LOGINAlya melangkah keluar dari kelas. Rambutnya tertiup angin, matanya menatap jauh ke arah matahari yang mulai tenggelam. Senja selalu mengingatkannya pada kampung halaman, pada sawah yang berubah keemasan, pada tawa ibunya yang sederhana. Tapi di kota ini, senja terasa seperti peringatan—hari akan berganti malam, dan malam selalu membawa bayangan yang ingin ia lupakan.
“Alya.”
Suara itu membuat langkahnya berhenti. Aditya berdiri beberapa meter darinya, dengan senyum yang selalu tampak menenangkan. Ia melambai kecil, lalu berjalan mendekat.
“Kamu sibuk nggak? Aku pengin ajak kamu makan. Aku tahu kamu jarang makan teratur.”
Alya terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Kamu tahu banyak sekali tentang aku, ya.”
Aditya terkekeh. “Aku perhatiin aja. Soalnya kamu sering keliatan… rapuh.”
Kata “rapuh” membuat hati Alya bergetar. Seolah ia telanjang di hadapan Aditya, seolah lelaki itu bisa melihat lapisan-lapisan luka yang berusaha ia tutupi dengan senyum tipis.
Mereka pun berjalan bersama menuju sebuah warung kecil di dekat kampus. Sederhana, tapi hangat. Aditya dengan sabar menunggu Alya memilih menu, bahkan menambahkan lauk ekstra meski Alya menolak dengan alasan “hemat”.
“Aku yang traktir,” kata Aditya mantap. “Jangan nolak. Anggap aja aku lagi nyenengin temen sendiri.”
Teman. Kata itu menenangkan sekaligus menyakitkan. Alya ingin Aditya lebih dari sekadar teman, tapi hatinya segera mengingatkan: Aku tidak pantas.
Malam itu, setelah kembali ke kos, Alya membuka pintu kamarnya dengan lelah. Meja belajar penuh dengan buku catatan, tapi yang paling menyita pandangannya adalah selembar kertas kecil dari pemilik kos:
“Bayar kos paling lambat tiga hari lagi. Kalau tidak, silakan cari tempat lain.”
Tangan Alya bergetar. Ia menatap amplop di laci—hanya ada beberapa lembar uang tersisa. Tidak cukup untuk kos, apalagi mengirim untuk ibu.
Air matanya jatuh. Ia duduk di lantai, menutup wajah dengan kedua tangan.
“Tuhan… sampai kapan aku harus begini? Aku ingin hidup jujur, tapi kenyataan menolakku.”
Tatapannya lalu jatuh pada kartu nama yang pernah diberikan Siska. Kartu itu masih ada, seolah menunggu saat Alya benar-benar menyerah.
Keesokan harinya, Aditya kembali mendekatinya di perpustakaan. Ia membawa sebotol air mineral dan beberapa camilan.
“Kamu kelihatan pucat. Kamu kurang tidur lagi?”
Alya mencoba tersenyum. “Aku baik-baik aja, kok.”
Aditya menghela napas. “Alya, kamu tahu nggak? Kamu nggak harus selalu pura-pura kuat. Kalau ada masalah, kamu bisa cerita. Aku siap dengerin.”
Hati Alya hampir runtuh. Ia ingin menumpahkan segalanya, tentang malam kelam itu, tentang uang kos, tentang ibunya yang sakit. Tapi bayangan wajah Aditya yang penuh rasa hormat membuatnya menahan diri.
“Terima kasih, Dit,” katanya lirih. “Tapi… biarkan aku belajar menghadapi semuanya sendiri.”
Aditya menatapnya lama, seolah ingin menembus dinding yang Alya bangun di sekeliling dirinya. Namun ia tidak memaksa. Ia hanya berkata pelan: “Kalau suatu hari kamu butuh sandaran… aku ada di sini.”
Kata-kata itu menusuk hati Alya. Ia ingin percaya. Ia ingin percaya cinta bisa menyelamatkan. Tapi apakah cinta cukup untuk menebus dosa?
Malam berikutnya, kos semakin sepi. Siska belum juga pulang. Alya duduk di meja dengan wajah letih. Di tangannya, kartu nama itu lagi.
Bayangan ibunya yang sedang sakit berkelebat di pikiran. Suara pemilik kos menggema. Tiga hari lagi.
Alya menulis di buku puisinya:
“Aku ingin tetap putih,
tapi kota ini menodai dengan paksa.
Aku ingin tetap suci,
tapi lapar dan tagihan terus mengetuk pintu.
Cinta mengetuk,
tapi apakah cinta sanggup memberi makan?”
Air matanya jatuh menodai kertas. Ia menutup buku itu keras-keras.
Lalu, dengan tangan gemetar, ia mengambil ponsel. Matanya menatap nomor yang tertera di kartu nama.
Jantungnya berdegup kencang.
“Apa aku harus melakukannya lagi… demi bertahan?”
Jarinya hampir menyentuh tombol panggil.
Namun tiba-tiba ponselnya bergetar—pesan masuk dari Aditya.
“Besok sore, ada pameran seni di galeri kota. Aku pengin kamu ikut. Aku janji itu bakal bikin hati kamu sedikit lega.”
Alya membeku. Pesan itu seperti cahaya kecil yang menembus kegelapan. Ia terisak, menutup mulut agar tidak terdengar oleh tetangga kamar.
“Kalau aku jatuh lagi ke dalam gelap, bagaimana aku bisa menatap matanya besok?”
Di persimpangan itu, Alya merasakan dirinya benar-benar terbakar. Antara cinta yang mengetuk, dan bayangan gelap yang terus menarik.
Pameran seni itu begitu indah. Ruang putih penuh lukisan dan instalasi cahaya, seakan dunia berbeda dari keseharian yang penuh tagihan dan ancaman. Aditya berjalan di samping Alya, wajahnya tenang, matanya sesekali menatapnya penuh perhatian.
“Lihat ini,” kata Aditya, menunjuk sebuah lukisan abstrak: warna merah yang bertabrakan dengan hitam. “Katanya, ini menggambarkan perjuangan manusia melawan sisi kelamnya sendiri.”
Alya menatap lama. Hatinya seperti tersayat. Ia merasa lukisan itu sedang berbicara langsung kepadanya.
“Cantik, tapi juga menakutkan,” bisiknya.
Aditya tersenyum tipis. “Kayak hidup, ya?”
Alya hampir menangis. Ia ingin bercerita—tentang malam yang merenggut kesuciannya, tentang kartu nama di mejanya, tentang ibunya yang menunggu kiriman uang. Tapi lidahnya kelu. Ia hanya menatap lukisan itu, seakan di sana ia melihat cermin jiwanya.
Sore itu berakhir dengan tawa kecil dan janji sederhana. Tapi begitu kembali ke kos, realita menunggu dengan wajah bengis.
Surat tagihan kos kini tergeletak di meja, semakin menekan batin. Ibunya kembali menelepon, suaranya semakin lemah.
“Nak… obat ibu benar-benar habis. Kalau bisa, segera kirim uang, ya. Ibu tahu kamu juga susah, tapi…”
Alya menggenggam ponsel erat-erat. Suara itu membuat hatinya robek. “Iya, Ma… aku usahain.”
Telepon terputus. Hening.
Kartu nama itu masih ada di meja. Seperti bisikan gelap yang tak henti-henti.
Alya menangis. Ia mencoba menulis puisi, berharap kata-kata bisa menguatkan.
“Aku berdiri di tepi jurang,
cahaya memanggil,
tapi gelap lebih dekat.
Aku ingin setia pada cinta,
tapi perut lapar,
dan tubuhku dijadikan jalan.”
Tangannya gemetar. Ia meletakkan pena, lalu menatap ponselnya. Lama sekali.
Akhirnya, dengan napas terengah, ia menekan nomor di kartu nama itu.
Suara lelaki di seberang terdengar berat namun ramah. “Halo, Alya? Aku sudah dengar tentangmu dari Siska. Besok malam, ada klien yang mencari gadis sepertimu. Bayarannya cukup besar.”
Kaki Alya lemas. “Ber…berapa?” suaranya nyaris tak terdengar.
“Lima juta sekali pertemuan. Cash.”
Lima juta. Angka itu berputar di kepalanya. Cukup untuk bayar kos, cukup untuk obat ibu. Tapi harganya adalah dirinya.
Hening panjang. Lalu Alya berbisik: “Baik… aku akan datang.”
Malam itu tiba.
Alya berdiri di depan cermin, mengenakan gaun pinjaman Siska. Wajahnya dipoles tipis dengan bedak dan lipstik, tapi matanya tetap menyimpan kesedihan yang tak bisa ditutup.
“Aku bukan lagi Alya yang dulu. Aku hanyalah tubuh yang dijual untuk bertahan.”
Di dalam taksi menuju hotel tempat pertemuan, hatinya terus berperang. Ada suara yang berteriak: “Berhenti! Pulanglah! Aditya menunggumu dengan ketulusan!” Tapi suara lain lebih keras: “Kalau kamu berhenti, ibumu takkan punya obat. Kamu takkan punya tempat tinggal.”
Hotel itu megah, lampu-lampu berkilau. Tapi bagi Alya, rasanya seperti gerbang neraka.
Manajer itu menunggu di lobi, lalu membawanya naik ke kamar mewah. “Santai saja. Klien ini orang baik, dia hanya butuh ditemani. Kamu lakukan saja yang diminta, sisanya urusanku.”
Alya hanya mengangguk. Kakinya gemetar.
Pintu kamar terbuka. Lelaki itu menoleh, menatap Alya dengan tatapan penuh selera. Senyumannya membuat perut Alya mual.
Dan malam itu pun berlalu—gelap, panjang, menyakitkan.
Pagi hari, Alya berjalan keluar hotel dengan tubuh lelah dan hati hancur. Di tas kecilnya, amplop tebal berisi lima juta rupiah. Berat sekali rasanya, seolah setiap lembar uang itu ditulis dengan darah dan air matanya sendiri.
Ia menunduk sepanjang jalan, takut menatap orang-orang. Setiap langkah terasa seperti dosa yang membekas di tanah.
Saat kembali ke kos, ia langsung masuk kamar dan terkunci di dalam. Ia meraih buku catatannya, lalu menulis dengan tangan bergetar:
“Aku menjual tubuhku untuk menyelamatkan hidup,
tapi setiap rupiah ini terasa seperti kutukan.
Aku ingin menatap mata seseorang yang kucintai,
tapi aku tahu, aku membawa noda yang takkan hilang.
Cinta datang kemarin,
tapi malam ini aku menghancurkannya lagi.”
Air matanya membanjiri halaman.
Di luar kamar, suara Siska terdengar riang, seolah semuanya biasa saja. Tapi bagi Alya, dunia sudah runtuh.
Ia memeluk lututnya, menggigil di sudut ranjang. Amplop uang itu menatapnya dari meja, seolah berkata: “Ini harga dari kesucianmu yang hilang untuk kedua kali.”
Hening merayap seperti asap dingin di antara mereka. Nama itu—Pak Arman—dulu terdengar seperti perlindungan. Hari ini menjadi simbol kehancuran segalanya. Keyla mundur selangkah tanpa sadar, jantungnya berdegup kencang. Seolah otaknya menolak menerima kenyataan itu."Nik… bilang kalau ini mimpi," bisiknya lirih, nyaris patah.Tapi Niko tidak menjawab. Matanya terpaku pada sosok yang dulu sangat ia hormati. Rahangnya mengeras. "Kenapa...?" ucapnya pelan, mengandung kemarahan tak terukur dan pengkhianatan yang begitu dalam. “Kenapa kau melakukan ini kepada kami?!”Pak Arman tersenyum miring. Tatapannya hampa, dingin. “Hidup ini... kau akan sadar suatu hari, semuanya cuma pilihan. Ada yang rela hancur. Ada yang rela mengorbankan orang lain demi tetap bertahan.”
Suara pintu yang terhempas tadi masih terasa bergema di telinga Keyla, meskipun detik demi detik telah berlalu. Sosok yang berdiri di ambang pintu itu kini semakin jelas. Bayangan masa lalu yang mereka kira sudah padam ternyata kembali dengan nyala api yang jauh lebih besar — dan lebih gelap.Pria itu berjalan perlahan mendekat. Sepatunya menyentuh lantai kayu yang mengeluarkan decit kecil, seperti lantai itu pun ketakutan. Tatapannya lurus, menusuk, dan penuh rahasia yang selama ini tenggelam bersama tubuhnya."Kau seharusnya..." suara Niko terputus, tak sanggup meneruskan. Ia tidak bisa percaya matanya sendiri."Aku seharusnya mati, ya?" jawab pria itu sambil tersenyum dingin. "Begitu juga kalian, sebenarnya. Tapi sepertinya hidup memang suka bercanda.”Keyla meras
Hanya suara derit langkah dan napas yang saling bertabrakan di udara gelap itu. Lampu darurat belum menyala, hanya tatapan-tatapan yang terbiasa dengan kegelapan yang bisa bersiap mengukur bahaya.“Aditya…” Laras berbisik pelan namun tegas, memegang kuat tangannya. “Kita harus menemukan jalan keluar. Dia menguasai sistem gedung.”Napas Aditya terasa berat, emosinya berbaur dengan ketakutan. “Dia sudah lama merencanakan ini. Segalanya… dari sistem korporasi sampai sistem listrik darurat.”Di balik suara larut malam yang menelan seluruh gedung, suara Arwan terdengar lagi, bergema di dalam kegelapan: “Apa kalian mendengar suara pintu darurat yang terkunci? Itu bukan kebetulan. Dalam permainan ini… hanya yang siap membakar semua rasa takutnya yang bisa keluar hid
Langkah lirih Arwan terdengar jelas di lantai kayu ruang rapat itu. Wajahnya terbalut ketenangan yang merayap dan tak berperasaan. Sorot matanya tajam namun nyaris tanpa nyawa—seolah permainan hati dan pertumpahan rahasia ini bukan hanya baru dimulai, tapi telah direncanakannya jauh sebelum mereka semua lahir.Laras berdiri terpaku, matanya basah namun tak berkedip saat menatap sosok lelaki yang selama ini ia panggil "kakak". Di masa kecilnya, Arwan adalah sosok yang jarang bicara, tapi selalu ada dalam setiap momen penting—Kini, Laras tak yakin apakah sosok yang berdiri di hadapannya ini masih lelaki sama yang dulu menjaga jarak tapi diam-diam menjaganya.“Kak Arwan…” Laras memanggil suaranya tercekat. “Kenapa kau di sini… bersamanya?”Arwan tidak langsung menjawab.
Ruangan itu terasa kian sesak, meski tak seorang pun bergerak. Semuanya terperangkap antara masa kini dan potongan-potongan masa lalu yang mendadak menyeruak. Laras merasakan kedua lututnya mulai lemas. Ia bersandar pada kursi terdekat, berusaha meredakan ketegangan yang sudah menyesakkan dadanya sejak beberapa menit lalu.Pramana memutar tubuhnya sambil memandangi seluruh isi ruangan, senyum samar di wajahnya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut—tapi bukan ketulusan. “Sudah waktunya semua api ini membakar habis bisu yang kalian pelihara,” katanya, pelan namun penuh ancaman.“Bu Ratna...” Laras mendekati wanita paruh baya itu, memegangi lengannya yang masih gemetar. “Apa maksudmu dia pernah berjanji melindungi kami? Apa kau... apa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Dari kami?”
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan lampu kota berkedip. Di dalam sebuah gedung tinggi yang tampak mewah dari luar, suasana tegang menyelimuti ruang rapat lantai dua puluh. Aditya duduk di tengah meja panjang, dikelilingi para petinggi perusahaan yang sesekali menatapnya dengan sorot mata penuh kecurigaan.Pagi tadi, dunia hiburan kembali diguncang oleh sebuah kabar mengejutkan. Foto-foto yang memperlihatkan sosok Aditya dalam keadaan tak sadarkan diri di sebuah hotel beredar luas di internet. Tidak hanya itu, sebuah video pendek yang tampak buram menunjukkan sebuah siluet perempuan masuk ke dalam kamar yang sama dengannya. Tuduhan mulai bermunculan, mulai dari skandal perselingkuhan hingga manipulasi citra. Padahal Aditya tahu, itu bukan sekadar skandal biasa—itu adalah jebakan yang disusun dengan sangat rapi.Sementa







