Share

03 : Hari Tinjau Proyek

"Navia?"

Malik menoleh tepat sebelum dia menuruni tangga, matanya melihat wanita yang biasa mengikat rendah surai panjangnya itu—tengah menata bunga-bunga kesukaannya untuk dipajang di vas kaca. Malik mendekati wanita itu, sembari bertanya apakah dia sedang berhalusinasi atau tidak. Dia mencoba untuk menyentuhnya dan memanggilnya.

“Mama?”

Wanita paruh baya itu menoleh segera pada Malik.

“Malik … mau berangkat kerja?”

Ah, rupanya benar kalau itu adalah ibunya. Mana mungkin orang yang sudah mati, hidup kembali?

“Iya. Mama ngapain di sini …?”

Wanita bernama Risma Harun itu menjawab, “Mama lihat kayaknya vas di sini udah nggak pernah diisi bunga lagi, jadi kelihatan kosong banget. Makanya Mama isi, mumpung Mama di sini.”

Malik tidak mempermasalahkan itu, tapi yang dia permasalahkan adalah … “Kenapa harus bunga dahlia putih?”

Risma melirik bunga dahlia putih yang hampir selesai dia tata, lalu menjawab pertanyaan anak laki-lakinya dengan, “Karena ini bunga kesukaan Navia.”

Malik menghela napas. Dia setengah benci untuk mengakui kalau dirinya bisa kesulitan untuk menghapus Navia jika orang-orang di sekitarnya masih mengenang wanita itu.

“Mama bisa pakai bunga apa aja selain bunga yang disukai Navia, kan? Kenapa nggak coba tanya Leria, bunga apa yang dia suka?” tanya Malik, sedikit emosional.

“Kalau Leria peduli soal ini, dia sendiri yang pastinya bakal mengisi vas ini. Dia cuma peduli sama kamu, bahkan dia nggak peduli sama rumah kalian.”

“Ma … Leria ada di rumah ini, apa Mama bisa ngomong begitu di sini?” Risma tidak menjawab dan memilih mengabaikan Malik yang masih berdiri di sampingnya. “Pokoknya, aku harap Mama nggak datang ke sini untuk mengisi apa yang seharusnya dikosongin. Navia itu sudah mati, Ma.”

“Iya, iya! Mama tau!” ujar Risma dengan nada kesal. Pada akhirnya dia menarik kembali semua bunga dahlia putih itu dari dalam vas dan membawanya pergi setelah memberi Malik tatapan sinis.

Sementara Malik masih di sana, mengusap wajahnya dan menghela napas kasar. “Kalau kamu mau mati, seharusnya mati aja dengan tenang, Navia.”

-

-

-

Perjalanan Malik kali ini adalah mengunjungi sebuah daerah pedesaan yang ada di Bandung. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama dan melelahkan, tak serta merta membuat Malik bisa istirahat dan santai-santai. Dia langsung pergi ke desa tempat proyek besarnya akan dibangun setelah beberapa menit tiba di hotel tempatnya menginap.

Desa yang akan ditempuh berada di daerah lumayan terpencil. Menemukan tempat yang masih asri dan keindahan alamnya masih sangat terjaga merupakan hal yang langka di era teknologi serba maju seperti sekarang, apalagi untuk kota yang terkenal seperti Bandung. Tapi syukurlah, keindahan alam yang terjaga akan menjadi daya tarik wisatawan dan akan menguntungkan proyek Malik juga nantinya.

“Nggak heran banyak investor yang bertaruh sama proyek ini,” ujar Malik, sembari melihat-lihat desain proyek dari layar gadgetnya.

“Sudah sampai, Pak.”

Perhatian Malik langsung teralihkan ketika sopirnya berkata, dia melihat ke sekitar tempat mobilnya berhenti dan pemandangan perbukitan yang hijau menyapa matanya dari kejauhan.

“Lumayan bikin mual juga perjalanan ke sini,” ujar Malik.

“Wajar atuh, Pak, jalannya masih jalanan desa—belum banyak pembangunan.”

Malik membenahi jas hitam kebanggaannya setelah keluar dari mobil. “Berita bagus kalau gitu, setelah proyek, pasti pemerintah bakal melirik pembangunan desa ini, apalagi kalau ramai.”

“Semoga aja ramai dan proyeknya sukses, ya, Pak!”

“Ya, terima kasih.”

Setelah itu, Malik memutuskan untuk jalan saja sampai ke tempat proyeknya dibangun—toh, tidak terlalu jauh. Malik bisa melihat ujung crane dari tempatnya parkir, dan dia juga sekalian ingin mengenal desa sekitar.

Desa tempat proyek Malik akan dibangun bernama Cirawean, desa yang berada di bawah perbukitan dan diberkahi keindahan alam yang seolah menjadi latar rumah-rumah mereka. Malik melihat beberapa petani dengan gerobak sapi mereka, juga penggembala yang membawa ternak mereka untuk mencari kawanan rumput tinggi. Benar-benar suasana pedesaan yang akrab digambarkan anak-anak TK, Malik yang sejak kecil hidup dengan melihat pemandangan kota rasanya sedikit asing dengan suasana desa seperti ini.

Di kota besar juga tidak ada anak-anak yang bermain semacam permainan tradisional bersama, ataupun ibu-ibu bergosip saat melihat laki-laki bersetelan jas rapi seperti Malik. Malik jadi merasa sedikit risi, tapi dia tidak peduli dan tetap berjalan sampai menemui orang-orangnya.

“Pak Malik!” Malik menoleh saat dipanggil, dia langsung didekati oleh beberapa orang berjas lainnya yang berhubungan dengan proyek mereka. “Apa kabar, Pak?”

“Baik, Pak Bondan. Gimana kabar Anda, dan Pak Sugeng, juga Pak Gamal?”

“Kami semua baik, Pak. Oh iya, saya sudah kirim desain vila ke Bapak lewat sekretaris saya, sudah Bapak lihat?”

Itu desain yang baru Malik lihat selama perjalanan ke desa ini, tapi Malik tetap mengangguk dan tersenyum teduh seraya berkata, “Sudah saya lihat semalam, Pak Sugeng; bagus, ya? Saya suka tata letaknya yang mengarah ke timur dan perbukitan, jadi nanti wisatawan bisa bangun menikmati pemandangan matahari terbit dan kebun teh sekitar.”

“Syukur kalau Bapak suka.”

“Nggak ada kendala, kan, Pak Gamal?” tanya Malik pada lelaki bernama Gamal yang diketahui sebagai kontraktor proyek; dia yang mengurus langsung pembangunan proyek vila di sini. Tapi lelaki itu terlihat sedikit ragu sebelum dia cepat menyahut.

“Nggak ada kendala, Pak; semua baik-baik aja!” jawab Gamal, tapi Malik terlihat dingin seolah menyadari sesuatu.

“Gimana sama warga? Sudah ada pemberitahuan kalau akan dibangun proyek besar di dekat desa mereka?”

Ketika Malik bertanya seperti itu, gelagat tiga orang yang di hadapannya mengisyaratkan kalau ada yang tidak beres. Tapi mereka memilih untuk pura-pura bersikap santai, padahal Malik bisa membaca keraguan meski bibir mereka tersenyum.

“Sudah ada pemberitahuan, Pak.”

Malik menghela napas; dia tahu kalau pasti akan ada beberapa kontra dari pihak masyarakat desa terkait proyek ini, tapi Malik memilih untuk mengabaikannya dan menyerahkannya pada tiga orang itu sejak tugasnya bukan di sini.

Malik kemudian mendekat ke tempat orang-orang bekerja; mereka dengan penuh perhitungan—membuka lahan untuk membangun vila di atasnya.

“Baguslah kalau begitu,” ujar Malik, “saya mau pemberitahuan yang baik-baik dan nggak ada warga yang nantinya mengganggu proyek ini. Saya juga mau warga yang terdampak untuk diberi kompensa—”

“TOLAK PEMBANGUNAN PROYEK DI TANAH SUBUR KAMI, DASAR PENCURI!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status