MasukHari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seperti jam pasir yang butirannya enggan jatuh.
Alya duduk di kamar kosnya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Aditya:
“Aku pulang duluan. Jaga dirimu.”
Kalimat sederhana, tapi baginya terdengar dingin, seperti ada tembok yang tak terlihat. Dulu, setiap pesan dari Aditya penuh emotikon lucu, penuh canda, penuh hangat. Sekarang, hanya kata-kata datar yang membuat dadanya sesak.
Aditya pun bukan tanpa luka. Ia berjalan di kampus dengan wajah lelah. Teman-temannya mengajak bercanda, tapi senyumnya hambar. Malam-malamnya sering terbangun, bayangan Alya di kamar hotel itu masih menghantui pikirannya.
Ia mencintai Alya, sungguh. Tapi bayangan bahwa orang yang ia peluk dengan penuh cinta pernah disentuh dengan cara yang tak seharusnya—itu menusuknya seperti duri yang tak bisa dicabut.
Suatu sore, mereka duduk di bangku taman kampus. Langit oranye, daun-daun berguguran tertiup angin. Alya menggenggam tangannya pelan, tapi Aditya tampak ragu.
“Dit… kamu marah sama aku?” suara Alya lirih, nyaris tertelan angin.
Aditya menghela napas panjang. “Aku nggak marah sama kamu, Alya. Aku cuma… bingung. Luka ini kayak belum sembuh. Aku pengen percaya, pengen tetap bersamamu. Tapi aku juga manusia, Alya. Aku nggak bisa pura-pura nggak terluka.”
Alya menunduk, air mata jatuh ke pangkuannya. “Aku ngerti… semua ini salahku. Aku harusnya jujur dari awal. Aku takut kehilanganmu, jadi aku sembunyikan semuanya. Tapi akhirnya malah begini.”
Hening melingkupi mereka.
Aditya menatap langit, seakan mencari jawaban di balik awan. “Kamu tahu, Alya? Kadang aku bertanya… kenapa dunia ini begitu kejam sama kamu. Kamu nggak pantas dapat semua itu.”
Alya terisak. “Tapi aku tetap melakukannya, Dit. Aku tetap jual tubuhku. Walaupun alasannya bertahan hidup, itu tetap dosa. Aku kotor.”
Aditya menoleh cepat, menggenggam wajahnya. “Jangan pernah bilang kamu kotor. Kamu terluka, iya. Kamu terpaksa, iya. Tapi kamu masih Alya yang aku cintai. Luka itu nggak menghapus siapa kamu sebenarnya.”
Kata-kata itu membuat dada Alya hangat sekaligus perih. Ia ingin percaya, tapi rasa bersalah masih menjeratnya.
Beberapa hari kemudian, di kelas, Alya memperhatikan Aditya yang duduk agak jauh. Mereka jarang lagi duduk berdampingan. Seperti ada jarak yang tak mereka sengaja ciptakan.
Kadang, Alya menangkap tatapan kosong Aditya yang seolah jauh melayang. Ia tahu, saat itu Aditya sedang berperang dengan pikirannya sendiri.
Suatu malam, hujan turun deras. Alya menelpon Aditya, suaranya bergetar.
“Dit… aku takut kamu beneran ninggalin aku. Aku nggak sanggup lagi kalau harus sendirian.”
Di seberang, Aditya terdiam lama sebelum menjawab. “Aku nggak pergi, Alya. Aku masih di sini. Tapi aku butuh waktu. Kamu juga harus sabar. Kalau kita sama-sama berjuang, mungkin… luka ini bisa sembuh.”
Air mata Alya mengalir deras. “Aku akan berjuang, Dit. Aku akan buktiin kalau aku pantas dicintai lagi.”
Malam itu, Alya duduk di dekat jendela, menatap hujan yang membasahi kota. Di dalam hatinya, ada tekad baru yang perlahan tumbuh. Ia tak bisa menghapus masa lalunya, tapi ia bisa memilih bagaimana melangkah ke depan.
Namun ia juga sadar, perjuangan ini bukan hanya melawan dunia luar, tapi juga melawan hantu dalam dirinya, dan retakan halus di hati Aditya yang mungkin tak pernah bisa kembali utuh seperti dulu.
Dalam gelap, Alya berbisik pada dirinya sendiri:
“Kalau cinta ini benar, aku harus rela terluka, aku harus rela berjuang. Karena hanya dengan itu, aku bisa membuktikan bahwa aku layak dicintai—dan mencintai kembali.”
Kota itu tak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu neon berkelip, iklan besar menari di layar elektronik, dan jalanan masih riuh meski malam sudah larut. Alya melangkah cepat, menutup jaket lusuhnya rapat-rapat. Ia baru pulang dari kampus, pikirannya dipenuhi keresahan tentang Aditya.
Sejak malam pengakuan itu, mereka memang masih berhubungan, tapi ada jarak yang semakin terasa. Aditya selalu mencoba tersenyum, selalu bilang “aku nggak apa-apa,” tapi Alya tahu, hatinya tak lagi sama. Luka itu masih menganga.
Di tengah lamunannya, sebuah mobil hitam berhenti di tepi jalan. Kaca jendela turun, dan suara yang membuat darah Alya membeku terdengar.
“Alya…”
Suara itu berat, penuh keangkuhan yang ia kenal. Manajer lama itu. Pria yang dulu menjerumuskannya.
Alya menegang, tubuhnya ingin berlari, tapi kakinya terasa terpaku. “Kenapa kamu di sini?” suaranya serak.
Pria itu menyeringai. “Kamu pikir bisa lari dari dunia itu begitu saja? Dunia kita kecil, Alya. Gadis sepertimu selalu punya harga.”
Alya menggenggam tasnya erat, dadanya berdegup keras. “Aku udah selesai. Aku nggak akan kembali ke sana.”
Pria itu tertawa pelan, seperti mengejek. “Kamu pikir hidupmu sekarang cukup? Bayar kos, bayar kuliah, bantu orang tuamu di kampung… semua itu butuh uang, Alya. Pacarmu cuma mahasiswa miskin. Kamu pikir cinta bisa kasih makan?”
Kata-kata itu menusuk seperti belati. Alya teringat wajah ibunya di kampung, sakit-sakitan. Ia teringat uang kos yang menunggak, dan pengeluaran kecil yang tak pernah berhenti.
“Pergi,” bisik Alya, meski suaranya bergetar.
Pria itu mencondongkan tubuh, tatapannya tajam. “Aku bisa kasih kamu semua yang kamu butuh. Tinggal satu malam. Kamu tahu, sekali kamu kembali, uangnya cukup buat bayar semua utangmu. Kenapa harus susah-susah?”
Alya menutup mata, mencoba menahan gemetar. Bayangan malam kelam saat ia pertama kali menyerahkan dirinya muncul lagi, menghantam jiwanya. Ia hampir muntah hanya dengan mengingatnya.
Dengan sisa keberanian, ia berbalik dan berjalan cepat menjauh. “Aku bukan milikmu lagi. Jangan pernah dekati aku.”
Pria itu hanya terkekeh, membiarkannya pergi. Tapi sebelum mobilnya melaju, ia berseru lantang: “Ingat, Alya. Dunia nggak sebaik yang kamu kira. Kalau kamu butuh, aku selalu ada. Dan aku tahu kamu akan kembali.”
Malam itu, Alya sampai di kos dengan tubuh lunglai. Ia menjatuhkan diri di ranjang, menatap langit-langit dengan mata kosong. Air mata mulai mengalir.
“Kenapa dia harus muncul lagi? Kenapa hidup nggak bisa memberi aku sedikit saja ketenangan?”
Ponselnya bergetar. Pesan dari Aditya.
“Aku sibuk tugas. Nggak bisa ketemu malam ini. Besok kita bicara, ya.”
Pesan itu singkat, tapi bagi Alya terasa seperti sebuah jarak yang makin lebar.
Keesokan harinya, Aditya memperhatikan Alya yang tampak murung di kelas. Matanya sembab, tatapannya kosong. Ia mencoba bertanya, tapi Alya hanya menjawab dengan senyum tipis.
Di dalam hati Aditya, muncul rasa curiga yang tak ia kehendaki. “Apa dia… masih menyembunyikan sesuatu dariku?”
Pikirannya kacau. Ia ingin percaya, tapi bayangan masa lalu Alya terus menghantui. Ia takut, kalau kepercayaan itu hanya membuatnya kembali terluka.
Malam berikutnya, Alya duduk di meja belajar. Buku-buku terbuka, tapi pikirannya tak bisa fokus. Kata-kata pria itu masih terngiang: “Pacarmu cuma mahasiswa miskin. Kamu pikir cinta bisa kasih makan?”
Ia menatap ponselnya. Nomor pria itu masih tersimpan di sana, meski sudah lama tak disentuh. Jemarinya bergetar di atas layar, hampir menekan panggilan.
Tapi ia buru-buru menjauhkan ponsel, menutup wajah dengan kedua tangan. “Tidak… aku nggak boleh. Aku janji sama diriku. Aku janji sama Aditya.”
Air matanya jatuh lagi, membasahi buku catatan yang tak pernah ia baca malam itu.
Di sisi lain, Aditya yang duduk di kamarnya tak kalah gelisah. Ia menatap layar ponselnya, menimbang-nimbang apakah harus menghubungi Alya lagi. Namun gengsi dan rasa sakitnya menahan.
“Apa aku kuat menghadapi semua ini? Apa aku benar bisa mencintai dia sepenuhnya, tanpa dihantui masa lalunya?”
Pertanyaan itu berputar di kepalanya, tak ada jawaban.
Malam semakin larut. Alya berdiri di jendela kos, menatap lampu kota yang berkelip seperti bintang palsu. Di dadanya, pertempuran terus berkecamuk: antara tekad untuk bertahan, dan godaan untuk menyerah pada jalan lama.
Bayangan pria itu, bayangan uang, bayangan Aditya—semua bercampur, membuatnya nyaris gila.
Dalam keheningan itu, ia berbisik pada dirinya sendiri:
“Aku harus kuat. Aku nggak boleh jatuh lagi. Kalau aku jatuh, aku akan benar-benar kehilangan segalanya.”
Namun jauh di sudut hatinya, ia tahu: bayangan itu tidak akan berhenti mengejarnya.
Hening merayap seperti asap dingin di antara mereka. Nama itu—Pak Arman—dulu terdengar seperti perlindungan. Hari ini menjadi simbol kehancuran segalanya. Keyla mundur selangkah tanpa sadar, jantungnya berdegup kencang. Seolah otaknya menolak menerima kenyataan itu."Nik… bilang kalau ini mimpi," bisiknya lirih, nyaris patah.Tapi Niko tidak menjawab. Matanya terpaku pada sosok yang dulu sangat ia hormati. Rahangnya mengeras. "Kenapa...?" ucapnya pelan, mengandung kemarahan tak terukur dan pengkhianatan yang begitu dalam. “Kenapa kau melakukan ini kepada kami?!”Pak Arman tersenyum miring. Tatapannya hampa, dingin. “Hidup ini... kau akan sadar suatu hari, semuanya cuma pilihan. Ada yang rela hancur. Ada yang rela mengorbankan orang lain demi tetap bertahan.”
Suara pintu yang terhempas tadi masih terasa bergema di telinga Keyla, meskipun detik demi detik telah berlalu. Sosok yang berdiri di ambang pintu itu kini semakin jelas. Bayangan masa lalu yang mereka kira sudah padam ternyata kembali dengan nyala api yang jauh lebih besar — dan lebih gelap.Pria itu berjalan perlahan mendekat. Sepatunya menyentuh lantai kayu yang mengeluarkan decit kecil, seperti lantai itu pun ketakutan. Tatapannya lurus, menusuk, dan penuh rahasia yang selama ini tenggelam bersama tubuhnya."Kau seharusnya..." suara Niko terputus, tak sanggup meneruskan. Ia tidak bisa percaya matanya sendiri."Aku seharusnya mati, ya?" jawab pria itu sambil tersenyum dingin. "Begitu juga kalian, sebenarnya. Tapi sepertinya hidup memang suka bercanda.”Keyla meras
Hanya suara derit langkah dan napas yang saling bertabrakan di udara gelap itu. Lampu darurat belum menyala, hanya tatapan-tatapan yang terbiasa dengan kegelapan yang bisa bersiap mengukur bahaya.“Aditya…” Laras berbisik pelan namun tegas, memegang kuat tangannya. “Kita harus menemukan jalan keluar. Dia menguasai sistem gedung.”Napas Aditya terasa berat, emosinya berbaur dengan ketakutan. “Dia sudah lama merencanakan ini. Segalanya… dari sistem korporasi sampai sistem listrik darurat.”Di balik suara larut malam yang menelan seluruh gedung, suara Arwan terdengar lagi, bergema di dalam kegelapan: “Apa kalian mendengar suara pintu darurat yang terkunci? Itu bukan kebetulan. Dalam permainan ini… hanya yang siap membakar semua rasa takutnya yang bisa keluar hid
Langkah lirih Arwan terdengar jelas di lantai kayu ruang rapat itu. Wajahnya terbalut ketenangan yang merayap dan tak berperasaan. Sorot matanya tajam namun nyaris tanpa nyawa—seolah permainan hati dan pertumpahan rahasia ini bukan hanya baru dimulai, tapi telah direncanakannya jauh sebelum mereka semua lahir.Laras berdiri terpaku, matanya basah namun tak berkedip saat menatap sosok lelaki yang selama ini ia panggil "kakak". Di masa kecilnya, Arwan adalah sosok yang jarang bicara, tapi selalu ada dalam setiap momen penting—Kini, Laras tak yakin apakah sosok yang berdiri di hadapannya ini masih lelaki sama yang dulu menjaga jarak tapi diam-diam menjaganya.“Kak Arwan…” Laras memanggil suaranya tercekat. “Kenapa kau di sini… bersamanya?”Arwan tidak langsung menjawab.
Ruangan itu terasa kian sesak, meski tak seorang pun bergerak. Semuanya terperangkap antara masa kini dan potongan-potongan masa lalu yang mendadak menyeruak. Laras merasakan kedua lututnya mulai lemas. Ia bersandar pada kursi terdekat, berusaha meredakan ketegangan yang sudah menyesakkan dadanya sejak beberapa menit lalu.Pramana memutar tubuhnya sambil memandangi seluruh isi ruangan, senyum samar di wajahnya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut—tapi bukan ketulusan. “Sudah waktunya semua api ini membakar habis bisu yang kalian pelihara,” katanya, pelan namun penuh ancaman.“Bu Ratna...” Laras mendekati wanita paruh baya itu, memegangi lengannya yang masih gemetar. “Apa maksudmu dia pernah berjanji melindungi kami? Apa kau... apa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Dari kami?”
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan lampu kota berkedip. Di dalam sebuah gedung tinggi yang tampak mewah dari luar, suasana tegang menyelimuti ruang rapat lantai dua puluh. Aditya duduk di tengah meja panjang, dikelilingi para petinggi perusahaan yang sesekali menatapnya dengan sorot mata penuh kecurigaan.Pagi tadi, dunia hiburan kembali diguncang oleh sebuah kabar mengejutkan. Foto-foto yang memperlihatkan sosok Aditya dalam keadaan tak sadarkan diri di sebuah hotel beredar luas di internet. Tidak hanya itu, sebuah video pendek yang tampak buram menunjukkan sebuah siluet perempuan masuk ke dalam kamar yang sama dengannya. Tuduhan mulai bermunculan, mulai dari skandal perselingkuhan hingga manipulasi citra. Padahal Aditya tahu, itu bukan sekadar skandal biasa—itu adalah jebakan yang disusun dengan sangat rapi.Sementa







