"Navia?"
Malik menoleh tepat sebelum dia menuruni tangga, matanya melihat wanita yang biasa mengikat rendah surai panjangnya itu—tengah menata bunga-bunga kesukaannya untuk dipajang di vas kaca. Malik mendekati wanita itu, sembari bertanya apakah dia sedang berhalusinasi atau tidak. Dia mencoba untuk menyentuhnya dan memanggilnya.“Mama?”Wanita paruh baya itu menoleh segera pada Malik.“Malik … mau berangkat kerja?”Ah, rupanya benar kalau itu adalah ibunya. Mana mungkin orang yang sudah mati, hidup kembali?“Iya. Mama ngapain di sini …?”Wanita bernama Risma Harun itu menjawab, “Mama lihat kayaknya vas di sini udah nggak pernah diisi bunga lagi, jadi kelihatan kosong banget. Makanya Mama isi, mumpung Mama di sini.”Malik tidak mempermasalahkan itu, tapi yang dia permasalahkan adalah … “Kenapa harus bunga dahlia putih?”Risma melirik bunga dahlia putih yang hampir selesai dia tata, lalu menjawab pertanyaan anak laki-lakinya dengan, “Karena ini bunga kesukaan Navia.”Malik menghela napas. Dia setengah benci untuk mengakui kalau dirinya bisa kesulitan untuk menghapus Navia jika orang-orang di sekitarnya masih mengenang wanita itu.“Mama bisa pakai bunga apa aja selain bunga yang disukai Navia, kan? Kenapa nggak coba tanya Leria, bunga apa yang dia suka?” tanya Malik, sedikit emosional.“Kalau Leria peduli soal ini, dia sendiri yang pastinya bakal mengisi vas ini. Dia cuma peduli sama kamu, bahkan dia nggak peduli sama rumah kalian.”“Ma … Leria ada di rumah ini, apa Mama bisa ngomong begitu di sini?” Risma tidak menjawab dan memilih mengabaikan Malik yang masih berdiri di sampingnya. “Pokoknya, aku harap Mama nggak datang ke sini untuk mengisi apa yang seharusnya dikosongin. Navia itu sudah mati, Ma.”“Iya, iya! Mama tau!” ujar Risma dengan nada kesal. Pada akhirnya dia menarik kembali semua bunga dahlia putih itu dari dalam vas dan membawanya pergi setelah memberi Malik tatapan sinis.Sementara Malik masih di sana, mengusap wajahnya dan menghela napas kasar. “Kalau kamu mau mati, seharusnya mati aja dengan tenang, Navia.”---Perjalanan Malik kali ini adalah mengunjungi sebuah daerah pedesaan yang ada di Bandung. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dan melelahkan, tak serta merta membuat Malik bisa istirahat dan santai-santai. Dia langsung pergi ke desa tempat proyek besarnya akan dibangun setelah beberapa menit tiba di hotel tempatnya menginap.Desa yang akan ditempuh berada di daerah lumayan terpencil. Menemukan tempat yang masih asri dan keindahan alamnya masih sangat terjaga merupakan hal yang langka di era teknologi serba maju seperti sekarang, apalagi untuk kota yang terkenal seperti Bandung. Tapi syukurlah, keindahan alam yang terjaga akan menjadi daya tarik wisatawan dan akan menguntungkan proyek Malik juga nantinya.“Nggak heran banyak investor yang bertaruh sama proyek ini,” ujar Malik, sembari melihat-lihat desain proyek dari layar gadgetnya.“Sudah sampai, Pak.”Perhatian Malik langsung teralihkan ketika sopirnya berkata, dia melihat ke sekitar tempat mobilnya berhenti dan pemandangan perbukitan yang hijau menyapa matanya dari kejauhan.“Lumayan bikin mual juga perjalanan ke sini,” ujar Malik.“Wajar atuh, Pak, jalannya masih jalanan desa—belum banyak pembangunan.”Malik membenahi jas hitam kebanggaannya setelah keluar dari mobil. “Berita bagus kalau gitu, setelah proyek, pasti pemerintah bakal melirik pembangunan desa ini, apalagi kalau ramai.”“Semoga aja ramai dan proyeknya sukses, ya, Pak!”“Ya, terima kasih.”Setelah itu, Malik memutuskan untuk jalan saja sampai ke tempat proyeknya dibangun—toh, tidak terlalu jauh. Malik bisa melihat ujung crane dari tempatnya parkir, dan dia juga sekalian ingin mengenal desa sekitar.Desa tempat proyek Malik akan dibangun bernama Cirawean, desa yang berada di bawah perbukitan dan diberkahi keindahan alam yang seolah menjadi latar rumah-rumah mereka. Malik melihat beberapa petani dengan gerobak sapi mereka, juga penggembala yang membawa ternak mereka untuk mencari kawanan rumput tinggi. Benar-benar suasana pedesaan yang akrab digambarkan anak-anak TK, Malik yang sejak kecil hidup dengan melihat pemandangan kota rasanya sedikit asing dengan suasana desa seperti ini.Di kota besar juga tidak ada anak-anak yang bermain semacam permainan tradisional bersama, ataupun ibu-ibu bergosip saat melihat laki-laki bersetelan jas rapi seperti Malik. Malik jadi merasa sedikit risi, tapi dia tidak peduli dan tetap berjalan sampai menemui orang-orangnya.“Pak Malik!” Malik menoleh saat dipanggil, dia langsung didekati oleh beberapa orang berjas lainnya yang berhubungan dengan proyek mereka. “Apa kabar, Pak?”“Baik, Pak Bondan. Gimana kabar Anda, dan Pak Sugeng, juga Pak Gamal?”“Kami semua baik, Pak. Oh iya, saya sudah kirim desain vila ke Bapak lewat sekretaris saya, sudah Bapak lihat?”Itu desain yang baru Malik lihat selama perjalanan ke desa ini, tapi Malik tetap mengangguk dan tersenyum teduh seraya berkata, “Sudah saya lihat semalam, Pak Sugeng; bagus, ya? Saya suka tata letaknya yang mengarah ke timur dan perbukitan, jadi nanti wisatawan bisa bangun menikmati pemandangan matahari terbit dan kebun teh sekitar.”“Syukur kalau Bapak suka.”“Nggak ada kendala, kan, Pak Gamal?” tanya Malik pada lelaki bernama Gamal yang diketahui sebagai kontraktor proyek; dia yang mengurus langsung pembangunan proyek vila di sini. Tapi lelaki itu terlihat sedikit ragu sebelum dia cepat menyahut.“Nggak ada kendala, Pak; semua baik-baik aja!” jawab Gamal, tapi Malik terlihat dingin seolah menyadari sesuatu.“Gimana sama warga? Sudah ada pemberitahuan kalau akan dibangun proyek besar di dekat desa mereka?”Ketika Malik bertanya seperti itu, gelagat tiga orang yang di hadapannya mengisyaratkan kalau ada yang tidak beres. Tapi mereka memilih untuk pura-pura bersikap santai, padahal Malik bisa membaca keraguan meski bibir mereka tersenyum.“Sudah ada pemberitahuan, Pak.”Malik menghela napas; dia tahu kalau pasti akan ada beberapa kontra dari pihak masyarakat desa terkait proyek ini, tapi Malik memilih untuk mengabaikannya dan menyerahkannya pada tiga orang itu sejak tugasnya bukan di sini.Malik kemudian mendekat ke tempat orang-orang bekerja; mereka dengan penuh perhitungan—membuka lahan untuk membangun vila di atasnya.“Baguslah kalau begitu,” ujar Malik, “saya mau pemberitahuan yang baik-baik dan nggak ada warga yang nantinya mengganggu proyek ini. Saya juga mau warga yang terdampak untuk diberi kompensa—”“TOLAK PEMBANGUNAN PROYEK DI TANAH SUBUR KAMI, DASAR PENCURI!”Malik terkejut ketika mendengar suara seseorang berteriak dari jauh, dan suara itu terdengar makin dekat juga keras. Ia menoleh segera dengan raut bingung dan panik, di hadapannya kini terlihat orang-orang yang didominasi laki-laki—datang sembari membawa spanduk bertuliskan penolakan atas proyek. Ketakutan Malik menjadi nyata. “HENTIKAN PROYEK YANG AKAN MERUSAK TANAH SUBUR KAMI!” “HENTIKAN PROYEK INI!” “HENTIKAN PROYEK INI!!!” Malik sangat panik, orang-orang itu datang dengan raut geram dan mendekatinya seakan-akan mereka ingin langsung menghancurkan proyek yang belum dibangun itu. Beberapa pekerja langsung pasang badan untuk melindungi tuan mereka, tentu saja Malik yang berdiri paling belakang. “Tunggu, bapak-bapak, ibu-ibu … ada apa ini?” tanya Sugeng, bermaksud menengahi. Salah satu warga dengan geram berkata, “Pulang aja, Pak, hentikan proyek yang merusak rumah kami!” “Apa maksudnya? Rumah siapa yang dirusak?” “Hutan yang berdiri di belakang kalian itu, yang sudah kalian
Malik berusaha keras untuk keluar dari kerumunan dan dia tidak menunggu untuk berlari menghampiri perempuan yang terlihat mirip dengan Navia itu. Logikanya berkata untuk berhenti. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal, bisa hidup lagi dan berdiri di depan matanya. Tapi seperti orang bodoh, Malik malah semakin cepat melangkah dan membuat perempuan itu akhirnya lari dengan wajah panik. Kenapa dia lari? Memang dia mengenal Malik? Seharusnya dia tetap di sana jika dia bukan Navia, jadi … apakah perempuan itu benar-benar Navia? Pertanyaan-pertanyaan itu terus terputar di otak Malik selagi kakinya menerjang jarak yang semakin jauh ketika perempuan itu juga berlari tak kalah kencang darinya. “Tunggu, kamu! Berhenti!” ujar Malik, membuat orang-orang yang menontonnya—kini bingung karena dia tiba-tiba kabur dari kermunan dan itu demi mengejar seorang perempuan? Awalnya orang-orang itu berpikir Malik hanya mencari alasan untuk lari dari masalah, tapi sejak lelaki itu sudah tidak menaruh
Malik tersentak saat suara klakson motor itu berbunyi nyaring di belakangnya, dia segera menoleh dan melihat seorang lelaki paruh baya berpakaian batik menghampirinya. “Bapak ini orang proyek dekat curuk itu, kan?” tanya lelaki asing itu, langsung pada intinya. Tidak memedulikan Malik yang hampir serangan jantung setelah nyaris dia tabrak dengan motornya. Malik yang sedikit bingung jadinya hanya mengangguk kecil. “Mau ke mana? Saya denger tadi ada keributan gara-gara Bapak berusaha melecehkan salah satu warga sini. Kebetulan ketemu di sini, kita harus bicara, Pak!” Malik menghela napas berat dan memijat kepalanya sekali lagi; ucapan orang asing di depannya ini semakin membuatnya sakit kepala. “Tunggu dulu, Pak, saya pusing,” ujar Malik, “Bapak ini siapa?” Lelaki itu mengulurkan tangan. “Meski kita nggak jabat tangan untuk damai cepat-cepat, tapi perekenalkan, Pak, saya Rusnadi. Saya adalah kepala RT desa ini!” Malik hanya mengangguk sejenak dan berkata, “Saya Malik, dan saya ngga
Malik membuka matanya perlahan, meski rasanya dia ingin tidur lebih lama tapi suara alam di luar sana seperti membentuk konser massal yang terus mengusik alam bawah sadarnya. Orang kota mungkin mendambakan bangun dengan alarm suara cuitan burung yang bernyanyi, tapi bagaimana jika ayam, bebek bahkan kambing ikut melatari? Malik membuka sempurna kedua matanya dan sadar jika dia tidak ada di klinik kesehatan apalagi hotel bintang lima pesanannya. Di mana dia sekarang? Lelaki itu berusaha mengingat-ingat; dan yang tersimpan dalam memorinya adalah perjalanan panjang nan melelahkan hanya untuk bisa berbicara pada perempuan desa yang sangat mirip dengan mendiang istrinya. Sudah begitu, ketika dia tinggal hanya satu langkah menuju tujuannya—dia malah tak sadarkan diri. “Sialan ….” Begitu ujarnya karena masih tersisa rasa kesal dalam hati. Malik melihat ke sekitar, dia berada di kamar sederhana dengan dekorasi bernuansa pedesaan yang sangat kental. Apa dia ada di rumah perempuan itu? Malik b
Setelah mandi, Malik merasa lebih segar. Kendati pakaian milik ayah Nirmala tidak tercium wangi dan terasa sedikit gatal saat menyentuh kulit putihnya, tapi ini lebih baik ketimbang memakai kemeja dengan noda darah selama tiga hari berturut-turut. Berterimakasihlah pada Nirmala yang berbaik hati dan menyempatkan diri untuk mencarikan pakaian terbaik untuk dipasangkan ke tubuh orang kaya ini, tapi perempuan itu tidak kunjung pergi untuk melakukan urusannya. Malik berjalan menghampiri Nirmala yang tampak kesulitan dengan motor tuanya. “Kenapa nggak pergi? Katanya mau ke sawah?” tanya Malik, bersilang tangan sembari bersandar pada kusen pintu. Nirmala melihat tingkah Malik dan itu membuatnya sedikit kesal. “Kalau motornya mau nyala, saya udah jalan dari tadi!” jawab perempuan itu dengan nada ketus. Dia berusaha mengengkol motornya lagi, dan itu menyala. Tapi ketika Nirmala menyusun satu-satu barang bawaannya dimulai dari termos nasi sampai tas jerami berisi rantang makanan dan juga min
Setelah sarapan selesai, bekas makan tinggal dibuang ke tempat sampah. Malik sedikit terkejut menyadari sisi efisiensi dari cara keluarga Nirmala makan bersama. Bukankah akan lebih praktis kalau bekas makan langsung dibuang dan diolah alam? Malik memperhatikan Nirmala yang langsung membakar daun pisang itu bersama tumpukan sampah lainnya di dekat gubuk mereka. Nirmala yang sadar pun bertanya ketus, “Kenapa?” “Lihat-lihat aja,” jawab Malik. Kemudian perhatian mereka teralihkan saat dari kejauhan terdengar. “MALA …! MALA!” Nirmala dan Malik spontan mengalihkan perhatian mereka pada Hendri yang datang bersama beberapa anak kecil di belakangnya. Mereka membawa beberapa wadah kecil dari bambu, sepertinya hendak mencari sesuatu. “Mau ke mana, Heng?” tanya Nirmala, dia tersenyum dan tak seperti saat melihat Malik. Terang saja begitu, kan? Mereka sepasang kekasih. “Mau nyari belut sama tutut. Ikut, Mal?” Hendri menawari, dan Malik juga pikir Nirmala akan langsung pergi bersama Hendri. T
Nirmala langsung menarik tangannya yang sempat digenggam secara tiba-tiba oleh Malik. Apa lagi ini? Setelah ngotot minta ingin bicara dan diizinkan bertemu, sekarang Malik malah mengatakan hal yang makin jauh di luar nalar. “Maksud kamu apa?” tanya Nirmala, nada bicaranya meninggi dan membuat Malik sadar akan apa yang baru saja dikatakannya. Malik menarik tangannya kembali lalu berkata, “Saya … saya mau kamu ikut ke Jakarta untuk—” “Kamu ini bener-bener berani atau nggak tau malu aja? Jangan mentang-mentang kamu ini bos besar jadi kamu bisa seenaknya merintah saya!” “Nirmala, denger, saya punya alasan kuat kenapa kamu harus ikut ke Jakarta sama saya.” “Alasan apa? Untuk membuktikan sama keluarga besar kamu kalau ada perempuan yang mirip banget sama mendiang istri kamu? Atau kamu mau minta saya buat pura-pura jadi istri kamu yang bangkit dari kematian?” Malik menahan napas dan sejenak tak tahu apa yang harus dia katakan; tapi dia merasa dia perlu membawa Nirmala bersamanya. Malik
Setelah membuat heboh orang-orang dengan keputusannya, Nirmala memutuskan untuk berangkat ke Jakarta keesokan harinya—bersama Malik.Apa yang dia lakukan tentu membuat orang-orang terkejut; terlebih kedua orang tuanya dan Hendri Tapi Nirmala tidak memiliki pilihan lain sejak Malik mengancamnya dengan nasib orang-orang desa. Daripada orang-orang desa menjadi korban atas keegoisan Malik, lebih baik Nirmala ikuti dulu apa keinginan lelaki itu.Saat ini Nirmala sedang dalam perjalanan, dan dia cukup penasaran kenapa dirinya malah berakhir berada di mobil yang sama dengan Malik. Padahal dia akan bekerja sebagai pembantu.“Pak Malik,” panggil Nirmala setelah beberapa saat bimbang untuk bicara lebih dulu.“Iya?”“Saya cuma bakal kerja sebagai pengasuh anak Bapak, kan?”Malik terdiam lalu menatap ke luar mobil dan berkata, “Ya ... satu tahun sebagai ibu susu udah cukup.”“Ibu susu? Maksudnya saya suruh menyusui juga?” tanya Nirmala dengan kaget.“Kalau bisa,” jawab Malik asal, meski begitu Nir