Share

Bab 8.

"Kamu kenapa, Nami? apa aku membuatmu takut?"

Suara merdu bagai hipnotis merasuk ke dalam gendang telinga Nami. Namun ada rasa aneh saat melihat wajah pria tampan yang ada di hadapannya saat ini.

Jemari lembut namun terlihat kekar itu kini membelai lembut wajah Nami, "Wajahmu terlihat pucat, apa kamu belum sempat makan atau meminum teh yang aku kirimkan untukmu? aku lihat gelas di atas meja sama sekali tidak tersentuh," cerca pria tersebut dengan Nada lembut.

Nami memaksakan senyuman di wajahnya, matanya menatap ragu pada sosok di hadapannya saat ini. "Tadi terlalu sibuk untuk bersiap, aku sampai lupa kalau ada minuman di atas meja." kilah Nami.

"Kak Luki sejak kapan ada di dalam ruanganku?" tanya Nami menyelidik.

"Kenapa? kamu keberatan aku ada di sini?" bukan menjawab, pria itu malah bertanya balik.

"Bukan begitu, Kak! diluar sedang banyak tamu penting. Bukankah sebaiknya Kakak menemui mereka? siapa tahu mereka mau menanamkan saham di klub Kakak?" ujar Nami beralasan.

Luki berpikir sejenak, menyetujui ucapan Nami ada benarnya. Luki bersedekap dada sambil mengamati penampilan Nami saat ini. "Kau tampil cantik sekali malam ini, Nami. Sepanjang pertunjukanmu, tak satupun pengunjung yang mengeluh kecewa. Mereka semua tampak begitu puas dengan penampilanmu. Oleh karena itu, Aku sengaja membeli buket mawar ini untuk mengapresiasi apa yang kau lakukan malam ini. " Luki memberi alasan mengapa ia ada di ruangan Nami malam ini.

Jarang sekali Luki berada di klub. Tapi malam ini adalah malam dimana jadwal Nami melakukan pertunjukan, dan biasanya, banyak pengunjung kelas atas maupun pengusaha yang datang. Hal tersebut sering kali dimanfaatkan oleh Luki untuk merayu para pengusaha untuk menanamkan saham di klub miliknya.

"Terima kasih, Kak! Kakak tidak perlu repot-repot begitu. Aku hanya takut, jika Kakak terlalu perhatian kepadaku, pegawai Kakak yang lain akan iri." jelas Nami.

Luki berdecih, Ia sudah hapal hal semacam ini akan terjadi. Luki menepuk bahu Nami beberapa kali. "Tenanglah. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Jika mereka iri melihatmu yang aku perlakukan istimewa, setidaknya mereka juga harus berusaha menarik banyak pelanggan seperti yang kamu lakukan.

Seseorang berbuat baik kepada orang lain itu karena orang lain menguntungkan untuk dirinya. Bukan karena percuma!" Luki beranjak meninggalkan ruangan Nami.

"Kak! apakah benar..." Nami menelan ludahnya kasar, apakah bertanya kepada Luki langsung adalah pilihan yang terbaik?

Luki menghentikan langkahnya, ia berbalik menoleh ke arah Nami yang kini menatapnya ragu. "Apa?" tanya Luki.

"Apakah benar, Kakak yang menjual aku kepada pria gempal bernama Jaya?" tanya Nami terbata.

Luki mengerutkan keningnya, "hah? aku menjual mu? sudah gila?" Luki tertawa remeh. "Jika aku menjual mu, aku sendiri yang akan rugi karena kamu adalah aset berharga dari klub milikku ini!" imbuhnya.

Nami sedikit bernafas lega karena apa yang dikatakan Jaya adalah sebuah kebohongan, dan Nami meyakini hal itu.

"Apa kau meragukan aku, Nami?" tanya Luki dengan tatapan menyelidik.

"O-oh... Bukan seperti itu, Kak! aku hanya tidak ingin berpikiran buruk tentang Kakak, karena aku yakin, Kakak bukan orang yang seperti itu!" ucap Nami sambil menyilangkan beberapa kali kedua tangannya di depan dada.

"Jangan dengarkan omongan buruk orang-orang. Fokus saja dengan pekerjaanmu dan cari cara agar setiap kau tampil dapat menarik lebih banyak pelanggan!"

Tak berapa lama, pintu di tutup dengan dorongan yang cukup keras, membuat bunyi debaman memekakkan telinga Nami. Tampak wajah Luki yang berubah kesal dan marah atas pertanyaan Nami tadi.

Nami menjadi merasa bersalah kepada Luki. Bagaimana pun jika orang yang sangat kita percayai namun pada akhirnya mereka meragukan kita, rasa sakit yang ditimbulkan lebih menyesakkan dari pada diragukan oleh musuh sendiri.

*

Nami melangkahkan kakinya menuruni tangga. Jadwal malam ini telah selesai dan ia masih belum dapat melihat batang hidung Jhonatan hingga saat ini. Mata Nami melihat ke sekeliling area klub malam yang terlihat sepi di luar, tapi yakinlah! di dalam klub hingar bingar para pengunjung serta music yang di setel kencang mampu memekakkan telinga siapapun yang tidak terbiasa dengan suasana semacam itu.

Nami menghela nafasnya panjang. Setidaknya di dalam pikiran Nami, Jaya sudah tidak terlihat lagi di sekitarnya, ia merasa aman untuk sementara waktu. Wajah Nami terlihat murung, ia lebih suka menundukkan pandangannya dari pada terlalu berharap melihat Jhonatan sedang berdiri menunggunya pulang di kejauhan.

Beberapa kali Nami memukul kepalanya kesal, "Mikir apa sih aku ini?"

Keluar dari area klub, Nami masih sibuk berjalan menunduk. Tiba-tiba pandangannya tertutup oleh sebuah bungkusan coklat yang amat ia kenal. "Awas nabrak!"

Nami reflek menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah tempat seseorang yang tengah berdiri di sampingnya saat ini. "Jhon?" pekik Nami saat melihat sosok Jhonatan di sampingnya.

"Kangen ya sama aku?" tanya Jhonatan sambil meledek Nami. "Nih! buat kamu! biar moodmu membaik. Kata orang, coklat bisa memperbaiki mood cewek yang lagi jelek!" imbuh Jhonatan.

"Ih! Ge-er! enggak ya!" kilah Nami, namun wajahnya berubah bersemu merah.

"Tuh kan keliatan! bilang aja kangen! dari keluar klub sampe di sini, muka mu ku perhatiin asem aja, nggak ada semangat-semangatnya!" ledek Jhonatan.

Kini Nami bertolak pinggang, wajahnya marah melihat Jhonatan yang cengengesan. "Kan kamu sendiri yang bilang mau lihat aku performance? katanya mau lihat siapa yang-"

Jhonatan mencomot mulut Nami hingga mengerucut seperti bebek, "Diem! nggak perlu diperjelas! semua udah aku lakuin!"

Nami yang tidak terima pun akhirnya berontak. Setelah beberapa kali usaha akhirnya Jhonatan melepas tangannya dari bibir Nami, "Makanya jangan ngoceh terus!" omel Jhonatan.

"Terus? gimana hasilnya?" selidik Nami.

"Aku liat boss kamu ngobrol sama seseorang. Tapi aku nggak lihat lawan bicaranya soalnya ketutupan tembok!" jawab Jhonatan.

"Ngobrol apa mereka?" tanya Nami penasaran.

Jhonatan terlihat berpikir sejenak, apakah ia harus mengatakan informasi yang ia dapat dari kepada Nami atau ia simpan sendiri saja informasi tersebut.

"Kok diem aja sih?!" protes Nami yang lama tidak mendapat jawaban Jhonatan.

"Nanti aja deh! aku capek nih, berdiri terus. Aku anter kamu pulang dulu deh! nanti ngobrolnya di sana aja!"

Nami pun mengiyakan ucapan Jhonatan. Keduanya lalu berjalan menuju tempat kos Nami. Tangan Jhonatan merangkul pinggang Nami, membuat tubuh Nami semakin merapat pada tubuh Jhonatan.

Nami yang merasa sungkan berusaha melepas tangan Jhonatan yang melingkar di pinggangnya, tapi bukannya lepas, Jhonatan malah semakin erat memeluk pinggang Nami. Pada akhirnya Nami pasrah dengan apa yang dilakukan Jhonatan.

Dari kejauhan, tampak Luki menatap interaksi antara Nami dan Jhonatan. Tangannya sebelah kanan yang membawa gelas berisi minuman beralkohol sesekali memutar-mutar gelas tersebut, membuat isi di dalam gelas gelas itu bergejolak lalu meminumnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status