Malik terkejut ketika mendengar suara seseorang berteriak dari jauh, dan suara itu terdengar makin dekat juga keras. Ia menoleh segera dengan raut bingung dan panik, di hadapannya kini terlihat orang-orang yang didominasi laki-laki—datang sembari membawa spanduk bertuliskan penolakan atas proyek.
Ketakutan Malik menjadi nyata.“HENTIKAN PROYEK YANG AKAN MERUSAK TANAH SUBUR KAMI!”“HENTIKAN PROYEK INI!”“HENTIKAN PROYEK INI!!!”Malik sangat panik, orang-orang itu datang dengan raut geram dan mendekatinya seakan-akan mereka ingin langsung menghancurkan proyek yang belum dibangun itu. Beberapa pekerja langsung pasang badan untuk melindungi tuan mereka, tentu saja Malik yang berdiri paling belakang.“Tunggu, bapak-bapak, ibu-ibu … ada apa ini?” tanya Sugeng, bermaksud menengahi.Salah satu warga dengan geram berkata, “Pulang aja, Pak, hentikan proyek yang merusak rumah kami!”“Apa maksudnya? Rumah siapa yang dirusak?”“Hutan yang berdiri di belakang kalian itu, yang sudah kalian petaki berhektar-hektar—adalah kebun dan mata pencaharian kami! Gimana bisa kalian main gusur saja untuk menguntungkan kalian sendiri!?”Malik mengerutkan kening, ia menoleh ke belakangnya dan menyadari kalau di atas tanah yang akan membangun proyeknya itu adalah kebun homogen yang sudah jelas sengaja ditanami untuk tujuan komoditas warga.“Maaf, tapi tanah ini adalah tanah milik Setta Future Company yang dibeli secara sah! Kami tanda tangan di atas materai dengan pemilik sebelumnya!”“Siapa pemilik sebelumnya? Romon!? Orang-orang perusahaan itu cuma mafia tanah yang mengklaim tanah orang tanpa ijin! Kalian itu ditipu!”“Bagaimana bisa ditipu!? Tanah ini sah secara hukum adalah milik kami, Pak … Bu …!”“Jauh sebelum tanah ini diakui sama mafia-mafia tanah itu, ini adalah tanah leluhur kami dan tanah ini kami rawat dengan baik, Pak!”Malik merasa pusing. Orang-orang baik dari pihaknya maupun dari pihak warga saling berusaha menjadikan argumennya sebagai pemenang. Jika terus seperti ini, keadaan terburuk bisa mengakibatkan korban jiwa dan Malik paling malas dengan hal semacam itu.Jadi, Malik pun maju ke garis terdepan sampai ia berhadapan langsung dengan satu pemuda pemberani yang sejak tadi bersuara paling kencang di antara warga lain.“Bilang berapa yang kalian mau,” ujar Malik dengan mudah dan dengan wajah dinginnya, “kalian mau tanah ini dihargai berapa, saya akan bayar bahkan kalau kalian yang nggak terdampak juga mau dapat kompensasi.”Ucapan Malik bermaksud baik, dia tidak mau ada perdebatan lebih parah. Tapi karena cara bicara dan wajah suntuknya yang terlihat angkuh, warga jadi salah paham dengan niat baiknya.“Kekayaan alam itu nggak ada harganya, Pak,” ujar pemuda desa itu di depan wajah Malik, “Bapak mungkin bisa mengganti harga satu pohon karet dengan uang satu milyar, tapi desa ini nggak hidup seumur uang satu milyar! Kami, anak kami, cucu kami, buyut kami masih hidup untuk ribuan tahun lagi dan uang satu milyar nggak akan cukup untuk itu. Tapi kebun yang mau Anda gusur itu bisa menghidupi orang-orang ini bahkan untuk satu juta tahun lagi!”Malik menghela napas, dia malas berdebat. “Denger, Mas … apa yang mau kami bangun adalah proyek pariwisata. Letak desa ini dekat sama tempat wisata alam curuk Jinguten yang namanya lagi naik daun. Banyak wisatawan bakal datang cuma buat berenang di air birunya, Mas, dan Anda pikirin aja … memangnya nggak ada keuntungan yang bakal desa dapat dari pembangunan vila kami?” terang Malik, berusaha memberi penjelasan, “kalau ada tempat penginapan, pasti bakal meningkatkan minat wisatawan dan bayangkan keuntungannya … usaha lokal bakal ramai konsumen, negara bakal semakin kaya—”“Negara kaya itu untuk orang besar kayak Anda sekalian aja, Pak! Orang kecil macam kami mah tetap aja makan hasil tanah dan keringat sendiri!”“Lagian … memangnya kalian nggak senang lihat turis kulit putih? Orang-orang desa kayak kalian ‘kan suka lihat bule seperti lihat Dewi dari kayangan—”“Bapak kira kami senorak itu, ya? Jangan asal ngerendahin warga desa, ya, Pak!”Suasana jadi memanas ketika pemuda desa yang emosi itu mencengkeram kerah kemeja Malik, menantang untuk bertarung secara jantan. Jelas saja hal ini akan memicu bentrok jika tidak segera diselesaikan, dan ujung dari bentrok ini pasti polisi.Itu adalah hal yang paling Malik hindari, tapi dia juga merasa sedikit emosi karena warga yang kolot dan tidak mau diberi tahu. Malik pikir dia sudah bodo amat, dia biarkan saja mereka bersitegang satu sama lain. Toh, akan ada yang melindunginya sejak dia adalah seorang presdir."Pak Malik, awas!"Malik tidak menduga akan jadi sekacau ini. Orang-orang desa mendesak untuk melakukan aksi anarki dengan merusak alat-alat proyek, sementara orang proyek juga ngotot mempertahankan pekerjaan mereka."Ah, sial!" Malik mengumpat saat tubuhnya ditarik oleh salah satu dari warga desa yang emosi, sementara anak buahnya juga berusaha melindunginya dan menarik mundur menjauhi warga.Malik jadi geram. Rasanya seperti dia ini koruptor yang mau diarak warga. Emosi Malik hampir meledak tapi perhatiannya teralihkan pada satu titik jauh di hadapannya. Tempat dia melihat Shanavia Arini berdiri sembari menatap dirinya."Na-Navia ...?"Malik berusaha keras untuk keluar dari kerumunan dan dia tidak menunggu untuk berlari menghampiri perempuan yang terlihat mirip dengan Navia itu. Logikanya berkata untuk berhenti. Tidak mungkin orang yang sudah meninggal, bisa hidup lagi dan berdiri di depan matanya. Tapi seperti orang bodoh, Malik malah semakin cepat melangkah dan membuat perempuan itu akhirnya lari dengan wajah panik. Kenapa dia lari? Memang dia mengenal Malik? Seharusnya dia tetap di sana jika dia bukan Navia, jadi … apakah perempuan itu benar-benar Navia? Pertanyaan-pertanyaan itu terus terputar di otak Malik selagi kakinya menerjang jarak yang semakin jauh ketika perempuan itu juga berlari tak kalah kencang darinya. “Tunggu, kamu! Berhenti!” ujar Malik, membuat orang-orang yang menontonnya—kini bingung karena dia tiba-tiba kabur dari kermunan dan itu demi mengejar seorang perempuan? Awalnya orang-orang itu berpikir Malik hanya mencari alasan untuk lari dari masalah, tapi sejak lelaki itu sudah tidak menaruh
Malik tersentak saat suara klakson motor itu berbunyi nyaring di belakangnya, dia segera menoleh dan melihat seorang lelaki paruh baya berpakaian batik menghampirinya. “Bapak ini orang proyek dekat curuk itu, kan?” tanya lelaki asing itu, langsung pada intinya. Tidak memedulikan Malik yang hampir serangan jantung setelah nyaris dia tabrak dengan motornya. Malik yang sedikit bingung jadinya hanya mengangguk kecil. “Mau ke mana? Saya denger tadi ada keributan gara-gara Bapak berusaha melecehkan salah satu warga sini. Kebetulan ketemu di sini, kita harus bicara, Pak!” Malik menghela napas berat dan memijat kepalanya sekali lagi; ucapan orang asing di depannya ini semakin membuatnya sakit kepala. “Tunggu dulu, Pak, saya pusing,” ujar Malik, “Bapak ini siapa?” Lelaki itu mengulurkan tangan. “Meski kita nggak jabat tangan untuk damai cepat-cepat, tapi perekenalkan, Pak, saya Rusnadi. Saya adalah kepala RT desa ini!” Malik hanya mengangguk sejenak dan berkata, “Saya Malik, dan saya ngga
Malik membuka matanya perlahan, meski rasanya dia ingin tidur lebih lama tapi suara alam di luar sana seperti membentuk konser massal yang terus mengusik alam bawah sadarnya. Orang kota mungkin mendambakan bangun dengan alarm suara cuitan burung yang bernyanyi, tapi bagaimana jika ayam, bebek bahkan kambing ikut melatari? Malik membuka sempurna kedua matanya dan sadar jika dia tidak ada di klinik kesehatan apalagi hotel bintang lima pesanannya. Di mana dia sekarang? Lelaki itu berusaha mengingat-ingat; dan yang tersimpan dalam memorinya adalah perjalanan panjang nan melelahkan hanya untuk bisa berbicara pada perempuan desa yang sangat mirip dengan mendiang istrinya. Sudah begitu, ketika dia tinggal hanya satu langkah menuju tujuannya—dia malah tak sadarkan diri. “Sialan ….” Begitu ujarnya karena masih tersisa rasa kesal dalam hati. Malik melihat ke sekitar, dia berada di kamar sederhana dengan dekorasi bernuansa pedesaan yang sangat kental. Apa dia ada di rumah perempuan itu? Malik b
Setelah mandi, Malik merasa lebih segar. Kendati pakaian milik ayah Nirmala tidak tercium wangi dan terasa sedikit gatal saat menyentuh kulit putihnya, tapi ini lebih baik ketimbang memakai kemeja dengan noda darah selama tiga hari berturut-turut. Berterimakasihlah pada Nirmala yang berbaik hati dan menyempatkan diri untuk mencarikan pakaian terbaik untuk dipasangkan ke tubuh orang kaya ini, tapi perempuan itu tidak kunjung pergi untuk melakukan urusannya. Malik berjalan menghampiri Nirmala yang tampak kesulitan dengan motor tuanya. “Kenapa nggak pergi? Katanya mau ke sawah?” tanya Malik, bersilang tangan sembari bersandar pada kusen pintu. Nirmala melihat tingkah Malik dan itu membuatnya sedikit kesal. “Kalau motornya mau nyala, saya udah jalan dari tadi!” jawab perempuan itu dengan nada ketus. Dia berusaha mengengkol motornya lagi, dan itu menyala. Tapi ketika Nirmala menyusun satu-satu barang bawaannya dimulai dari termos nasi sampai tas jerami berisi rantang makanan dan juga min
Setelah sarapan selesai, bekas makan tinggal dibuang ke tempat sampah. Malik sedikit terkejut menyadari sisi efisiensi dari cara keluarga Nirmala makan bersama. Bukankah akan lebih praktis kalau bekas makan langsung dibuang dan diolah alam? Malik memperhatikan Nirmala yang langsung membakar daun pisang itu bersama tumpukan sampah lainnya di dekat gubuk mereka. Nirmala yang sadar pun bertanya ketus, “Kenapa?” “Lihat-lihat aja,” jawab Malik. Kemudian perhatian mereka teralihkan saat dari kejauhan terdengar. “MALA …! MALA!” Nirmala dan Malik spontan mengalihkan perhatian mereka pada Hendri yang datang bersama beberapa anak kecil di belakangnya. Mereka membawa beberapa wadah kecil dari bambu, sepertinya hendak mencari sesuatu. “Mau ke mana, Heng?” tanya Nirmala, dia tersenyum dan tak seperti saat melihat Malik. Terang saja begitu, kan? Mereka sepasang kekasih. “Mau nyari belut sama tutut. Ikut, Mal?” Hendri menawari, dan Malik juga pikir Nirmala akan langsung pergi bersama Hendri. T
Nirmala langsung menarik tangannya yang sempat digenggam secara tiba-tiba oleh Malik. Apa lagi ini? Setelah ngotot minta ingin bicara dan diizinkan bertemu, sekarang Malik malah mengatakan hal yang makin jauh di luar nalar. “Maksud kamu apa?” tanya Nirmala, nada bicaranya meninggi dan membuat Malik sadar akan apa yang baru saja dikatakannya. Malik menarik tangannya kembali lalu berkata, “Saya … saya mau kamu ikut ke Jakarta untuk—” “Kamu ini bener-bener berani atau nggak tau malu aja? Jangan mentang-mentang kamu ini bos besar jadi kamu bisa seenaknya merintah saya!” “Nirmala, denger, saya punya alasan kuat kenapa kamu harus ikut ke Jakarta sama saya.” “Alasan apa? Untuk membuktikan sama keluarga besar kamu kalau ada perempuan yang mirip banget sama mendiang istri kamu? Atau kamu mau minta saya buat pura-pura jadi istri kamu yang bangkit dari kematian?” Malik menahan napas dan sejenak tak tahu apa yang harus dia katakan; tapi dia merasa dia perlu membawa Nirmala bersamanya. Malik
Setelah membuat heboh orang-orang dengan keputusannya, Nirmala memutuskan untuk berangkat ke Jakarta keesokan harinya—bersama Malik.Apa yang dia lakukan tentu membuat orang-orang terkejut; terlebih kedua orang tuanya dan Hendri Tapi Nirmala tidak memiliki pilihan lain sejak Malik mengancamnya dengan nasib orang-orang desa. Daripada orang-orang desa menjadi korban atas keegoisan Malik, lebih baik Nirmala ikuti dulu apa keinginan lelaki itu.Saat ini Nirmala sedang dalam perjalanan, dan dia cukup penasaran kenapa dirinya malah berakhir berada di mobil yang sama dengan Malik. Padahal dia akan bekerja sebagai pembantu.“Pak Malik,” panggil Nirmala setelah beberapa saat bimbang untuk bicara lebih dulu.“Iya?”“Saya cuma bakal kerja sebagai pengasuh anak Bapak, kan?”Malik terdiam lalu menatap ke luar mobil dan berkata, “Ya ... satu tahun sebagai ibu susu udah cukup.”“Ibu susu? Maksudnya saya suruh menyusui juga?” tanya Nirmala dengan kaget.“Kalau bisa,” jawab Malik asal, meski begitu Nir
BRAK! Malik terkejut saat pintu kamarnya dibuka dengan sangat keras, dan saat melihat siapa yang datang--rasanya seperti dia sudah bisa melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. "Malik!" Leria mendekati sang suami, dengan raut bingung, kesal, kecewa yang berpadu satu—tak mudah dijelaskan dengan kata-kata. "Apa ini, Malik? Kenapa kamu bawa pulang perempuan itu?" "Aku sudah bilang 'kan kalau dia bukan Navia, aku sudah mastiin itu jadi jangan marah-marah seka—" "Gimana bisa aku bersikap tenang seperti yang kamu harap? Kamu ngerti apa yang kamu lakuin, nggak, sih?" "Ngerti," jawab Malik, singkat dan tegas di depan wajah Leria yang tegang, "dan aku ngerti kalau kamu juga bakal bereaksi seperti ini." "Kalau begitu, kenapa tetep kamu lakuin? Kamu nggak mikir perasaan aku?" "Hah ... aku lakuin semua ini untuk Kamal. Kamu lihat sendiri gimana keadaan dia, kan? Dia lahir sehat, nggak ada kekurangan apa pun. Tapi sejak kematian ibunya, Kamal jadi anak yang rewel banget, sering sakit dan a