Share

Menolak hadiah

Berkali-kali menarik napas dalam mengembusnya ke luar, berharap hatinya sedikit lebih tenang.

Melirik sekilas pada Ica yang kini sibuk berceloteh di depan cermin lebar pada pintu lemari. 

Beberapa detik kemudian kedua ibu jari Hana menari di layar ponsel. Menumpahkan emosi lewat huruf demi huruf yang terangkai menjadi kata pada layar datar ponselnya. 

[Terima kasih telah mengambil laki-laki itu dariku. Katakan padanya untuk segera mencaraikanku karena aku sama sekali tak membutuhkannya lagi. Jika dia tak melakukannya berarti kau tak begitu berarti baginya.]

Hana terduduk di kasur setelah pesan balasan baru saja ia kirim. Kedua tangannya terasa bergetar seiring kesadaran yang mulai pulih. 

Ia tak percaya ketika menyadari perempuan itu seberani ini terhadapnya, seolah dirinyalah yang menjadi pengganggu hubungan mereka. 

"Kamu kenapa, Ma?" tanya Rio yang baru saja masuk ke kamar. 

Hana menggeleng pelan. mendorong pelan tubuh Ica untuk ke luar. 

"Ica main sama Kak Ira dulu, ya, nanti Mama temani," pinta Hana pada gadis cantik itu. 

Ica menatap wajah sang mama dengan bibir mengerucut. Namun setelahnya ia pun menurut kala tatapan matanya beralih pada sang ayah. 

Selepas kepergian Ica, suasana kamar itu hanya hening beberapa saat, hanya suara tarkhim yang menggema dari toa masjid yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah mereka. 

"Katakan pada perempuan itu untuk tak menggangguku karena aku benci hal itu," ucap Hana dengan wajah dingin. 

"Maksudmu?" 

"Katakan saja apa permintaanku barusan. Jika kau tak bisa, maka datangkan perempuan itu ke hadapanku, biar aku saja yang akan mengatakannya di hadapannya langsung!" Nada suara Hana terdengar ketus. 

Suami yang seharusnya menjadi panutan dan tempat bebagi keluh-kesah, kini tak ubah sebuah pisau yang kapan saja dapat menggores luka. 

Itulah yang Hana rasakan, Rio adalah belati yang semakin lama bersama akan semakin banyak menciptakan luka di relung terdalamnya. 

"Bukankah sudah kukatakan jika aku tak akan menikahinya, apakah kau belum puas juga?!" Rio terpancing emosi. 

"Percuma saja karena hati ini tak akan pernah sembuh kembali. Lebih baik pergi saja, aku yakin kami akan lebih bahagia tanpamu," ucap Hana dengan suara bergetar. 

Semakin ke sini semakin berat lisan perempuan itu memanggil sang suami dengan panggilan seperti biasanya, papa. 

Rio yang sedari tadi berdiri, kini terduduk lesu. 

"Aku akan memperbaiki semuanya," ucap laki-laki itu sambil tertunduk. 

Hana tak lagi menjawab, ia bergegas bangkit dan keluar dari kamar yang tiba-tiba terasa begitu sempit. 

Adzan magrib mulai berkumandang. Mengalun merdu ke segala penjuru kota di tengah pulau kecil di sebelah ujung pulau sumatera itu. 

"Sekarang waktunya sholat, ya," ucap Hana pada kedua putrinya ketika adzan usai. Sedangkan si sulung memang terbiasa berjamaah di masjid dan sejak berangkat tadi sudah izin akan pulang ba'da magrib. 

Hana beranjak untuk berwudhu, berharap sejuknya air suci itu mampu menggerus sedikit luka yang mengoyak batinnya. 

Tiga rakaat magrib ditunainya dengan mata berkaca-kaca. Ingin rasanya ia menyerah dengan semua ini. Namun, ia sadar jika dirinya adalah manusia paling berarti bagi anak-anaknya dan itu membuatnya berhenti mengeluh. 

Merekalah sumber kekuatan yang membuat Hana sekuat baja mendampingi laki-laki seperti Rio. 

Ica dan Ira berebutan bersalaman dengan sang mama usai sholat. Sedangkan Rio, laki-laki itu sama sekali tak nampak keluar dari kamar. 

Begitulah laki-laki yang seharusnya menjadi imam serta pembimbing dalam keluarga mereka. Rio hanya sesekali menunaikan shalat jum'at dan shalat dua hari raya saja. Untuk shalat lima waktu, entah sholat apa yang terakhir kali ia kerjakan, Hana pun tak tahu. 

Ibadah yang sejatinya adalah sunnah malah diutamakan olehnya, sedangkan ibadah wajib dengan entengnya ia abaikan. 

"Sekarang waktunya ngaji, ya. Ambil iqro' masing-masing, Mama tunggu di sini."

Begitulah rutinitas anak-anak di rumah ini. Hana dengan telaten mengurus hingga mendidik anak-anaknya tanpa andil sang suami, kecuali nafkah lahir. Tak lebih. 

*

Seminggu berlalu dari waktu di mana hati Hana berubah tak lagi seperti dulu. Hati yang dulu berusaha keras mengikhlaskan takdir, kini telah membeku. 

Sekeras apapun usaha Rio melembutkan kembali, Hana masih tetap sama, masih saja dingin. 

"Selamat ulang tahun, Ma," ucap Rio setelah meletakkan tas kantor di atas meja kerjanya yang berada tak jauh dari Hana. Tepat hari ini usia Hana berada di angka 36 tahun. Usia yang cukup matang untuk memutuskan sesuatunya sendiri. 

Perempuan itu tengah sibuk dengan tumpukan pakaian yang baru saja ia angkat dari jemuran barusan.

Tak ada pembantu rumah tangga di sini. Semua Hana yang mengerjakannya sendiri. Bahkan memanasi motor untuk Rio berangkat kerja pun ia yang melakukannya sendiri. 

Laki-laki itu mendekat dengan tangan kanan menggenggam sesuatu. 

"Makasih," jawab Hana datar. Tangannya sama sekali tak berhenti dari gerakan serupa membalikkan pakaian yang hendak ia setrika. 

Sore begini suasana rumah sering lebih sepi karena dua anak perempuan mereka yang lebih sering  menghabiskan waktu di rumah sang nenek, sedangkan si sulung setiap tiga hari dalam seminggu ada latihan silat di sekolah, termasuk hari ini, sabtu. 

Rio duduk tepat di samping Hana, menghadap ke sebelah kiri Hana. 

"Ma …," panggil Rio pelan. 

"Ya," jawab Hana singkat. Sedetik ia melirik ke arah sang suami, lalu kembali sibuk dengan urusannya sendiri. 

"Papa belikan ini untuk Mama. Semoga Mama suka."

Rio mengulurkan tangan kanan, membuka genggamannya. Sebuah kalung emas berukuran sedang dengan liontin indah nampak di sana. 

Kini Hana mengalihkan pandangan pada laki-laki itu. Bibirnya tetap saja bungkam. Jauh di relung hatinya ia berharap jika Rio memang benar-benar berubah lebih baik lagi, meski rasa muaknya jauh lebih besar. 

"Mama tak suka?" tanya Rio lagi. 

Nampak sangat tak biasa ketika laki-laki dengan ego tinggi serta gampang marah itu kini berubah lebih lembut. Bahkan dalam waktu seminggu ini tak ada suara bentakan dari bibir Rio yang terdengar menggema karena hal-hal sepele. 

"Ketika kita tak menyukai orangnya, maka apapun yang diberikan orang itu tak akan ada yang spesial," keluh Hana dengan tatapan luruh ke atas lantai. 

Jawaban Hana mampu membuat Rio murka. Namun, sekuat tenaga ia menahannya ketika menyadari ini bukanlah waktu yang tepat untuk meributkannya jika tak ingin semua lebih fatal. 

"Baiklah." 

Rio kembali menggenggam kalung itu hingga tak lagi nampak. "Aku juga ingin mengatakan jika besok Mama akan datang ke sini." Lanjut Rio, membuat Hana seketika mematung dengan perasaan tak karuan. 

Bukan ia membenci mertua perempuannya itu datang berkunjung. Namun, setiap kedatangannya selalu ada saja pertengkaran hebat antara dirinya dan Rio terjadi. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Rio takut ditinggal Hana tapi kebanyakan tingkahnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status