Share

KERIS MAN
KERIS MAN
Author: Cahyo Sumarsongko

1

Pahala besar melekat pada tindakan yang melindungi orang-orang di muka bumi ini. 

(Mahabharata) 

Jadi superhero itu sulit. Kalau ada yang bilang mudah, berarti ia belum pernah jadi superhero. 

Dan kesulitan itu semakin bertambah saja di jaman ini. Jaman serba canggih, namun serba sulit. 

Salah-satu kesulitannya adalah; orang-orang semakin pintar. Banyak akal dan keinginan. Ada-ada saja kelakuannya setiap hari. Membikin susah untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. 

Dulu penjahat mudah dikenali. Bertampang seram, kostum menakutkan, suara garang dan suka tertawa terbahak-bahak. 

Sekarang, penjahat nampak seperti orang baik-baik. Bahkan kadang mirip superhero. Itu yang membuat manusia semakin terhimpit dalam kesulitan. 

Kian hari, kian banyak kejahatan terjadi. Membuat superhero semakin banyak dibutuhkan. 

Alhasil, muncul beragam superhero dengan berbagai kekuatan dan latar belakang. Salah-satunya aku. Keris Man; Manusia Keris!

Akan kuceritakan bagaimana perjalanan hidupku sebagai superhero di jaman yang tak menentu ini. Jaman dimana orang waras hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala dan orang jahat bersuka cita. 

Setiap pagi, seperti biasa; aku bangun, mandi, gosok gigi, dan keluar dari rumah kos. Sedikit pemanasan dan peregangan agar tubuh siap untuk menghadapi penjahat. 

Yah, meskipun seorang superhero, namun aku masih tinggal indekos di kota besar ini. Rumah kos biasa, tak mewah. 

Mungkin hanya aku (atau entah jika ada superhero lain) yang tinggal indekos. Kebanyakan superhero menyembunyikan kehidupan pribadi mereka. 

Teman-teman kos kebanyakan belum bangun. Hanya Tomo, seorang mahasiswa yang sudah bangun dan mengurusi sepeda motor skuternya. 

Kamar-kamar kos terletak agak terpisah di samping rumah utama. Dan di antaranya terdapat halaman kecil untuk menjemur cucian. 

Dinda, anak ibu kos, kelas dua SMP, terlihat menyiapkan baju-baju mereka untuk dicuci. 

"Pagi Din," sapaku, "Wah, rajin amat, pagi-pagi udah mau nyuci!"

"Hehe, iya dong Mas! Aku kan anak baik! Mau berangkat Mas?"

"Iya nih."

Aku berangkat cukup pagi. Siapa tahu ada yang membutuhkan superhero pagi-pagi. Kejahatan kadang tak kenal waktu. 

Ibu pemilik kos menyapaku saat ia sedang menyapu halaman depan rumah. Seorang janda yang cukup cantik dan baik hati. Kadang ia memberiku mangga, jambu, rambutan atau buah-buahan lainnya jika berlebih. 

"Hari Minggu tetap berangkat, Mas Kris?" sapanya manis. 

"Iya Bu. Seperti biasa."

"Sekali-kali minta libur, Mas! Jangan terforsir kerja, nanti nggak dapat-dapat cewek! Haha. Sudah sarapan belum, Mas?" 

"Nanti saja, Bu."

"Yah, hati-hati, Mas!"

Akupun segera berangkat. Yang orang-orang ketahui, aku bekerja di sebuah warung kopi. Namun itu hanya untuk samaran saja.

Aku berangkat kerja dengan berjalan kaki. Tujuanku untuk memberi contoh pada orang-orang di negeri ini. Mereka kemana-mana naik sepeda motor. Kalau tak punya sepeda motor, ojek online kini semakin mudah didapat. Sangat memanjakan manusia. 

Aku khawatir dengan kesehatan mereka dalam jangka panjang. Mereka kurang bergerak. 

Sebenarnya aku juga ingin menaiki mobil bagus dan tinggal di rumah mewah seperti Bruce Wayne. Namun tidak semua superhero adalah anak orang kaya. 

Keluargaku miskin. Tinggal di suatu desa di Jawa Tengah. Dan aku harus mengumpulkan sebagian gajiku untuk mereka. Karena itulah, aku masih tinggal indekos dan tak punya sepeda motor! 

Kulihat orang-orang mulai sibuk di jalanan. Tidak terlalu ramai. Biasanya anak-anak sekolah dan orang kantoran bangun siang di hari libur begini. Balas dendam atas ketatnya peraturan di hari kerja. 

Hanya beberapa orang yang hilir mudik di jalanan untuk melakukan aktivitas Minggu-nya. Sebagian berlari pagi atau bersepeda.

Orang di negeri ini tak terbiasa naik sepeda untuk bekerja. Hanya untuk olahraga dan ikut-ikutan trend saja. Ini negara tropis yang cukup panas. Bersepeda ke tempat kerja terlalu banyak mengeluarkan keringat. Lain dari negara sub tropis. 

Dan mereka juga tidak terbiasa untuk berjalan kaki. Selain trotoar yang tak nyaman, banyak terjadi kejahatan jalanan. Yang akhir-akhir ini marak adalah jambret ponsel dan 'begal payudara'. Orang meremas dada wanita yang berdiri di pinggir jalan, lalu melesat pergi dengan sepeda motornya. Ada-ada saja!

Itulah kenapa banyak orang lebih memilih naik kendaraan bermotor. Membuat polusi dan kemacetan di kota besar begini semakin susah diatasi. 

Di sepanjang perjalanan, tak ada orang yang mengenaliku. Lelaki desa dan kampungan ini. 

Tampang biasa saja. Postur juga biasa. Penampilan, apa lagi! Cuma memakai kemeja dan celana panjang murahan. Mirip pengangguran yang sedang mencari pekerjaan. 

Yah, tak ada yang mengenali lelaki lajang berumur tiga puluh tahun ini, Krismantoro. 

"Krismantoro!" sapa Pak Yono, si pemilik warung kopi saat aku masuk ke kedainya, "Datang agak telat, seperti biasanya! Kenapa tak pernah seperti Jago Man? Dia datang selalu pagi!"

Yah, inilah warung kopi yang orang sangka tempatku bekerja. Hanya kedai biasa di pinggir jalan. Tepat di depan sebuah gedung mangkrak yang tak beres-beres pembangunannya. 

"Yuhuu, Kris!" sapa Jago Man membaca koran di pojok warung.

"Masih aja kau baca koran di jaman ini?" balasku pada manusia ayam itu. 

"Kadang kau bisa menemukan hal yang tak ada di internet di sini!" jawabnya. 

"Seperti?"

"Cerpen! Atau kartun menggelitik."

"Dia kemari sambil berkokok membangunkan orang!" kelakar Pak Yono, "Sangat klasik, ayam jantan! Sarapan, Kris?"

"Yah." jawabku.

"Nasi orak-arik dan kopi hitam?"

"Yah, seperti biasa, Pak!"

"Ingat petuah orang tua, Kris?!" ledek Jago Man lagi, "Bangun siang membuat rezekimu hilang dipatuk ayam! Haha!"

"Yah, tapi ayam sehabis senja sudah tidur!" jawabku, "Tak heran mereka bisa bangun pagi!" 

"Itu karena mereka rabun senja!" sahut Anginia membelaku. Ia duduk di sudut lain warung.

"Jangan meledek tentang rabun senja!" balas Jago Man kesal, "Itu seperti menghina umat kami!"

Anginia hanya tertawa. 

"Lagipula kau kemari naik sepeda motor!" keluhku lagi pada Jago Man, "Aku berjalan kaki, biar sehat!"

"Bilang saja kau tak mampu beli motor!" balasnya tertawa. 

"Kenapa kau tak ambil kredit motor atau beli second saja, Kris?" tanya Gajah Man, "Siapa yang tak butuh motor sekarang ini?"

"Keluargaku di kampung butuh banyak uang," jawabku, "Aku punya tiga orang adik. Dan yang tertua mau masuk kuliah. Aku harus membantu mereka. Orangtuaku hanya petani biasa."

"Yah, kehidupan makin sulit memang," balas Gajah Man, "Apalagi gaji kita di sini tak menentu! Untung aku mewarisi sepeda motor gede dari ayahku."

"Yah, semakin sulit!" jawabku layu, "Andai saja ada kuliah second! Bisa lebih murah! Kuliah sekarang harus bayar uang kuliah tunggal! Tak bisa dicicil!"

"Yah, padahal sepeda motor dan ponsel aja bisa dicicil!" sahut Anginia, "Entah bagaimana pemerintah dan institusi pendidikan mengambil kebijakan?! Membuat orang lebih memilih ambil kredit motor daripada kuliah!"

"Yah, yah," sambung Gajah Man, "Membuat tingkat kaum terpelajar menurun dan kejahatan meningkat!"

"Kadang kejahatan besar justru datang dari orang terpelajar," sahut Cahayani, superhero dengan kekuatan cahaya yang duduk tak jauh dari Anginia, "Sudah lihat berita terbaru, Kris?" tanyanya padaku. 

"Apa?"

"Ulah gerombolan Kerbau Merah," jawabnya, "Mereka merampok toko emas semalam!"

"Kerbau Merah?" balasku terkejut, "Bukankah mereka hanya desas-desus? Tak ada di dunia nyata!"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status