Share

Jalam Buntu

last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-14 15:43:22

Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk atap seng kos Alya seperti ribuan jemari yang tak sabar. Alya duduk di tepi ranjang, ponsel di tangannya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, tapi ia tahu persis siapa pengirimnya.

“Kalau butuh uang cepat, kau tahu harus cari siapa.”

Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya porak-poranda. Jemarinya gemetar, hampir saja ia melempar ponsel ke dinding.

“Kenapa dia nggak berhenti mengikutiku?” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa takut dan putus asa.


Siang harinya, ia menerima telepon dari kampung. Suara adiknya terdengar panik.

“Kak… Ibu kambuh lagi. Kalau bisa, cepat kirim uang, ya. Obatnya habis.”

Alya terdiam, suaranya tercekat. “Iya… kakak usahakan.”

Setelah telepon ditutup, Alya terduduk lemas. Dompetnya kosong. Uang beasiswa bulan ini sudah habis untuk kos, makan, dan transportasi. Ia benar-benar tak punya pegangan.


Di kampus, Aditya memperhatikan Alya yang murung. Matanya cekung, wajahnya pucat. Saat jam istirahat, ia mencoba bicara.

“Alya, kamu kenapa akhir-akhir ini? Ada yang kamu sembunyiin dari aku?”

Alya menunduk, mencoba tersenyum. “Nggak, Dit. Aku cuma capek.”

Aditya menghela napas, frustrasi. “Aku bisa lihat kalau ada yang salah. Kalau kamu masih nganggep aku orang penting dalam hidupmu, tolong jujur. Jangan biarin aku nebak-nebak.”

Air mata Alya hampir tumpah, tapi ia menahannya. “Aku nggak mau bikin kamu tambah susah. Aku… aku bisa atasi sendiri.”


Malamnya, Aditya duduk di kamarnya, menatap langit-langit. Rasa curiga makin menekan dadanya. “Apa dia… kembali ke orang itu? Apa dia tergoda lagi? Tuhan, jangan sampai…”

Ia menggenggam ponselnya, ingin menelpon Alya. Tapi sesuatu menahannya. Bagian dari dirinya takut pada jawaban yang akan ia dengar.


Sementara itu, Alya berjalan sendirian di trotoar kota yang basah oleh hujan. Lampu jalan memantulkan bayangan yang panjang. Ia berhenti di depan sebuah kafe, menatap pantulan dirinya di kaca.

“Kenapa aku nggak bisa jadi gadis normal? Kenapa aku harus punya masa lalu yang kotor?”

Air matanya jatuh. Ia meraih ponsel, membuka pesan dari pria itu lagi. Nomornya masih aktif, kata-katanya menjerat seperti jaring halus.

“Satu malam saja, Alya. Semua masalahmu selesai.”

Alya menggigit bibir, jantungnya berdegup kencang. Dalam benaknya, wajah ibunya terbaring lemah di kampung. Bayangan utang, bayangan hidup yang semakin menekan.

Namun bersamaan, wajah Aditya juga muncul—tatapan matanya, pelukan hangatnya, janji kecilnya untuk tetap bersama.


Ia berbisik pada dirinya sendiri. “Kalau aku kembali… aku bakal hancur. Aku bakal benar-benar kehilangan Aditya. Tapi kalau aku nggak… gimana cara aku selamatin Ibu?”

Konflik itu membuat kepalanya pening, tubuhnya nyaris roboh.


Keesokan harinya, Aditya menunggu Alya di taman kampus. Ia sudah memutuskan: kali ini ia harus dapat jawaban.

Saat Alya datang, Aditya langsung menatap tajam. “Alya, aku serius. Aku nggak bisa terus-terusan gini. Kamu harus cerita apa yang sebenarnya terjadi. Aku ada di sini bukan cuma buat senang-senang. Kalau kamu butuh bantuan, bilang.”

Alya terdiam lama. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Akhirnya, ia hanya berbisik, “Maaf, Dit…” lalu berlari meninggalkannya.

Aditya terpaku, rasa sakit di dadanya semakin menjadi. “Kenapa kamu nggak bisa percaya sama aku, Alya?”


Malam itu, Alya duduk di tepi ranjang dengan wajah kusut. Ponselnya berdering lagi, nomor yang sama. Ia menatapnya lama, jari-jarinya melayang di atas layar.

Satu sentuhan, dan ia akan kembali ke jurang yang dulu nyaris menelannya habis. Tapi menolak berarti ia harus menerima kenyataan: tidak ada uang, tidak ada obat untuk ibunya.

Air mata jatuh deras. Ia meremas ponsel itu seperti ingin menghancurkannya.

“Tuhan, aku harus pilih yang mana? Cinta… atau hidup?”


Di tempat lain, Aditya duduk gelisah di mejanya. Ia tahu sesuatu sedang menghantui Alya. Tapi ia juga tahu, sekeras apa pun ia memaksa, Alya hanya akan semakin menutup diri.

Malam turun dengan berat, langit kota diselimuti awan hitam yang menelan cahaya bintang. Alya berjalan menyusuri trotoar yang basah oleh hujan sore tadi. Di tangannya, ponsel bergetar lagi.

“Aku tunggu di hotel biasa. Malam ini, kamu bisa dapat lebih dari cukup.”

Pesan itu singkat, tapi seperti rantai yang menjerat lehernya. Alya berhenti di bawah lampu jalan, tubuhnya gemetar. Kakinya seakan ingin melangkah ke arah hotel itu, tapi hatinya menjerit.

“Kenapa… kenapa aku harus selalu diuji begini?” bisiknya, suara tenggelam oleh bising kendaraan.


Beberapa jam sebelumnya, telepon dari kampung mengguncang hatinya. Adiknya menangis.

“Kak… dokter bilang Ibu harus segera dirawat. Kalau nggak, kondisinya bisa parah. Tolong kirim uang, Kak…”

Alya menekan dada yang serasa mau pecah. “Iya… Kakak usahakan. Jangan nangis, ya.”

Begitu telepon terputus, ia terisak keras. Ia tahu, tak ada lagi waktu. Uang harus ada sekarang juga.


Dan di sinilah ia berdiri, di persimpangan nasib. Satu jalan menuju hotel, satu jalan kembali ke kos yang penuh dengan tangis dan rasa bersalah.

Alya melangkah, satu, dua, tiga… hatinya berteriak: “Hanya sekali. Demi Ibu. Setelah ini, aku berhenti.”

Air mata mengalir deras. Ia benci pada dirinya sendiri, benci pada dunia yang menekannya sampai di titik ini.


Namun tiba-tiba, langkahnya terhenti. Dari kejauhan, suara yang familiar terdengar.

“Alya?”

Ia menoleh, dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Aditya berdiri di seberang jalan, basah kuyup tanpa payung. Matanya tajam, penuh luka.

“Kenapa kamu ada di sini?” suara Aditya serak, hampir tenggelam dalam deru kendaraan.

Alya terdiam, tubuhnya kaku. Ponsel di tangannya masih terbuka, layar menampilkan pesan terakhir dari pria itu.

Aditya berjalan mendekat, wajahnya pucat. “Jangan bilang… kamu mau kembali ke dia.”


Air mata Alya pecah, ia mengguncang kepalanya. “Dit… aku nggak punya pilihan! Ibu sakit, aku butuh uang cepat. Aku nggak tahu harus gimana lagi!”

Aditya menatapnya lama, napasnya berat. “Kenapa kamu nggak cerita ke aku? Kenapa selalu pilih jalan yang nyakitin kamu sendiri? Apa aku begitu nggak berarti di hidupmu?”

Kata-kata itu menampar Alya lebih keras dari apa pun. Ia terisak, lututnya hampir roboh. “Aku takut kamu pergi kalau aku jujur. Aku takut kamu jijik sama aku.”

Aditya meraih bahunya, mengguncang pelan. “Aku memang sakit hati, Alya. Aku memang terluka. Tapi itu nggak berarti aku mau lihat kamu jatuh lagi ke jurang yang sama.”


Hujan kembali turun, membasahi mereka berdua. Alya menunduk, menggenggam erat ponselnya. Di layar, pesan pria itu masih menyala, seperti iblis yang tak mau pergi.

Dengan tangan gemetar, Alya menekan tombol hapus. Pesan itu hilang, nomor itu ia blokir.

Air matanya bercampur dengan air hujan. “Aku nggak mau kembali ke sana, Dit. Tapi aku juga nggak tahu harus gimana.”

Aditya menariknya dalam pelukan basah. “Kita cari jalan lain sama-sama. Aku nggak janji semua jadi mudah. Tapi selama kamu mau berjuang, aku ada di sini.”


Di tengah hujan, Alya terisak di bahunya. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan itu memberi sedikit hangat di antara dingin yang menusuk.

Namun jauh di dalam hatinya, ketakutan belum sepenuhnya hilang. Ia tahu, masalah uang tak selesai hanya dengan memblokir nomor. Ujian berikutnya akan datang, entah kapan, entah seberapa besar.

Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, Alya memilih berpaling dari jurang.


Mereka berjalan bersama menyusuri jalan yang basah. Aditya menuntun langkahnya, seolah mengatakan tanpa kata: “Aku tahu kamu rapuh. Tapi aku takkan biarkan kamu jatuh sendirian.”

Alya menatap lampu kota yang berkilau di kejauhan, bercampur dengan air hujan di matanya. Dalam hati, ia berbisik:

“Mungkin aku masih bisa diselamatkan. Mungkin cinta masih bisa jadi alasan untuk bertahan.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Penghianatan Yang Terkuak

    Hening merayap seperti asap dingin di antara mereka. Nama itu—Pak Arman—dulu terdengar seperti perlindungan. Hari ini menjadi simbol kehancuran segalanya. Keyla mundur selangkah tanpa sadar, jantungnya berdegup kencang. Seolah otaknya menolak menerima kenyataan itu."Nik… bilang kalau ini mimpi," bisiknya lirih, nyaris patah.Tapi Niko tidak menjawab. Matanya terpaku pada sosok yang dulu sangat ia hormati. Rahangnya mengeras. "Kenapa...?" ucapnya pelan, mengandung kemarahan tak terukur dan pengkhianatan yang begitu dalam. “Kenapa kau melakukan ini kepada kami?!”Pak Arman tersenyum miring. Tatapannya hampa, dingin. “Hidup ini... kau akan sadar suatu hari, semuanya cuma pilihan. Ada yang rela hancur. Ada yang rela mengorbankan orang lain demi tetap bertahan.”

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Yang Kembali Dari Kegelapan

    Suara pintu yang terhempas tadi masih terasa bergema di telinga Keyla, meskipun detik demi detik telah berlalu. Sosok yang berdiri di ambang pintu itu kini semakin jelas. Bayangan masa lalu yang mereka kira sudah padam ternyata kembali dengan nyala api yang jauh lebih besar — dan lebih gelap.Pria itu berjalan perlahan mendekat. Sepatunya menyentuh lantai kayu yang mengeluarkan decit kecil, seperti lantai itu pun ketakutan. Tatapannya lurus, menusuk, dan penuh rahasia yang selama ini tenggelam bersama tubuhnya."Kau seharusnya..." suara Niko terputus, tak sanggup meneruskan. Ia tidak bisa percaya matanya sendiri."Aku seharusnya mati, ya?" jawab pria itu sambil tersenyum dingin. "Begitu juga kalian, sebenarnya. Tapi sepertinya hidup memang suka bercanda.”Keyla meras

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Kegelapan Menelan Nama

    Hanya suara derit langkah dan napas yang saling bertabrakan di udara gelap itu. Lampu darurat belum menyala, hanya tatapan-tatapan yang terbiasa dengan kegelapan yang bisa bersiap mengukur bahaya.“Aditya…” Laras berbisik pelan namun tegas, memegang kuat tangannya. “Kita harus menemukan jalan keluar. Dia menguasai sistem gedung.”Napas Aditya terasa berat, emosinya berbaur dengan ketakutan. “Dia sudah lama merencanakan ini. Segalanya… dari sistem korporasi sampai sistem listrik darurat.”Di balik suara larut malam yang menelan seluruh gedung, suara Arwan terdengar lagi, bergema di dalam kegelapan: “Apa kalian mendengar suara pintu darurat yang terkunci? Itu bukan kebetulan. Dalam permainan ini… hanya yang siap membakar semua rasa takutnya yang bisa keluar hid

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Saudara Dalam Gelap

    Langkah lirih Arwan terdengar jelas di lantai kayu ruang rapat itu. Wajahnya terbalut ketenangan yang merayap dan tak berperasaan. Sorot matanya tajam namun nyaris tanpa nyawa—seolah permainan hati dan pertumpahan rahasia ini bukan hanya baru dimulai, tapi telah direncanakannya jauh sebelum mereka semua lahir.Laras berdiri terpaku, matanya basah namun tak berkedip saat menatap sosok lelaki yang selama ini ia panggil "kakak". Di masa kecilnya, Arwan adalah sosok yang jarang bicara, tapi selalu ada dalam setiap momen penting—Kini, Laras tak yakin apakah sosok yang berdiri di hadapannya ini masih lelaki sama yang dulu menjaga jarak tapi diam-diam menjaganya.“Kak Arwan…” Laras memanggil suaranya tercekat. “Kenapa kau di sini… bersamanya?”Arwan tidak langsung menjawab.

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Luka Yang Di Bangkitkan

    Ruangan itu terasa kian sesak, meski tak seorang pun bergerak. Semuanya terperangkap antara masa kini dan potongan-potongan masa lalu yang mendadak menyeruak. Laras merasakan kedua lututnya mulai lemas. Ia bersandar pada kursi terdekat, berusaha meredakan ketegangan yang sudah menyesakkan dadanya sejak beberapa menit lalu.Pramana memutar tubuhnya sambil memandangi seluruh isi ruangan, senyum samar di wajahnya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut—tapi bukan ketulusan. “Sudah waktunya semua api ini membakar habis bisu yang kalian pelihara,” katanya, pelan namun penuh ancaman.“Bu Ratna...” Laras mendekati wanita paruh baya itu, memegangi lengannya yang masih gemetar. “Apa maksudmu dia pernah berjanji melindungi kami? Apa kau... apa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Dari kami?”

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Bayang-Bayang Yang Kembali

    Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan lampu kota berkedip. Di dalam sebuah gedung tinggi yang tampak mewah dari luar, suasana tegang menyelimuti ruang rapat lantai dua puluh. Aditya duduk di tengah meja panjang, dikelilingi para petinggi perusahaan yang sesekali menatapnya dengan sorot mata penuh kecurigaan.Pagi tadi, dunia hiburan kembali diguncang oleh sebuah kabar mengejutkan. Foto-foto yang memperlihatkan sosok Aditya dalam keadaan tak sadarkan diri di sebuah hotel beredar luas di internet. Tidak hanya itu, sebuah video pendek yang tampak buram menunjukkan sebuah siluet perempuan masuk ke dalam kamar yang sama dengannya. Tuduhan mulai bermunculan, mulai dari skandal perselingkuhan hingga manipulasi citra. Padahal Aditya tahu, itu bukan sekadar skandal biasa—itu adalah jebakan yang disusun dengan sangat rapi.Sementa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status