Share

BAGIAN 4 BERMIMPI DALAM MIMPI

Pagi hari ini Mudra terbangun di atas kasur bejana. Tangannya berkata kepada kaki: “kamu percaya hari ini jam 6 sore di permukaan bulan?” Mudra bergegas mengayun kaki ke langit ketujuh.

Barang durjana bernama handphone bertalu-talu mengingatkan sang waktu dengan sederet pesan. “Hari ini jadwalku bersua dengan Vanua.” Tangan Mudra beringsut menimbun kata pada besi titanium: “Kita akan bertemu secepatnya, kak Vanua.” 

Vanua baru kali pertama akan bertemu sosok lelaki yang didengarnya berkemampuan seperti Manusia Semut. Ant-Man. Manusia yang mampu membesar dan mengkerut di dalam kubangan masalah Desa. Semut bertengger di atas kelapa pun konon akan mengikuti derap kaki Mudra bila diperintah dengan senyuman.

Laksana pejabat yang tahu cara mengatur tapi alpa dalam mengurus rakyatnya, Mudra mengeja kalimat yang ditulisnya di atas buku agenda. Ratusan pohon telah ditebang menjadi kertas dan didaur ulang menjadi buku agenda kertas buram coklat.

Apabila Mudra jujur kepada luka di kakinya, maka pikiran yang ditulis dengan jemari yang terluka oleh pohon sawit tahun lalu sungguh akan memberi pengertian-pengertian baru tentang kerumunan di Desa. “Kerumunan, neraka bagiku,” tandas Mudra di dalam hati.

Pikirannya tentu sama sekali tidak otentik. Seorang filsuf pada awal abad XX sudah pernah bersabda tentang orang lain adalah neraka baginya. Di tangan Mudra, pikiran filsuf itu dibuang dan dikenang dalam perkara bongkar-muat urusan Desa yang tidak Berdesa.

Vanua dianggapnya sebagai perempuan yang berlumur mantra, membuang duri dari mawar yang konon indah, dan handal sebagai tukang tiup warga yang meyakini ada arwah busuk yang menempel di tubuh. Meskipun Vanua didengarnya tak pernah mengutip uang, tapi semesta perdukunan di lntas-Desa, lintas-kecamatan, lintas-sanitasi, dan lintas-laba rugi, masih menghembuskan kesaktian Vanua. 

Mudra bersukacita menumpuk kata demi kata yang bersih dari aroma celengan celeng. Bagi faksi garis keras, untaian pikirannya tidak akan memuaskan hasrat melawan pepesan angin.

Jantungnya berdegup kencang seperti balapan liar antara kuda dan motor RX-King di perbukitan Desa. Isi jantungnya adalah gas. Biaya gas yang tak murah. Senilai dengan Ethereum dan Bitcoin yang milyaran rupiah itu.

Beberapa bulan sabit lalu Vanua mengirimkan surat elektronik kepada Mudra. Sambil menjemur dedaunan sesajen yang telah ia petik dari hutan Desa, hutan yang dikuasai oleh monster berdarah dingin bernama negara.

Isi suratnya membuncahkan perasaan cemas dan khawatir akan pagebluk. Vanua menulis surat yang padat pesan, panjang kata, berlumur garis-garis Times New Roman, dan dibayangi wajah senyum manis Kuntilanak yang tak pernah ia jumpa.

Dear, Mudra. Salam kenal dari tebing jurang yang menganga di dekat sandal jepit. Saya terjepit persentuhan kulit antara kulit jempol dan kulit kuda. Di masa pagebluk ini pikiran saya risau. Warga Desa kalang kabut dihalau tongkat kayu petugas dari alam ghaib. Setiap kerumunan dibubarkan dengan teriakan megaphone yang dilekati semburan tipis ludah. Kepala Desa kami sibuk mengumpulkan emas dari perut bumi untuk ditukar dengan kenyamanan. Apa kabar Desa tempat tinggalmu? Apakah masih romantis seperti roman picisan yang erotis itu? Apakah erotis dan transgresif seperti Kuntilanak? Saya menjumpai berbagai rangkaian peristiwa di ujung tanduk. Napas kematian sewangi alkohol vodka. Orang mati mendadak. Saham gugur berjatuhan di pojok kursi pemodal. Manusia berjubah alien putih mondar-mandir tanpa henti di hadapan hidungku. Aneh. Unik. Miris. Lucu. Gila. Kapan bisa bertemu? Berkabarlah ketika siap untuk bersua. Tanpa pori-pori yang melebar. Tanpa ingin melumatku dalam dekapan rayuan gombal.”

Mudra tersenyum simpul mengingat isi surat elektronik itu.

Kafe di ujung jalan Desa semakin ramai dikunjungi air hujan. Petir tak malu lagi mengirim anak-anaknya. Awan mengiringi perjalanan motor mahalnya yang dibeli dengan sisa harapan dan tumpukan utang.

Bayangan tentang Vanua mendadak menggiurkan. Demikianlah tangan Mudra bergerak menyentuh celana. Merogoh uang di dekat bagian bawah tubuh, pusat perguliran keturunan.

“Aku harus traktir Vanua, ” kata Mudra kepada air hujan yang mengalir dari atap seng bocor.

Hujan! Kau musuhku nomor satu. Kelak kutebas urat airmu dengan keris tolak angin. Ooo hujan, kau selalu dikutip puisi sastrawan dunia, yang sebasah apa pun, selalu membubarkan kerumunan di tengah jalan, tetapi mengumpulkan rasa dingin untuk saling memagut kehangatan dari neraka.

***

Mencintai itu keputusan. Mudra menggamit tangan Vanua di kafe yang terang benderang. Sesuai janjinya ia tak akan melumat Vanua dengan rayuan gombal. 

Lampu kafe semakin temaram. Remang-remang.

“Aku berusia sembilan belas tahun ketika mengenal kartu Tarot. Ini salah satu andalanku untuk membahas larangan kerumunan manusia akhir-akhir ini. Kamu bersedia mendengar kisahku?,” kata Mudra kepada Vanua di bibir kursi.

Vanua memberi isyarat mengiyakan, sambil mempermainkan ujung anak rambut di keningnya.

“Kartu Tarot Biru membuka mataku di pagi hari,” kata Mudra.

Kartu Tarot Biru itu pemberian Neneknya sebagai hadiah ulang tahun. Nenek adalah perempuan pertama yang bersemangat membangkitkan jiwa Mudra dengan ketulusannya dan membawanya ke perjalanan magis. Mudra menyebutnya sebagai awal perjalanan spiritual dan magis. Penuh keajaiban. Buku catatan berwarna merah setia menemani Mudra. Mencatat hasil perburuan kata dan peristiwa.

"Itu melawan agama? Meramal dengan kartu tarot itu kegiatan nista?"

Mudra tidak membantah pernyataan bernada tanya dari Vanua. Kartu Tarot Biru yang dipegang Mudra di tangannya layak dicibir karena menyibakkan rahasia dirinya. 

Belasan tahun lalu Sherly adalah anak seumuran Mudra yang pertama kali melantunkan puisi kenistaan Tarot. Meskipun kartu Tarot Biru tak punya nyawa, tak punya rasa, tapi kaya simbol-simbol yang menghubungkan satu jiwa orang dengan lainnya. Hanya dengan tiga buah kartu saja, alam bawah sadar Sherly berhasil ditembus oleh Mudra, seperti Mudra melihat burung gereja bertengger di dahan pohon mangga dari balik kaca. Semudah itu alam bawah sadar menjelma menjadi rangkaian episode sinetron picisan. Setiap pemuda seperti Mudra akan mengingat cinta pertamanya bersama Sherly, lengkap dengan kepahitan puisi nista yang telah digubah oleh Sherly, saat mereka berada di peraduan tumpukan jerami kuda.

Vanua mendengarkan kisah Mudra tentang Sherly dengan seksama. Raut mukanya yang awet dewasa turut menyimak suara kegalauan Mudra. 

"Tarot bukan agama, tidak bisa disamakan dengan agama, tapi bisa dipelajari siapa saja dengan ilmu psikologi. Aku begitu asyik dengan pikiranku dan mencoba memahami makna dari ucapan Nenekku tentang psikologi bawah sadar. Buku-buku psikoanalisis yang berat dibaca seperti karya Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, dan Jacques Lacan, terasa ringan di telingaku.”

“Apakah Nenekmu menjadi perempuan pertama yang mengesankan hatimu? Seberapa dalam?”

“Ya. Nenekku memang perempuan yang mengesankan dengan segala mistisnya. Ia adalah hawa hatiku yang memenuhi pikiranku dengan rahasia dan keajaiban bawah sadar.”

“Aku pernah menonton Film Inception. Aktornya, Leonardo DiCaprio. Mimpi dalam mimpi. Apakah kita bisa memaknai kesendirian, kesepian, dan sebaliknya, kerumunan itu justru merusak diri kita?”

“Film itu mengajarkan bermimpi dalam mimpi.” 

Tak jelas siapa yang memulai, keduanya segera bangkit dari kafe. Pergi ke tempat yang enak untuk bermimpi.

Keduanya saling merengkuh. Jemari bergamit. Kaos terkoyak. Celana tersobek. Tubuh mengkilat. Mereka masuk ke dalam mimpi lapisan pertama. Kasur berbusa dan berisi air terasa empuk mengikuti liukan tubuh.

Tubuh mereka bergetar. Ketika masuk ke dalam alam mimpi, tubuh mereka ringan. Melompat dan tiada lelah berjalan menyusuri gedung bertingkat.

Bedanya, tubuh mereka berpakaian rapi, tak seperti keadaan tidur mereka yang bening mengkilat tanpa sehelai benang.

***

Mudra dan Vanua terhuyung-huyung di tepian tebing Desa Nglanggeran Gunungkidul Yogyakarta. Desa ini terletak di bekas areal Gunung Api Purba yang pernah aktif lebih dari delapan juta tahun lalu. Lembah hijau di bawahnya tampak jelas dilihat dari pucuk bebatuan Kampung Pitu yang hanya dihuni oleh tujuh kepala keluarga.

Mereka masuk ke dimensi lain dari Desa ini. Dimensi mimpi lapis kedua. Berbeda jauh dari kenyataan yang pernah dijumpai oleh Vanua di Desa Nglanggeran.

Terpampang tulisan pada spanduk yang terbuat dari kulit domba: THE FOOL alias Si Polos.

“Siapa yang dimaksud si Polos?”, tanya Mudra.

“Mungkin kita karena tubuh kita berawal dari polos dan kepolosan,” kata Vanua.

Mudra dan Vanua berjalan di sepanjang tepi tebing, menyusuri lembah hijau di bawahnya dan suasana pegunungan nampak angker di balik punggungnya. Entah tidak sadar atau tidak peduli, mereka tidak memikirkan risiko jatuh ke jurang.

Mudra baru sadar ia telah membawa tas kulit yang berisi catatan pengalaman masa lalunya. Tas tertutup rapi. Pengalaman masa lalu itu tersimpan aman dan terjamin penuh oleh keyakinannya. 

Kostum bajunya berubah menjadi warna-warni yang cerah. Memberikan tanda bahwa suasana hatinya bahagia dan cerah.

Keberadaan Vanua pada dimensi mimpi ini menambah suasana secerah pagi tanpa hujan. Topi Vanua terdapat bulu merah. Melambangkan semangatnya untuk hidup dan kecintaannya pada perjalanan.

Vanua mengangkat wajahnya ke langit biru cerah. Ia menikmati kebebasan, kegembiraan, dan petualangan dalam perjalanannya.

Kuncup mawar putih hadir manja di tangannya. Melambangkan kepolosan sekaligus ketidakpercayaan atas segala sesuatu. Awal kehidupan yang baru.

Seekor anjing putih menghampiri mereka. Anjing itu nampak akrab dengan Mudra dan Vanua. Berjingkrak bahagia di samping kaki bening Vanua. Anjing itu adalah "West Highland White Terrier" atau "Westies". Anjing yang energik, cerdas dan setia. Teman yang sempurna untuk pelancong pemula.

“Apakah ini jawaban kita atas pagebluk?”

“Ya. Kita terdorong untuk menyendiri. Berdua saja. Mengisolasi diri dalam suatu mimpi dari mimpi level pertama. Mendorong kita untuk lebih berani, lebih berpikiran terbuka, dan menikmati perjalanan. Jangan biarkan diri kita terseret oleh kekhawatiran.” 

Vanua memegang kartu yang tergeletak di bawah spanduk The Fool itu. Kartu bergambar sosok pejalan berpakaian warna-warni mirip dengan pakaian Mudra. Sikap tertawa dalam kartu itu seolah membujuk Vanua dan Mudra untuk percaya diri, mengambil kesempatan dan tidak terlalu khawatir tentang masa depan.

Vanua dan Mudra larut dalam dialog seperti orang kesurupan buku filsafat.

“Sebaliknya nikmati saja perjalanan dan lakukan sesuatu hari demi hari.”

“Ya. Sepertinya kita diajak melakukan lompatan keyakinan."

"Ada kemungkinan kita melakukan kesalahan atau terjatuh. Tetapi kita selalu bisa bangkit kembali, membersihkan diri, dan mencoba lagi. Terkadang itulah cara terbaik untuk belajar."

“Berani melakukan sesuatu."

“Hidup di tepian, berpikir di luar kebiasaan. Percaya diri dan berani.” 

Seolah ada dunia magis yang luas di luar diri mereka. Pergi menjelajah dimensi mimpi.

Lambat laun terdengar suara tanpa sosok manusia. Hanya kilatan satu meter di hadapan mereka.

“Ikuti kebahagiaan sejatimu. Jelajahi jalur keajaiban baru. Yakini akan lompatan keyakinan."

Suara itu terhenti. 

Mudra dan Vanua terhentak di kasur. Hujan kian deras mengguyur atap genting rumah warga Desa yang mereka sewa hanya untuk semalam.

Lampu padam. Bayangan berkelebat. Bapak pemilik rumah sedang mengendap-endap menghidupkan Genset. Suara alat penggerak daya listrik itu menderu bersaing dengan suara hujan.

Mereka tarik selimut lagi. Tertidur dalam gejolak alam birahi yang tak mampu dilawan oleh para pejalan muda.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status