Share

Cahaya di Tengah Luka

last update Last Updated: 2025-09-11 02:35:28

Hari-hari berikutnya berjalan lambat bagi Alya, seakan waktu sengaja mempermainkannya. Siang terasa panjang, malam terasa menusuk. Ia menjalani rutinitas kuliah, namun pikirannya jarang benar-benar hadir.

Uang di dalam amplop sudah ia gunakan untuk melunasi kos. Sebagian ia kirim ke desa untuk pengobatan ibunya. Pesan singkat dari ibu membuat hatinya luluh:

“Terima kasih, Nak. Ibu sudah bisa berobat. Ibu bangga padamu. Jaga diri baik-baik di kota, ya.”

Alya menangis membaca pesan itu. Bagaimana mungkin ibunya bangga, sementara cara ia mendapatkan uang itu begitu kelam? Kata “bangga” terasa seperti pisau yang menusuk jantung.

Namun, di balik rasa bersalah, ada sedikit kelegaan: setidaknya ibunya bisa dirawat. Dan itu menjadi alasan satu-satunya baginya untuk tetap melangkah.


Suatu sore, di perpustakaan kampus, Alya kembali bertemu dengan Aditya. Lelaki itu sudah duduk di kursi yang sama, seakan tempat itu memang disiapkan untuk mereka.

“Sendiri lagi?” tanya Aditya sambil tersenyum tipis.

Alya mengangguk, menunduk. “Aku lebih suka suasana tenang.”

Aditya menatapnya beberapa saat, lalu berkata, “Aku sering lihat kamu di sini. Kamu selalu bawa buku puisi?”

Alya terkejut. “Kamu… memperhatikan aku?”

Aditya tertawa kecil. “Bukan begitu. Aku cuma… penasaran. Kebanyakan orang datang ke sini baca buku hukum, politik, atau jurnal kuliah. Tapi kamu selalu sama—buku sastra, catatan kecil. Seolah kamu hidup di dunia berbeda.”

Kata-kata itu membuat pipi Alya memanas. Ia merasa dilihat, bukan sebagai gadis yang hancur, tapi sebagai dirinya yang asli—seorang pecinta kata dan senja.


Hari-hari setelahnya, kebersamaan mereka semakin sering terjadi. Aditya menemani Alya di perpustakaan, kadang mereka berbincang ringan, kadang hanya diam bersama. Anehnya, keheningan bersama Aditya tidak pernah terasa canggung.

Suatu ketika, Aditya bertanya, “Kenapa kamu suka menulis?”

Alya menggigit bibir. “Karena… dengan menulis, aku bisa bicara pada dunia tanpa harus bersuara. Kadang… kata-kata di kertas lebih jujur daripada kata-kata dari mulut.”

Aditya mengangguk, menatapnya dalam. “Aku ingin baca puisimu suatu hari nanti.”

Hati Alya bergetar. Ia ingin menunjukkan, tapi di sisi lain, banyak puisinya adalah jeritan batin tentang luka yang tak bisa ia ceritakan. Ia takut Aditya akan tahu, lalu menjauh.

“Aku tidak pantas untuknya. Aku sudah hancur. Kalau dia tahu, dia pasti akan pergi.”

Namun, di balik rasa takut itu, tumbuh benih kecil: harapan.


Siska menyadari perubahan itu. Suatu malam, ia menatap Alya dengan tatapan menyelidik.

“Kamu sering sama Aditya, ya? Cowok hukum itu?”

Alya terdiam, mencoba menyembunyikan rona di pipinya. “Dia cuma temen.”

Siska terkekeh. “Aku lihat cara dia mandang kamu. Itu bukan cuma temen, Ly. Tapi hati-hati, ya. Cowok kota itu manis di awal, tapi ujung-ujungnya sama aja.”

Alya menunduk. “Aku… aku bahkan nggak pantas disukai siapa pun.”

Siska tertegun. “Kamu masih mikirin itu? Ly, kamu harus berdamai sama dirimu sendiri. Jangan biarin masa lalu ngehancurin semua yang ada di depanmu.”

Alya terdiam lama. Kata-kata itu benar, tapi sulit diterima. Setiap kali ia melihat wajah Aditya, hatinya berbunga. Tapi setiap kali ia menatap cermin, bayangan malam kelam itu kembali menghantuinya.


Suatu sore, Aditya mengajak Alya keluar dari rutinitas. Mereka duduk di taman kampus, langit sore berwarna jingga, senja melukis horizon.

“Aku suka senja,” kata Aditya tiba-tiba.

Alya menoleh, terkejut. “Aku juga.”

Aditya tersenyum. “Senja itu… perpisahan yang indah. Seperti mengingatkan kita bahwa sesuatu bisa berakhir, tapi tetap meninggalkan keindahan.”

Hati Alya bergetar mendengar itu. Kata-kata Aditya terasa seperti menyentuh luka paling dalam di hatinya. Ia ingin menangis, tapi ia tahan.

Aditya lalu menatapnya serius. “Alya, aku nggak tahu kenapa… tapi setiap kali aku lihat kamu, aku merasa ada sesuatu yang rapuh, tapi juga kuat. Kamu kayak… cahaya kecil di tengah gelap.”

Alya tercekat. Ia ingin berkata sesuatu, tapi lidahnya kelu.

“Kalau kamu tahu aku sebenarnya sudah hancur, apa kamu masih akan bilang begitu?”

Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan.


Malam itu, Alya menulis lagi di bukunya:

“Ada cahaya yang datang,

menembus celah gelapku.

Aku ingin meraih,

tapi tangan ini penuh noda.

Apa cahaya masih mau tinggal,

di hati yang sudah hancur?”

Ia menutup bukunya dengan tangan gemetar. Untuk pertama kalinya sejak malam itu, ia merasa ada alasan untuk berharap lagi.

Namun, di balik harapan, ada ketakutan yang semakin besar: rahasianya bisa terungkap kapan saja, dan cahaya itu bisa hilang selamanya.

Hari-hari Alya mulai terasa berbeda. Ada ruang kecil dalam hatinya yang perlahan diisi oleh kehadiran Aditya. Setiap kali mereka duduk bersama di perpustakaan atau berbicara di taman kampus, Alya merasakan sesuatu yang sudah lama hilang darinya: ketenangan.

Namun, di balik ketenangan itu, ada bayangan yang selalu mengintai. Setiap kali Aditya menatapnya dengan mata penuh ketulusan, Alya merasa dadanya sesak—bukan karena bahagia, melainkan karena rasa takut.

“Andai dia tahu siapa aku sebenarnya… apakah dia masih akan tersenyum padaku?”


Suatu malam, Alya duduk di kamar kos dengan buku catatannya. Ia menulis pelan:

“Cinta datang seperti embun,

jatuh perlahan di ujung daun.

Tapi aku adalah tanah retak,

yang mungkin tak sanggup menyerapnya.”

Ia menutup buku, lalu menatap ke arah meja. Amplop yang dulu penuh kini tinggal separuh. Sementara kabar dari desa tak kunjung menenangkan: ibunya masih butuh biaya untuk rawat jalan.

Alya menggigit bibir. “Aku harus cari jalan lain…” bisiknya.


Pintu kamar terbuka keras. Siska masuk dengan wajah bersemu merah, aroma alkohol menyeruak. Rambutnya berantakan, senyumnya getir.

“Alya… kamu nggak tahu rasanya. Dunia malam itu… indah, tapi juga jahat.”

Alya menatapnya cemas. “Siska, kamu mabuk lagi? Aku udah bilang, jangan terlalu sering.”

Siska terkekeh, lalu menjatuhkan diri ke ranjang. “Kamu pikir aku bodoh? Hidup di kota nggak bisa dijalani dengan mimpi aja, Ly. Aku udah terima kenyataan.”

Alya terdiam.

Siska meliriknya tajam. “Dan kamu juga. Jangan kira semalam aja cukup. Kota ini bakal nuntut lebih. Kalau kamu mau bertahan, kamu harus siap jadi bagian dari permainan mereka.”

Hati Alya bergetar keras. “Aku nggak mau, Siska. Aku… aku udah cukup hancur sekali.”

Siska menghela napas panjang, lalu mengeluarkan kartu nama dari tasnya. Ia meletakkannya di meja Alya. “Kalau nanti kamu butuh uang lebih banyak, hubungi nomor itu. Manajer kenalanku. Dia bisa kasih kamu kerjaan tetap. Bayarannya besar. Tapi syaratnya… ya, kamu tahu sendiri.”

Alya menatap kartu itu lama. Kata-kata “bayaran besar” berputar di kepalanya, tapi bayangan malam kelam itu membuat tubuhnya merinding. Ia menepis kartu itu jauh, seakan benda itu bisa membakar tangannya.

“Jangan taruh aku di jalan itu lagi, Siska…” suara Alya bergetar.

Siska hanya tersenyum miring. “Cepat atau lambat, kamu bakal sadar. Kota ini nggak memberi pilihan lain.”


Keesokan harinya, Alya bertemu Aditya lagi. Mereka duduk di bangku taman, dikelilingi pepohonan yang mulai menggugurkan daun.

“Kamu kelihatan capek,” kata Aditya sambil menatapnya.

Alya tersenyum tipis. “Aku cuma… banyak pikiran.”

Aditya diam sejenak, lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya—sebuah buku puisi berjudul Ruang Sunyi. “Aku nemuin ini di toko buku bekas. Kupikir kamu bakal suka.”

Mata Alya melebar. Ia menerima buku itu dengan tangan gemetar. “Kamu… kamu inget aku suka puisi?”

Aditya tersenyum. “Tentu. Aku nggak pernah lupa.”

Hati Alya bergetar hebat. Ada hangat yang meresap pelan ke dalam luka batinnya. Sejenak ia lupa pada kartu nama di meja kos, lupa pada masa lalu yang membelenggu. Yang ada hanya dirinya, Aditya, dan buku puisi itu.


Namun kebahagiaan itu lagi-lagi singkat. Malamnya, ia menerima telepon dari desa. Suara ibunya terdengar lemah.

“Nak… obat ibu hampir habis. Kalau bisa, kirim uang lagi, ya.”

Alya menggenggam ponsel erat-erat. “Iya, Ma… aku usahain.”

Setelah telepon ditutup, ia terduduk lemas di lantai. Uang di amplop tinggal sedikit. Tidak cukup.

Matanya melirik ke meja, pada kartu nama yang ia tolak semalam. Kartu itu seperti monster kecil yang terus memanggil.

“Apa aku harus… melakukannya lagi?”

Tubuhnya gemetar. Air mata jatuh tanpa henti. Ia ingin berlari pada Aditya, ingin menceritakan segalanya, tapi bayangan wajah kecewa lelaki itu membuatnya terhenti.

“Aku nggak bisa… dia nggak akan pernah terima aku kalau tahu.”


Hari-hari berikutnya menjadi peperangan batin. Setiap kali bersama Aditya, Alya merasa ada harapan. Tapi setiap kali sendiri, ia ditarik kembali oleh kenyataan: kos, kuliah, biaya ibu.

Siska semakin jarang pulang. Alya tahu, temannya itu semakin dalam terjerat dunia malam. Dan tanpa disadari, bayangan itu juga perlahan mendekat ke dirinya.


Malam itu, Alya menulis di bukunya dengan tangan gemetar:

“Aku berdiri di persimpangan,

di satu sisi cahaya,

di sisi lain bayangan.

Aku ingin memilih terang,

tapi gelap terus memanggil namaku.”

Ia menutup buku itu, lalu menatap ke jendela. Lampu-lampu kota berkelip, indah sekaligus menakutkan.

Dan Alya sadar: perjuangan barunya bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk menjaga sisa-sisa dirinya yang belum sepenuhnya hancur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Penghianatan Yang Terkuak

    Hening merayap seperti asap dingin di antara mereka. Nama itu—Pak Arman—dulu terdengar seperti perlindungan. Hari ini menjadi simbol kehancuran segalanya. Keyla mundur selangkah tanpa sadar, jantungnya berdegup kencang. Seolah otaknya menolak menerima kenyataan itu."Nik… bilang kalau ini mimpi," bisiknya lirih, nyaris patah.Tapi Niko tidak menjawab. Matanya terpaku pada sosok yang dulu sangat ia hormati. Rahangnya mengeras. "Kenapa...?" ucapnya pelan, mengandung kemarahan tak terukur dan pengkhianatan yang begitu dalam. “Kenapa kau melakukan ini kepada kami?!”Pak Arman tersenyum miring. Tatapannya hampa, dingin. “Hidup ini... kau akan sadar suatu hari, semuanya cuma pilihan. Ada yang rela hancur. Ada yang rela mengorbankan orang lain demi tetap bertahan.”

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Yang Kembali Dari Kegelapan

    Suara pintu yang terhempas tadi masih terasa bergema di telinga Keyla, meskipun detik demi detik telah berlalu. Sosok yang berdiri di ambang pintu itu kini semakin jelas. Bayangan masa lalu yang mereka kira sudah padam ternyata kembali dengan nyala api yang jauh lebih besar — dan lebih gelap.Pria itu berjalan perlahan mendekat. Sepatunya menyentuh lantai kayu yang mengeluarkan decit kecil, seperti lantai itu pun ketakutan. Tatapannya lurus, menusuk, dan penuh rahasia yang selama ini tenggelam bersama tubuhnya."Kau seharusnya..." suara Niko terputus, tak sanggup meneruskan. Ia tidak bisa percaya matanya sendiri."Aku seharusnya mati, ya?" jawab pria itu sambil tersenyum dingin. "Begitu juga kalian, sebenarnya. Tapi sepertinya hidup memang suka bercanda.”Keyla meras

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Kegelapan Menelan Nama

    Hanya suara derit langkah dan napas yang saling bertabrakan di udara gelap itu. Lampu darurat belum menyala, hanya tatapan-tatapan yang terbiasa dengan kegelapan yang bisa bersiap mengukur bahaya.“Aditya…” Laras berbisik pelan namun tegas, memegang kuat tangannya. “Kita harus menemukan jalan keluar. Dia menguasai sistem gedung.”Napas Aditya terasa berat, emosinya berbaur dengan ketakutan. “Dia sudah lama merencanakan ini. Segalanya… dari sistem korporasi sampai sistem listrik darurat.”Di balik suara larut malam yang menelan seluruh gedung, suara Arwan terdengar lagi, bergema di dalam kegelapan: “Apa kalian mendengar suara pintu darurat yang terkunci? Itu bukan kebetulan. Dalam permainan ini… hanya yang siap membakar semua rasa takutnya yang bisa keluar hid

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Saudara Dalam Gelap

    Langkah lirih Arwan terdengar jelas di lantai kayu ruang rapat itu. Wajahnya terbalut ketenangan yang merayap dan tak berperasaan. Sorot matanya tajam namun nyaris tanpa nyawa—seolah permainan hati dan pertumpahan rahasia ini bukan hanya baru dimulai, tapi telah direncanakannya jauh sebelum mereka semua lahir.Laras berdiri terpaku, matanya basah namun tak berkedip saat menatap sosok lelaki yang selama ini ia panggil "kakak". Di masa kecilnya, Arwan adalah sosok yang jarang bicara, tapi selalu ada dalam setiap momen penting—Kini, Laras tak yakin apakah sosok yang berdiri di hadapannya ini masih lelaki sama yang dulu menjaga jarak tapi diam-diam menjaganya.“Kak Arwan…” Laras memanggil suaranya tercekat. “Kenapa kau di sini… bersamanya?”Arwan tidak langsung menjawab.

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Luka Yang Di Bangkitkan

    Ruangan itu terasa kian sesak, meski tak seorang pun bergerak. Semuanya terperangkap antara masa kini dan potongan-potongan masa lalu yang mendadak menyeruak. Laras merasakan kedua lututnya mulai lemas. Ia bersandar pada kursi terdekat, berusaha meredakan ketegangan yang sudah menyesakkan dadanya sejak beberapa menit lalu.Pramana memutar tubuhnya sambil memandangi seluruh isi ruangan, senyum samar di wajahnya berubah menjadi sesuatu yang lebih lembut—tapi bukan ketulusan. “Sudah waktunya semua api ini membakar habis bisu yang kalian pelihara,” katanya, pelan namun penuh ancaman.“Bu Ratna...” Laras mendekati wanita paruh baya itu, memegangi lengannya yang masih gemetar. “Apa maksudmu dia pernah berjanji melindungi kami? Apa kau... apa kau menyembunyikan sesuatu dariku? Dari kami?”

  • KESUCIAN GADIS DESA HANCUR DI KOTA   Bayang-Bayang Yang Kembali

    Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan Jakarta yang penuh dengan lampu kota berkedip. Di dalam sebuah gedung tinggi yang tampak mewah dari luar, suasana tegang menyelimuti ruang rapat lantai dua puluh. Aditya duduk di tengah meja panjang, dikelilingi para petinggi perusahaan yang sesekali menatapnya dengan sorot mata penuh kecurigaan.Pagi tadi, dunia hiburan kembali diguncang oleh sebuah kabar mengejutkan. Foto-foto yang memperlihatkan sosok Aditya dalam keadaan tak sadarkan diri di sebuah hotel beredar luas di internet. Tidak hanya itu, sebuah video pendek yang tampak buram menunjukkan sebuah siluet perempuan masuk ke dalam kamar yang sama dengannya. Tuduhan mulai bermunculan, mulai dari skandal perselingkuhan hingga manipulasi citra. Padahal Aditya tahu, itu bukan sekadar skandal biasa—itu adalah jebakan yang disusun dengan sangat rapi.Sementa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status