MasukPagi itu, Alya duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sembab, rambutnya masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia memandangi dirinya sendiri lama, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar:
“Aku harus berubah. Aku nggak boleh jatuh lagi.”
Tangannya gemetar, tapi dalam matanya ada secercah tekad yang baru.
Di luar, Aditya menunggu dengan motor tuanya. Mesin berderak kasar, seakan ikut menanggung beban pemiliknya. Saat Alya naik, Aditya menoleh sebentar. “Kita mulai dari mana?”
Alya menarik napas panjang. “Apa aja, Dit. Asal halal. Aku nggak peduli sesulit apa pun.”
Mereka berdua melaju menembus lalu lintas kota yang padat. Bangunan tinggi menjulang, papan iklan gemerlap menertawakan nasib kecil mereka.
Hari itu mereka habiskan dengan berkeliling: menempelkan CV sederhana di minimarket, restoran cepat saji, toko buku, bahkan warung kopi. Beberapa menolak dengan sopan, beberapa hanya menggeleng tanpa melihat berkas.
Menjelang sore, Alya duduk lelah di bangku taman kota. Tangannya memegang map berisi sisa CV. “Sepertinya nggak ada yang mau terima aku.”
Aditya menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Belum waktunya aja. Kita coba lagi besok. Jangan nyerah.”
Alya menatapnya lama, hatinya menghangat. “Kenapa dia masih ada di sini? Kenapa dia nggak pergi, meski tahu semua masa laluku?”
Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan. Kali ini ia ingin kuat.
Beberapa hari kemudian, kabar kecil datang. Alya diterima sebagai kasir di sebuah minimarket kecil dekat kampus. Gajinya tak seberapa, tapi cukup untuk sedikit meringankan beban.
Saat menerima seragam sederhana berwarna biru, Alya menggenggamnya erat. Ada perasaan bangga, meski kecil. “Aku bisa… aku bisa kerja tanpa harus mengkhianati diriku lagi.”
Aditya yang menjemputnya sore itu tersenyum lebar. “Lihat? Aku bilang juga kan, kamu pasti bisa.”
Hari-hari Alya berubah. Ia bangun pagi, kuliah, lalu sore bekerja di minimarket. Malamnya ia belajar sambil menahan kantuk. Badannya sering pegal, tapi ada rasa lega. Setiap kali ia menghitung gaji kecil yang terkumpul, ia merasa seolah menemukan kembali serpihan harga dirinya yang hilang.
Namun tentu saja, kota tak pernah benar-benar memberi tenang. Pelanggan yang kasar, jam kerja panjang, dan gaji yang nyaris tak cukup terus menguji kesabarannya.
Kadang, di balik meja kasir, Alya melamun. “Kalau saja aku masih seperti dulu, mungkin aku nggak harus capek begini. Tapi itu berarti aku kehilangan Aditya. Kehilangan diriku.”
Dan lamunan itu selalu diakhiri dengan sebuah senyum kecil, pahit tapi tulus. “Lebih baik capek, daripada hancur lagi.”
Sementara itu, Aditya pun ikut berjuang. Ia mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai pengantar makanan dengan motor tuanya. Malam-malam ia berkeliling kota, menembus hujan dan debu demi tambahan uang.
Kadang, ia pulang dengan tubuh lelah, tapi saat melihat Alya sudah tertidur di meja belajar dengan buku terbuka, senyum kecil terbit di wajahnya. “Untuk dia, aku kuat.”
Suatu malam, mereka duduk bersama di warung sederhana, makan nasi goreng murah. Aditya menatap Alya yang tertawa kecil, meski matanya jelas lelah.
“Alya…” katanya pelan.
Alya menoleh. “Hm?”
“Kalau suatu hari kita bisa lepas dari semua ini, aku mau kamu tahu… aku nggak pernah menyesal bertemu kamu. Meskipun susah, aku lebih milih begini, asal sama kamu.”
Alya terdiam. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Ia meraih tangan Aditya di atas meja, menggenggamnya erat.
“Terima kasih, Dit. Aku… aku nggak tahu harus gimana kalau kamu nggak ada.”
Namun jauh di sudut hati, Alya tahu: perjuangan mereka masih panjang. Uang untuk ibunya di kampung masih belum terkumpul. Tagihan kos masih menunggu. Kota masih penuh dengan bayangan masa lalu yang bisa muncul kapan saja.
Tapi malam itu, di bawah lampu redup warung, Alya merasa sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: harapan yang nyata, meski kecil.
“Selama aku punya dia, mungkin aku bisa bertahan.”
Hari itu Alya berdiri di belakang meja kasir. Senyumnya lelah, tapi ia berusaha tetap ramah menyambut setiap pelanggan. Seragam birunya sudah sedikit kusam karena sering dicuci, namun baginya itu bukan sekadar kain—itu simbol bahwa ia bisa bekerja jujur, tanpa harus menodai dirinya lagi.
“Terima kasih, silakan datang kembali,” ucapnya pada seorang ibu yang baru selesai berbelanja.
Saat ia menunduk merapikan nota, bel kecil di pintu berbunyi lagi. Ia mengangkat wajah, dan seketika tubuhnya kaku.
Seorang pria masuk dengan langkah santai. Jas hitam melekat rapi di tubuhnya, aroma parfum mahal langsung memenuhi udara. Senyumnya tipis, matanya berkilat penuh ejekan.
“Lama tidak bertemu, Alya.”
Suara itu—ia mengenalnya. Rendra.
Darah Alya serasa surut ke tanah. Ingatan malam-malam pahit, ketika ia terpaksa menyerahkan dirinya demi uang, berkelebat di kepalanya. Ia mengatupkan bibir rapat, mencoba mengendalikan napas.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya datar, meski hatinya gemetar.
Rendra tertawa kecil, menaruh beberapa barang sembarangan di meja kasir: rokok, minuman energi, permen. “Kebetulan lewat. Nggak nyangka kamu kerja di tempat begini. Bukannya dulu kamu main di hotel mewah?”
Alya menunduk, tangannya gemetar saat memindai barang. Ia ingin segera menyelesaikan transaksi, seolah Rendra hanyalah pelanggan biasa. Tapi pria itu tidak berhenti.
“Aku heran, Alya. Kamu cantik, punya wajah yang bisa bikin siapa pun tergila-gila. Kenapa buang waktu jadi kasir? Kalau balik sama aku, kamu nggak perlu capek begini. Duit gampang, hidup nyaman. Tinggal pilih.”
Kata-kata itu menancap seperti pisau. Alya menggigit bibir, mencoba menahan air mata. “Tolong jangan ganggu aku lagi. Hidupku sekarang bukan urusanmu.”
Rendra tersenyum miring. Ia mencondongkan tubuh, mendekat hingga suaranya hanya terdengar oleh Alya.
“Kamu pikir kota ini bakal biarin kamu tenang? Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar. Kalau aku mau, aku bisa sebarin semuanya. Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya? Mau kampus tahu?”
Jantung Alya berdegup liar. Ketakutan yang ia pikir sudah terkubur muncul lagi. Tangan di balik meja kasir menggenggam erat kain seragamnya, seakan mencari pegangan.
Dengan suara nyaris bergetar, ia berkata: “Aku nggak akan balik. Aku lebih baik kerja keras begini daripada harus jual diriku lagi.”
Rendra menatapnya lama, lalu tersenyum dingin. Ia mengambil kantong belanja tanpa menunggu kembalian. “Kita lihat, Alya. Cepat atau lambat, kamu bakal nyari aku lagi.”
Lalu ia pergi, meninggalkan aroma parfum dan ancaman yang menggantung di udara.
Begitu pintu menutup, tubuh Alya goyah. Ia segera duduk, berusaha mengatur napas. Matanya panas, dadanya sesak.
Kenapa dia harus muncul lagi? Kenapa bayangan itu selalu mengejarku?
Saat jam kerjanya selesai, Aditya datang menjemput. Alya berusaha tersenyum, tapi sorot matanya kosong. Aditya langsung menyadarinya.
“Kamu kenapa? Ada yang ganggu di tempat kerja?” tanyanya cemas.
Alya menggeleng cepat. “Nggak, aku cuma capek.”
Namun suaranya bergetar, dan Aditya tahu ia berbohong. Tapi ia memilih diam. Ia tidak ingin memaksa.
Malam itu di kamar, Alya duduk di tepi ranjang. Lampu redup membuat bayangannya memanjang di dinding. Ia menatap tangannya yang gemetar. Kata-kata Rendra terus terngiang.
“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”
Alya menggigil. Ia memeluk lutut, lalu berbisik pada dirinya sendiri:
“Aku nggak boleh jatuh lagi. Aku harus kuat. Aku harus… kuat.”
Namun di hatinya ada rasa takut yang semakin menebal. Jika Rendra benar-benar menyebarkan masa lalunya, semua yang ia bangun dengan susah payah bisa runtuh seketika.
Beberapa hari berikutnya, bayangan ancaman itu semakin menghantui. Setiap kali pintu minimarket berbunyi, Alya selalu menoleh cepat, takut jika Rendra kembali. Saat Aditya mengajaknya makan malam, ia tersenyum hambar. Saat kuliah, pikirannya melayang.
Aditya akhirnya tak tahan. Suatu malam ia menatap Alya serius.
“Alya, aku tahu kamu sembunyiin sesuatu. Kalau kamu nggak cerita, aku nggak bisa bantu. Apa ada orang yang ganggu kamu?”
Alya terdiam. Air matanya menitik tanpa bisa ditahan. Ia ingin menceritakan segalanya, ingin berteriak bahwa masa lalunya terus mengejar. Tapi lidahnya kelu.
“Maaf, Dit… aku cuma… aku takut.”
Aditya menggenggam tangannya erat. “Kamu nggak sendirian. Apapun itu, kita hadapin sama-sama.”
Alya menatapnya, hatinya berkecamuk. Ia ingin percaya, tapi bayangan Rendra membuatnya ragu. Apakah Aditya benar-benar akan tetap di sisinya jika ia tahu semuanya?
Malam itu, Alya menulis di buku puisinya. Tulisannya bergetar, tinta sedikit tercoreng air mata.
“Kota, izinkan aku berlari dari cengkramanmu.
Aku ingin jadi cahaya, tapi kau terus merenggut bayanganku.
Jika cinta bisa menyelamatkan, biarlah aku percaya.
Jika tidak, biarlah aku hancur dengan tenang.”
Hening merayap seperti asap dingin di antara mereka. Nama itu—Pak Arman—dulu terdengar seperti perlindungan. Hari ini menjadi simbol kehancuran segalanya. Keyla mundur selangkah tanpa sadar, jantungnya berdegup kencang. Seolah otaknya menolak menerima kenyataan itu."Nik… bilang kalau ini mimpi," bisiknya lirih, nyaris patah.Tapi Niko tidak menjawab. Matanya terpaku pada sosok yang dulu sangat ia hormati. Rahangnya mengeras. "Kenapa...?" ucapnya pelan, mengandung kemarahan tak terukur dan pengkhianatan yang begitu dalam. “Kenapa kau melakukan ini kepada kami?!”Pak Arman tersenyum miring. Tatapannya hampa, dingin. “Hidup ini... kau akan sadar suatu hari, semuanya cuma pilihan. Ada yang rela hancur. Ada yang rela mengorbankan orang lain demi tetap bertahan.”
Suara pintu yang terhempas tadi masih terasa bergema di telinga Keyla, meskipun detik demi detik telah berlalu. Sosok yang berdiri di ambang pintu itu kini semakin jelas. Bayangan masa lalu yang mereka kira sudah padam ternyata kembali dengan nyala api yang jauh lebih besar — dan lebih gelap.Pria itu berjalan perlahan mendekat. Sepatunya menyentuh lantai kayu yang mengeluarkan decit kecil, seperti lantai itu pun ketakutan. Tatapannya lurus, menusuk, dan penuh rahasia yang selama ini tenggelam bersama tubuhnya."Kau seharusnya..." suara Niko terputus, tak sanggup meneruskan. Ia tidak bisa percaya matanya sendiri."Aku seharusnya mati, ya?" jawab pria itu sambil tersenyum dingin. "Begitu juga kalian, sebenarnya. Tapi sepertinya hidup memang suka bercanda.”Keyla meras
Hanya suara derit langkah dan napas yang saling bertabrakan di udara gelap itu. Lampu darurat belum menyala, hanya tatapan-tatapan yang terbiasa dengan kegelapan yang bisa bersiap mengukur bahaya.“Aditya…” Laras berbisik pelan namun tegas, memegang kuat tangannya. “Kita harus menemukan jalan keluar. Dia menguasai sistem gedung.”Napas Aditya terasa berat, emosinya berbaur dengan ketakutan. “Dia sudah lama merencanakan ini. Segalanya… dari sistem korporasi sampai sistem listrik darurat.”Di balik suara larut malam yang menelan seluruh gedung, suara Arwan terdengar lagi, bergema di dalam kegelapan: “Apa kalian mendengar suara pintu darurat yang terkunci? Itu bukan kebetulan. Dalam permainan ini… hanya yang siap membakar semua rasa takutnya yang bisa keluar hid
Langkah lirih Arwan terdengar jelas di lantai kayu ruang rapat itu. Wajahnya terbalut ketenangan yang merayap dan tak berperasaan. Sorot matanya tajam namun nyaris tanpa nyawa—seolah permainan hati dan pertumpahan rahasia ini bukan hanya baru dimulai, tapi telah direncanakannya jauh sebelum mereka semua lahir.Laras berdiri terpaku, matanya basah namun tak berkedip saat menatap sosok lelaki yang selama ini ia panggil "kakak". Di masa kecilnya, Arwan adalah sosok yang jarang bicara, tapi selalu ada dalam setiap momen penting—Kini, Laras tak yakin apakah sosok yang berdiri di hadapannya ini masih lelaki sama yang dulu menjaga jarak tapi diam-diam menjaganya.“Kak Arwan…” Laras memanggil suaranya tercekat. “Kenapa kau di sini… bersamanya?”Arwan tidak langsung menjawab.
Ruangan itu terasa kian sesak, meski tak seorang pun bergerak. Semuanya terperangkap antara masa kini dan potongan-potongan masa lalu yang mendadak menyeruak. Laras merasakan kedua lututnya mulai lemas. Ia bersandar pada kursi terdekat, berusaha meredakan ketegangan yang sudah menyesakkan dadanya sejak beberapa menit lalu.Pramana memutar tubuhnya sambil memandangi seluruh isi ruangan, senyum samar di wajahnya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut—tapi bukan ketulusan. “Sudah waktunya semua api ini membakar habis bisu yang kalian pelihara,” katanya, pelan namun penuh ancaman.“Bu Ratna...” Laras mendekati wanita paruh baya itu, memegangi lengannya yang masih gemetar. “Apa maksudmu dia pernah berjanji melindungi kami? Apa kau... apa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Dari kami?”
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan lampu kota berkedip. Di dalam sebuah gedung tinggi yang tampak mewah dari luar, suasana tegang menyelimuti ruang rapat lantai dua puluh. Aditya duduk di tengah meja panjang, dikelilingi para petinggi perusahaan yang sesekali menatapnya dengan sorot mata penuh kecurigaan.Pagi tadi, dunia hiburan kembali diguncang oleh sebuah kabar mengejutkan. Foto-foto yang memperlihatkan sosok Aditya dalam keadaan tak sadarkan diri di sebuah hotel beredar luas di internet. Tidak hanya itu, sebuah video pendek yang tampak buram menunjukkan sebuah siluet perempuan masuk ke dalam kamar yang sama dengannya. Tuduhan mulai bermunculan, mulai dari skandal perselingkuhan hingga manipulasi citra. Padahal Aditya tahu, itu bukan sekadar skandal biasa—itu adalah jebakan yang disusun dengan sangat rapi.Sementa







