Vanua tiba di Desa Gayam dengan ransel besar di punggung dan trauma mendalam yang masih menghantuinya. Desa ini, dengan kesunyian dan ketenteramannya, adalah kebalikan total dari kota-kota yang baru saja ia tinggalkan—Yogyakarta, Surabaya, Depok—kota-kota yang menyisakan kenangan pahit tentang pandemi. Rumah sakit yang penuh sesak hingga lorong-lorong, suara tangisan pilu, jeritan kehilangan, serta kematian yang terasa begitu dekat, seolah bisa diraih dengan tangan.
Sebagai sukarelawan medis, Vanua telah menyaksikan bagaimana pandemi merenggut nyawa tanpa pandang bulu. Ia melihat bagaimana kerumunan yang dulu dianggap sebagai kekuatan, berubah menjadi sumber ketakutan dan bencana. Ia melihat orang-orang kehilangan rasionalitas mereka, terjerumus dalam kepanikan yang membutakan dan keputusasaan yang melumpuhkan.
Trauma itu masih segar membekas, seperti luka yang tak kunjung sembuh. Malam-malamnya sering diisi oleh mimpi buruk—ruang gawat darurat yang penuh sesak, suara mesin ventilator yang berisik, langkah kaki para petugas medis yang terburu-buru, dan panggilan darurat yang tiada henti. Setiap kali terjaga, jantungnya berdegup kencang, seolah ia masih terperangkap di dalam pusaran pandemi yang tak berujung.
Desa Gayam adalah pelarian yang ia cari. Ia berharap, di desa ini, ia bisa menemukan ketenangan yang selama ini menghindar darinya. Namun, harapannya segera pudar saat ia menyadari bahwa ketakutan juga telah mencengkeram desa ini. Ketakutan yang berbeda, tetapi sama mengakar. Warga desa saling menjauh, bukan hanya karena virus, tetapi juga karena ketakutan yang dibangun oleh desas-desus dan kepercayaan lama.
Ia mendengar bisik-bisik tentang makhluk halus, kutukan, dan hukuman dari leluhur yang marah. Ketakutan di desa ini bukan hanya tentang pandemi, tetapi juga sesuatu yang lebih dalam. Ia merasa seolah-olah desa ini sedang mengalami mimpi buruk yang sama dengan kota-kota yang ditinggalkannya, hanya dalam bentuk yang berbeda.
"Ini bukan desa, ini neraka," gumam Vanua suatu malam, saat ia berjalan-jalan di sekitar desa. Ia mengingat kata-kata Sartre, "Neraka adalah orang lain." Baginya, bukan makhluk halus yang menciptakan penderitaan, melainkan manusia sendiri—dengan ketakutan, prasangka, dan kehilangan akal sehat mereka.
Vanua adalah seorang skeptis. Ia tidak percaya pada takhayul atau kekuatan gaib. Ia percaya pada rasionalitas, pada ilmu pengetahuan, pada fakta. Baginya, setiap kejadian pasti memiliki penjelasan logis. Namun, ia heran melihat bagaimana warga desa begitu mudah terpengaruh oleh desas-desus. Ia merasa kasihan, melihat bagaimana ketakutan telah menguasai mereka.
"Mereka seperti kerumunan di kota," pikirnya. "Mudah panik, mudah kehilangan kendali."
Ia teringat pada teori Gustave Le Bon tentang psikologi kerumunan. Le Bon menjelaskan bagaimana individu dalam kerumunan cenderung kehilangan identitas pribadi mereka dan lebih mudah terpengaruh oleh emosi kolektif yang kuat. Vanua merasa bahwa warga desa sedang mengalami fenomena yang serupa, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Namun, ia juga melihat sesuatu yang berbeda. Di kota, kerumunan terbentuk secara spontan, tanpa ikatan yang kuat. Di desa, mereka terikat oleh hubungan kekeluargaan dan tradisi yang telah diwariskan turun-temurun.
Di tengah keputusasaan, satu sosok menarik perhatiannya, Mudra. Ia melihat bagaimana pemuda desa itu berusaha keras membangkitkan kembali semangat gotong royong dan kebersamaan yang mulai pudar. Mudra tampaknya percaya bahwa kerumunan bukan hanya sumber ketakutan, tetapi juga kekuatan yang, jika diarahkan dengan benar, bisa menjadi sumber harapan.
"Mungkin ada sesuatu yang berharga yang bisa kupelajari dari desa ini," pikir Vanua. "Mungkin ada cara untuk mengubah ketakutan menjadi kekuatan."
Ia memutuskan untuk menetap sementara di desa ini, bukan hanya untuk membantu warga, tetapi juga untuk menyelidiki misteri yang menyelimuti mereka. Ia merasa memiliki panggilan untuk mengembalikan rasionalitas di tengah ketakutan, untuk membimbing warga desa keluar dari labirin kecemasan yang semakin mencekik.
Malam pertama Vanua di Desa Gayam dilaluinya dengan gelisah. Bayang-bayang masa lalunya kembali menghantui, berputar seperti film kelam yang tak mau berhenti. Ia kembali melihat wajah-wajah pasien yang pucat pasi, mendengar suara napas tersengal-sengal, dan merasakan dinginnya lantai rumah sakit di bawah kakinya. Seolah ia masih berada di tengah pandemi yang tak berkesudahan.
Pagi harinya, ia memutuskan untuk keluar dan menjelajahi desa. Ia ingin melihat sendiri bagaimana warga menjalani hari-hari mereka, bagaimana mereka berjuang menghadapi ketakutan dan ketidakpastian. Jalanan desa tampak lengang. Rumah-rumah tertutup rapat, seperti cangkang yang melindungi penghuninya dari ancaman yang tak kasatmata. Beberapa warga tampak keluar rumah, tetapi mereka berjalan dengan tergesa-gesa, menghindari kontak mata.
Ia berhenti di depan warung Bu Minah, satu-satunya tempat yang tampak masih memiliki denyut kehidupan. Aroma kopi dan gorengan menyambutnya, membangkitkan selera makannya yang sempat hilang.
"Selamat pagi, Bu Minah," sapanya ramah.
"Selamat pagi, Nak," jawab Bu Minah, menatapnya dengan pandangan penuh selidik. "Anak baru di sini, ya?"
"Ya, Bu," jawab Vanua, mencoba tersenyum. "Saya sukarelawan medis, baru tiba kemarin."
"Oh, sukarelawan," kata Bu Minah, ekspresinya sedikit melunak. "Syukurlah, desa kami memang butuh bantuan."
Vanua memesan kopi dan pisang goreng. Ia mengamati Bu Minah yang tampak lelah dan khawatir. "Bagaimana keadaan desa ini, Bu?" tanyanya.
"Ya, begitulah, Nak," Bu Minah menghela napas. "Sejak pandemi, semua berubah. Warga takut keluar rumah, usaha sepi, desas-desus tentang makhluk halus pun makin menjadi."
"Desas-desus makhluk halus?" tanya Vanua, alisnya terangkat penasaran.
"Ya, Nak," kata Bu Minah, matanya menerawang. "Ada yang bilang melihat kuntilanak, ada yang dengar suara-suara aneh. Kami jadi takut keluar malam."
Saat itu, Mudra datang ke warung. Mereka saling memperkenalkan diri dengan singkat.
"Kamu sukarelawan medis?" tanya Mudra penuh harapan. "Syukurlah, kami butuh bantuan."
"Saya juga tertarik dengan desas-desus yang beredar di desa ini," kata Vanua, langsung ke intinya. "Saya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."
"Kamu percaya pada makhluk halus?" tanya Mudra.
"Tidak," jawab Vanua tegas. "Saya percaya pada rasionalitas. Saya percaya bahwa setiap kejadian pasti memiliki penjelasan logis."
Mudra tersenyum tipis. Ia melihat secercah harapan dalam diri Vanua. Jika mereka bisa bekerja sama, mungkin mereka bisa menemukan cara untuk menghadapi ketakutan yang melanda desa ini—baik yang nyata maupun yang lahir dari pikiran sendiri. Vanua pun merasa bahwa mungkin, di desa ini, ia bisa menemukan sesuatu yang selama ini hilang: makna di balik ketakutan, dan kedamaian di tengah kekacauan.
Seratus purnama berlalu. Malam Jum’at Legi. Senja merayap di Desa Gayam, menyelimuti hamparan sawah dengan kabut tipis. Ki Rajendra, Mudra, Vanua dan Sari tiba di sebuah rumah tua di pinggir desa, seolah dipanggil oleh bisikan angin yang tak terlihat.Ki Rajendra, berdiri di depan gerbang rumah, menatapnya dengan tatapan penuh arti. "Tempat ini... seolah memanggilku," gumamnya, lebih pada diri sendiri.Mudra, dengan kotak kayu di tangannya, datang dengan langkah ragu. "Aku tidak tahu mengapa aku di sini," katanya pada Ki Rajendra, alisnya berkerut. "Tapi ada dorongan kuat yang menarikku."Vanua, dengan mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan, tampak gelisah. "Aku mendapat pesan aneh, sebuah undangan yang tidak jelas," katanya sambil melirik jam tangannya. "Aku harus segera pergi, tapi... sesuatu menahanku."Sari, dengan gaun putihnya yang lusuh dan bunga layu di tangan, tiba dengan tatapan kosong. "Aku hanya mengikuti jalan ini," katanya dengan suara pelan, seolah berbicara pada a
Setelah pertemuan terakhir dengan Victor dan para pemegang kekuasaan lainnya, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra merasa ada sedikit angin segar. Keputusan dari kelompok pedagang kecil untuk bersatu dan mendukung mereka bukan hanya sebuah kemenengan kecil, tetapi juga sebuah tanda bahwa harapan masih ada di tengah dunia bisnis yang gelap dan penuh perlawanan ini.Ini baru permulaan. Kerumunan yang mereka hadapi jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang pernah mereka bayangkan. Setiap langkah mereka akan dipantau dengan cermat oleh para pesaing besar yang berusaha mengendalikan pasar ini.“Ini bukan hanya tentang produk kita,” kata Sari, menatap layar laptop yang menunjukkan grafik distribusi dan proyeksi pasar. “Ini adalah tentang menciptakan ruang baru di pasar yang sudah padat. Tentang memberi kesempatan bagi mereka yang selama ini terabaikan.”Vanua yang masih terombang-ambing antara harapan dan keraguan, menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan. “Tapi bagaimana kita bis
Malam itu, mereka berkumpul di sebuah warung kopi sederhana. Seorang pedagang kopi, Pak Anton, yang sudah lama berjuang melawan kekuatan besar, berbicara dengan mereka tentang perjuangannya. “Kalian mungkin tidak tahu apa yang kalian hadapi. Para pemilik perusahaan besar ini mengendalikan semuanya—dari pasokan hingga distribusi. Mereka bisa menghilangkan kita hanya dengan satu pergerakan. Jika kalian tidak siap, kalian akan menjadi bagian dari kerumunan yang tak terhindarkan itu.”Mudra menghela napas. “Kami tahu persis tantangan yang ada. Tapi kita harus tetap berpegang pada prinsip kita. Jika kita bisa membangun jaringan distribusi berbasis komunitas, kita bisa menawarkan alternatif yang lebih adil.”Ki Rajendra mengangguk. “Keberanian bukan hanya tentang melawan, tetapi tentang memilih jalan yang benar meski ada kerumunan yang menghalangi kita. Ini adalah saatnya untuk melihat lebih jauh dari kerumunan ini, untuk menemukan jalan keluar yang kita butuhkan.”Mereka menghabiskan malam
Sinar pagi merayap perlahan melalui celah-celah jendela besar di hotel pusat bisnis Surabaya. Suasana di dalam ruangan konferensi terasa tegang, dengan udara yang berat dan penuh ketidakpastian. Di meja panjang yang dikelilingi oleh eksekutif-eksekutif besar, Mudra, Vanua, Sari, dan Ki Rajendra berdiri, mempersiapkan diri untuk presentasi yang bisa menentukan masa depan mereka. Di luar sana, kerumunan pasar Surabaya mulai bergerak, menciptakan dunia yang penuh dengan peluang dan ancaman.Mereka berada di titik yang lebih jauh dari sekadar kompetisi pasar. Keputusan yang akan diambil di sini bukan hanya tentang air minum kemasan, tetapi juga tentang apakah mereka dapat menembus jaringan kekuasaan besar yang telah lama berakar.Seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jas hitam dengan dasi merah, memasuki ruangan dengan langkah percaya diri. Namanya Victor, CEO dari perusahaan air minum multinasional yang sudah mendominasi pasar di Surabaya dan sekitarnya. Dengan pandangan yang tajam, di
Surabaya, kota yang tak pernah tidur, kini menjadi medan pertempuran yang lebih kompleks dan lebih sulit dipahami. Semakin mereka menyelami dunia pasar yang dipenuhi kerumunan yang keras dan penuh persaingan, semakin mereka merasa semakin jauh dari akar mereka. Namun di sisi lain, mereka juga mulai merasakan api yang membara di dalam diri mereka. Api yang menyala di dalam diri mereka adalah hasrat, semangat, dan tekad untuk meraih sesuatu yang lebih besar."Ini bukan hanya tentang air," kata Mudra dengan suara penuh tekad, menyeringai. "Ini adalah tentang perubahan, untuk menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar bisnis. Kami datang untuk membangun sistem distribusi yang berbasis komunitas, dan bukan hanya sekadar keuntungan."Namun, semakin mereka melangkah lebih dalam, semakin terasa bahwa ini bukan hanya sebuah persaingan bisnis. Mereka merasakan adanya kekuatan yang lebih besar, yang terhubung pada sistem yang mengikat mereka dalam kerumunan yang sama.Di malam hari yang penuh k
Keesokan harinya, mereka kembali berkumpul untuk membahas langkah selanjutnya. Ki Rajendra menatap mereka dengan tatapan serius, dan tanpa berkata-kata langsung membuka kartu tarot yang telah menjadi bagian penting dari perjalanan mereka. “Apa yang kita hadapi bukan sekadar masalah bisnis. Kita berada di persimpangan jalan yang penuh kabut dan bayangan. Seperti kartu The Moon, kita harus mencari kebenaran dalam kegelapan.”Mudra merenung, melihat ke luar jendela yang memantulkan cahaya redup dari matahari yang terbenam. “Bayangan... Begitu banyak yang tersembunyi di balik setiap keputusan. Kita hanya bisa melihat bagian luar dari masalah ini, tetapi ada kekuatan besar yang menggerakkan semuanya di balik layar.”Sari, yang semakin paham akan peran mereka, menambahkan, “Kita harus menggali lebih dalam. Menyelesaikan masalah ini tidak hanya soal mengalahkan kompetisi, tetapi mengungkap siapa yang sebenarnya menarik tali di balik semua ini.”Vanua, yang sebelumnya lebih memilih menghinda