Share

Tempat pulang ternyaman

Matahari mulai menguning ketika Hana memilih menghabiskan waktu di rumah orang tuanya. Rumah yang hampir tak berjarak dari rumahnya. Ya, rumah mereka berdampingan, bahkan tanah di mana rumah yang Hana tempati dibangun adalah milik orang tua Hana. Tepatnya, tanah yang diberikan oleh orang tuanya untuknya. 

Suara riuh tawa Ica dan Ira yang kini tengah bermain boneka tak jauh dari Hana duduk bersama sang mama, membuat suasana terasa begitu hangat. Di rumah inilah mereka merasakan surganya keluarga, sedang di rumah mereka, mereka dituntut untuk bersikap selalu baik dan tak boleh melakukan kesalahan jika tak ingin mendapat bentakan kasar dari laki-laki yang mereka panggil 'Papa'. 

"Kau sudah matang dengan keputusanmu ini, Na?" tanya Diana, perempuan berusia 65 tahun itu dengan wajah sendu. 

Sejak lama ia tahu bagaimana perlakuan sang menantu terhadap anak yang mereka sayangi. Bahkan tak jarang suara benda-benda membentur lantai karena kemarahan Rio terdengar sampai ke rumah ini. 

Sejak lama pula Diana dan sang suami membincangkan tentang masa depan anak perempuan beserta ketiga cucu mereka itu seandainya biduk rumah tangga mereka kandas. 

"Aku bisa bertahan dengan sikap keras kepala Bang Rio, Bu, tapi untuk masalah ini rasanya aku tak akan sanggup bertahan." Suara Hana terdengar bergetar. Susah payah ia tahan sebongkah sesak yang menyeruak, membuat bulir bening seketika mengalir. 

Cepat ia mengusap kasar bulir yang sempat menetes. Tak akan ia biarkan tangisnya pecah hanya karena laki-laki tak tahu berterima kasih itu. 

Lembut tangan renta itu mengusap punggung sang anak. Mata tua itu mengerjap, menahan kaca-kaca di matanya agar tidak tumpah. 

"Ibu mendukung apapun keputusanmu, Na," ucap Diana pelan. "Jangan khawatir tentang anak-anakmu karena memiliki ayah pun mereka tak dapat kasih sayang serta perhatian sebagai anak."

"Tolong jangan katakan pada Ayah, Ma. Bang Rio mengatakan jika ia telah membatalkan semuanya. Dan dia berjanji akan memutuskan hubungan dengan perempuan itu."

Hana sangat paham akan seperti apa jika berita ini sampai pada sang ayah yang memang sudah sejak dulu tak menyukai Rio. 

"Apa kau percaya begitu saja dengan janji manisnya?" tanya Diana dengan alis bertaut.

"Aku hanya ingin melihat seberapa pintar ia menyembunyikannya dariku. Dan seandainya Bang Rio tak mampu menepati janjinya, maka dia akan tahu seperti apa jika Hana sudah menutup pintu maaf."

"Apakah kau akan luluh jika Rio benar-benar berubah?" tanya Diana dengan tatapan sendu. 

"Sangat sulit bagi pelaku perselingkuhan untuk sadar. Jika kelak dia hanya berubah kembali seperti dulu yang hanya mementingkan ponsel saja, maka aku tak akan menunggu, meski dia sudah mengubur nama perempuan itu dalam-dalam. Namun, jika dia berubah 180 derajat dari sebelumnya,mungkin akan ada pertimbangan, meski aku sendiri tak yakin aku bisa. Tapi, rasanya terlalu mustahil seorang Rio dengan ego menggunung akan berubah menjadi laki-laki sholeh yang rendah hati, meski bagi Allah itu mungkin saja terjadi. Aku sendiri menganggap ini adalah akhir. Hanya saja, aku ingin melihat bukti dari ucapannya tadi pagi." Hana berucap dengan tatapan kosong. 

"Baiklah, Ibu akan melakukannya. Yang terpenting jangan pernah memendam masalahmu sendiri. Lihatlah wajahmu yang kini nampak lebih tua dari kakakmu. Bahkan lingkar hitam di bawah matamu terlihat menyedihkan."

Diana menatap lekat wajah putri bungsunya itu dengan tatapan iba. Ia dapat merasakan betapa lelah hati anak bungsunya itu selama ini. 

Hana mengusap sudut matanya. Mengukir senyum lembut. Ia tak ingin perempuan terbaik dalam hidupnya itu akan semakin bersedih lagi. 

Setelahnya keduanya kembali membisu, hanya celoteh Ica dengan lidah cadelnya yang kini terdengar tengah memainkan boneka barbie-nya. Dengan lucunya ia memperagakan gerak hingga gaya bicara boneka kecil itu seperti dalam-dalam serial yang sering ia tonton bersama sang kakak. 

*

Senja kian beranjak ke peraduan. Rumah lumayan  besar dengan tiga kamar tidur ini terasa begitu hening, hanya ada Rio di sini dengan hatinya yang kian tak tenang kala menyadari Hana belum juga pulang dari rumah mertuanya. Ia khawatir Hana benar-benar akan mengatakan semuanya pada orang tuanya, terlebih snag ayah. 

Mengedar pandangan ke arah pintu samping rumah orang tua Hana, memastikan jika suasana aman untuknya. 

Meraih ponsel yang sedari tadi ia letakkan di atas meja makan. Mengutak-atik layar benda pipih itu lalu mendekatkan ke arah telinga sambil berjalan ke kamar. 

"Bagaimana, Bang. Aku sudah tak mampu lagi bertahan lebih lama. Laki-laki itu semakin tak tahu diri. Bahkan sekarang aku dan anak-anak memilih pulang ke rumah ibuku," bisik suara perempuan dari seberang sana dengan nada lirih. 

"Hana meminta berpisah," jawab Rio dengan suara serak. 

Wajah dengan gigi berpagar di seberang sana tengah tersenyum penuh kemenangan tanpa suara. 

"Lalu?" tanyanya seolah tak paham. 

"Entahlah. Abang minta untuk sementara waktu kita batasi dulu. Nanti jika sudah lebih tenang lagi Abang akan menghubungimu."

"Jangan lama-lama, Bang. Aku juga butuh kepastian," ucapnya dengan nada kesal. 

"Iya, kamu tenang saja. Akan Abang pikirkan jalannya. Sebaiknya kau lebih dulu meminta pisah dari suamimu  karena kita harus menunggu masa iddahmu lebih lama lagi jika tak dimulai dari sekarang."

Inez mematung. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa. Khawatir kelak jika dirinya sudah berpisah dari suaminya sedangkan Rio tak kunjung bercerai dari Hana. 

"Kau masih di sana, Sayang?" tanya Rio membuat Inez tersadar. 

"I—iya, Bang. Baiklah, akan kuajukan gugatan secepat mungkin," jawabnya asal. 

"Baiklah. Abang sayang kamu."

Rio menutup sambungan telepon setelah merasa cukup. Khawatir Hana tiba-tiba pulang dan memergoki dirinya yang tengah menelepon kekasihnya itu. 

Lima menit setelahnya Hana pulang bersama dua anak perempuannya, sedangkan Abi, anak pertamanya tadi izin mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya. 

Rio bergegas keluar kamar ketika mendengar celotehan manja Ica semakin mendekat. 

"Kakak ikut Mama ya, langsung cuci kaki sama tangannya, sebentar lagi magrib," perintah Hana pada Ira sambil berjalan menuju kamar mandi. Anak perempuan itu tak menolak, ia mengekor di belakang sang mama yang tengah menuntun sang adik berjalan ke kamar mandi. 

"Ira dari mana?" tanya Rio berusaha beramah-tamah dengan anak keduanya itu saat gadis itu baru saja selesai melap kaki dan tangannya dengan handuk. 

Ira melongo karena merasa tak biasa dengan perlakuan sang ayah. Biasanya Rio bahkan tak peduli dengan apa saja yang mereka lakukan. Rio lebih mementingkan ponselnya ketimbang menjalin hubungan baik dengan anak-anaknya. Namun, ketika mendengar keributan, laki-laki dengan rambut sedikit ikal itu akan langsung membentak tanpa mau mencari tahu apa penyebabnya. 

"Ira, sini!" seru Rio yang kini tengah duduk di meja makan dengan ponsel di tangannya. 

Dengan wajah getir bocah sembilan tahun itu mendekat perlahan. Di kepalanya telah terpatri, jika dipanggil sang ayah berarti mereka melakukan kesalahan dan akan mendapatkan hukuman. 

Hana lewat ketika telah selesai membersihkan kaki dan tangan si bungsu. Diliriknya sekilas wajah terpaksa Ira yang kini seolah tengah meminta bantuan ke arahnya, Hana mengurai senyum sebagai isyarat jika semua baik-baik saja. Ia tahu jika Rio tengah berusaha mendekati anak-anaknya. Entah untuk apa? Hana tak ingin berburuk sangka. 

Baru saja langkah kaki Hana memasuki kamar, ketika notif pesan masuk di ponsel miliknya. 

[Harusnya kau sadar, jika Bang Rio tak lagi mencintaimu. Mestinya kau bersyukur aku tak memintanya untuk menceraikanmu.]

Pesan pada aplikasi hijau dari nomor tak dikenal itu membuat luka hati Hana kembali berdenyutberdenyut nyeri. Dengan tanpa rasa bersalah perempuan itu melakukannya, seolah Hana-lah yang berhutang budi padanya. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Rio sibrengsek
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status