Share

04 : Ketika Istriku Yang Sudah Mati, Hidup Kembali

Malik terkejut ketika mendengar suara seseorang berteriak dari jauh, dan suara itu terdengar makin dekat juga keras. Ia menoleh segera dengan raut bingung dan panik, di hadapannya kini terlihat orang-orang yang didominasi laki-laki—datang sembari membawa spanduk bertuliskan penolakan atas proyek.

Ketakutan Malik menjadi nyata.

“HENTIKAN PROYEK YANG AKAN MERUSAK TANAH SUBUR KAMI!”

“HENTIKAN PROYEK INI!”

“HENTIKAN PROYEK INI!!!”

Malik sangat panik, orang-orang itu datang dengan raut geram dan mendekatinya seakan-akan mereka ingin langsung menghancurkan proyek yang belum dibangun itu. Beberapa pekerja langsung pasang badan untuk melindungi tuan mereka, tentu saja Malik yang berdiri paling belakang.

“Tunggu, bapak-bapak, ibu-ibu … ada apa ini?” tanya Sugeng, bermaksud menengahi.

Salah satu warga dengan geram berkata, “Pulang aja, Pak, hentikan proyek yang merusak rumah kami!”

“Apa maksudnya? Rumah siapa yang dirusak?”

“Hutan yang berdiri di belakang kalian itu, yang sudah kalian petaki berhektar-hektar—adalah kebun dan mata pencaharian kami! Gimana bisa kalian main gusur saja untuk menguntungkan kalian sendiri!?”

Malik mengerutkan kening, ia menoleh ke belakangnya dan menyadari kalau di atas tanah yang akan membangun proyeknya itu adalah kebun homogen yang sudah jelas sengaja ditanami untuk tujuan komoditas warga.

“Maaf, tapi tanah ini adalah tanah milik Setta Future Company yang dibeli secara sah! Kami tanda tangan di atas materai dengan pemilik sebelumnya!”

“Siapa pemilik sebelumnya? Romon!? Orang-orang perusahaan itu cuma mafia tanah yang mengklaim tanah orang tanpa ijin! Kalian itu ditipu!”

“Bagaimana bisa ditipu!? Tanah ini sah secara hukum adalah milik kami, Pak … Bu …!”

“Jauh sebelum tanah ini diakui sama mafia-mafia tanah itu, ini adalah tanah leluhur kami dan tanah ini kami rawat dengan baik, Pak!”

Malik merasa pusing. Orang-orang baik dari pihaknya maupun dari pihak warga saling berusaha menjadikan argumennya sebagai pemenang. Jika terus seperti ini, keadaan terburuk bisa mengakibatkan korban jiwa dan Malik paling malas dengan hal semacam itu.

Jadi, Malik pun maju ke garis terdepan sampai ia berhadapan langsung dengan satu pemuda pemberani yang sejak tadi bersuara paling kencang di antara warga lain.

“Bilang berapa yang kalian mau,” ujar Malik dengan mudah dan dengan wajah dinginnya, “kalian mau tanah ini dihargai berapa, saya akan bayar bahkan kalau kalian yang nggak terdampak juga mau dapat kompensasi.”

Ucapan Malik bermaksud baik, dia tidak mau ada perdebatan lebih parah. Tapi karena cara bicara dan wajah suntuknya yang terlihat angkuh, warga jadi salah paham dengan niat baiknya.

“Kekayaan alam itu nggak ada harganya, Pak,” ujar pemuda desa itu di depan wajah Malik, “Bapak mungkin bisa mengganti harga satu pohon karet dengan uang satu milyar, tapi desa ini nggak hidup seumur uang satu milyar! Kami, anak kami, cucu kami, buyut kami masih hidup untuk ribuan tahun lagi dan uang satu milyar nggak akan cukup untuk itu. Tapi kebun yang mau Anda gusur itu bisa menghidupi orang-orang ini bahkan untuk satu juta tahun lagi!”

Malik menghela napas, dia malas berdebat. “Denger, Mas … apa yang mau kami bangun adalah proyek pariwisata. Letak desa ini dekat sama tempat wisata alam curuk Jinguten yang namanya lagi naik daun. Banyak wisatawan bakal datang cuma buat berenang di air birunya, Mas, dan Anda pikirin aja … memangnya nggak ada keuntungan yang bakal desa dapat dari pembangunan vila kami?” terang Malik, berusaha memberi penjelasan, “kalau ada tempat penginapan, pasti bakal meningkatkan minat wisatawan dan bayangkan keuntungannya … usaha lokal bakal ramai konsumen, negara bakal semakin kaya—”

“Negara kaya itu untuk orang besar kayak Anda sekalian aja, Pak! Orang kecil macam kami mah tetap aja makan hasil tanah dan keringat sendiri!”

“Lagian … memangnya kalian nggak senang lihat turis kulit putih? Orang-orang desa kayak kalian ‘kan suka lihat bule seperti lihat Dewi dari kayangan—”

“Bapak kira kami senorak itu, ya? Jangan asal ngerendahin warga desa, ya, Pak!”

Suasana jadi memanas ketika pemuda desa yang emosi itu mencengkeram kerah kemeja Malik, menantang untuk bertarung secara jantan. Jelas saja hal ini akan memicu bentrok jika tidak segera diselesaikan, dan ujung dari bentrok ini pasti polisi.

Itu adalah hal yang paling Malik hindari, tapi dia juga merasa sedikit emosi karena warga yang kolot dan tidak mau diberi tahu. Malik pikir dia sudah bodo amat, dia biarkan saja mereka bersitegang satu sama lain. Toh, akan ada yang melindunginya sejak dia adalah seorang presdir.

"Pak Malik, awas!"

Malik tidak menduga akan jadi sekacau ini. Orang-orang desa mendesak untuk melakukan aksi anarki dengan merusak alat-alat proyek, sementara orang proyek juga ngotot mempertahankan pekerjaan mereka.

"Ah, sial!" Malik mengumpat saat tubuhnya ditarik oleh salah satu dari warga desa yang emosi, sementara anak buahnya juga berusaha melindunginya dan menarik mundur menjauhi warga.

Malik jadi geram. Rasanya seperti dia ini koruptor yang mau diarak warga. Emosi Malik hampir meledak tapi perhatiannya teralihkan pada satu titik jauh di hadapannya. Tempat dia melihat Shanavia Arini berdiri sembari menatap dirinya.

"Na-Navia ...?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status