Share

Menolak hadiah

Author: Rizka Fhaqot
last update Last Updated: 2022-11-14 22:15:24

Berkali-kali menarik napas dalam mengembusnya ke luar, berharap hatinya sedikit lebih tenang.

Melirik sekilas pada Ica yang kini sibuk berceloteh di depan cermin lebar pada pintu lemari. 

Beberapa detik kemudian kedua ibu jari Hana menari di layar ponsel. Menumpahkan emosi lewat huruf demi huruf yang terangkai menjadi kata pada layar datar ponselnya. 

[Terima kasih telah mengambil laki-laki itu dariku. Katakan padanya untuk segera mencaraikanku karena aku sama sekali tak membutuhkannya lagi. Jika dia tak melakukannya berarti kau tak begitu berarti baginya.]

Hana terduduk di kasur setelah pesan balasan baru saja ia kirim. Kedua tangannya terasa bergetar seiring kesadaran yang mulai pulih. 

Ia tak percaya ketika menyadari perempuan itu seberani ini terhadapnya, seolah dirinyalah yang menjadi pengganggu hubungan mereka. 

"Kamu kenapa, Ma?" tanya Rio yang baru saja masuk ke kamar. 

Hana menggeleng pelan. mendorong pelan tubuh Ica untuk ke luar. 

"Ica main sama Kak Ira dulu, ya, nanti Mama temani," pinta Hana pada gadis cantik itu. 

Ica menatap wajah sang mama dengan bibir mengerucut. Namun setelahnya ia pun menurut kala tatapan matanya beralih pada sang ayah. 

Selepas kepergian Ica, suasana kamar itu hanya hening beberapa saat, hanya suara tarkhim yang menggema dari toa masjid yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah mereka. 

"Katakan pada perempuan itu untuk tak menggangguku karena aku benci hal itu," ucap Hana dengan wajah dingin. 

"Maksudmu?" 

"Katakan saja apa permintaanku barusan. Jika kau tak bisa, maka datangkan perempuan itu ke hadapanku, biar aku saja yang akan mengatakannya di hadapannya langsung!" Nada suara Hana terdengar ketus. 

Suami yang seharusnya menjadi panutan dan tempat bebagi keluh-kesah, kini tak ubah sebuah pisau yang kapan saja dapat menggores luka. 

Itulah yang Hana rasakan, Rio adalah belati yang semakin lama bersama akan semakin banyak menciptakan luka di relung terdalamnya. 

"Bukankah sudah kukatakan jika aku tak akan menikahinya, apakah kau belum puas juga?!" Rio terpancing emosi. 

"Percuma saja karena hati ini tak akan pernah sembuh kembali. Lebih baik pergi saja, aku yakin kami akan lebih bahagia tanpamu," ucap Hana dengan suara bergetar. 

Semakin ke sini semakin berat lisan perempuan itu memanggil sang suami dengan panggilan seperti biasanya, papa. 

Rio yang sedari tadi berdiri, kini terduduk lesu. 

"Aku akan memperbaiki semuanya," ucap laki-laki itu sambil tertunduk. 

Hana tak lagi menjawab, ia bergegas bangkit dan keluar dari kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. 

Adzan magrib mulai berkumandang. Mengalun merdu ke segala penjuru kota di tengah pulau kecil di sebelah ujung pulau sumatera itu. 

"Sekarang waktunya sholat, ya," ucap Hana pada kedua putrinya ketika adzan usai. Sedangkan si sulung memang terbiasa berjamaah di masjid dan sejak berangkat tadi sudah izin akan pulang ba'da magrib. 

Hana beranjak untuk berwudhu, berharap sejuknya air suci itu mampu menggerus sedikit luka yang mengoyak batinnya. 

Tiga rakaat magrib ditunainya dengan mata berkaca-kaca. Ingin rasanya ia menyerah dengan semua ini. Namun, ia sadar jika dirinya adalah manusia paling berarti bagi anak-anaknya dan itu membuatnya berhenti mengeluh. 

Merekalah sumber kekuatan yang membuat Hana sekuat baja mendampingi laki-laki seperti Rio. 

Ica dan Ira berebutan bersalaman dengan sang mama usai sholat. Sedangkan Rio, laki-laki itu sama sekali tak nampak keluar dari kamar. 

Begitulah laki-laki yang seharusnya menjadi imam serta pembimbing dalam keluarga mereka. Rio hanya sesekali menunaikan shalat jum'at dan shalat dua hari raya saja. Untuk shalat lima waktu, entah sholat apa yang terakhir kali ia kerjakan, Hana pun tak tahu. 

Ibadah yang sejatinya adalah sunnah malah diutamakan olehnya, sedangkan ibadah wajib dengan entengnya ia abaikan. 

"Sekarang waktunya ngaji, ya. Ambil iqro' masing-masing, Mama tunggu di sini."

Begitulah rutinitas anak-anak di rumah ini. Hana dengan telaten mengurus hingga mendidik anak-anaknya tanpa andil sang suami, kecuali nafkah lahir. Tak lebih. 

*

Seminggu berlalu dari waktu di mana hati Hana berubah tak lagi seperti dulu. Hati yang dulu berusaha keras mengikhlaskan takdir, kini telah membeku. 

Sekeras apapun usaha Rio melembutkan kembali, Hana masih tetap sama, masih saja dingin. 

"Selamat ulang tahun, Ma," ucap Rio setelah meletakkan tas kantor di atas meja kerjanya yang berada tak jauh dari Hana. Tepat hari ini usia Hana berada di angka 36 tahun. Usia yang cukup matang untuk memutuskan sesuatunya sendiri. 

Perempuan itu tengah sibuk dengan tumpukan pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran barusan.

Tak ada pembantu rumah tangga di sini. Semua Hana yang mengerjakannya sendiri. Bahkan memanasi motor untuk Rio berangkat kerja pun ia yang melakukannya sendiri. 

Laki-laki itu mendekat dengan tangan kanan menggenggam sesuatu. 

"Makasih," jawab Hana datar. Tangannya sama sekali tak berhenti dari gerakan serupa membalikkan pakaian yang hendak ia setrika. 

Sore begini suasana rumah sering lebih sepi karena dua anak perempuan mereka yang lebih sering  menghabiskan waktu di rumah sang nenek, sedangkan si sulung setiap tiga hari dalam seminggu ada latihan silat di sekolah, termasuk hari ini, sabtu. 

Rio duduk tepat di samping Hana, menghadap ke sebelah kiri Hana. 

"Ma …," panggil Rio pelan. 

"Ya," jawab Hana singkat. Sedetik ia melirik ke arah sang suami, lalu kembali sibuk dengan urusannya sendiri. 

"Papa belikan ini untuk Mama. Semoga Mama suka."

Rio mengulurkan tangan kanan, membuka genggamannya. Sebuah kalung emas berukuran sedang dengan liontin indah nampak di sana. 

Kini Hana mengalihkan pandangan pada laki-laki itu. Bibirnya tetap saja bungkam. Jauh di relung hatinya ia berharap jika Rio memang benar-benar berubah lebih baik lagi, meski rasa muaknya jauh lebih besar. 

"Mama tak suka?" tanya Rio lagi. 

Nampak sangat tak biasa ketika laki-laki dengan ego tinggi serta gampang marah itu kini berubah lebih lembut. Bahkan dalam waktu seminggu ini tak ada suara bentakan dari bibir Rio yang terdengar menggema karena hal-hal sepele. 

"Ketika kita tak menyukai orangnya, maka apapun yang diberikan orang itu tak akan ada yang spesial," keluh Hana dengan tatapan luruh ke atas lantai. 

Jawaban Hana mampu membuat Rio murka. Namun, sekuat tenaga ia menahannya ketika menyadari ini bukanlah waktu yang tepat untuk meributkannya jika tak ingin semua lebih fatal. 

"Baiklah." 

Rio kembali menggenggam kalung itu hingga tak lagi nampak. "Aku juga ingin mengatakan jika besok Mama akan datang ke sini." Lanjut Rio, membuat Hana seketika mematung dengan perasaan tak karuan. 

Bukan ia membenci mertua perempuannya itu datang berkunjung. Namun, setiap kedatangannya selalu ada saja pertengkaran hebat antara dirinya dan Rio terjadi. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Alya Pristika
mertua hana juga toxic ya
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Rio takut ditinggal Hana tapi kebanyakan tingkahnya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Ending

    Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Penyesalan Inez

    Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Nasib Sony

    Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Hari Bahagia

    Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Penderitaan Inez

    Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata

  • KEMBALINYA CINTA PERTAMA SUAMIKU   Wajah Asli Sony

    Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah. 

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status