Nirmala masih merasa tidak nyaman mengingat apa yang terjadi kemarin.Tentang lelaki asing bernama Adam yang langsung memeluknya ketika mereka pertama kali bertemu. Jujur saja, itu lebih membuat Nirmala tidak nyaman daripada bagaimana pertemuan pertamanya dengan Malik.Setidaknya, Malik tidak memaksa untuk memeluk Nirmala dan menyentuhnya, rasanya malah seperti; "Rasanya kayak yang suami Navia malah si Adam itu, dan bukan Malik."Nirmala menghela napas, menaruh kepalanya ke kasur Kamal sambil menunggu bayi itu benar-benar terlelap.Sepertinya kali ini Nirmala akan tidur lagi di kamar Kamal, sebab sejak kejadian kemarin, Kamal jadi semakin manja dan tidak mau jauh dari Nirmala.Mungkin karena bayi itu juga terkejut dengan suara di sekitarnya, atau mungkin dia merasakan apa yang Nirmala rasakan?Untuk sejenak, Nirmala merenungkan dan mengingat kembali titik mula yang membuatnya berakhir di tempat ini. Jika bukan karena kontrak yang menekan Nirmala, dia tidak akan datang dan melakukan ap
“Aku bakal menikahi Leria.” Satu kalimat yang mengubah malam penuh suka di atas kapal pesiar mewah milik Malik Alsaki Setra. Laki-laki berusia 35 tahun itu melihat wajah sang istri yang menatapnya dingin dan tajam, tak perlu waktu lama sampai wanita dengan rambut hitam panjangnya itu meneteskan air mata. “Aku … harus bertanggung jawab, Navia; aku nggak mungkin lari dari tanggung jawabku yang sudah menghancurkan hidup Leria.” “Menghancurkan …?” Shanavia Arini membalas, suaranya gemetar, “kelihatannya perempuan itu baik-baik aja atau bahkan sangat senang ketika kamu menghancurkan hidupnya. Apa dia sukarela? Atau sejak awal dia memang berencana menghancurkan hidupnya dengan senang hati karena pelakunya adalah mantan kekasih sendiri?” “Navia, apa maksudmu? Menurutmu aku dan Leria kerja sama untuk menciptakan ‘kecelakaan’ itu?” Navia membalas tatapan Malik dengan tajam dan berkata, “Kenapa enggak? Bukannya aku ini orang ke-tiga dalam hubungan kalian? Mumpung kalian sudah pernah campur
“NAVIA!” Lelaki itu langsung terduduk tegak di kasur berukuran besar miliknya saat mimpi buruk itu kembali menyentak tidur nyenyaknya. Napasnya jadi sedikit tak beraturan, wajahnya setengah pucat dan sensasi menyesakkan itu masih dia rasakan ketika bayang-bayang wanita yang berdiri di ujung geladak kapal malam itu masih terlihat jelas di mimpinya. Malik Alsaki Setra mengusap wajahnya pelan, lalu ia berusaha mencari ketenangan dengan meminum air putih. Tapi tangannya berhenti saat melihat gelas kaca itu kosong tanpa setitik pun uap, dan dia merenung memperhatikannya. “Kalau dia ada di sini, hal semacam kehabisan stok air di meja nakas nggak akan pernah terjadi.” Itu kalimat yang pertama kali melintasi kepala Malik, yang langsung ia tepis dengan gelengan kepala. Apa dia masih tidak bisa melupakan wanita itu? Meski sudah satu tahun sejak kematiannya? Malik turun dari kasurnya, berjalan menuju pintu keluar ruangan yang menjadi satu dengan kantor pribadinya itu. Namun, sebelum itu,
"Navia?" Malik menoleh tepat sebelum dia menuruni tangga, matanya melihat wanita yang biasa mengikat rendah surai panjangnya itu—tengah menata bunga-bunga kesukaannya untuk dipajang di vas kaca. Malik mendekati wanita itu, sembari bertanya apakah dia sedang berhalusinasi atau tidak. Dia mencoba untuk menyentuhnya dan memanggilnya. “Mama?” Wanita paruh baya itu menoleh segera pada Malik. “Malik … mau berangkat kerja?” Ah, rupanya benar kalau itu adalah ibunya. Mana mungkin orang yang sudah mati, hidup kembali? “Iya. Mama ngapain di sini …?” Wanita bernama Risma Harun itu menjawab, “Mama lihat kayaknya vas di sini udah nggak pernah diisi bunga lagi, jadi kelihatan kosong banget. Makanya Mama isi, mumpung Mama di sini.” Malik tidak mempermasalahkan itu, tapi yang dia permasalahkan adalah … “Kenapa harus bunga dahlia putih?” Risma melirik bunga dahlia putih yang hampir selesai dia tata, lalu menjawab pertanyaan anak laki-lakinya dengan, “Karena ini bunga kesukaan Navia.” Malik m
Malik terkejut ketika mendengar suara seseorang berteriak dari jauh, dan suara itu terdengar makin dekat juga keras. Ia menoleh segera dengan raut bingung dan panik, di hadapannya kini terlihat orang-orang yang didominasi laki-laki—datang sembari membawa spanduk bertuliskan penolakan atas proyek. Ketakutan Malik menjadi nyata. “HENTIKAN PROYEK YANG AKAN MERUSAK TANAH SUBUR KAMI!” “HENTIKAN PROYEK INI!” “HENTIKAN PROYEK INI!!!” Malik sangat panik, orang-orang itu datang dengan raut geram dan mendekatinya seakan-akan mereka ingin langsung menghancurkan proyek yang belum dibangun itu. Beberapa pekerja langsung pasang badan untuk melindungi tuan mereka, tentu saja Malik yang berdiri paling belakang. “Tunggu, bapak-bapak, ibu-ibu … ada apa ini?” tanya Sugeng, bermaksud menengahi. Salah satu warga dengan geram berkata, “Pulang aja, Pak, hentikan proyek yang merusak rumah kami!” “Apa maksudnya? Rumah siapa yang dirusak?” “Hutan yang berdiri di belakang kalian itu, yang sudah kalian
Malik berusaha keras untuk keluar dari kerumunan dan dia tidak menunggu untuk berlari menghampiri perempuan yang terlihat mirip dengan Navia itu. Logikanya berkata untuk berhenti. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal, bisa hidup lagi dan berdiri di depan matanya. Tapi seperti orang bodoh, Malik malah semakin cepat melangkah dan membuat perempuan itu akhirnya lari dengan wajah panik. Kenapa dia lari? Memang dia mengenal Malik? Seharusnya dia tetap di sana jika dia bukan Navia, jadi … apakah perempuan itu benar-benar Navia? Pertanyaan-pertanyaan itu terus terputar di otak Malik selagi kakinya menerjang jarak yang semakin jauh ketika perempuan itu juga berlari tak kalah kencang darinya. “Tunggu, kamu! Berhenti!” ujar Malik, membuat orang-orang yang menontonnya—kini bingung karena dia tiba-tiba kabur dari kermunan dan itu demi mengejar seorang perempuan? Awalnya orang-orang itu berpikir Malik hanya mencari alasan untuk lari dari masalah, tapi sejak lelaki itu sudah tidak menaruh
Malik tersentak saat suara klakson motor itu berbunyi nyaring di belakangnya, dia segera menoleh dan melihat seorang lelaki paruh baya berpakaian batik menghampirinya. “Bapak ini orang proyek dekat curuk itu, kan?” tanya lelaki asing itu, langsung pada intinya. Tidak memedulikan Malik yang hampir serangan jantung setelah nyaris dia tabrak dengan motornya. Malik yang sedikit bingung jadinya hanya mengangguk kecil. “Mau ke mana? Saya denger tadi ada keributan gara-gara Bapak berusaha melecehkan salah satu warga sini. Kebetulan ketemu di sini, kita harus bicara, Pak!” Malik menghela napas berat dan memijat kepalanya sekali lagi; ucapan orang asing di depannya ini semakin membuatnya sakit kepala. “Tunggu dulu, Pak, saya pusing,” ujar Malik, “Bapak ini siapa?” Lelaki itu mengulurkan tangan. “Meski kita nggak jabat tangan untuk damai cepat-cepat, tapi perekenalkan, Pak, saya Rusnadi. Saya adalah kepala RT desa ini!” Malik hanya mengangguk sejenak dan berkata, “Saya Malik, dan saya ngga
Malik membuka matanya perlahan, meski rasanya dia ingin tidur lebih lama tapi suara alam di luar sana seperti membentuk konser massal yang terus mengusik alam bawah sadarnya. Orang kota mungkin mendambakan bangun dengan alarm suara cuitan burung yang bernyanyi, tapi bagaimana jika ayam, bebek bahkan kambing ikut melatari? Malik membuka sempurna kedua matanya dan sadar jika dia tidak ada di klinik kesehatan apalagi hotel bintang lima pesanannya. Di mana dia sekarang? Lelaki itu berusaha mengingat-ingat; dan yang tersimpan dalam memorinya adalah perjalanan panjang nan melelahkan hanya untuk bisa berbicara pada perempuan desa yang sangat mirip dengan mendiang istrinya. Sudah begitu, ketika dia tinggal hanya satu langkah menuju tujuannya—dia malah tak sadarkan diri. “Sialan ….” Begitu ujarnya karena masih tersisa rasa kesal dalam hati. Malik melihat ke sekitar, dia berada di kamar sederhana dengan dekorasi bernuansa pedesaan yang sangat kental. Apa dia ada di rumah perempuan itu? Malik b