Hari-hari berikutnya berjalan lambat bagi Alya, seakan waktu sengaja mempermainkannya. Siang terasa panjang, malam terasa menusuk. Ia menjalani rutinitas kuliah, namun pikirannya jarang benar-benar hadir.
Uang di dalam amplop sudah ia gunakan untuk melunasi kos. Sebagian ia kirim ke desa untuk pengobatan ibunya. Pesan singkat dari ibu membuat hatinya luluh:
“Terima kasih, Nak. Ibu sudah bisa berobat. Ibu bangga padamu. Jaga diri baik-baik di kota, ya.”
Alya menangis membaca pesan itu. Bagaimana mungkin ibunya bangga, sementara cara ia mendapatkan uang itu begitu kelam? Kata “bangga” terasa seperti pisau yang menusuk jantung.
Namun, di balik rasa bersalah, ada sedikit kelegaan: setidaknya ibunya bisa dirawat. Dan itu menjadi alasan satu-satunya baginya untuk tetap melangkah.
Suatu sore, di perpustakaan kampus, Alya kembali bertemu dengan Aditya. Lelaki itu sudah duduk di kursi yang sama, seakan tempat itu memang disiapkan untuk mereka.
“Sendiri lagi?” tanya Aditya sambil tersenyum tipis.
Alya mengangguk, menunduk. “Aku lebih suka suasana tenang.”
Aditya menatapnya beberapa saat, lalu berkata, “Aku sering lihat kamu di sini. Kamu selalu bawa buku puisi?”
Alya terkejut. “Kamu… memperhatikan aku?”
Aditya tertawa kecil. “Bukan begitu. Aku cuma… penasaran. Kebanyakan orang datang ke sini baca buku hukum, politik, atau jurnal kuliah. Tapi kamu selalu sama—buku sastra, catatan kecil. Seolah kamu hidup di dunia berbeda.”
Kata-kata itu membuat pipi Alya memanas. Ia merasa dilihat, bukan sebagai gadis yang hancur, tapi sebagai dirinya yang asli—seorang pecinta kata dan senja.
Hari-hari setelahnya, kebersamaan mereka semakin sering terjadi. Aditya menemani Alya di perpustakaan, kadang mereka berbincang ringan, kadang hanya diam bersama. Anehnya, keheningan bersama Aditya tidak pernah terasa canggung.
Suatu ketika, Aditya bertanya, “Kenapa kamu suka menulis?”
Alya menggigit bibir. “Karena… dengan menulis, aku bisa bicara pada dunia tanpa harus bersuara. Kadang… kata-kata di kertas lebih jujur daripada kata-kata dari mulut.”
Aditya mengangguk, menatapnya dalam. “Aku ingin baca puisimu suatu hari nanti.”
Hati Alya bergetar. Ia ingin menunjukkan, tapi di sisi lain, banyak puisinya adalah jeritan batin tentang luka yang tak bisa ia ceritakan. Ia takut Aditya akan tahu, lalu menjauh.
“Aku tidak pantas untuknya. Aku sudah hancur. Kalau dia tahu, dia pasti akan pergi.”
Namun, di balik rasa takut itu, tumbuh benih kecil: harapan.
Siska menyadari perubahan itu. Suatu malam, ia menatap Alya dengan tatapan menyelidik.
“Kamu sering sama Aditya, ya? Cowok hukum itu?”
Alya terdiam, mencoba menyembunyikan rona di pipinya. “Dia cuma temen.”
Siska terkekeh. “Aku lihat cara dia mandang kamu. Itu bukan cuma temen, Ly. Tapi hati-hati, ya. Cowok kota itu manis di awal, tapi ujung-ujungnya sama aja.”
Alya menunduk. “Aku… aku bahkan nggak pantas disukai siapa pun.”
Siska tertegun. “Kamu masih mikirin itu? Ly, kamu harus berdamai sama dirimu sendiri. Jangan biarin masa lalu ngehancurin semua yang ada di depanmu.”
Alya terdiam lama. Kata-kata itu benar, tapi sulit diterima. Setiap kali ia melihat wajah Aditya, hatinya berbunga. Tapi setiap kali ia menatap cermin, bayangan malam kelam itu kembali menghantuinya.
Suatu sore, Aditya mengajak Alya keluar dari rutinitas. Mereka duduk di taman kampus, langit sore berwarna jingga, senja melukis horizon.
“Aku suka senja,” kata Aditya tiba-tiba.
Alya menoleh, terkejut. “Aku juga.”
Aditya tersenyum. “Senja itu… perpisahan yang indah. Seperti mengingatkan kita bahwa sesuatu bisa berakhir, tapi tetap meninggalkan keindahan.”
Hati Alya bergetar mendengar itu. Kata-kata Aditya terasa seperti menyentuh luka paling dalam di hatinya. Ia ingin menangis, tapi ia tahan.
Aditya lalu menatapnya serius. “Alya, aku nggak tahu kenapa… tapi setiap kali aku lihat kamu, aku merasa ada sesuatu yang rapuh, tapi juga kuat. Kamu kayak… cahaya kecil di tengah gelap.”
Alya tercekat. Ia ingin berkata sesuatu, tapi lidahnya kelu.
“Kalau kamu tahu aku sebenarnya sudah hancur, apa kamu masih akan bilang begitu?”
Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan.
Malam itu, Alya menulis lagi di bukunya:
“Ada cahaya yang datang,
menembus celah gelapku.
Aku ingin meraih,
tapi tangan ini penuh noda.
Apa cahaya masih mau tinggal,
di hati yang sudah hancur?”
Ia menutup bukunya dengan tangan gemetar. Untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasa ada alasan untuk berharap lagi.
Namun, di balik harapan, ada ketakutan yang semakin besar: rahasianya bisa terungkap kapan saja, dan cahaya itu bisa hilang selamanya.
Hari-hari Alya mulai terasa berbeda. Ada ruang kecil dalam hatinya yang perlahan diisi oleh kehadiran Aditya. Setiap kali mereka duduk bersama di perpustakaan atau berbicara di taman kampus, Alya merasakan sesuatu yang sudah lama hilang darinya: ketenangan.
Namun, di balik ketenangan itu, ada bayangan yang selalu mengintai. Setiap kali Aditya menatapnya dengan mata penuh ketulusan, Alya merasa dadanya sesak—bukan karena bahagia, melainkan karena rasa takut.
“Andai dia tahu siapa aku sebenarnya… apakah dia masih akan tersenyum padaku?”
Suatu malam, Alya duduk di kamar kos dengan buku catatannya. Ia menulis pelan:
“Cinta datang seperti embun,
jatuh perlahan di ujung daun.
Tapi aku adalah tanah retak,
yang mungkin tak sanggup menyerapnya.”
Ia menutup buku, lalu menatap ke arah meja. Amplop yang dulu penuh kini tinggal separuh. Sementara kabar dari desa tak kunjung menenangkan: ibunya masih butuh biaya untuk rawat jalan.
Alya menggigit bibir. “Aku harus cari jalan lain…” bisiknya.
Pintu kamar terbuka keras. Siska masuk dengan wajah bersemu merah, aroma alkohol menyeruak. Rambutnya berantakan, senyumnya getir.
“Alya… kamu nggak tahu rasanya. Dunia malam itu… indah, tapi juga jahat.”
Alya menatapnya cemas. “Siska, kamu mabuk lagi? Aku udah bilang, jangan terlalu sering.”
Siska terkekeh, lalu menjatuhkan diri ke ranjang. “Kamu pikir aku bodoh? Hidup di kota nggak bisa dijalani dengan mimpi aja, Ly. Aku udah terima kenyataan.”
Alya terdiam.
Siska meliriknya tajam. “Dan kamu juga. Jangan kira semalam aja cukup. Kota ini bakal nuntut lebih. Kalau kamu mau bertahan, kamu harus siap jadi bagian dari permainan mereka.”
Hati Alya bergetar keras. “Aku nggak mau, Siska. Aku… aku udah cukup hancur sekali.”
Siska menghela napas panjang, lalu mengeluarkan kartu nama dari tasnya. Ia meletakkannya di meja Alya. “Kalau nanti kamu butuh uang lebih banyak, hubungi nomor itu. Manajer kenalanku. Dia bisa kasih kamu kerjaan tetap. Bayarannya besar. Tapi syaratnya… ya, kamu tahu sendiri.”
Alya menatap kartu itu lama. Kata-kata “bayaran besar” berputar di kepalanya, tapi bayangan malam kelam itu membuat tubuhnya merinding. Ia menepis kartu itu jauh, seakan benda itu bisa membakar tangannya.
“Jangan taruh aku di jalan itu lagi, Siska…” suara Alya bergetar.
Siska hanya tersenyum miring. “Cepat atau lambat, kamu bakal sadar. Kota ini nggak memberi pilihan lain.”
Keesokan harinya, Alya bertemu Aditya lagi. Mereka duduk di bangku taman, dikelilingi pepohonan yang mulai menggugurkan daun.
“Kamu kelihatan capek,” kata Aditya sambil menatapnya.
Alya tersenyum tipis. “Aku cuma… banyak pikiran.”
Aditya diam sejenak, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya—sebuah buku puisi berjudul Ruang Sunyi. “Aku nemuin ini di toko buku bekas. Kupikir kamu bakal suka.”
Mata Alya melebar. Ia menerima buku itu dengan tangan gemetar. “Kamu… kamu inget aku suka puisi?”
Aditya tersenyum. “Tentu. Aku nggak pernah lupa.”
Hati Alya bergetar hebat. Ada hangat yang meresap pelan ke dalam luka batinnya. Sejenak ia lupa pada kartu nama di meja kos, lupa pada masa lalu yang membelenggu. Yang ada hanya dirinya, Aditya, dan buku puisi itu.
Namun kebahagiaan itu lagi-lagi singkat. Malamnya, ia menerima telepon dari desa. Suara ibunya terdengar lemah.
“Nak… obat ibu hampir habis. Kalau bisa, kirim uang lagi, ya.”
Alya menggenggam ponsel erat-erat. “Iya, Ma… aku usahain.”
Setelah telepon ditutup, ia terduduk lemas di lantai. Uang di amplop tinggal sedikit. Tidak cukup.
Matanya melirik ke meja, pada kartu nama yang ia tolak semalam. Kartu itu seperti monster kecil yang terus memanggil.
“Apa aku harus… melakukannya lagi?”
Tubuhnya gemetar. Air mata jatuh tanpa henti. Ia ingin berlari pada Aditya, ingin menceritakan segalanya, tapi bayangan wajah kecewa lelaki itu membuatnya terhenti.
“Aku nggak bisa… dia nggak akan pernah terima aku kalau tahu.”
Hari-hari berikutnya menjadi peperangan batin. Setiap kali bersama Aditya, Alya merasa ada harapan. Tapi setiap kali sendiri, ia ditarik kembali oleh kenyataan: kos, kuliah, biaya ibu.
Siska semakin jarang pulang. Alya tahu, temannya itu semakin dalam terjerat dunia malam. Dan tanpa disadari, bayangan itu juga perlahan mendekat ke dirinya.
Malam itu, Alya menulis di bukunya dengan tangan gemetar:
“Aku berdiri di persimpangan,
di satu sisi cahaya,
di sisi lain bayangan.
Aku ingin memilih terang,
tapi gelap terus memanggil namaku.”
Ia menutup buku itu, lalu menatap ke jendela. Lampu-lampu kota berkelip, indah sekaligus menakutkan.
Dan Alya sadar: perjuangan barunya bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk menjaga sisa-sisa dirinya yang belum sepenuhnya hancur.
Pagi buta, kota masih setengah tidur ketika Alya terjaga dari mimpinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tersengal. Dalam mimpi, ia melihat wajah Aditya yang perlahan menjauh darinya, kabur tertelan gelap, sementara suara Rendra bergema:“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”Alya duduk tegak di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap langit-langit, lalu menunduk menatap tangannya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban rahasia itu.Hari itu ia pergi kuliah dengan kepala penuh bayangan. Di kelas, ia hanya menatap papan tulis tanpa benar-benar mendengar penjelasan dosen. Teman-teman bertanya kabar, ia hanya menjawab singkat.Aditya yang duduk di sampingnya sesekali melirik, gelisah melihat tatapan kosong Alya.Saat jam istirahat, Aditya menahan tangannya. “Alya, kamu sakit? Mukamu pucat banget.”Alya menarik tangannya cepat, senyum hambar. “Nggak, aku baik-baik aja.”Tapi hatinya menjerit. Sampai kapan aku bisa berpura-pura?Sepu
Hujan turun deras malam itu. Rintiknya menghantam atap seng kos-kosan Alya, menimbulkan suara gemuruh yang menambah kekalutan hatinya. Ia duduk di meja belajar, buku-buku terbuka namun pandangannya kosong. Pena di tangannya tak bergerak, seolah ide-ide yang dulu selalu mengalir kini mati terendam ketakutan.Rendra. Namanya saja sudah membuat tubuh Alya menggigil. Kata-kata pria itu terus menghantui:“Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar.”Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalau dia benar-benar menyebarkan semuanya, apa yang akan terjadi? Ia membayangkan Aditya membaca pesan atau foto masa lalunya. Membayangkan dosen, teman kampus, bahkan ibunya di desa tahu t
Pagi itu, Alya duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sembab, rambutnya masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia memandangi dirinya sendiri lama, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar:“Aku harus berubah. Aku nggak boleh jatuh lagi.”Tangannya gemetar, tapi dalam matanya ada secercah tekad yang baru.Di luar, Aditya menunggu dengan motor tuanya. Mesin berderak kasar, seakan ikut menanggung beban pemiliknya. Saat Alya naik, Aditya menoleh sebentar. “Kita mulai dari mana?”Alya menarik napas panjang. “Apa aja, Dit. Asal halal. Aku nggak peduli sesulit apa pun.”Mereka berdua me
Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk atap seng kos Alya seperti ribuan jemari yang tak sabar. Alya duduk di tepi ranjang, ponsel di tangannya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, tapi ia tahu persis siapa pengirimnya.“Kalau butuh uang cepat, kau tahu harus cari siapa.”Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya porak-poranda. Jemarinya gemetar, hampir saja ia melempar ponsel ke dinding.“Kenapa dia nggak berhenti mengikutiku?” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa takut dan putus asa.Siang harinya, ia menerima telepon dari kampung. Suara adiknya terdengar panik.“Kak… Ibu kambuh lagi. Kalau bisa, cepat kirim uang, ya. Obatnya habis.”Alya terdiam, suaranya tercekat. “Iya… kakak usahakan.”Setelah telepon ditutup, Alya terduduk lemas. Dompetnya kosong. Uang beasiswa bulan ini sudah habis untuk kos, makan, dan transportasi. Ia benar-benar tak punya pegangan.Di kampus, Aditya memperhatikan Alya yang murung. Matanya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seperti jam pasir yang butirannya enggan jatuh.Alya duduk di kamar kosnya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Aditya:“Aku pulang duluan. Jaga dirimu.”Kalimat sederhana, tapi baginya terdengar dingin, seperti ada tembok yang tak terlihat. Dulu, setiap pesan dari Aditya penuh emotikon lucu, penuh canda, penuh hangat. Sekarang, hanya kata-kata datar yang membuat dadanya sesak.Aditya pun bukan tanpa luka. Ia berjalan di kampus dengan wajah lelah. Teman-temannya mengajak bercanda, tapi senyumnya hambar. Malam-malamnya sering terbangun, bayangan Alya di kamar hotel itu masih menghantui pikirannya.Ia mencintai Alya, sungguh. Tapi bayangan bahwa orang yang ia peluk dengan penuh cinta pernah disentuh dengan cara yang tak seharusnya—itu menusuknya seperti duri yang tak bisa dicabut.Suatu sore, mereka duduk di bangku taman kampus. Langit oranye, daun-daun berguguran tertiup angin. Alya menggenggam tangannya pelan, tapi Adit
Pagi itu, kampus ramai oleh mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas. Alya berjalan pelan, pundaknya terasa berat, seolah ada batu besar yang menekan dari dalam dadanya. Matanya sayu, wajahnya pucat.Aditya menyapanya di depan gedung. “Kamu sakit? Dari kemarin aku lihat kamu nggak enak badan.”Alya tersenyum tipis. “Nggak, aku cuma kurang tidur.”Padahal sebenarnya, ia tidak tidur semalam. Ponselnya terus bergetar, pesan-pesan dari manajer itu masuk satu per satu:“Jangan pura-pura lupa hutang budi.”“Kalau kamu nggak mau kerja lagi, aku bisa kasih tahu siapa kamu sebenarnya.”“Pacar kampusmu itu pasti bakal jijik kalau tahu.”Kata-kata itu menusuk seperti belati. Alya membaca, menangis, lalu mencoba menghapus, tapi rasa takut tetap tertinggal di dadanya.Di kelas, Aditya duduk di sampingnya. Sesekali ia menatap Alya, lalu menuliskan sesuatu di kertas kecil.“Kalau kamu ada masalah, aku janji aku siap dengerin.”Alya membaca pesan itu, lalu menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya h