rumah nanti jemput Shanum?" "Nggak apa-apa, Bang. Kalau sibuk, biar Shanum di rumah Hana saja sampai Abang pulang kerja. Di sana 'kan, bisa sama Ira. Shanum bukan anak bayi lagi yang harus ekstra diperhatiin," jawab Hana sambil tersenyum lebar. "Atau Shanum ada les?" "Nggak, sih. Hari ini free. Serius nggak apa-apa, Na?" tanya Hakim meyakinkan. Hana mengangguk cepat. "Biar nanti Hana yang jemput sekalian jemput Ira. Ira pasti seneng banget kalo sampe pulang bareng Shanum." "Oke, Na. Makasih banyak, ya. Kalau begitu aku berangkat dulu, ya." Hakim memohon diri. Keduanya akhirnya berpisah di depan gerbang. Masuk ke mobil masing-masing. Dari sekolah Ira Hana melajukan mobilnya ke pasar terdekat. Membeli beberapa jenis stok say
"Jaga kelakuanmu!" seru Hakim dengan wajah dingin. Ia dapat menebak siapa perempuan di hadapannya itu.Entah sejak kapan laki-laki itu sampai di sini, yang pasti, Hana merasa tertolong atas kedatangan Hakim. Inez menatap lekat laki-laki tampan dengan setelan rapi itu. "Apa urusanmu membela perempuan ini?" tanya Inez dengan sudut bibir terangkat. "Tak perlu kau tau siapa aku. Pantas saja suamimu kembali mengejar Hana, jika perbuatanmu mencerminkan kalau kau istri yang kurang adab.""Jaga ucapanmu! Perempuan ini yang kurang adab. Berani-beraninya dia mau merebut suamiku." Inez membentak. "Hah? Apa aku tak salah dengar? Yang aku tau, justru suamimu yang tak tahu malu datang untuk meminta Hana kembali, bahkan berkali-kali ditolak pun tetap tak tahu malu. Sekarang tinggalkan tempat ini. Hana calon istriku dan aku tak akan segan-segan memenjarakanmu dengan tuduhan tindakan tak menyenangkan. Satu lagi, katakan pada suamimu agar tak lagi mendekati Hana dengan cara apapun, dan katakan padan
Hakim membingkai wajah putrinya, merapikan anak rambut di kening sang putri. "Loh, kan udah lewat jam 4, Sayang." Hakim menautkan alis. "Tapi Shanum masih mau main di sini," ucapnya dengan wajah sendu. Hana hanya menatap gadis kecil itu dengan senyum lembut. Sedangkan Ica dan Ira hanya diam mengamati. "Emangnya nggak kangen sama Papa?" goda Hakim. "Kangen, sih, tapi Shanum suka di sini, banyak temen." Shanum beralasan. "Sayang, sekarang kita pulang dulu, ya, lain hari Shanum boleh main lagi kalau Tante Hana ngizinin." Hakim berucap sambil melirih ke arah Hana, seolah meminta persetujuan. Hana berjongkok di antara dua putrinya. Kedua tangannya menggenggam tangan Shanum, serta mata menatap lembut pada gadis kecil itu. "Iya, Sayang. Sekarang ikut Papa pulang dulu, nanti kalau mau main ke sini silakan. Kapan saja Shanum mau main di sini, boleh, kok," ucap Hana lembut. "Serius, Tante?" tanya Shanum dengan binar bahagia. Hana mengangguk pelan. "Baiklah, sekarang Shanum pulang dul
Sinar matahari mulai menghangat kulit. Angin pagi berhembus pelan menyapu jalanan, ditambah lagi lalu lalang kendaraan mulai ramai, menciptakan debu yang berterbangan di udara.Hana sudah sejak selesai subuh berkutat di warung makannya. Dirinya memang disibukkan di pagi hari. Sedangkan di siang hari ia hanya membantu di meja kasir, atau sesekali mengantar makanan ke meja pelanggan. "Assalamu'alaikum," ucap suara yang begitu familiar di telinga Hana. Hana yang sejak tadi sibuk menyusun uang pecahan untuk kembalian, kini mendongak. "Eh, Shanum. Pagi Anak Baik," ucap Hana dengan senyum lebar. "Pagi Tante Hana," balas Hanum dengan wajah sumringah. "Maaf, Na, Shanum maksa buat ke sini, katanya bosan di rumah," ucap Hakim dengan perasaan tak enak. Hana berjalan mendekat. "Nggak apa-apa, Bang," ucap Hana. "Ya, udah, sekarang Shanum masuk aja, di dapur ada Bang Abi, Ica sama Ira. Shanum udah sarapan?" tanya Hana pada gadis kecil. "Udah, Tante," ucap Shanum sumringah. "Ya, sudah, Sha