Home / Rumah Tangga / KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU / Pembelaan untuk wanita lain

Share

Pembelaan untuk wanita lain

Author: Rizka Fhaqot
last update Last Updated: 2022-11-14 22:12:20

"Jangan, Ma. Jangan sampai keluarga Mama tahu tentang ini." Wajah Rio memucat. Ia menyesali dirinya yang tak mampu bersabar lebih lama lagi. 

"Lantas, aku harus memendamnya sendiri? Begitu? Belum cukupkah selama 14 tahun bersama kau membuat wajahku persis seperti perempuan 10 tahun lebih tua dari usianya?" Hana mengerutkan dahi. Mata dengan kelopak menghitam karena beban hati dan pikiran itu sedikit membulat. 

"Ceritakan pada Mama saja, jangan pada Ibu atau Ayah," ucap Rio tanpa merasa bersalah. 

Mama adalah panggilan terhadap ibu dari Rio. 

"Tak perlu. Aku sudah tahu apa yang akan Mama katakan jika aku menceritakan ini padanya. Aku akan diminta untuk bertahan dan bersabar menghadapimu, persis seperti selama ini. Sekali lagi kukatakan, aku tetap akan mengatakan ini pada orang tuaku, karena tempat ternyaman bagiku hingga saat ini adalah mereka. Aku tak akan berniat lagi mempertahankan biduk rumah tangga ini seperti yang sudah-sudah." Hana bersikeras. 

"Ya, sudah, kalau begitu biar anak-anak ikut aku!" ancam Rio dengan nada kesal. 

"Papa yakin?" tanya Hana dengan nada meremehkan. Wajar saja, 14 tahun menikah ia bahkan tak tahu bagaimana nikmatnya ketika pekerjaan rumah dibantu suami, ia tak tahu rasanya ketika anak-anak diasuh suami, iapun tak tahu bagaimana nikmatnya menjadi istri yang dihargai. 

"Ya. Aku yakin Inez mau menerimanya," jawab Rio dengan percaya diri, seolah Inez adalah manusia berhati malaikat bagi anak-anak tirinya. 

"Aku tak akan terima anak-anakku diasuh perempuan seperti dia!" seru Hana dengan wajah benci. Mendengar namanya saja membuat rahang perempuan itu mengeras. 

"Aku akan menyewa jasa pengacara dan kau tak akan mampu melawanku." Rio berucap sombong.

Hana terdiam sesaat. Kepalanya melayang ke kamar tidur di mana tiga buah hatinya masih terlelap. 

"Lakukan saja jika kau ingin istrimu kelak mati berdiri. Tak usah berlagak ingin mengurusi mereka, seumur hidup merekapun kau tak pernah sekalipun membantu mereka mandi, membantu mereka mengenakan pakaian, atau sekedar mengikat tali sepatu saat mereka baru menduduki bangku sekolah. Saat waktu libur kau hanya akan sibuk dengan ponselmu saja, yang bahkan saat kau tidurpun benda itu akan menempel di tanganmu." Hana menumpahkan semua lukanya. 

Rio lagi-lagi terhenyak. Benar kata Hana, jika ia bersikeras membawa anak-anak bersamanya, maka sudah pasti Inez akan keberatan karena Inez sendiri memiliki 3 orang anak hasil pernikahan sebelumnya, itu artinya mereka akan mengurusi 6 anak dan itu tak mungkin. 

"Aku akan tetap membawa mereka bersamaku!" ucap Rio lantang. Pantang baginya kalah sombong dengan lawan bicaranya. Sejujurnya ia tengah menguji Hana, berharap istrinya itu akan diam mengalah seperti biasa. Sayangnya, usaha Rio kali ini sia-sia. 

"Silahkan, aku tak akan pernah melarang. Tapi jika mereka hanya akan menangis di tempat tinggal gundikmu kelak, nikmati. Jangan sampai seujung kuku kau menyentuh anak-anakku! Dan jangan sampai suara garangmu kau perdengarkan pada mereka saat aku tak ada di samping mereka! Jika kau melakukannya, aku bersumpah akan membuatmu menyesal!" Mata yang bisa nampak sendu itu kini memerah karena amarah. 

Hana beranjak dari kursinya, berjalan menuju kamar Ica dan Ira. Meninggalkan Rio yang kini tengah menikmati suasana hati yang tak karu-karuan. 

Mengusap wajah kasar. Hati Rio masih separuh tertinggal di sini karena bagaimanapun kebaikan Hana selama mendampinginya selama ini sungguh luar biasa. Namun, cintanya pada Inez yang tak pernah padam membuat laki-laki itu gamang. 

*

Hana mematung di depan pintu kamar Alisya dan  Mayra. Menatap lekat bocah berusia 3 tahun dengan kulit putih mulus serta rambut lurus hitam pekat yang tangah memeluk bantal boba berwarna merah muda kesayangannya. Bocah yang mereka panggil dengan sebutan Ica. 

Sesaat kemudian mengedarkan pandangan pada anak keduanya, Mayra. Bocah berusia 9 tahun dengan kulit sedikit gelap serta rambut lurus itu baru saja mengucek mata setelah menyadari sang mama datang. 

"Mama kenapa?" tanya Ira dengan mata menyipit. 

Hana menutup pintu kamar, berjalan mendekati anak perempuan pertamanya itu. 

"Ira udah bangun?" tanya Hana basa-basi. Sayangnya, basa-basi Hana tak membuat gadis kecil itu abai terhadap sang mama. 

"Mama sedih? Papa lagi yang bikin Mama sedih?" tanya Ira dengan suara pelan serupa berbisik. Ia bangkit lalu duduk di atas bed sorong miliknya. 

Hana menggeleng. Susah payah bibirnya melengkungkan senyum. 

"Ira sudah dengar semuanya. Ira tak terlalu paham, tapi yang pasti Ira tau kalau Papa kembali membuat  Mama bersedih."

Ira memeluk sang mama. Persis seperti biasanya kala ia tahu jika perempuan luar biasa itu tengah gundah. 

Hana lebih dari malaikat bagi anak-anaknya. Sehebat apapun mendapatkan tekanan dari sang suami, perempuan itu tetap lembut memperlakukan anak-anaknya. Seolah tak ada emosi yang ia campur adukkan dalam menjalani perannya sebagai istri sekaligus ibu. 

"Mama baik-baik saja, Sayang. Berjanjilah untuk selalu baik meski sekeliling kita memberi contoh yang tak baik," bisik Hana dengan bibir bergetar. 

"Seperti Papa bukan?" tanya Ira pelan. 

Hana merenggangkan pelukannya. Membingkai wajah manis milik Ira. 

"Seburuk apapun Papa, kalian tetaplah anak-anaknya yang harus menyayangi Papa," ucap Hana lembut. 

Ira tak menjawab. Hati kecil gadis itu menyimpan luka terhadap laki-laki yang ia sebut Papa. Sering kali sikap Rio pada Hana membuat Ira marah. Bentakan-bentakan dengan kata-kata kasar kerap kali keluar dari bibir laki-laki itu hanya karena masalah sepele. Namun, Ira bisa apa? Gadis kecil sepertinya hanya bisa diam dan menurut tanpa sanggup melawan. 

"Mama …."

Ica merengek memnaggil sang mama kala melihat punggung Hana nampak di depannya. 

Hana berbalik setelah melerai pelukan pada anak tengahnya itu. 

"Eh, sudah bangun anak baik," ucap Hana dengan nada lembut serta senyum terpatri di bibir tipisnya. 

Ica bangkit, mendekat lalu mendekap tubuh sang mama seolah tak pernah puas memeluk leher jenjang milik perempuan berhati malaikat itu. 

Hana adalah orang terpenting bagi mereka. Seminggu tak bertemu Rio, mereka hampir tak pernah menanyakan ke mana laki-laki itu pergi. Namun, semenit Hana tak nampak, akan ada suara di rumah ini yang akan menanyakan ke mana ibu mereka.

"Gimana tidurnya semalam? Pulas?" tanya Hana sambil mengusap punggung putri bungsunya itu. 

Ica mengangguk cepat. Sedangkan Ira, gadis kecil itu kini sibuk melipat selimut serta merapikan seprai bekas alas tidurnya. 

Hana memang membiasakan anak-anak untuk terbiasa mandiri, agar mereka bisa dengan mudah beradaptasi di manapun mereka berada. 

"Napa semalam Mama nggak tidul sama Ica?" tanya gadis kecil itu dengan lidah cadelnya. 

"Katanya Ica sudah gede. Kalo sudah gede 'kan, tidurnya sama Kak Ira," ucap Hana sambil terkekeh. Baginya hiburan di rumah ini hanyalah menikmati celotehan-celotehan menggemaskan anak-anak. 

"Tapi 'kan, Ica mau tidul sama Mama," rengek Ica manja. 

"Kalau begitu Ica masih bayi dong? Kan, yang tidur sama Mama itu adek bayi, kalau udah gede tidurnya sama Kakak Ira. Iya 'kan, Kak?" 

Kini Hana berpaling ke arah Ira. 

"Iya, Dek. Tidurnya di sini, biar Kakak ada temennya," jawab Ira sepakat sambil tersenyum, memamerkan gigi ompong tengah atas miliknya. 

"Ya, sudah, sekarang mandi, lalu sarapan. Mama sudah buatkan nasi goreng kesukaan kalian."

Hana melepas pelukan Ica. Merapikan tempat tidur anak bungsunya itu. Lalu berjalan menuju lemari tiga pintu bergambar kartun kesayangan Ira, princess Anna dan Elsa. Mengambil dua stel pakaian ganti untuk kedua putrinya. 

"Ke kamar mandi dulu, ya. Mama mau bangunin Abang Abi, biar sarapan bareng," ucap Hana setelah keduanya melepas pakaian, menyisakan celana pendek di atas lutut serta kaos singlet saja. Hari minggu seperti ini memang terkesan santai. Tidak seperti hari anak-anak sekolah seperti biasanya, di mana Hana dituntut harus bangun di jam 3 pagi untuk menyelesaikan semuanya. 

Baru saja Hana melangkah keluar kamar kedua putrinya, Rio berdiri menyandar di dinding kamar. 

"Kita ke kamar, Papa mau bicara," ucap Rio sambil melangkah. 

Hana terdiam sesaat, lalu menyusul di belakang Rio. Ia lelah berdebat. 

Sesampainya di kamar, ia menutup pintu agar suara mereka nanti sedikit tersamarkan di telinga anak-anak. 

"Papa sudah membatalkan semuanya. Papa tak akan menikahi Inez dan akan tetap berada di tengah-tengah kalian," ucap Rio. Tak ada permintaan maaf dari laki-laki itu dan Hana sangat paham seberapa besar gengsi laki-laki itu. Ia bahkan belum pernah mendengar sepatah kata maaf dari Rio, setelah berbagai jenis luka yang ditoreh laki-laki itu di hatinya. 

"Percuma saja tak menikahi perempuan itu, jika masih tetap berhubungan dengannya," sindir Hana tanpa ditutup-tutupi. 

"Papa janji akan memutuskan hubungan dengannya. Percayalah!" 

"Yakin?" tanya Hana dengan tatapan lurus keluar jendela. Ia sendiri tak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar. 

"Ya, Ma," jawab Rio berusaha meyakinkan sang istri. 

"Baiklah. Tak ada ponsel yang terkunci di rumah ini. Seandainya ini hanya topeng, Papa akan tau apa yang akan terjadi setelahnya." Kalimat bernada ancaman itu mampu membuat Rio mematung di tempat. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Rio bener bener bertingkah semaunya sendiri
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Ending

    Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Penyesalan Inez

    Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Nasib Sony

    Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Hari Bahagia

    Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Penderitaan Inez

    Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Wajah Asli Sony

    Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah. 

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status