Hatiku tidak tenang. Sekolah sudah sepi. Tapi Sifa belum juga keluar. Biasanya Sifa tidak pernah seperti ini. Apa jangan-jangan kelas Sifa belum keluar atau ....
Aku menyapu pandanganku ke sekeliling. Sudah tidak ada lagi orang tua murid yang menjemput anak-anaknya. Hanya ada aku yang tersisa sendirian.Aku turun dari motor menghampiri satpam sekolah yang bertugas untuk memastikan keberadaan Sifa."Pak, lihat Sifa putri saya nggak?" tanyaku. Aku yakin lelaki berseragam putih itu pasti hafal betul siapa aku. Hampir setiap hari kami bertemu saat aku menjemput Sifa."Sifa?" ucap Satpam dengan wajah berpikir, lalu menatap ke arah sekolah. Sepertinya apa yang ada di dalam benak lelaki itu sama seperti halnya denganku. Sejak siswa pertama keluar, aku tidak melihat kemunculan Sifa. Hingga seluruh siswa habis tak tersisa. Sifa tidak ada."Kayaknya, Eh ... Nggak ada deh Bu," jawab lelaki itu ragu. Juga tampak tidak enak padaku.Tubuhku gemetar. Pikiran buruk begitu cepat mengacaukan kewarasan yang susah payah aku pertahankan. Takut dan khawatir bercampur menjadi satu."Apa bapak yakin? Terus di mana anak saya dong, Pak?" protesku panik juga takut. Tidak tau harus meluapkan kekesalan ini pada siapa. Padahal aku sudah berangkat lebih awal untuk menjemput Sifa sebelum jam pulang sekolah."Tenang, Bu, sebentar, saya cek dulu di kelas." Lelaki berseragam putih itu pergi meninggalkanku. Aku menunggu dengan perasaan carut marut. Hatiku tidak tenang. Waktu serasa berjalan melambat. Tidak hanya melambat, tapi juga menyiksa batin ini.Lelaki berseragam putih itu berlari dari arah lorong koridor kelas setelah beberapa saat kemudian. Tapi, kenapa sendiri? Dimana Sifa?"Bagaimana Pak, mana Sifa?" Sergahku menatap ke sekitar lelaki yang tengah mengatur nafasnya itu di depanku."Kata guru kelas, tadi suami ibu menjemput Sifa saat jam pelajaran. Katanya ada urusan keluarga?"Aku membekap mulutku yang seketika menganga. Air mata merebak cepat memenuhi pelupuk mata. Aku tidak percaya Mas Angga melakukannya. Aku kira ia hanya mengancamku saja tadi pagi."Bu, anda baik-baik saja kan?"Ucapan penjaga sekolah itu menyadarkan aku. Saat aku sadar, pipiku sudah basah oleh air mata. "I-iya Pak, saya tidak apa-apa," lirihku seperti gumaman. Kerongkonganku serasa tercekat. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Tubuhku terasa begitu ringan. Kebas dan nyaris tidak bisa merasakan apapun.Aku kembali menuju motor dengan langkah gontai. Tubuhku lesu, tidak bertenaga. Aku mengendarai sepeda motor dengan perasaan hancur sehancur-hancurnya. Tapi sepertinya aku tahu ke mana Mas Angga membawa putri kami.Aku mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi. Menuju rumah bercat biru yang aku datangi tadi pagi. Aku yakin Mas Angga membawa Sifa ke rumah istri mudanya. Kemana lagi? Tidak mungkin Mas Angga membawa Sifa pulang kampung. Karena itu sangat jauh sekali. Mas Angga juga memiliki tanggung jawab untuk bekerja.Tok ... Tok ...Aku mengetuk pintu rumah wanita murahan itu. Tidak mengetuk, melainkan menggedornya.Klak!Pintu terbuka."Kamu?" Wanita bernama Kinanti itu terhenyak melihat kemunculanku di depan pintu rumahnya."Di mana Mas Angga?" Aku mendesis. Menatap dengan sorot tajam. Bagaikan singa yang siap menerkam wanita murahan itu."Nggak ada, Mas Angga nggak ada di sini!" jawab Kinanti ketus. Wajahnya nampak tegang, mungkin takut kalau aku menyerangnya."Bohong!" sentakku tidak percaya. "Mas Angga pasti ada di sini!" Aku melotot. Api amarah serasa panas membakar jiwa."Mas, cepat' keluar kamu, Mas! Kembalikan Sifa padaku!" Aku berteriak di luar pintu, hendak menyerobot masuk."Dia tidak ada di sini! Tolong, jangan buat keributan di rumah saya." Kinanti mendorong tubuhku menjauh dari pintu dan hendak menutup pintu. Aku tidak tinggal diam, aku menahan pintu agar tidak tertutup dan segera menyerobot masuk. Kemerahan benar-benar menguasaiku."Hay, berhenti!" Kinanti berteriak menghalau langkahku. Mengejarku yang terlanjur masuk ke dalam rumah untuk menggeledah setiap sudut rumah itu."Mas Angga tidak ada di sini. Lebih baik kamu pulang dari rumah saya!" sentak Kinanti.Aku tidak peduli. "Mas Angga keluar kamu! Jangan bersembunyi. Di mana Sifa Mas!" Aku berteriak memeriksa setiap sudut rumah Kinanti. Tanpa mempedulikan omelan Kinanti."Hey, jangan lancang kamu ya! Atau aku akan memanggilkan kamu petugas keamanan." Kinanti mengancamku. Tapi aku sama sekali tidak takut. Aku terus memeriksa seluruh ruangan yang ada di dalam rumah itu.Ucapan Kinanti sungguh-sungguh. Ia benar-benar memangil petugas keamanan untuk mengusirku dari rumahnya. Aku terpaksa menurut, setelah memastikan jika Mas Angga memang tidak ada di rumah Kinanti.Setelah dari rumah Kinanti, aku mencari keberadaan Mas Angga ke tempat kerjanya. Barang kali lelaki itu pergi ke sana. Tapi hasilnya tetap sama, kata teman kerja Mas Angga di kantor, lelaki itu tidak masuk kerja hari ini. Lalu kemana perginya Mas Angga?____Senja melukis jingga di langit barat. Sepanjang hari aku duduk termenung di beranda rumah. Menatap ke arah pintu pagar yang sudah kubuka lebar sejak tadi. Menunggu kepulangan Mas Angga dan Sifa putriku. Tapi hingga suara adzan berkumandang lelaki itu tidak juga kunjung pulang.Aku tidak tau harus menghubungi Mas Angga kemana. Aku baru sadar, jika Mas Angga sudah memblokir nomorku. Entah sejak kapan pastinya, aku tidak tau. Aku lupa, aku benar-benar lena.Saat nelangsa menyisakan jiwa. Sepi nyaris membuatku mati. Aku mencoba menghubungi Mas Satya. Kemana lelaki itu? Penyembuh jiwaku, kenapa dia juga sama sekali tidak pernah menghubungiku?Tut ... Tut ....Panggilan terhubung. Namun tidak terangkat. Biasanya jam segini Mas Satya sudah pulang bekerja. Sementara istrinya masih sibuk di toko roti miliknya."Angkat dong Mas!" lirihku getir. Kini aku merasa benar-benar sendiri. Semua orang yang aku cintai pergi meninggalkan aku.Cahaya matahari menelusup masuk melalui celah-celah jendela kamarku. Menyilaukan pandanganku. Ada yang aneh dengan pagiku hari ini. Biasanya aku harus bangun paling awal untuk menyiapkan semua kebutuhan Mas Angga dan Sifa. Tapi kali ini, sepi seolah ingin membunuhku perlahan. Tidak ada Sifa tidak ada Mas Angga. Aku begitu merindukan suami dan anakku.Aku menangisi diri. Mengapa semua jadi seperti ini. Lalu siapa yang harus aku salahkan sekarang? Diriku sendiri? Atau Mas Angga?Dreet!Ponsel yang tergeletak di atas nakas bergetar. Meskipun malas, tanganku terulur untuk meraihnya. Berharap itu adalah pesan dari Mas Angga.Sebuah notifikasi pesan dari Mas Satya muncul pada layar ponsel. Secercah harapan terbit dalam hati. Ternyata masih ada yang peduli denganku. Aku butuh obat, penenang dari rasa sakit yang menyiksa ini.[Temuin aku di Cafe Marina.] tulis pesan dari Mas Satya.Cepat aku membalas. [Iya Mas.]Tidak menunggu waktu lama aku segera bersiap membersihkan diri. Tidak lupa memoles wajahku dengan make up natural. Hari ini aku tidak terlalu mood untuk berdandan yang berlebihan. Isi kepalaku dipenuhi oleh Mas Angga dan Sifa. Tapi di sisi lain aku juga butuh teman untuk berbagi.Tiga puluh menit berlalu. Aku sampai di cafe Marina. Karena masih terlalu pagi, cafe itu masih sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang datang. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling mencari keberadaan Mas Satya, tapi tidak menemukannya."Mbak Mita ya?"Aku terhenyak dan reflek membalikkan tubuhku. Seorang wanita berhijab berdiri di belakang punggungku, tengah melemparkan senyuman padaku."Saya Lidya istri dari Mas Satya," ucap wanita itu bak petir yang menyambar di siang bolong.'Apa yang ingin wanita ini lakukan? Apakah dia tau tentang perselingkuhanku dengan Mas Satya?'_____Bersambung ....“Aku yang membalas pesanmu di nomor Mas Satya.” Lanjut wanita yang mengaku sebagai istri Mas Satya.Kerongkonganku serasa tercekik. Degupan jantungku mendadak memburu cepat. Wajahku menegang tidak menyangka. Apakah itu berarti wanita ini sudah mengetahui perselingkuhanku dengan Mas Satya. Hatiku takut, jika wanita ini akan mengamuk padaku. Aku mematung seperti halnya orang bodoh.“Mari kita duduk, tidak enak kalau kita ngobrol sambil berdiri seperti ini,” ajak Lidya. Ada senyuman yang terulir dari bibirnya. Sama sekali tidak ada kemarahan. Harusnya jika dia tau aku adalah selingkuhan Mas Satya, Lidya pasti marah padaku. Tapi, wanita ini tampak begitu tenang sekali. Aku menurut, duduk pada salah satu bangku café. Wanita itu duduk pada bangku tepat di sebrang mejaku. “Nama kamu Mita?” tanyanya membuka obrolan. Aku menganggukan kepalaku. Dari mana dia tau? Apa Mas Satya yang bercerita? Ah, tidak mungkin.Wanita berwajah teduh yang mengaku istri Mas Satya itu mengulas senyuman. “Sudah be
Pov Angga.Wiper pada kaca yang ada di depan mobil bergerak ke kiri dan ke kanan. Menyapu titik-titk hujan yang turun meramunkan pandanganku. Ternyata bukan karena gerimis hujan yang turun. Melainkan gerombolan cairan yang memanas memenuhi pelupuk mata ini.Sakit, kecawa, hancur definisi rasa yang berkecamuk menjadi satu. Secara bersamaan menghujam segumpal daging yang apabila daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila segumpal daging itu buruk maka buruklah seluruh tubuhnya dan segumpal daging itu adalah hatiku.Bough …Bough …Aku menghujani setir mobil sekeras mungkin. Tidak kurasakan sakit sama sekali pada tangan ini. Karena rasa sakitnya telah berbindah pada batin ini yang tersiksa oleh sebuah pengkhianatan.“Kenapa kamu tega sekali mengkhianati pernikahan kita, Mita!” kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir ini. Perih merajam sukma yang terluka. Madu yang kuberikan pada Mita nyatanya dibalas racun yang mematikan. Kebohongan demi kebohongan terajut rapi menjad
“Papa.”“Papa.”Aku terbangun dari tidurku saat suara Sifa masuk memenuhi indra pendengaranku. Tangan mungil itu menggoyang lenganku dan membuatku tersadar dari kantuk yang menyergap.Kepalaku terasa berat. Aku baru bisa tidur saat adzan subuh berkumandang. Akhir-akhir ini pikiranku begitu kacau. Apalagi setelah mengetahui jika Mita berselingkuh dengan lelaki lain. Tidak hanya hatiku, hidupku juga hancur. Setiap malam aku berusaha mengumpulkan kepingan puzzle sisa-sisa hidupku yang telah hancur. Mancari alasan yang harus membuatku kuat dan tetap bertahan untuk melewati hari-hari. “Pah.” Panggilan Sifa melemah. Setelah melihat pergerakan tubuhku. Pelan aku membuka mata, mengusap sesaat netra yang terasa begitu lengket ini.“Kenapa, nak?” jawabku dengan suara berat. Karena jujur aku masih mengantuk sekali. Lagian ini hari minggu. Tidak ada salahnya bukan kalau aku bermalas-malasan barang sebentar.Sifa mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan wajah penuh tanya. Aku tau alasannya,
POV Author.Paramita berjalan gontai menyusuri paving blok yang berjajar rapi dihalaman rumahnya hingga ke beranda. Pandangannya kosong menatap rumah yang dulu menjadi impiannya bersama Angga. Susah payah ia membangun istana itu ditahan rantau bersama-sama. Tapi kini rumah itu hanya menjadi saksi bisu bahwa dirinya dan Angga pernah menjadi bagian satu sama lainya.Criet.Suara pintu yang kurang pelumas terdengar. Disambut dengan ruang gelap saat Mita mendorong pintu ke dalam. Hening, tawa Sifa dan celotehan gadis kecil yang kerap kali menyambut kedatangan Mita tak lagi terdengar. Hanya kehampaan yang semakin menyiksa batin wanita itu.Mita berjalan masuk. Mengabaikan ruangan gelap segelap hatinya saat ini. Ia bak layang-layang yang terlepas dari tuanya. Terombang ambing mengikuti arah angin yang membawanya tak tentu arah.Semua terasa tidak adil. Bukankah Angga juga berselingkuh. Bahkan sampai wanita selingkuhannya itu hamil. Tapi kenapa hanya Mita yang harus menanggung derita kehilan
Senyum bahagia mengembang dari bibir Sifa. Gadis kecil bermata indah itu memeluk erat tubuh MIta penuh kerinduan. Seolah telah ribuan purnama mereka tidak pernah bersua.Mita menangis. Lidahnya kelu tidak bisa berucap apapun. Tanganya mengusap lembut rambut Sifa yang ada dalam pelukannya. Ribuan sesal dan umpatan ia tujukan pada dirinya sendiri di dalam hati. Andai saja ia tak seliingkuh pasti semua akan baik-baik saja. Tapi tidak, Bukankah Angga juga melakukanya. Itu berarti, tidak semua kesalahan ada padanya.Pikiran Mita berkecamuk hebat. Ia sadar dirinya salah, tapi Angga juga bersalah. Jika Mita mampu, saat ini juga ia iangin membawa Sifa pergi bersamanya. Agar Angga tidak memisahkan gadis kecil itu lagi dengan dirinya. Persetan setelah ini Angga akan menikah dengan wanita itu. Mita tidak peduli. Ia hanya ingin bersama putri semata wayangnya. Karena hati Mita juga sama sakitnya karena perselingkuhan Angga.Hati Angga perih. Seperti di cabik dan di sayat tipis-tipis. Melihat peman
Kabut pagi yang menyelimuti telah memudar oleh hangatnya cahaya matahari yang mulai meninggi. Embun yang membasahi pucuk-pucuk dedaunan pun juga telah sirna. Berganti dengan kuncup-kuncup bunga yang bermekaran. Keheningan malam yang menenangkan, mulai tergilas dengan hiruk pikuk ramainya kehidupan anak manusia. Kereta yang membawa Angga dan Sifa telah tiba di sebuah stasiun kota kecil di provinsi Jawa tengah. Kereta datang lebih awal dari yang dijadwalkan. Saat kereta tiba stasiun, gadis kecil yang baru keluar dari rumah sakit itu masih terbuai oleh mimpi di atas pangkuan Angga.Angga berinisiatif untuk menggendong Sifa. Tidak peduli jika dia juga harus menurunkan dua koper miliknya dan milik Sifa. Saat ia mengangkat tubuh Sifa dari atas pangkuan, gadis kecil itupun terbangun."Kita sudah sampai ya, pa?" Sifa memaksakan membuka matanya, menatap ke sekeliling gerbong yang sudah kosong. Angga sengaja memilih turun paling akhir agar tidak berdesak-desakan dengan penumpang kereta yang la
Dangan langkah gemetar Mita menghampiri Satya. Lelaki yang berjanji akan menikahinya jika saja Angga menceraikannya dan sebentar lagi, semua itu akan menjadi kenyataan."Jadi total semuanya berapa, Mbak?" Suara lembut itu masuk dalam indra pendengaran Mita. Suara yang membuat wanita itu mabuk kebayang. Perkenalan yang Mita anggap sebagai pelampiasan atas kejenuhannya pada pernikahannya. Justru menyeretnya pada rasa nyaman yang membuatnya lupa jika ia adalah seorang istri dari lelaki lain."Kembalianya ambil saja, Mbak!" Tangan Satya terulur hendak mengambil kantong plastik berisi makanan yang pelayan itu letakan di atas meja."Mas Satya!" Suara Mita pelan, seperti tertahan di kerongkongan.Gerakan tangan Satya terhenti di udara. Suara yang tidak asing terdengar di telinganya membuat jantung Satya berdebar kencang.Mita menatap punggung lelaki yang berdiri di depannya dengan netra berkaca-kaca. Ada gundah yang rasanya ingin ia adukan pada Satya. Tentang rumah tangganya yang berada di u
Sepanjang perjalanan hanya keheningan yang tercipta. Wanita berbalut kerudung merah muda itu bergeming. Satya yang duduk di bangku kemudi juga tidak berani' bertanya. Ia kalah telak. Bagaikan simalakama maju kena mundur pun kena.Dada Lidya bergerak naik turun. Seraya mengatur nafasnya yang memburu karena emosi melihat Mita bertemu dengan Satya lagi. Susah payah ia menjauhkan Satya dari Mita dengan menyita ponsel lelaki itu. Justru dengan mudahnya takdir mempertemukan mereka kembali."Aku benar-benar tidak tau jika Mita juga berada di sana, Ma," lirih Satya. Bak seekor harimau yang sudah kehilangan taringnya. Satya tidak memiliki nyali sama sekali.Lidya melirik tajam pada Satya. Seketika lelaki itupun mengatubkan bibirnya. Jika saja tidak ingat akan keberadaan putra semata wayang mereka, Lidya pasti sudah membuang suami benalu seperti Satya. Lelaki yang hanya mampu nemplok di kehidupan Lidya juga keluarganya."Ini terkahir kalinya kamu bertemu dengan wanita itu, Mas. Jika kamu mengul