Di meja, sebuah amplop terbuka, isinya sebagian sudah hilang: ia gunakan untuk membayar kos yang hampir jatuh tempo, sisanya ia kirim lewat transfer untuk ibunya di desa.
Tugas-tugas kampus menumpuk, tapi pikiran Alya hanya berputar pada satu hal: harga yang ia bayar untuk uang itu.
Ia menatap cermin kecil di sudut kamar. Wajahnya terlihat sama, namun matanya berbeda. Ada kegelapan yang semakin pekat, sesuatu yang tak bisa disembunyikan bedak tipis atau senyum palsu.
“Aku berhasil bertahan… tapi aku kehilangan diriku sendiri.”
Siang itu, Aditya kembali mendekatinya di kampus. Ia membawa dua gelas es teh, menyodorkannya pada Alya.
“Kelihatan lelah sekali. Minum dulu.”
Alya mencoba tersenyum. “Kamu selalu muncul di saat aku butuh.”
Aditya menatapnya serius. “Mungkin memang itu yang aku mau… ada di dekat kamu.”
Kata-kata itu membuat jantung Alya berdentum keras. Tangannya hampir gemetar memegang gelas plastik.
“Dit…” suaranya serak, “jangan terlalu baik sama aku.”
“Kenapa?”
Alya menunduk, menahan air mata. “Aku… aku nggak sebaik yang kamu pikir.”
Aditya tersenyum samar. “Setiap orang punya luka, Alya. Aku nggak peduli masa lalu kamu. Aku cuma peduli sama kamu yang ada di depanku sekarang.”
Kalimat itu menghujam jantung Alya. Ia ingin sekali mempercayainya. Tapi bayangan malam di hotel, amplop uang di meja, dan suara lelaki asing yang terus menghantui pikirannya membuat ia tersedak oleh rasa bersalah.
Malam itu, Alya duduk di meja kos dengan buku puisinya. Ia menulis pelan:
“Ada tangan yang ingin meraihku,
tapi tanganku berlumur debu.
Ada mata yang menatapku dengan cinta,
tapi mataku dipenuhi aib.
Jika aku meraih cinta itu,
mungkinkah ia ikut jatuh ke dalam lumpur bersamaku?”
Siska masuk tanpa mengetuk, tertawa kecil. “Wah, uangmu udah kepake, ya? Aku lihat kamu udah tenang lagi.”
Alya menatapnya dengan pandangan marah sekaligus putus asa. “Tenang? Kamu pikir aku bisa tenang setelah… itu?”
Siska mengangkat bahu. “Kamu bisa, kalau mau belajar. Aku udah lama berhenti mikir soal kesucian. Hidup nggak butuh itu, Ly. Hidup cuma butuh uang.”
“Buat kamu mungkin iya,” suara Alya bergetar, “tapi buatku, setiap rupiah itu berdarah.”
Siska mendengus, lalu meninggalkannya.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti mimpi buruk yang diselimuti senyum palsu. Alya tetap kuliah, tetap mengerjakan tugas, tetap duduk di samping Aditya. Tapi setiap kali lelaki itu menatapnya, hatinya terbelah dua: ingin merespons cinta, tapi juga ingin lari sejauh mungkin.
Suatu sore, Aditya mengajaknya berjalan pulang. Di depan gerbang kampus, ia berhenti, lalu berkata pelan:
“Alya… aku tahu aku bukan siapa-siapa. Tapi aku nggak bisa bohong kalau aku suka sama kamu.”
Hening panjang.
Alya menatapnya, bibirnya terbuka tapi tak ada kata yang keluar. Hatinya bergetar keras. Dunia seolah berhenti berputar.
Tapi dalam keheningan itu, suara masa lalu muncul lagi. Lelaki asing, kamar hotel, amplop uang. Ia hampir mual hanya dengan mengingatnya.
“Dit…” bisiknya, “aku nggak pantas buat kamu.”
Aditya menatapnya, matanya dalam. “Kamu salah. Justru aku merasa… kamu yang selalu aku cari.”
Air mata Alya jatuh. Ia menunduk cepat, lalu berlari pergi tanpa menjawab.
Malam itu, di kamar kos yang dingin, Alya menangis tersedu. Ia meraih buku catatannya, menulis dengan tinta yang bercampur air mata:
“Cinta mengetuk pintu,
tapi aku menutupinya dengan dosa.
Jika aku membiarkan cinta masuk,
apakah ia akan lari melihat noda di dinding hatiku?”
Amplop uang di meja kembali menatapnya, seolah berkata: “Aku adalah penyelamat sekaligus penghancurmu.”
Dan Alya sadar—rahasia ini tak bisa ia simpan selamanya. Suatu hari, Aditya akan tahu. Dan hari itu akan menjadi hari di mana seluruh duniannya runtuh.
Hari-hari Alya berubah sejak pengakuan Aditya. Walau ia tak berani memberi jawaban, senyum Aditya, perhatian kecilnya, dan tatapan matanya membuat hati Alya terasa hangat. Untuk pertama kalinya setelah lama, ia merasa pantas untuk dicintai, walau hanya sesaat.
Di kelas, Aditya selalu duduk di sampingnya. Di kantin, ia memastikan Alya tidak makan sendirian. Sesekali ia mengantar pulang, walau Alya menolak masuk ke dalam kos karena takut rahasianya terbaca dari dinding kamarnya yang penuh puisi kelam.
“Kalau saja aku bisa memulai hidup baru tanpa masa lalu…” pikir Alya.
Namun, bayangan itu kembali.
Malam itu, saat Alya baru saja selesai menulis di buku catatan, ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal, tapi ia langsung tahu siapa.
Dengan napas berat, ia menjawab.
“Selamat malam, Alya. Lama nggak ada kabar,” suara berat itu terdengar santai, tapi menusuk. “Aku punya klien yang nanya tentang kamu. Bayarannya lebih besar dari terakhir. Kamu tertarik?”
Alya terdiam. Jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar.
“Aku… aku sudah nggak mau lagi,” jawabnya cepat.
Tawa kecil terdengar di seberang. “Kamu pikir kota ini bakal membiarkanmu begitu saja? Kamu butuh uang, kan? Kalau kamu berubah pikiran, hubungi aku. Ingat, aku selalu bisa menunggumu.”
Sambungan terputus. Alya menjatuhkan ponselnya ke lantai, tubuhnya gemetar hebat. Suara itu seperti belenggu, mengingatkannya bahwa sekali masuk ke dunia itu, sulit keluar.
Keesokan harinya, Alya berusaha terlihat biasa. Tapi Aditya, seperti biasa, bisa membaca kegelisahannya.
“Kamu kelihatan cemas,” katanya pelan saat mereka duduk di perpustakaan.
Alya menggeleng cepat. “Nggak, aku baik-baik saja.”
“Jangan bohong. Aku tahu ada sesuatu yang kamu simpan. Aku nggak akan paksa kamu cerita, tapi aku pengin kamu tahu… apapun itu, aku nggak akan ninggalin kamu.”
Kata-kata itu membuat air mata Alya hampir jatuh. Ia ingin berteriak, ingin memeluk Aditya dan mengakui segalanya. Tapi ketakutan lebih besar menahannya.
“Kalau dia tahu aku pernah menjual tubuhku… dia pasti pergi.”
Sore itu, Alya berjalan pulang sendirian. Angin sore menyapu wajahnya, tapi hatinya terasa sesak. Di benaknya, dua dunia terus bertabrakan: dunia terang bersama Aditya, dan dunia gelap yang terus menuntut.
Setibanya di kos, ia menemukan Siska tertidur di ranjang, masih mengenakan pakaian pesta dengan make up berantakan. Botol kosong berjejer di lantai.
Alya menutup pintu dengan hati-hati, lalu duduk di meja. Ia menatap buku puisinya yang terbuka.
“Aku mencoba meraih cahaya,
tapi bayangan terus menahanku.
Aku mencoba jatuh cinta,
tapi rahasiaku menutup jalan.
Aku ingin keluar,
tapi pintu selalu terkunci dari luar.”
Air matanya menetes, membasahi halaman.
Beberapa hari kemudian, Aditya mengajaknya makan malam di sebuah kafe kecil. Tempat itu hangat, penuh musik akustik yang lembut.
“Alya…” Aditya menatapnya dengan mata dalam, “aku nggak tahu apa yang kamu sembunyikan. Tapi aku serius sama kamu. Aku pengin kamu percaya sama aku.”
Alya terdiam. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya terkunci. Rasanya seluruh dunia akan runtuh jika ia membuka suara tentang masa lalunya.
Ia hanya menunduk, menggenggam sendok erat-erat.
“Dit… kalau suatu hari kamu tahu siapa aku sebenarnya… aku takut kamu bakal benci.”
Aditya menggeleng. “Aku nggak akan benci. Aku cuma butuh satu hal: kejujuranmu.”
Hati Alya perih. Malam itu, kafe penuh cahaya, tapi hatinya terasa lebih gelap dari sebelumnya.
Sepulang dari kafe, ponselnya kembali bergetar. Nomor yang sama.
Suara itu kembali, dingin dan mengancam:
“Alya… aku dengar kamu sering jalan sama cowok kampusmu. Hati-hati. Dunia kecil, semua bisa tahu siapa kamu sebenarnya. Jangan coba kabur dari kami. Cepat atau lambat, kamu akan kembali.”
Alya menjatuhkan ponselnya, tubuhnya gemetar. Nafasnya tersengal. Air matanya pecah.
Ia menatap langit malam dari jendela kamar kos. Bintang berkelip, tapi baginya hanya bayangan hitam yang semakin pekat.
“Aku mencintai Aditya… tapi apakah aku bisa menyelamatkan cinta ini, atau justru menghancurkannya dengan rahasiaku?”
Di dalam dirinya, perang semakin keras. Dan Alya tahu, pilihan harus segera dibuat—sebelum segalanya terbongkar dengan cara paling menyakitkan.
Pagi buta, kota masih setengah tidur ketika Alya terjaga dari mimpinya. Dadanya naik-turun cepat, napasnya tersengal. Dalam mimpi, ia melihat wajah Aditya yang perlahan menjauh darinya, kabur tertelan gelap, sementara suara Rendra bergema:“Mau Aditya tahu siapa kamu sebenarnya?”Alya duduk tegak di ranjang, keringat dingin membasahi pelipis. Ia menatap langit-langit, lalu menunduk menatap tangannya sendiri. Tangannya gemetar, seolah tubuhnya tak sanggup lagi menanggung beban rahasia itu.Hari itu ia pergi kuliah dengan kepala penuh bayangan. Di kelas, ia hanya menatap papan tulis tanpa benar-benar mendengar penjelasan dosen. Teman-teman bertanya kabar, ia hanya menjawab singkat.Aditya yang duduk di sampingnya sesekali melirik, gelisah melihat tatapan kosong Alya.Saat jam istirahat, Aditya menahan tangannya. “Alya, kamu sakit? Mukamu pucat banget.”Alya menarik tangannya cepat, senyum hambar. “Nggak, aku baik-baik aja.”Tapi hatinya menjerit. Sampai kapan aku bisa berpura-pura?Sepu
Hujan turun deras malam itu. Rintiknya menghantam atap seng kos-kosan Alya, menimbulkan suara gemuruh yang menambah kekalutan hatinya. Ia duduk di meja belajar, buku-buku terbuka namun pandangannya kosong. Pena di tangannya tak bergerak, seolah ide-ide yang dulu selalu mengalir kini mati terendam ketakutan.Rendra. Namanya saja sudah membuat tubuh Alya menggigil. Kata-kata pria itu terus menghantui:“Sekali kamu masuk ke dunia itu, susah keluar. Nama kamu masih ada di daftar.”Alya menutup wajah dengan kedua tangan. Kalau dia benar-benar menyebarkan semuanya, apa yang akan terjadi? Ia membayangkan Aditya membaca pesan atau foto masa lalunya. Membayangkan dosen, teman kampus, bahkan ibunya di desa tahu t
Pagi itu, Alya duduk di depan cermin kecil di kamarnya. Wajahnya sembab, rambutnya masih basah oleh sisa hujan semalam. Ia memandangi dirinya sendiri lama, lalu berbisik pelan, hampir tak terdengar:“Aku harus berubah. Aku nggak boleh jatuh lagi.”Tangannya gemetar, tapi dalam matanya ada secercah tekad yang baru.Di luar, Aditya menunggu dengan motor tuanya. Mesin berderak kasar, seakan ikut menanggung beban pemiliknya. Saat Alya naik, Aditya menoleh sebentar. “Kita mulai dari mana?”Alya menarik napas panjang. “Apa aja, Dit. Asal halal. Aku nggak peduli sesulit apa pun.”Mereka berdua me
Hujan turun deras malam itu, mengetuk-ngetuk atap seng kos Alya seperti ribuan jemari yang tak sabar. Alya duduk di tepi ranjang, ponsel di tangannya bergetar. Nomor tak dikenal masuk, tapi ia tahu persis siapa pengirimnya.“Kalau butuh uang cepat, kau tahu harus cari siapa.”Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat hatinya porak-poranda. Jemarinya gemetar, hampir saja ia melempar ponsel ke dinding.“Kenapa dia nggak berhenti mengikutiku?” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya mengalir deras, bercampur dengan rasa takut dan putus asa.Siang harinya, ia menerima telepon dari kampung. Suara adiknya terdengar panik.“Kak… Ibu kambuh lagi. Kalau bisa, cepat kirim uang, ya. Obatnya habis.”Alya terdiam, suaranya tercekat. “Iya… kakak usahakan.”Setelah telepon ditutup, Alya terduduk lemas. Dompetnya kosong. Uang beasiswa bulan ini sudah habis untuk kos, makan, dan transportasi. Ia benar-benar tak punya pegangan.Di kampus, Aditya memperhatikan Alya yang murung. Matanya
Hari-hari setelah malam itu berjalan lambat, seperti jam pasir yang butirannya enggan jatuh.Alya duduk di kamar kosnya, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Aditya:“Aku pulang duluan. Jaga dirimu.”Kalimat sederhana, tapi baginya terdengar dingin, seperti ada tembok yang tak terlihat. Dulu, setiap pesan dari Aditya penuh emotikon lucu, penuh canda, penuh hangat. Sekarang, hanya kata-kata datar yang membuat dadanya sesak.Aditya pun bukan tanpa luka. Ia berjalan di kampus dengan wajah lelah. Teman-temannya mengajak bercanda, tapi senyumnya hambar. Malam-malamnya sering terbangun, bayangan Alya di kamar hotel itu masih menghantui pikirannya.Ia mencintai Alya, sungguh. Tapi bayangan bahwa orang yang ia peluk dengan penuh cinta pernah disentuh dengan cara yang tak seharusnya—itu menusuknya seperti duri yang tak bisa dicabut.Suatu sore, mereka duduk di bangku taman kampus. Langit oranye, daun-daun berguguran tertiup angin. Alya menggenggam tangannya pelan, tapi Adit
Pagi itu, kampus ramai oleh mahasiswa yang terburu-buru masuk kelas. Alya berjalan pelan, pundaknya terasa berat, seolah ada batu besar yang menekan dari dalam dadanya. Matanya sayu, wajahnya pucat.Aditya menyapanya di depan gedung. “Kamu sakit? Dari kemarin aku lihat kamu nggak enak badan.”Alya tersenyum tipis. “Nggak, aku cuma kurang tidur.”Padahal sebenarnya, ia tidak tidur semalam. Ponselnya terus bergetar, pesan-pesan dari manajer itu masuk satu per satu:“Jangan pura-pura lupa hutang budi.”“Kalau kamu nggak mau kerja lagi, aku bisa kasih tahu siapa kamu sebenarnya.”“Pacar kampusmu itu pasti bakal jijik kalau tahu.”Kata-kata itu menusuk seperti belati. Alya membaca, menangis, lalu mencoba menghapus, tapi rasa takut tetap tertinggal di dadanya.Di kelas, Aditya duduk di sampingnya. Sesekali ia menatap Alya, lalu menuliskan sesuatu di kertas kecil.“Kalau kamu ada masalah, aku janji aku siap dengerin.”Alya membaca pesan itu, lalu menutup wajahnya dengan tangan. Air matanya h