Share

02 : Satu Tahun Setelah Kematiannya

“NAVIA!”

Lelaki itu langsung terduduk tegak di kasur berukuran besar miliknya saat mimpi buruk itu kembali menyentak tidur nyenyaknya.

Napasnya jadi sedikit tak beraturan, wajahnya setengah pucat dan sensasi menyesakkan itu masih dia rasakan ketika bayang-bayang wanita yang berdiri di ujung geladak kapal malam itu masih terlihat jelas di mimpinya.

Malik Alsaki Setra mengusap wajahnya pelan, lalu ia berusaha mencari ketenangan dengan meminum air putih. Tapi tangannya berhenti saat melihat gelas kaca itu kosong tanpa setitik pun uap, dan dia merenung memperhatikannya.

“Kalau dia ada di sini, hal semacam kehabisan stok air di meja nakas nggak akan pernah terjadi.”

Itu kalimat yang pertama kali melintasi kepala Malik, yang langsung ia tepis dengan gelengan kepala.

Apa dia masih tidak bisa melupakan wanita itu? Meski sudah satu tahun sejak kematiannya?

Malik turun dari kasurnya, berjalan menuju pintu keluar ruangan yang menjadi satu dengan kantor pribadinya itu. Namun, sebelum itu, langkahnya terhenti di depan meja kerjanya. Malik memandang tempat di belakang meja kerja, tempat sebuah tirai merah terbentang menutup sesuatu di baliknya.

Malik menarik tirai megah itu perlahan-lahan dan membuka sebuah figura tempat potret sesosok wanita berada. Wanita dengan rambut hitam legamnya dan mata gelapnya yang teduh, tersenyum simpul ke arah kamera sembari memegangi topi musim panas. Senyumnya yang teduh menandakan kepribadiannya yang tenang dan sederhana.

“Shanavia …,” ucap Malik, menyebut nama wanita itu; yang hanya memandang potretnya saja sudah cukup membuat Malik merasa tidak nyaman. Lantas lelaki itu segera menutup kembali tirai merahnya dan berhenti memandangi foto mendiang istri pertamanya seperti yang sudah-sudah—seperti dia adalah orang yang tidak bisa melupakan sosok itu.

Malik menghela napas; mengusap wajahnya pelan. Mungkin karena pengaruh mimpi buruk tadi, dia jadi merasa tidak nyaman seperti ini. Rasanya seperti sesuatu mengganjal perasaannya, yang lagi-lagi memaksanya untuk kembali mengingat malam di mana mimpi buruk ini bermula.

Malam ketika Shanavia Arini menjatuhkan dirinya ke lautan dan menghapus eksistensinya dari hidup Malik … meski itu tak sepenuhnya.

Tok tok tok ….

“Siapa?”

“Nyonya Leria di sini, Tuan; katanya mau menunggu Tuan dan sarapan bersama,” ujar Handoko, kepala pelayan sekaligus pelayan pribadi Malik.

Malik tidak membalas, dia sempat diam saja dan berpikir; dia tidak bisa terus seperti ini.

“Malik … kamu tidur di ruang kerja lagi malam ini, jadi sekarang ayo sarapan bareng aku!”

Malik sudah menikahi Leria Rahayu Puspa, perempuan dambaannya dulu—sebelum dia menikahi Shanavia karena sebuah kontrak. Meski begitu, seharusnya Malik berbahagia dengan kehidupannya saat ini. Dia dan Leria pun sudah dikaruniai seorang putri yang sehat dan menggemaskan dan usia pernikahan mereka juga hampir satu tahun.

Seharusnya Malik hidup bahagia, seharusnya dia tidak tidur di ruang kerjanya setiap malam hanya karena di ruangan itu saja dia bisa melihat satu-satunya kenangan yang Navia punya. Kenapa Malik jadi merasa sebaliknya? Memang sejak kapan dia mencintai Navia?

“Aku keluar sekarang.”

Ya, itu pasti karena perasaan bersalah saja. Malik dihantui rasa bersalah sebab secara tidak langsung, dia adalah alasan mengapa Navia bunuh diri malam itu. Meski semua orang berusaha meyakinkan kalau dirinya tetap tidak bersalah, tapi susah untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Malik memakai kembali topengnya dan berbisik pada dirinya sendiri kalau dia akan baik-baik saja, meski rasanya meninggalkan ruangan itu sama seperti melawan kedua tangan Navia yang memeluknya erat dan menyesakkan.

“Selamat pagi, sayangku!” Leria menyapa Malik dengan kedua tangan terbuka, tanpa ragu memeluk Malik yang belum selesai mengunci pintu ruang kerjanya.

Malik menyerahkan pintu itu pada Handoko untuk dijaga; dan agar tidak ada siapa pun di rumah itu yang memasuki ruang pribadi Malik selain dirinya. Bahkan tidak dengan Leria—yang melirik dingin apa yang Malik lakukan. Segera Malik alihkan perhatian istrinya dengan mencium lembut pipinya.

“Pagi, sayang,” ujar Malik, spontan membuat Leria menatapnya dengan binar penuh cinta, “semua udah di meja makan?”

“Iya. Kayaknya mereka udah kelaparan gara-gara nungguin kamu bangun. Kamu pasti kerja sampai larut banget, ya? Bangunnya jadi lebih siang.”

“Hm … aku harap aku bisa tidur nyenyak. Maaf karena ninggalin kamu di kamar sendirian, ya?”

Leria hanya tersenyum tipis lalu bergandengan tangan dengan Malik menuju meja makan.

***

Hampir Malik lupa jika hari ini dia memiliki jadwal penting; hari ini dia akan mengunjungi tempat di mana proyek besarnya akan dibangun.

Keluarga Setra adalah keluarga pebisnis yang bergerak di bidang properti, Malik mewarisi kerajaan bisnis sang ayah di usia muda dan dia adalah presdir dari Setta Future Company. Proyek besar yang dimaksud kali ini adalah rencana pembangunan objek wisata dan vila di pedesaan, dan hari ini Malik harus mampir untuk meninjau langsung lahan yang akan dipakai, meski hanya semalam saja.

Sebenarnya pekerjaan Malik di kantor juga sudah banyak, tapi proyek ini adalah proyek besar yang juga dibangun atas kerja sama dengan beberapa perusahaan besar lain. Itu adalah proyek bernilai milyaran dan sangat berharga, jadi Malik harus mengurusnya dengan baik.

“Sayang banget aku nggak bisa ikut, padahal aku pengen banget ikut.”

Sejak tadi Leria terus mengikuti Malik yang sedang bersiap-siap, rasanya Malik sampai bosan mendengar wanita itu yang terus mengutarakan keinginannya untuk ikut.

“Leria … Maryam masih kecil untuk dibawa pergi jauh-jauh,” ujar Malik, membenahi pakaiannya sekali lagi.

“Tapi Maryam bisa ditinggal, aku aja yang ikut kamu.”

“Nggak bisa begitu, dong. Maryam kan butuh asi kamu.”

“Sehari doang, Malik ….” Terkadang melihat Leria yang seolah tidak bisa dipisahkan darinya, membuat Malik sejenak bertanya-tanya. Apakah jika Malik menghilang sedetik saja bisa membuat Leria mati?

Malik mendekati Leria dan mengelus wajahnya. “Cuma dua hari aja, nanti aku pulang lagi. Habis itu kita pergi jalan-jalan, ya?”

Leria langsung semangat. “Berdua aja?”

“Sama Maryam juga lah!” Leria tidak jadi bersemangat. “Gimana sama Kamal? Katanya dia sempet demam kemarin.”

Leria langsung mematung sedikit tegang ketika ditanyai tentang Kamal. Kamal Abbiyu Setra, anak pertama Malik sekaligus anak mendiang istri pertamanya.

“Hm … kayaknya udah baikan, deh.”

“Kayaknya? Kamu nggak pantau keadaannya?” tanya Malik dengan heran.

“Bu-bukan gitu, Malik, tapi kamu tau sendiri kalau aku aja udah sibuk ngurus Maryam yang super rewel dan nggak bisa ditinggal. Jadi aku kurang waktu buat pantau Kamal juga. Lagian, ‘kan Kamal punya pengasuhnya sendiri.”

Malik menghela napas. Dia batal buru-buru pergi dan sejenak berbalik untuk bicara pada Leria.

“Sekalipun aku kasih dia seratus pengasuh, itu nggak akan sama kalau dia diasuh sama ibunya. Kamu juga ibunya, Leria; aku harap kamu bisa kasih sedikit waktu kamu untuk mantau Kamal. Tolong, aku butuh pengertian kamu ….”

Leria menelan kembali kata-katanya meski dia ingin sekali menyela. Wanita dengan rambut cokelat terangnya itu tersenyum manis pada Malik dan berkata, “Y-ya, tentu, Malik! Aku bakal jaga Kamal juga. Maaf, ya, atas keteledoranku.”

Malik tersenyum dan berharap dia bisa bernapas lega setelah ini. “Kalau gitu, aku berangkat, ya?” Malik mendekati Leria dan memeluk wanita itu, lalu berpamitan pergi lebih dulu dari kamar untuk segera ke mobil.

Malik melangkah dengan cepat, seperti dia adalah orang yang paling dikejar waktu. Tapi langkah cepat itu seketika berhenti saat ia terusik oleh sesuatu, yang mengingatkan indra penciumannya akan sosok yang telah tiada.

Ini wangi bunga yang akrab dengan Navia. Hanya Navia satu-satunya orang yang akan mengisi rumah itu dengan aroma bunga seperti ini, tapi ... Navia sudah tiada.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status