Share

2. Pusing karena ulah sendiri

[Bang, katanya mau beli seserahan buat nikahan nanti, kapan?]

Baru saja tangan ini meraih gawai yang sempat aku letakkan di atas meja rias yang ada di kamarku. Segera ku baca dari layar gawai dan ternyata pujaan hati yang mengirim pesan untukku. Pesan yang berisi tagihan. Karena aku sempat menjanjikan kepadanya untuk segera dan memilih sendiri seserahan serta mahar untuk acara pernikahan kami nanti. Sengaja aku tidak memberikan seserahan pada waktu aku dan keluargaku datang melamarnya. Karena aku juga tidak mau rugi keluar uang dua kali. Meski aku tidak ikut mencari uang. Tapi masalah untung rugi harus tetap aku perhatikan.

[Iya, Sayang. Abang pasti tidak lupa. Sabar ya, uang Abang belum di transfer.]

pesan balasan segera aku kirim.

Yang menjadi salah satu alasan kenapa Lasmi mau menerima pinangan-ku meski dia tahu aku sudah beristri adalah karena aku memiliki mesin ATM yang tidak akan pernah surut isinya yang akan bisa menyenangkannya. Dia dulu adalah pujaan hatiku namun cinta ini bertepuk sebelah tangan manakala keluarganya yang merupakan pemilik sekaligus juragan empang tempat biasa aku memancing menolak mentah-mentah lamaran-ku karena mereka beranggapan bahwa aku tidak akan sanggup untuk menghidupi anak gadis semata wayangnya. Aku sadar karena pada waktu itu aku juga masih luntang-lantung tidak jelas. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut dengan temanku, Juki merantau ke kota lain yang akhirnya mempertemukan-ku dengan Maharani yang kini telah menjadi istriku.

[Terus kapan istri Abang transfer uangnya?]

[Adek, sudah gak sabar ingin belanja dan memilih perhiasan untuk mahar kita nanti.]

pesannya lagi dengan tidak lupa dibubui-nya dengan emoticon cemberut di belakangnya. Kalau sudah begini aku harus pandai-pandai merayunya lagi. Tidak ada cara lain kecuali aku harus segera menghubungi Rani dan mendesaknya agar segera mengirimkan uangnya kembali.

Jujur saja uang yang selama ini ia kirimkan telah habis tidak bersisa. Uang yang tiap bulan ia kirimkan tersebut aku bagi dengan ibu dan juga kedua saudaraku. Aku yakin Rani pun tidak akan keberatan bila uangnya aku pergunakan untuk bersedekah kepada keluargaku. Dari pada di sedekahkan pada orang lain. Mending juga untuk keluargaku sendiri yang juga sama butuhnya.

Sebelum keberangkatannya tiga tahun yang lalu. Sempat kedua mertuaku itu menjual sepetak sawahnya untuk kami membeli tanah yang berada tepat di samping rumah ibuku. Tanah kosong milik Wak haji Yusuf yang maksud kami akan kami beli dan akan di bangun sebuah istana impian kami. Namun hingga saat ini tanah tersebut belum juga terbeli oleh kami dan justru tanah tersebut telah terbeli oleh orang lain. Aku memang belum membayarnya uang yang di kirimkan oleh mertuaku tersebut dan Rani pun belum tahu akan hal itu. Uang tersebut sempat dipinjam oleh ibuku untuk biaya masuk kuliah adik bungsuku dan juga membelikan motor untuknya. Jangan di tanya sisanya kemana. Tentu saja sisa uang itu aku bagi rata untuk ibu, diriku sendiri dan juga untuk mbak Lestari kakak sulungku. Kami bertiga kompak sengaja membeli tiga unit motor matic dengan tipe yang sama hanya beda warna saja. Kalaupun Rani menanyakan hal itu. Aku dan keluargaku kompak menutupi itu darinya. Dan uang bulanan yang ia kirim untuk susu Zaki dan biaya membeli bahan bangunan telah aku gunakan seluruhnya untuk kebutuhanku sendiri beserta ibu dan kedua saudaraku. Zaki juga anak yang penurut di kasih air putih mentok juga air gula dia tidak akan rewel selama ia. Kalaupun dia agak rewel aku dan ibu, kami punya solusinya. Hanya dengan tablet kuning berukuran kecil yang akan aku haluskan di tambah sedikit air dan kemudian meminumkannya. Bayi kecilku itu akan segera tertidur.

[Iya, habis ini, Abang mau telpon istri Abang. Yang sabar ya. Abang janji Acara pernikahan kita akan kita gelar semeriah mungkin. Yang jelas orang-orang kampung pasti akan terkesan dengan pesta kita nanti.]

[Jangan ngambek dong. Nanti cantiknya di patok ayam loh.]

Segera ku balas pesan yang berisi rayuan agar wanitaku itu tidak lagi merajuk pada diri ini. Kalau bukan dia yang memuaskanku, siapa lagi. Selama ini Lasmi-lah yang mengantikan peran Rani di atas ranjang.

[Ya nanti kalau Abang sudah dapat transferan, segera Abang kasih tahu, Adek, ya. Nanti janji, adek bakalan bikin puas Abang.]

Balasan pesan darinya membuat gelorah ini semakin membuncah. Sudah tidak sabar rasanya ingin segera meneguk manisnya madu surga dunia bersamanya.

Segera ku cari kontak nomor Rani. Aku tahu istri lugu-ku itu tidak mempunyai gawai canggih seperti yang aku miliki ini. Karena sewaktu berangkat ke negri sebrang tiga tahun yang lalu hanya Hp butut pemberian dari orangtuanya-lah yang ia bawa bersamanya.

Setelah ku temukan namanya segera ku kirim pesan SMS karena dia pasti tidak punya aplikasi hijau.

[Sayang kapan uangnya segera kamu transfer. Kasihan Zaki kalau sampai telat minum susunya.]

Tentu saja Zaki yang aku buat alasan. Kasihan sekali padahal anak itu tidak tahu apa-apa dan juga belum pernah merasakan uang yang ibunya kirimkan kepadaku.Toh dia masih kecil dan kebutuhannya tidak sebanyak seperti kami orang dewasa.

5 menit

10 menit

hingga satu jam lamanya belum juga pesanku mendapatkan respon darinya.

[Rani, balas pesan dari suamimu ini! Kenapa dari kemarin pesanku tidak ada yang kamu balas! Apa kamu lupa pada Zaki?]

Geram sekali rasanya karena pesan-pesan yang aku kirimkan tidak ada satupun yang ia balas. Aku coba kembali mengecek pesan yang aku kirim padanya. Dan benar saja pesanku tersebut ter- pending alias tidak terkirim. Aneh saja padahal ini adalah akhir pekan waktu untuknya bisa berkomunikasi dengan keluarga di tanah air dan biasanya dia dulu yang akan menghubungi-ku.

Sudah hampir satu bulan ini tidak ada kiriman uang yang masuk ke dalam rekeningku. Pasalnya aku juga menggunakan mobile banking yang mana bila ada uang masuk pasti akan mendapatkan pemberitahuan melalui aplikasi di layar gawaiku ini.

'Rani-Rani, kenapa kamu bikin suamimu ini kesal. Awas saja kalau Hp kamu sudah aktif. Bakal aku maki habis-habisan kamu karena sudah membuat suamimu ini kecewa.' gerutu-ku dalam hati.

Ting...

Ting...

Ting...

Terdengar suara notifikasi. Segera aku buka mungkin saja itu balasan pesan dari Rani.

[Rud, ini aku sama ibu lagi jalan-jalan.]

[Kita, lagi di toko Hp Gloria phone.]

[Mutia, nangis minta di belikan Hp baru. Uangku gak cukup. Tolong kamu cepat kesini, ya.]

[gak pake lama]

Ternyata pesan yang masuk itu dari kakak sulung-ku ternyata. Dan tentu saja pesan darinya semakin membuat darahku semakin mendidih.

Aku semakin di buat stres. Ini semua karena Rani. Awas saja kamu, Rani!

[Mbak, Rani belum kirim uang. Uangku juga menipis. Uang dari Zaki juga sudah habis untuk belanja sehari-hari]

Bagaimana bisa cukup uang sebesar 8 juta yang Rani kirimkan kepadaku. Harusnya dia tahu bahwa kebutuhan semakin lama semakin naik. Padahal uang itu sama sekali tidak pernah aku bagi dengan keluarganya di kampung. Toh, orangtua Rani juga tidak pernah menanyakan itu kepada-ku.

Aku mengacak rambutku sendiri. Frustasi, ini karena ulah Rani.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status