Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk atap seng kos Alya seperti ribuan jemari yang tak sabar. Alya duduk di tepi ranjang, ponsel di tangannya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, tapi ia tahu persis siapa pengirimnya.
“Kalau butuh uang cepat, kau tahu harus cari siapa.”
Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya porak-poranda. Jemarinya gemetar, hampir saja ia melempar ponsel ke dinding.
“Kenapa dia nggak berhenti mengikutiku?” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa takut dan putus asa.
Siang harinya, ia menerima telepon dari kampung. Suara adiknya terdengar panik.
“Kak… Ibu kambuh lagi. Kalau bisa, cepat kirim uang, ya. Obatnya habis.”
Alya terdiam, suaranya tercekat. “Iya… kakak usahakan.”
Setelah telepon ditutup, Alya terduduk lemas. Dompetnya kosong. Uang beasiswa bulan ini sudah habis untuk kos, makan, dan transportasi. Ia benar-benar tak punya pegangan.
Di kampus, Aditya memperhatikan Alya yang murung. Matanya cekung, wajahnya pucat. Saat jam istirahat, ia mencoba bicara.
“Alya, kamu kenapa akhir-akhir ini? Ada yang kamu sembunyiin dari aku?”
Alya menunduk, mencoba tersenyum. “Nggak, Dit. Aku cuma capek.”
Aditya menghela napas, frustrasi. “Aku bisa lihat kalau ada yang salah. Kalau kamu masih nganggep aku orang penting dalam hidupmu, tolong jujur. Jangan biarin aku nebak-nebak.”
Air mata Alya hampir tumpah, tapi ia menahannya. “Aku nggak mau bikin kamu tambah susah. Aku… aku bisa atasi sendiri.”
Malamnya, Aditya duduk di kamarnya, menatap langit-langit. Rasa curiga makin menekan dadanya. “Apa dia… kembali ke orang itu? Apa dia tergoda lagi? Tuhan, jangan sampai…”
Ia menggenggam ponselnya, ingin menelpon Alya. Tapi sesuatu menahannya. Bagian dari dirinya takut pada jawaban yang akan ia dengar.
Sementara itu, Alya berjalan sendirian di trotoar kota yang basah oleh hujan. Lampu jalan memantulkan bayangan yang panjang. Ia berhenti di depan sebuah kafe, menatap pantulan dirinya di kaca.
“Kenapa aku nggak bisa jadi gadis normal? Kenapa aku harus punya masa lalu yang kotor?”
Air matanya jatuh. Ia meraih ponsel, membuka pesan dari pria itu lagi. Nomornya masih aktif, kata-katanya menjerat seperti jaring halus.
“Satu malam saja, Alya. Semua masalahmu selesai.”
Alya menggigit bibir, jantungnya berdegup kencang. Dalam benaknya, wajah ibunya terbaring lemah di kampung. Bayangan utang, bayangan hidup yang semakin menekan.
Namun bersamaan, wajah Aditya juga muncul—tatapan matanya, pelukan hangatnya, janji kecilnya untuk tetap bersama.
Ia berbisik pada dirinya sendiri. “Kalau aku kembali… aku bakal hancur. Aku bakal benar-benar kehilangan Aditya. Tapi kalau aku nggak… gimana cara aku selamatin Ibu?”
Konflik itu membuat kepalanya pening, tubuhnya nyaris roboh.
Keesokan harinya, Aditya menunggu Alya di taman kampus. Ia sudah memutuskan: kali ini ia harus dapat jawaban.
Saat Alya datang, Aditya langsung menatap tajam. “Alya, aku serius. Aku nggak bisa terus-terusan gini. Kamu harus cerita apa yang sebenarnya terjadi. Aku ada di sini bukan cuma buat senang-senang. Kalau kamu butuh bantuan, bilang.”
Alya terdiam lama. Bibirnya bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Akhirnya, ia hanya berbisik, “Maaf, Dit…” lalu berlari meninggalkannya.
Aditya terpaku, rasa sakit di dadanya semakin menjadi. “Kenapa kamu nggak bisa percaya sama aku, Alya?”
Malam itu, Alya duduk di tepi ranjang dengan wajah kusut. Ponselnya berdering lagi, nomor yang sama. Ia menatapnya lama, jari-jarinya melayang di atas layar.
Satu sentuhan, dan ia akan kembali ke jurang yang dulu nyaris menelannya habis. Tapi menolak berarti ia harus menerima kenyataan: tidak ada uang, tidak ada obat untuk ibunya.
Air mata jatuh deras. Ia meremas ponsel itu seperti ingin menghancurkannya.
“Tuhan, aku harus pilih yang mana? Cinta… atau hidup?”
Di tempat lain, Aditya duduk gelisah di mejanya. Ia tahu sesuatu sedang menghantui Alya. Tapi ia juga tahu, sekeras apa pun ia memaksa, Alya hanya akan semakin menutup diri.
Malam turun dengan berat, langit kota diselimuti awan hitam yang menelan cahaya bintang. Alya berjalan menyusuri trotoar yang basah oleh hujan sore tadi. Di tangannya, ponsel bergetar lagi.
“Aku tunggu di hotel biasa. Malam ini, kamu bisa dapat lebih dari cukup.”
Pesan itu singkat, tapi seperti rantai yang menjerat lehernya. Alya berhenti di bawah lampu jalan, tubuhnya gemetar. Kakinya seakan ingin melangkah ke arah hotel itu, tapi hatinya menjerit.
“Kenapa… kenapa aku harus selalu diuji begini?” bisiknya, suara tenggelam oleh bising kendaraan.
Beberapa jam sebelumnya, telepon dari kampung mengguncang hatinya. Adiknya menangis.
“Kak… dokter bilang Ibu harus segera dirawat. Kalau nggak, kondisinya bisa parah. Tolong kirim uang, Kak…”
Alya menekan dada yang serasa mau pecah. “Iya… Kakak usahakan. Jangan nangis, ya.”
Begitu telepon terputus, ia terisak keras. Ia tahu, tak ada lagi waktu. Uang harus ada sekarang juga.
Dan di sinilah ia berdiri, di persimpangan nasib. Satu jalan menuju hotel, satu jalan kembali ke kos yang penuh dengan tangis dan rasa bersalah.
Alya melangkah, satu, dua, tiga… hatinya berteriak: “Hanya sekali. Demi Ibu. Setelah ini, aku berhenti.”
Air mata mengalir deras. Ia benci pada dirinya sendiri, benci pada dunia yang menekannya sampai di titik ini.
Namun tiba-tiba, langkahnya terhenti. Dari kejauhan, suara yang familiar terdengar.
“Alya?”
Ia menoleh, dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Aditya berdiri di seberang jalan, basah kuyup tanpa payung. Matanya tajam, penuh luka.
“Kenapa kamu ada di sini?” suara Aditya serak, hampir tenggelam dalam deru kendaraan.
Alya terdiam, tubuhnya kaku. Ponsel di tangannya masih terbuka, layar menampilkan pesan terakhir dari pria itu.
Aditya berjalan mendekat, wajahnya pucat. “Jangan bilang… kamu mau kembali ke dia.”
Air mata Alya pecah, ia mengguncang kepalanya. “Dit… aku nggak punya pilihan! Ibu sakit, aku butuh uang cepat. Aku nggak tahu harus gimana lagi!”
Aditya menatapnya lama, napasnya berat. “Kenapa kamu nggak cerita ke aku? Kenapa selalu pilih jalan yang nyakitin kamu sendiri? Apa aku begitu nggak berarti di hidupmu?”
Kata-kata itu menampar Alya lebih keras dari apa pun. Ia terisak, lututnya hampir roboh. “Aku takut kamu pergi kalau aku jujur. Aku takut kamu jijik sama aku.”
Aditya meraih bahunya, mengguncang pelan. “Aku memang sakit hati, Alya. Aku memang terluka. Tapi itu nggak berarti aku mau lihat kamu jatuh lagi ke jurang yang sama.”
Hujan kembali turun, membasahi mereka berdua. Alya menunduk, menggenggam erat ponselnya. Di layar, pesan pria itu masih menyala, seperti iblis yang tak mau pergi.
Dengan tangan gemetar, Alya menekan tombol hapus. Pesan itu hilang, nomor itu ia blokir.
Air matanya bercampur dengan air hujan. “Aku nggak mau kembali ke sana, Dit. Tapi aku juga nggak tahu harus gimana.”
Aditya menariknya dalam pelukan basah. “Kita cari jalan lain sama-sama. Aku nggak janji semua jadi mudah. Tapi selama kamu mau berjuang, aku ada di sini.”
Di tengah hujan, Alya terisak di bahunya. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan itu memberi sedikit hangat di antara dingin yang menusuk.
Namun jauh di dalam hatinya, ketakutan belum sepenuhnya hilang. Ia tahu, masalah uang tak selesai hanya dengan memblokir nomor. Ujian berikutnya akan datang, entah kapan, entah seberapa besar.
Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, Alya memilih berpaling dari jurang.
Mereka berjalan bersama menyusuri jalan yang basah. Aditya menuntun langkahnya, seolah mengatakan tanpa kata: “Aku tahu kamu rapuh. Tapi aku takkan biarkan kamu jatuh sendirian.”
Alya menatap lampu kota yang berkilau di kejauhan, bercampur dengan air hujan di matanya. Dalam hati, ia berbisik:
“Mungkin aku masih bisa diselamatkan. Mungkin cinta masih bisa jadi alasan untuk bertahan.”
Pagi buta, kota masih setengah tidur ketika Alya terjaga dari mimpinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tersengal. Dalam mimpi, ia melihat wajah Aditya yang perlahan menjauh darinya, kabur tertelan gelap, sementara suara Rendra bergema:“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”Alya duduk tegak di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap langit-langit, lalu menunduk menatap tangannya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban rahasia itu.Hari itu ia pergi kuliah dengan kepala penuh bayangan. Di kelas, ia hanya menatap papan tulis tanpa benar-benar mendengar penjelasan dosen. Teman-teman bertanya kabar, ia hanya menjawab singkat.Aditya yang duduk di sampingnya sesekali melirik, gelisah melihat tatapan kosong Alya.Saat jam istirahat, Aditya menahan tangannya. “Alya, kamu sakit? Mukamu pucat banget.”Alya menarik tangannya cepat, senyum hambar. “Nggak, aku baik-baik aja.”Tapi hatinya menjerit. Sampai kapan aku bisa berpura-pura?Sepu
Hujan turun deras malam itu. Rintiknya menghantam atap seng kos-kosan Alya, menimbulkan suara gemuruh yang menambah kekalutan hatinya. Ia duduk di meja belajar, buku-buku terbuka namun pandangannya kosong. Pena di tangannya tak bergerak, seolah ide-ide yang dulu selalu mengalir kini mati terendam ketakutan.Rendra. Namanya saja sudah membuat tubuh Alya menggigil. Kata-kata pria itu terus menghantui:“Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar.”Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalau dia benar-benar menyebarkan semuanya, apa yang akan terjadi? Ia membayangkan Aditya membaca pesan atau foto masa lalunya. Membayangkan dosen, teman kampus, bahkan ibunya di desa tahu t
Pagi itu, Alya duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sembab, rambutnya masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia memandangi dirinya sendiri lama, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar:“Aku harus berubah. Aku nggak boleh jatuh lagi.”Tangannya gemetar, tapi dalam matanya ada secercah tekad yang baru.Di luar, Aditya menunggu dengan motor tuanya. Mesin berderak kasar, seakan ikut menanggung beban pemiliknya. Saat Alya naik, Aditya menoleh sebentar. “Kita mulai dari mana?”Alya menarik napas panjang. “Apa aja, Dit. Asal halal. Aku nggak peduli sesulit apa pun.”Mereka berdua me
Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk atap seng kos Alya seperti ribuan jemari yang tak sabar. Alya duduk di tepi ranjang, ponsel di tangannya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, tapi ia tahu persis siapa pengirimnya.“Kalau butuh uang cepat, kau tahu harus cari siapa.”Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya porak-poranda. Jemarinya gemetar, hampir saja ia melempar ponsel ke dinding.“Kenapa dia nggak berhenti mengikutiku?” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa takut dan putus asa.Siang harinya, ia menerima telepon dari kampung. Suara adiknya terdengar panik.“Kak… Ibu kambuh lagi. Kalau bisa, cepat kirim uang, ya. Obatnya habis.”Alya terdiam, suaranya tercekat. “Iya… kakak usahakan.”Setelah telepon ditutup, Alya terduduk lemas. Dompetnya kosong. Uang beasiswa bulan ini sudah habis untuk kos, makan, dan transportasi. Ia benar-benar tak punya pegangan.Di kampus, Aditya memperhatikan Alya yang murung. Matanya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seperti jam pasir yang butirannya enggan jatuh.Alya duduk di kamar kosnya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Aditya:“Aku pulang duluan. Jaga dirimu.”Kalimat sederhana, tapi baginya terdengar dingin, seperti ada tembok yang tak terlihat. Dulu, setiap pesan dari Aditya penuh emotikon lucu, penuh canda, penuh hangat. Sekarang, hanya kata-kata datar yang membuat dadanya sesak.Aditya pun bukan tanpa luka. Ia berjalan di kampus dengan wajah lelah. Teman-temannya mengajak bercanda, tapi senyumnya hambar. Malam-malamnya sering terbangun, bayangan Alya di kamar hotel itu masih menghantui pikirannya.Ia mencintai Alya, sungguh. Tapi bayangan bahwa orang yang ia peluk dengan penuh cinta pernah disentuh dengan cara yang tak seharusnya—itu menusuknya seperti duri yang tak bisa dicabut.Suatu sore, mereka duduk di bangku taman kampus. Langit oranye, daun-daun berguguran tertiup angin. Alya menggenggam tangannya pelan, tapi Adit
Pagi itu, kampus ramai oleh mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas. Alya berjalan pelan, pundaknya terasa berat, seolah ada batu besar yang menekan dari dalam dadanya. Matanya sayu, wajahnya pucat.Aditya menyapanya di depan gedung. “Kamu sakit? Dari kemarin aku lihat kamu nggak enak badan.”Alya tersenyum tipis. “Nggak, aku cuma kurang tidur.”Padahal sebenarnya, ia tidak tidur semalam. Ponselnya terus bergetar, pesan-pesan dari manajer itu masuk satu per satu:“Jangan pura-pura lupa hutang budi.”“Kalau kamu nggak mau kerja lagi, aku bisa kasih tahu siapa kamu sebenarnya.”“Pacar kampusmu itu pasti bakal jijik kalau tahu.”Kata-kata itu menusuk seperti belati. Alya membaca, menangis, lalu mencoba menghapus, tapi rasa takut tetap tertinggal di dadanya.Di kelas, Aditya duduk di sampingnya. Sesekali ia menatap Alya, lalu menuliskan sesuatu di kertas kecil.“Kalau kamu ada masalah, aku janji aku siap dengerin.”Alya membaca pesan itu, lalu menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya h