Share

Tempat pulang ternyaman

Author: Rizka Fhaqot
last update Last Updated: 2022-11-14 22:12:55

Matahari mulai menguning ketika Hana memilih menghabiskan waktu di rumah orang tuanya. Rumah yang hampir tak berjarak dari rumahnya. Ya, rumah mereka berdampingan, bahkan tanah di mana rumah yang Hana tempati dibangun adalah milik orang tua Hana. Tepatnya, tanah yang diberikan oleh orang tuanya untuknya. 

Suara riuh tawa Ica dan Ira yang kini tengah bermain boneka tak jauh dari Hana duduk bersama sang mama, membuat suasana terasa begitu hangat. Di rumah inilah mereka merasakan surganya keluarga, sedang di rumah mereka, mereka dituntut untuk bersikap selalu baik dan tak boleh melakukan kesalahan jika tak ingin mendapat bentakan kasar dari laki-laki yang mereka panggil 'Papa'. 

"Kau sudah matang dengan keputusanmu ini, Na?" tanya Diana, perempuan berusia 65 tahun itu dengan wajah sendu. 

Sejak lama ia tahu bagaimana perlakuan sang menantu terhadap anak yang mereka sayangi. Bahkan tak jarang suara benda-benda membentur lantai karena kemarahan Rio terdengar sampai ke rumah ini. 

Sejak lama pula Diana dan sang suami membincangkan tentang masa depan anak perempuan beserta ketiga cucu mereka itu seandainya biduk rumah tangga mereka kandas. 

"Aku bisa bertahan dengan sikap keras kepala Bang Rio, Bu, tapi untuk masalah ini rasanya aku tak akan sanggup bertahan." Suara Hana terdengar bergetar. Susah payah ia tahan sebongkah sesak yang menyeruak, membuat bulir bening seketika mengalir. 

Cepat ia mengusap kasar bulir yang sempat menetes. Tak akan ia biarkan tangisnya pecah hanya karena laki-laki tak tahu berterima kasih itu. 

Lembut tangan renta itu mengusap punggung sang anak. Mata tua itu mengerjap, menahan kaca-kaca di matanya agar tidak tumpah. 

"Ibu mendukung apapun keputusanmu, Na," ucap Diana pelan. "Jangan khawatir tentang anak-anakmu karena memiliki ayah pun mereka tak dapat kasih sayang serta perhatian sebagai anak."

"Tolong jangan katakan pada Ayah, Ma. Bang Rio mengatakan jika ia telah membatalkan semuanya. Dan dia berjanji akan memutuskan hubungan dengan perempuan itu."

Hana sangat paham akan seperti apa jika berita ini sampai pada sang ayah yang memang sudah sejak dulu tak menyukai Rio. 

"Apa kau percaya begitu saja dengan janji manisnya?" tanya Diana dengan alis bertaut.

"Aku hanya ingin melihat seberapa pintar ia menyembunyikannya dariku. Dan seandainya Bang Rio tak mampu menepati janjinya, maka dia akan tahu seperti apa jika Hana sudah menutup pintu maaf."

"Apakah kau akan luluh jika Rio benar-benar berubah?" tanya Diana dengan tatapan sendu. 

"Sangat sulit bagi pelaku perselingkuhan untuk sadar. Jika kelak dia hanya berubah kembali seperti dulu yang hanya mementingkan ponsel saja, maka aku tak akan menunggu, meski dia sudah mengubur nama perempuan itu dalam-dalam. Namun, jika dia berubah 180 derajat dari sebelumnya,mungkin akan ada pertimbangan, meski aku sendiri tak yakin aku bisa. Tapi, rasanya terlalu mustahil seorang Rio dengan ego menggunung akan berubah menjadi laki-laki sholeh yang rendah hati, meski bagi Allah itu mungkin saja terjadi. Aku sendiri menganggap ini adalah akhir. Hanya saja, aku ingin melihat bukti dari ucapannya tadi pagi." Hana berucap dengan tatapan kosong. 

"Baiklah, Ibu akan melakukannya. Yang terpenting jangan pernah memendam masalahmu sendiri. Lihatlah wajahmu yang kini nampak lebih tua dari kakakmu. Bahkan lingkar hitam di bawah matamu terlihat menyedihkan."

Diana menatap lekat wajah putri bungsunya itu dengan tatapan iba. Ia dapat merasakan betapa lelah hati anak bungsunya itu selama ini. 

Hana mengusap sudut matanya. Mengukir senyum lembut. Ia tak ingin perempuan terbaik dalam hidupnya itu akan semakin bersedih lagi. 

Setelahnya keduanya kembali membisu, hanya celoteh Ica dengan lidah cadelnya yang kini terdengar tengah memainkan boneka barbie-nya. Dengan lucunya ia memperagakan gerak hingga gaya bicara boneka kecil itu seperti dalam-dalam serial yang sering ia tonton bersama sang kakak. 

*

Senja kian beranjak ke peraduan. Rumah lumayan  besar dengan tiga kamar tidur ini terasa begitu hening, hanya ada Rio di sini dengan hatinya yang kian tak tenang kala menyadari Hana belum juga pulang dari rumah mertuanya. Ia khawatir Hana benar-benar akan mengatakan semuanya pada orang tuanya, terlebih snag ayah. 

Mengedar pandangan ke arah pintu samping rumah orang tua Hana, memastikan jika suasana aman untuknya. 

Meraih ponsel yang sedari tadi ia letakkan di atas meja makan. Mengutak-atik layar benda pipih itu lalu mendekatkan ke arah telinga sambil berjalan ke kamar. 

"Bagaimana, Bang. Aku sudah tak mampu lagi bertahan lebih lama. Laki-laki itu semakin tak tahu diri. Bahkan sekarang aku dan anak-anak memilih pulang ke rumah ibuku," bisik suara perempuan dari seberang sana dengan nada lirih. 

"Hana meminta berpisah," jawab Rio dengan suara serak. 

Wajah dengan gigi berpagar di seberang sana tengah tersenyum penuh kemenangan tanpa suara. 

"Lalu?" tanyanya seolah tak paham. 

"Entahlah. Abang minta untuk sementara waktu kita batasi dulu. Nanti jika sudah lebih tenang lagi Abang akan menghubungimu."

"Jangan lama-lama, Bang. Aku juga butuh kepastian," ucapnya dengan nada kesal. 

"Iya, kamu tenang saja. Akan Abang pikirkan jalannya. Sebaiknya kau lebih dulu meminta pisah dari suamimu  karena kita harus menunggu masa iddahmu lebih lama lagi jika tak dimulai dari sekarang."

Inez mematung. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa. Khawatir kelak jika dirinya sudah berpisah dari suaminya sedangkan Rio tak kunjung bercerai dari Hana. 

"Kau masih di sana, Sayang?" tanya Rio membuat Inez tersadar. 

"I—iya, Bang. Baiklah, akan kuajukan gugatan secepat mungkin," jawabnya asal. 

"Baiklah. Abang sayang kamu."

Rio menutup sambungan telepon setelah merasa cukup. Khawatir Hana tiba-tiba pulang dan memergoki dirinya yang tengah menelepon kekasihnya itu. 

Lima menit setelahnya Hana pulang bersama dua anak perempuannya, sedangkan Abi, anak pertamanya tadi izin mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya. 

Rio bergegas keluar kamar ketika mendengar celotehan manja Ica semakin mendekat. 

"Kakak ikut Mama ya, langsung cuci kaki sama tangannya, sebentar lagi magrib," perintah Hana pada Ira sambil berjalan menuju kamar mandi. Anak perempuan itu tak menolak, ia mengekor di belakang sang mama yang tengah menuntun sang adik berjalan ke kamar mandi. 

"Ira dari mana?" tanya Rio berusaha beramah-tamah dengan anak keduanya itu saat gadis itu baru saja selesai melap kaki dan tangannya dengan handuk. 

Ira melongo karena merasa tak biasa dengan perlakuan sang ayah. Biasanya Rio bahkan tak peduli dengan apa saja yang mereka lakukan. Rio lebih mementingkan ponselnya ketimbang menjalin hubungan baik dengan anak-anaknya. Namun, ketika mendengar keributan, laki-laki dengan rambut sedikit ikal itu akan langsung membentak tanpa mau mencari tahu apa penyebabnya. 

"Ira, sini!" seru Rio yang kini tengah duduk di meja makan dengan ponsel di tangannya. 

Dengan wajah getir bocah sembilan tahun itu mendekat perlahan. Di kepalanya telah terpatri, jika dipanggil sang ayah berarti mereka melakukan kesalahan dan akan mendapatkan hukuman. 

Hana lewat ketika telah selesai membersihkan kaki dan tangan si bungsu. Diliriknya sekilas wajah terpaksa Ira yang kini seolah tengah meminta bantuan ke arahnya, Hana mengurai senyum sebagai isyarat jika semua baik-baik saja. Ia tahu jika Rio tengah berusaha mendekati anak-anaknya. Entah untuk apa? Hana tak ingin berburuk sangka. 

Baru saja langkah kaki Hana memasuki kamar, ketika notif pesan masuk di ponsel miliknya. 

[Harusnya kau sadar, jika Bang Rio tak lagi mencintaimu. Mestinya kau bersyukur aku tak memintanya untuk menceraikanmu.]

Pesan pada aplikasi hijau dari nomor tak dikenal itu membuat luka hati Hana kembali berdenyutberdenyut nyeri. Dengan tanpa rasa bersalah perempuan itu melakukannya, seolah Hana-lah yang berhutang budi padanya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Alya Pristika
dimana mana pelakor tak tau diri. suami peselingkuh adalah penyakit yg kronis. ntar sembuh ntar kambuh
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Rio sibrengsek
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Ending

    Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Penyesalan Inez

    Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Nasib Sony

    Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Hari Bahagia

    Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Penderitaan Inez

    Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Wajah Asli Sony

    Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah. 

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status