Share

Pembelaan untuk wanita lain

"Jangan, Ma. Jangan sampai keluarga Mama tahu tentang ini." Wajah Rio memucat. Ia menyesali dirinya yang tak mampu bersabar lebih lama lagi. 

"Lantas, aku harus memendamnya sendiri? Begitu? Belum cukupkah selama 14 tahun bersama kau membuat wajahku persis seperti perempuan 10 tahun lebih tua dari usianya?" Hana mengerutkan dahi. Mata dengan kelopak menghitam karena beban hati dan pikiran itu sedikit membulat. 

"Ceritakan pada Mama saja, jangan pada Ibu atau Ayah," ucap Rio tanpa merasa bersalah. 

Mama adalah panggilan terhadap ibu dari Rio. 

"Tak perlu. Aku sudah tahu apa yang akan Mama katakan jika aku menceritakan ini padanya. Aku akan diminta untuk bertahan dan bersabar menghadapimu, persis seperti selama ini. Sekali lagi kukatakan, aku tetap akan mengatakan ini pada orang tuaku, karena tempat ternyaman bagiku hingga saat ini adalah mereka. Aku tak akan berniat lagi mempertahankan biduk rumah tangga ini seperti yang sudah-sudah." Hana bersikeras. 

"Ya, sudah, kalau begitu biar anak-anak ikut aku!" ancam Rio dengan nada kesal. 

"Papa yakin?" tanya Hana dengan nada meremehkan. Wajar saja, 14 tahun menikah ia bahkan tak tahu bagaimana nikmatnya ketika pekerjaan rumah dibantu suami, ia tak tahu rasanya ketika anak-anak diasuh suami, iapun tak tahu bagaimana nikmatnya menjadi istri yang dihargai. 

"Ya. Aku yakin Inez mau menerimanya," jawab Rio dengan percaya diri, seolah Inez adalah manusia berhati malaikat bagi anak-anak tirinya. 

"Aku tak akan terima anak-anakku diasuh perempuan seperti dia!" seru Hana dengan wajah benci. Mendengar namanya saja membuat rahang perempuan itu mengeras. 

"Aku akan menyewa jasa pengacara dan kau tak akan mampu melawanku." Rio berucap sombong.

Hana terdiam sesaat. Kepalanya melayang ke kamar tidur di mana tiga buah hatinya masih terlelap. 

"Lakukan saja jika kau ingin istrimu kelak mati berdiri. Tak usah berlagak ingin mengurusi mereka, seumur hidup merekapun kau tak pernah sekalipun membantu mereka mandi, membantu mereka mengenakan pakaian, atau sekedar mengikat tali sepatu saat mereka baru menduduki bangku sekolah. Saat waktu libur kau hanya akan sibuk dengan ponselmu saja, yang bahkan saat kau tidurpun benda itu akan menempel di tanganmu." Hana menumpahkan semua lukanya. 

Rio lagi-lagi terhenyak. Benar kata Hana, jika ia bersikeras membawa anak-anak bersamanya, maka sudah pasti Inez akan keberatan karena Inez sendiri memiliki 3 orang anak hasil pernikahan sebelumnya, itu artinya mereka akan mengurusi 6 anak dan itu tak mungkin. 

"Aku akan tetap membawa mereka bersamaku!" ucap Rio lantang. Pantang baginya kalah sombong dengan lawan bicaranya. Sejujurnya ia tengah menguji Hana, berharap istrinya itu akan diam mengalah seperti biasa. Sayangnya, usaha Rio kali ini sia-sia. 

"Silahkan, aku tak akan pernah melarang. Tapi jika mereka hanya akan menangis di tempat tinggal gundikmu kelak, nikmati. Jangan sampai seujung kuku kau menyentuh anak-anakku! Dan jangan sampai suara garangmu kau perdengarkan pada mereka saat aku tak ada di samping mereka! Jika kau melakukannya, aku bersumpah akan membuatmu menyesal!" Mata yang bisa nampak sendu itu kini memerah karena amarah. 

Hana beranjak dari kursinya, berjalan menuju kamar Ica dan Ira. Meninggalkan Rio yang kini tengah menikmati suasana hati yang tak karu-karuan. 

Mengusap wajah kasar. Hati Rio masih separuh tertinggal di sini karena bagaimanapun kebaikan Hana selama mendampinginya selama ini sungguh luar biasa. Namun, cintanya pada Inez yang tak pernah padam membuat laki-laki itu gamang. 

*

Hana mematung di depan pintu kamar Alisya dan  Mayra. Menatap lekat bocah berusia 3 tahun dengan kulit putih mulus serta rambut lurus hitam pekat yang tangah memeluk bantal boba berwarna merah muda kesayangannya. Bocah yang mereka panggil dengan sebutan Ica. 

Sesaat kemudian mengedarkan pandangan pada anak keduanya, Mayra. Bocah berusia 9 tahun dengan kulit sedikit gelap serta rambut lurus itu baru saja mengucek mata setelah menyadari sang mama datang. 

"Mama kenapa?" tanya Ira dengan mata menyipit. 

Hana menutup pintu kamar, berjalan mendekati anak perempuan pertamanya itu. 

"Ira udah bangun?" tanya Hana basa-basi. Sayangnya, basa-basi Hana tak membuat gadis kecil itu abai terhadap sang mama. 

"Mama sedih? Papa lagi yang bikin Mama sedih?" tanya Ira dengan suara pelan serupa berbisik. Ia bangkit lalu duduk di atas bed sorong miliknya. 

Hana menggeleng. Susah payah bibirnya melengkungkan senyum. 

"Ira sudah dengar semuanya. Ira tak terlalu paham, tapi yang pasti Ira tau kalau Papa kembali membuat  Mama bersedih."

Ira memeluk sang mama. Persis seperti biasanya kala ia tahu jika perempuan luar biasa itu tengah gundah. 

Hana lebih dari malaikat bagi anak-anaknya. Sehebat apapun mendapatkan tekanan dari sang suami, perempuan itu tetap lembut memperlakukan anak-anaknya. Seolah tak ada emosi yang ia campur adukkan dalam menjalani perannya sebagai istri sekaligus ibu. 

"Mama baik-baik saja, Sayang. Berjanjilah untuk selalu baik meski sekeliling kita memberi contoh yang tak baik," bisik Hana dengan bibir bergetar. 

"Seperti Papa bukan?" tanya Ira pelan. 

Hana merenggangkan pelukannya. Membingkai wajah manis milik Ira. 

"Seburuk apapun Papa, kalian tetaplah anak-anaknya yang harus menyayangi Papa," ucap Hana lembut. 

Ira tak menjawab. Hati kecil gadis itu menyimpan luka terhadap laki-laki yang ia sebut Papa. Sering kali sikap Rio pada Hana membuat Ira marah. Bentakan-bentakan dengan kata-kata kasar kerap kali keluar dari bibir laki-laki itu hanya karena masalah sepele. Namun, Ira bisa apa? Gadis kecil sepertinya hanya bisa diam dan menurut tanpa sanggup melawan. 

"Mama …."

Ica merengek memnaggil sang mama kala melihat punggung Hana nampak di depannya. 

Hana berbalik setelah melerai pelukan pada anak tengahnya itu. 

"Eh, sudah bangun anak baik," ucap Hana dengan nada lembut serta senyum terpatri di bibir tipisnya. 

Ica bangkit, mendekat lalu mendekap tubuh sang mama seolah tak pernah puas memeluk leher jenjang milik perempuan berhati malaikat itu. 

Hana adalah orang terpenting bagi mereka. Seminggu tak bertemu Rio, mereka hampir tak pernah menanyakan ke mana laki-laki itu pergi. Namun, semenit Hana tak nampak, akan ada suara di rumah ini yang akan menanyakan ke mana ibu mereka.

"Gimana tidurnya semalam? Pulas?" tanya Hana sambil mengusap punggung putri bungsunya itu. 

Ica mengangguk cepat. Sedangkan Ira, gadis kecil itu kini sibuk melipat selimut serta merapikan seprai bekas alas tidurnya. 

Hana memang membiasakan anak-anak untuk terbiasa mandiri, agar mereka bisa dengan mudah beradaptasi di manapun mereka berada. 

"Napa semalam Mama nggak tidul sama Ica?" tanya gadis kecil itu dengan lidah cadelnya. 

"Katanya Ica sudah gede. Kalo sudah gede 'kan, tidurnya sama Kak Ira," ucap Hana sambil terkekeh. Baginya hiburan di rumah ini hanyalah menikmati celotehan-celotehan menggemaskan anak-anak. 

"Tapi 'kan, Ica mau tidul sama Mama," rengek Ica manja. 

"Kalau begitu Ica masih bayi dong? Kan, yang tidur sama Mama itu adek bayi, kalau udah gede tidurnya sama Kakak Ira. Iya 'kan, Kak?" 

Kini Hana berpaling ke arah Ira. 

"Iya, Dek. Tidurnya di sini, biar Kakak ada temennya," jawab Ira sepakat sambil tersenyum, memamerkan gigi ompong tengah atas miliknya. 

"Ya, sudah, sekarang mandi, lalu sarapan. Mama sudah buatkan nasi goreng kesukaan kalian."

Hana melepas pelukan Ica. Merapikan tempat tidur anak bungsunya itu. Lalu berjalan menuju lemari tiga pintu bergambar kartun kesayangan Ira, princess Anna dan Elsa. Mengambil dua stel pakaian ganti untuk kedua putrinya. 

"Ke kamar mandi dulu, ya. Mama mau bangunin Abang Abi, biar sarapan bareng," ucap Hana setelah keduanya melepas pakaian, menyisakan celana pendek di atas lutut serta kaos singlet saja. Hari minggu seperti ini memang terkesan santai. Tidak seperti hari anak-anak sekolah seperti biasanya, di mana Hana dituntut harus bangun di jam 3 pagi untuk menyelesaikan semuanya. 

Baru saja Hana melangkah keluar kamar kedua putrinya, Rio berdiri menyandar di dinding kamar. 

"Kita ke kamar, Papa mau bicara," ucap Rio sambil melangkah. 

Hana terdiam sesaat, lalu menyusul di belakang Rio. Ia lelah berdebat. 

Sesampainya di kamar, ia menutup pintu agar suara mereka nanti sedikit tersamarkan di telinga anak-anak. 

"Papa sudah membatalkan semuanya. Papa tak akan menikahi Inez dan akan tetap berada di tengah-tengah kalian," ucap Rio. Tak ada permintaan maaf dari laki-laki itu dan Hana sangat paham seberapa besar gengsi laki-laki itu. Ia bahkan belum pernah mendengar sepatah kata maaf dari Rio, setelah berbagai jenis luka yang ditoreh laki-laki itu di hatinya. 

"Percuma saja tak menikahi perempuan itu, jika masih tetap berhubungan dengannya," sindir Hana tanpa ditutup-tutupi. 

"Papa janji akan memutuskan hubungan dengannya. Percayalah!" 

"Yakin?" tanya Hana dengan tatapan lurus keluar jendela. Ia sendiri tak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar. 

"Ya, Ma," jawab Rio berusaha meyakinkan sang istri. 

"Baiklah. Tak ada ponsel yang terkunci di rumah ini. Seandainya ini hanya topeng, Papa akan tau apa yang akan terjadi setelahnya." Kalimat bernada ancaman itu mampu membuat Rio mematung di tempat. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Rio bener bener bertingkah semaunya sendiri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status