Share

Bab 8

Hatiku tidak tenang. Sekolah sudah sepi. Tapi Sifa belum juga keluar. Biasanya Sifa tidak pernah seperti ini. Apa jangan-jangan kelas Sifa belum keluar atau ....

Aku menyapu pandanganku ke sekeliling. Sudah tidak ada lagi orang tua murid yang menjemput anak-anaknya. Hanya ada aku yang tersisa sendirian.

Aku turun dari motor menghampiri satpam sekolah yang bertugas untuk memastikan keberadaan Sifa.

"Pak, lihat Sifa putri saya nggak?" tanyaku. Aku yakin lelaki berseragam putih itu pasti hafal betul siapa aku. Hampir setiap hari kami bertemu saat aku menjemput Sifa.

"Sifa?" ucap Satpam dengan wajah berpikir, lalu menatap ke arah sekolah. Sepertinya apa yang ada di dalam benak lelaki itu sama seperti halnya denganku. Sejak siswa pertama keluar, aku tidak melihat kemunculan Sifa. Hingga seluruh siswa habis tak tersisa. Sifa tidak ada.

"Kayaknya, Eh ... Nggak ada deh Bu," jawab lelaki itu ragu. Juga tampak tidak enak padaku.

Tubuhku gemetar. Pikiran buruk begitu cepat mengacaukan kewarasan yang susah payah aku pertahankan. Takut dan khawatir bercampur menjadi satu.

"Apa bapak yakin? Terus di mana anak saya dong, Pak?" protesku panik juga takut. Tidak tau harus meluapkan kekesalan ini pada siapa. Padahal aku sudah berangkat lebih awal untuk menjemput Sifa sebelum jam pulang sekolah.

"Tenang, Bu, sebentar, saya cek dulu di kelas." Lelaki berseragam putih itu pergi meninggalkanku. Aku menunggu dengan perasaan carut marut. Hatiku tidak tenang. Waktu serasa berjalan melambat. Tidak hanya melambat, tapi juga menyiksa batin ini.

Lelaki berseragam putih itu berlari dari arah lorong koridor kelas setelah beberapa saat kemudian. Tapi, kenapa sendiri? Dimana Sifa?

"Bagaimana Pak, mana Sifa?" Sergahku menatap ke sekitar lelaki yang tengah mengatur nafasnya itu di depanku.

"Kata guru kelas, tadi suami ibu menjemput Sifa saat jam pelajaran. Katanya ada urusan keluarga?"

Aku membekap mulutku yang seketika menganga. Air mata merebak cepat memenuhi pelupuk mata. Aku tidak percaya Mas Angga melakukannya. Aku kira ia hanya mengancamku saja tadi pagi.

"Bu, anda baik-baik saja kan?"

Ucapan penjaga sekolah itu menyadarkan aku. Saat aku sadar, pipiku sudah basah oleh air mata. "I-iya Pak, saya tidak apa-apa," lirihku seperti gumaman. Kerongkonganku serasa tercekat. Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Tubuhku terasa begitu ringan. Kebas dan nyaris tidak bisa merasakan apapun.

Aku kembali menuju motor dengan langkah gontai. Tubuhku lesu, tidak bertenaga. Aku mengendarai sepeda motor dengan perasaan hancur sehancur-hancurnya. Tapi sepertinya aku tahu ke mana Mas Angga membawa putri kami.

Aku mengendarai motorku dengan kecepatan tinggi. Menuju rumah bercat biru yang aku datangi tadi pagi. Aku yakin Mas Angga membawa Sifa ke rumah istri mudanya. Kemana lagi? Tidak mungkin Mas Angga membawa Sifa pulang kampung. Karena itu sangat jauh sekali. Mas Angga juga memiliki tanggung jawab untuk bekerja.

Tok ... Tok ...

Aku mengetuk pintu rumah wanita murahan itu. Tidak mengetuk, melainkan menggedornya.

Klak!

Pintu terbuka.

"Kamu?" Wanita bernama Kinanti itu terhenyak melihat kemunculanku di depan pintu rumahnya.

"Di mana Mas Angga?" Aku mendesis. Menatap dengan sorot tajam. Bagaikan singa yang siap menerkam wanita murahan itu.

"Nggak ada, Mas Angga nggak ada di sini!" jawab Kinanti ketus. Wajahnya nampak tegang, mungkin takut kalau aku menyerangnya.

"Bohong!" sentakku tidak percaya. "Mas Angga pasti ada di sini!" Aku melotot. Api amarah serasa panas membakar jiwa.

"Mas, cepat' keluar kamu, Mas! Kembalikan Sifa padaku!" Aku berteriak di luar pintu, hendak menyerobot masuk.

"Dia tidak ada di sini! Tolong, jangan buat keributan di rumah saya." Kinanti mendorong tubuhku menjauh dari pintu dan hendak menutup pintu. Aku tidak tinggal diam, aku menahan pintu agar tidak tertutup dan segera menyerobot masuk. Kemerahan benar-benar menguasaiku.

"Hay, berhenti!" Kinanti berteriak menghalau langkahku. Mengejarku yang terlanjur masuk ke dalam rumah untuk menggeledah setiap sudut rumah itu.

"Mas Angga tidak ada di sini. Lebih baik kamu pulang dari rumah saya!" sentak Kinanti.

Aku tidak peduli. "Mas Angga keluar kamu! Jangan bersembunyi. Di mana Sifa Mas!" Aku berteriak memeriksa setiap sudut rumah Kinanti. Tanpa mempedulikan omelan Kinanti.

"Hey, jangan lancang kamu ya! Atau aku akan memanggilkan kamu petugas keamanan." Kinanti mengancamku. Tapi aku sama sekali tidak takut. Aku terus memeriksa seluruh ruangan yang ada di dalam rumah itu.

Ucapan Kinanti sungguh-sungguh. Ia benar-benar memangil petugas keamanan untuk mengusirku dari rumahnya. Aku terpaksa menurut, setelah memastikan jika Mas Angga memang tidak ada di rumah Kinanti.

Setelah dari rumah Kinanti, aku mencari keberadaan Mas Angga ke tempat kerjanya. Barang kali lelaki itu pergi ke sana. Tapi hasilnya tetap sama, kata teman kerja Mas Angga di kantor, lelaki itu tidak masuk kerja hari ini. Lalu kemana perginya Mas Angga?

____

Senja melukis jingga di langit barat. Sepanjang hari aku duduk termenung di beranda rumah. Menatap ke arah pintu pagar yang sudah kubuka lebar sejak tadi. Menunggu kepulangan Mas Angga dan Sifa putriku. Tapi hingga suara adzan berkumandang lelaki itu tidak juga kunjung pulang.

Aku tidak tau harus menghubungi Mas Angga kemana. Aku baru sadar, jika Mas Angga sudah memblokir nomorku. Entah sejak kapan pastinya, aku tidak tau. Aku lupa, aku benar-benar lena.

Saat nelangsa menyisakan jiwa. Sepi nyaris membuatku mati. Aku mencoba menghubungi Mas Satya. Kemana lelaki itu? Penyembuh jiwaku, kenapa dia juga sama sekali tidak pernah menghubungiku?

Tut ... Tut ....

Panggilan terhubung. Namun tidak terangkat. Biasanya jam segini Mas Satya sudah pulang bekerja. Sementara istrinya masih sibuk di toko roti miliknya.

"Angkat dong Mas!" lirihku getir. Kini aku merasa benar-benar sendiri. Semua orang yang aku cintai pergi meninggalkan aku.

Cahaya matahari menelusup masuk melalui celah-celah jendela kamarku. Menyilaukan pandanganku. Ada yang aneh dengan pagiku hari ini. Biasanya aku harus bangun paling awal untuk menyiapkan semua kebutuhan Mas Angga dan Sifa. Tapi kali ini, sepi seolah ingin membunuhku perlahan. Tidak ada Sifa tidak ada Mas Angga. Aku begitu merindukan suami dan anakku.

Aku menangisi diri. Mengapa semua jadi seperti ini. Lalu siapa yang harus aku salahkan sekarang? Diriku sendiri? Atau Mas Angga?

Dreet!

Ponsel yang tergeletak di atas nakas bergetar. Meskipun malas, tanganku terulur untuk meraihnya. Berharap itu adalah pesan dari Mas Angga.

Sebuah notifikasi pesan dari Mas Satya muncul pada layar ponsel. Secercah harapan terbit dalam hati. Ternyata masih ada yang peduli denganku. Aku butuh obat, penenang dari rasa sakit yang menyiksa ini.

[Temuin aku di Cafe Marina.] tulis pesan dari Mas Satya.

Cepat aku membalas. [Iya Mas.]

Tidak menunggu waktu lama aku segera bersiap membersihkan diri. Tidak lupa memoles wajahku dengan make up natural. Hari ini aku tidak terlalu mood untuk berdandan yang berlebihan. Isi kepalaku dipenuhi oleh Mas Angga dan Sifa. Tapi di sisi lain aku juga butuh teman untuk berbagi.

Tiga puluh menit berlalu. Aku sampai di cafe Marina. Karena masih terlalu pagi, cafe itu masih sepi. Hanya ada beberapa pengunjung yang datang. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling mencari keberadaan Mas Satya, tapi tidak menemukannya.

"Mbak Mita ya?"

Aku terhenyak dan reflek membalikkan tubuhku. Seorang wanita berhijab berdiri di belakang punggungku, tengah melemparkan senyuman padaku.

"Saya Lidya istri dari Mas Satya," ucap wanita itu bak petir yang menyambar di siang bolong.

'Apa yang ingin wanita ini lakukan? Apakah dia tau tentang perselingkuhanku dengan Mas Satya?'

_____

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status