แชร์

Mencari Cahaya

last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-15 16:00:03

Pagi itu, Alya duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sembab, rambutnya masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia memandangi dirinya sendiri lama, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar:

“Aku harus berubah. Aku nggak boleh jatuh lagi.”

Tangannya gemetar, tapi dalam matanya ada secercah tekad yang baru.


Di luar, Aditya menunggu dengan motor tuanya. Mesin berderak kasar, seakan ikut menanggung beban pemiliknya. Saat Alya naik, Aditya menoleh sebentar. “Kita mulai dari mana?”

Alya menarik napas panjang. “Apa aja, Dit. Asal halal. Aku nggak peduli sesulit apa pun.”

Mereka berdua melaju menembus lalu lintas kota yang padat. Bangunan tinggi menjulang, papan iklan gemerlap menertawakan nasib kecil mereka.


Hari itu mereka habiskan dengan berkeliling: menempelkan CV sederhana di minimarket, restoran cepat saji, toko buku, bahkan warung kopi. Beberapa menolak dengan sopan, beberapa hanya menggeleng tanpa melihat berkas.

Menjelang sore, Alya duduk lelah di bangku taman kota. Tangannya memegang map berisi sisa CV. “Sepertinya nggak ada yang mau terima aku.”

Aditya menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Belum waktunya aja. Kita coba lagi besok. Jangan nyerah.”

Alya menatapnya lama, hatinya menghangat. “Kenapa dia masih ada di sini? Kenapa dia nggak pergi, meski tahu semua masa laluku?”

Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan. Kali ini ia ingin kuat.


Beberapa hari kemudian, kabar kecil datang. Alya diterima sebagai kasir di sebuah minimarket kecil dekat kampus. Gajinya tak seberapa, tapi cukup untuk sedikit meringankan beban.

Saat menerima seragam sederhana berwarna biru, Alya menggenggamnya erat. Ada perasaan bangga, meski kecil. “Aku bisa… aku bisa kerja tanpa harus mengkhianati diriku lagi.”

Aditya yang menjemputnya sore itu tersenyum lebar. “Lihat? Aku bilang juga kan, kamu pasti bisa.”


Hari-hari Alya berubah. Ia bangun pagi, kuliah, lalu sore bekerja di minimarket. Malamnya ia belajar sambil menahan kantuk. Badannya sering pegal, tapi ada rasa lega. Setiap kali ia menghitung gaji kecil yang terkumpul, ia merasa seolah menemukan kembali serpihan harga dirinya yang hilang.

Namun tentu saja, kota tak pernah benar-benar memberi tenang. Pelanggan yang kasar, jam kerja panjang, dan gaji yang nyaris tak cukup terus menguji kesabarannya.

Kadang, di balik meja kasir, Alya melamun. “Kalau saja aku masih seperti dulu, mungkin aku nggak harus capek begini. Tapi itu berarti aku kehilangan Aditya. Kehilangan diriku.”

Dan lamunan itu selalu diakhiri dengan sebuah senyum kecil, pahit tapi tulus. “Lebih baik capek, daripada hancur lagi.”


Sementara itu, Aditya pun ikut berjuang. Ia mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai pengantar makanan dengan motor tuanya. Malam-malam ia berkeliling kota, menembus hujan dan debu demi tambahan uang.

Kadang, ia pulang dengan tubuh lelah, tapi saat melihat Alya sudah tertidur di meja belajar dengan buku terbuka, senyum kecil terbit di wajahnya. “Untuk dia, aku kuat.”


Suatu malam, mereka duduk bersama di warung sederhana, makan nasi goreng murah. Aditya menatap Alya yang tertawa kecil, meski matanya jelas lelah.

“Alya…” katanya pelan.

Alya menoleh. “Hm?”

“Kalau suatu hari kita bisa lepas dari semua ini, aku mau kamu tahu… aku nggak pernah menyesal bertemu kamu. Meskipun susah, aku lebih milih begini, asal sama kamu.”

Alya terdiam. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Ia meraih tangan Aditya di atas meja, menggenggamnya erat.

“Terima kasih, Dit. Aku… aku nggak tahu harus gimana kalau kamu nggak ada.”


Namun jauh di sudut hati, Alya tahu: perjuangan mereka masih panjang. Uang untuk ibunya di kampung masih belum terkumpul. Tagihan kos masih menunggu. Kota masih penuh dengan bayangan masa lalu yang bisa muncul kapan saja.

Tapi malam itu, di bawah lampu redup warung, Alya merasa sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: harapan yang nyata, meski kecil.

“Selama aku punya dia, mungkin aku bisa bertahan.”

Hari itu Alya berdiri di belakang meja kasir. Senyumnya lelah, tapi ia berusaha tetap ramah menyambut setiap pelanggan. Seragam birunya sudah sedikit kusam karena sering dicuci, namun baginya itu bukan sekadar kain—itu simbol bahwa ia bisa bekerja jujur, tanpa harus menodai dirinya lagi.

“Terima kasih, silakan datang kembali,” ucapnya pada seorang ibu yang baru selesai berbelanja.

Saat ia menunduk merapikan nota, bel kecil di pintu berbunyi lagi. Ia mengangkat wajah, dan seketika tubuhnya kaku.

Seorang pria masuk dengan langkah santai. Jas hitam melekat rapi di tubuhnya, aroma parfum mahal langsung memenuhi udara. Senyumnya tipis, matanya berkilat penuh ejekan.

“Lama tidak bertemu, Alya.”

Suara itu—ia mengenalnya. Rendra.


Darah Alya serasa surut ke tanah. Ingatan malam-malam pahit, ketika ia terpaksa menyerahkan dirinya demi uang, berkelebat di kepalanya. Ia mengatupkan bibir rapat, mencoba mengendalikan napas.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya datar, meski hatinya gemetar.

Rendra tertawa kecil, menaruh beberapa barang sembarangan di meja kasir: rokok, minuman energi, permen. “Kebetulan lewat. Nggak nyangka kamu kerja di tempat begini. Bukannya dulu kamu main di hotel mewah?”

Alya menunduk, tangannya gemetar saat memindai barang. Ia ingin segera menyelesaikan transaksi, seolah Rendra hanyalah pelanggan biasa. Tapi pria itu tidak berhenti.

“Aku heran, Alya. Kamu cantik, punya wajah yang bisa bikin siapa pun tergila-gila. Kenapa buang waktu jadi kasir? Kalau balik sama aku, kamu nggak perlu capek begini. Duit gampang, hidup nyaman. Tinggal pilih.”

Kata-kata itu menancap seperti pisau. Alya menggigit bibir, mencoba menahan air mata. “Tolong jangan ganggu aku lagi. Hidupku sekarang bukan urusanmu.”


Rendra tersenyum miring. Ia mencondongkan tubuh, mendekat hingga suaranya hanya terdengar oleh Alya.

“Kamu pikir kota ini bakal biarin kamu tenang? Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar. Kalau aku mau, aku bisa sebarin semuanya. Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya? Mau kampus tahu?”

Jantung Alya berdegup liar. Ketakutan yang ia pikir sudah terkubur muncul lagi. Tangan di balik meja kasir menggenggam erat kain seragamnya, seakan mencari pegangan.

Dengan suara nyaris bergetar, ia berkata: “Aku nggak akan balik. Aku lebih baik kerja keras begini daripada harus jual diriku lagi.”

Rendra menatapnya lama, lalu tersenyum dingin. Ia mengambil kantong belanja tanpa menunggu kembalian. “Kita lihat, Alya. Cepat atau lambat, kamu bakal nyari aku lagi.”

Lalu ia pergi, meninggalkan aroma parfum dan ancaman yang menggantung di udara.


Begitu pintu menutup, tubuh Alya goyah. Ia segera duduk, berusaha mengatur napas. Matanya panas, dadanya sesak.

Kenapa dia harus muncul lagi? Kenapa bayangan itu selalu mengejarku?

Saat jam kerjanya selesai, Aditya datang menjemput. Alya berusaha tersenyum, tapi sorot matanya kosong. Aditya langsung menyadarinya.

“Kamu kenapa? Ada yang ganggu di tempat kerja?” tanyanya cemas.

Alya menggeleng cepat. “Nggak, aku cuma capek.”

Namun suaranya bergetar, dan Aditya tahu ia berbohong. Tapi ia memilih diam. Ia tidak ingin memaksa.


Malam itu di kamar, Alya duduk di tepi ranjang. Lampu redup membuat bayangannya memanjang di dinding. Ia menatap tangannya yang gemetar. Kata-kata Rendra terus terngiang.

“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”

Alya menggigil. Ia memeluk lutut, lalu berbisik pada dirinya sendiri:

“Aku nggak boleh jatuh lagi. Aku harus kuat. Aku harus… kuat.”

Namun di hatinya ada rasa takut yang semakin menebal. Jika Rendra benar-benar menyebarkan masa lalunya, semua yang ia bangun dengan susah payah bisa runtuh seketika.


Beberapa hari berikutnya, bayangan ancaman itu semakin menghantui. Setiap kali pintu minimarket berbunyi, Alya selalu menoleh cepat, takut jika Rendra kembali. Saat Aditya mengajaknya makan malam, ia tersenyum hambar. Saat kuliah, pikirannya melayang.

Aditya akhirnya tak tahan. Suatu malam ia menatap Alya serius.

“Alya, aku tahu kamu sembunyiin sesuatu. Kalau kamu nggak cerita, aku nggak bisa bantu. Apa ada orang yang ganggu kamu?”

Alya terdiam. Air matanya menitik tanpa bisa ditahan. Ia ingin menceritakan segalanya, ingin berteriak bahwa masa lalunya terus mengejar. Tapi lidahnya kelu.

“Maaf, Dit… aku cuma… aku takut.”

Aditya menggenggam tangannya erat. “Kamu nggak sendirian. Apapun itu, kita hadapin sama-sama.”

Alya menatapnya, hatinya berkecamuk. Ia ingin percaya, tapi bayangan Rendra membuatnya ragu. Apakah Aditya benar-benar akan tetap di sisinya jika ia tahu semuanya?


Malam itu, Alya menulis di buku puisinya. Tulisannya bergetar, tinta sedikit tercoreng air mata.

“Kota, izinkan aku berlari dari cengkramanmu.

Aku ingin jadi cahaya, tapi kau terus merenggut bayanganku.

Jika cinta bisa menyelamatkan, biarlah aku percaya.

Jika tidak, biarlah aku hancur dengan tenang.”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Masih Terjaga Dalam Mimpinya

    Pagi buta, kota masih setengah tidur ketika Alya terjaga dari mimpinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tersengal. Dalam mimpi, ia melihat wajah Aditya yang perlahan menjauh darinya, kabur tertelan gelap, sementara suara Rendra bergema:“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”Alya duduk tegak di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap langit-langit, lalu menunduk menatap tangannya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban rahasia itu.Hari itu ia pergi kuliah dengan kepala penuh bayangan. Di kelas, ia hanya menatap papan tulis tanpa benar-benar mendengar penjelasan dosen. Teman-teman bertanya kabar, ia hanya menjawab singkat.Aditya yang duduk di sampingnya sesekali melirik, gelisah melihat tatapan kosong Alya.Saat jam istirahat, Aditya menahan tangannya. “Alya, kamu sakit? Mukamu pucat banget.”Alya menarik tangannya cepat, senyum hambar. “Nggak, aku baik-baik aja.”Tapi hatinya menjerit. Sampai kapan aku bisa berpura-pura?Sepu

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Rahasia Yang Terkurung

    Hujan turun deras malam itu. Rintiknya menghantam atap seng kos-kosan Alya, menimbulkan suara gemuruh yang menambah kekalutan hatinya. Ia duduk di meja belajar, buku-buku terbuka namun pandangannya kosong. Pena di tangannya tak bergerak, seolah ide-ide yang dulu selalu mengalir kini mati terendam ketakutan.Rendra. Namanya saja sudah membuat tubuh Alya menggigil. Kata-kata pria itu terus menghantui:“Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar.”Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalau dia benar-benar menyebarkan semuanya, apa yang akan terjadi? Ia membayangkan Aditya membaca pesan atau foto masa lalunya. Membayangkan dosen, teman kampus, bahkan ibunya di desa tahu t

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Mencari Cahaya

    Pagi itu, Alya duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sembab, rambutnya masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia memandangi dirinya sendiri lama, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar:“Aku harus berubah. Aku nggak boleh jatuh lagi.”Tangannya gemetar, tapi dalam matanya ada secercah tekad yang baru.Di luar, Aditya menunggu dengan motor tuanya. Mesin berderak kasar, seakan ikut menanggung beban pemiliknya. Saat Alya naik, Aditya menoleh sebentar. “Kita mulai dari mana?”Alya menarik napas panjang. “Apa aja, Dit. Asal halal. Aku nggak peduli sesulit apa pun.”Mereka berdua me

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Jalam Buntu

    Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk atap seng kos Alya seperti ribuan jemari yang tak sabar. Alya duduk di tepi ranjang, ponsel di tangannya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, tapi ia tahu persis siapa pengirimnya.“Kalau butuh uang cepat, kau tahu harus cari siapa.”Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya porak-poranda. Jemarinya gemetar, hampir saja ia melempar ponsel ke dinding.“Kenapa dia nggak berhenti mengikutiku?” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa takut dan putus asa.Siang harinya, ia menerima telepon dari kampung. Suara adiknya terdengar panik.“Kak… Ibu kambuh lagi. Kalau bisa, cepat kirim uang, ya. Obatnya habis.”Alya terdiam, suaranya tercekat. “Iya… kakak usahakan.”Setelah telepon ditutup, Alya terduduk lemas. Dompetnya kosong. Uang beasiswa bulan ini sudah habis untuk kos, makan, dan transportasi. Ia benar-benar tak punya pegangan.Di kampus, Aditya memperhatikan Alya yang murung. Matanya

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Retakan Di Antara Kita

    Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seperti jam pasir yang butirannya enggan jatuh.Alya duduk di kamar kosnya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Aditya:“Aku pulang duluan. Jaga dirimu.”Kalimat sederhana, tapi baginya terdengar dingin, seperti ada tembok yang tak terlihat. Dulu, setiap pesan dari Aditya penuh emotikon lucu, penuh canda, penuh hangat. Sekarang, hanya kata-kata datar yang membuat dadanya sesak.Aditya pun bukan tanpa luka. Ia berjalan di kampus dengan wajah lelah. Teman-temannya mengajak bercanda, tapi senyumnya hambar. Malam-malamnya sering terbangun, bayangan Alya di kamar hotel itu masih menghantui pikirannya.Ia mencintai Alya, sungguh. Tapi bayangan bahwa orang yang ia peluk dengan penuh cinta pernah disentuh dengan cara yang tak seharusnya—itu menusuknya seperti duri yang tak bisa dicabut.Suatu sore, mereka duduk di bangku taman kampus. Langit oranye, daun-daun berguguran tertiup angin. Alya menggenggam tangannya pelan, tapi Adit

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Ancaman di Balik Cahaya

    Pagi itu, kampus ramai oleh mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas. Alya berjalan pelan, pundaknya terasa berat, seolah ada batu besar yang menekan dari dalam dadanya. Matanya sayu, wajahnya pucat.Aditya menyapanya di depan gedung. “Kamu sakit? Dari kemarin aku lihat kamu nggak enak badan.”Alya tersenyum tipis. “Nggak, aku cuma kurang tidur.”Padahal sebenarnya, ia tidak tidur semalam. Ponselnya terus bergetar, pesan-pesan dari manajer itu masuk satu per satu:“Jangan pura-pura lupa hutang budi.”“Kalau kamu nggak mau kerja lagi, aku bisa kasih tahu siapa kamu sebenarnya.”“Pacar kampusmu itu pasti bakal jijik kalau tahu.”Kata-kata itu menusuk seperti belati. Alya membaca, menangis, lalu mencoba menghapus, tapi rasa takut tetap tertinggal di dadanya.Di kelas, Aditya duduk di sampingnya. Sesekali ia menatap Alya, lalu menuliskan sesuatu di kertas kecil.“Kalau kamu ada masalah, aku janji aku siap dengerin.”Alya membaca pesan itu, lalu menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya h

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status