"Kamu yang kurang ajar, Mas! Kamu yang setan! Beraninya kamu mengatakan kalimat itu pada putraku! Apa hubunganmu dengan perempuan itu sehingga kamu sampai membelanya seperti itu, ha?!"
Rio langsung berlari menghambur di pelukan ibunya. Safira mengelus kepala putranya agar lebih tenang. Suaminya tak pernah semurka itu sebelumnya. Ia membuatnya benar-benar sangat marah. "Bukan begitu, Bun. Kasihan lo, Megan. Sampai pucat begitu," ucap Danang gelagapan. "Heleh! Hamster segede anak tikus aja sampai peluk suami orang," cerocos Safira. Nampak Megan sedang memeluk dirinya di dekat dinding. Yang barusan itu benar-benar menakutkan. Hatinya cukup panas mendengar tanggapan Nyonya. Ingin rasanya ia berbuat melebihi batasannya sebagai pembantu rumah itu. Namun dia masih menahannya. Belum waktunya, desis hatinya menahan amarah. "Kamu jangan memudahkan semua perihal. Ini sudah masuk kasus pembulian. Banyak orang yang takut sama kecoa, ulat, cacing!" "Terus saja kamu belain dia, Mas. Kamu membuatku curiga." "Curiga apaan sih?! Punyalah rasa empati pada orang lain, Fir!" seru Danang masih melotot. Sekarang pria itu bahkan memanggil nama istrinya. Safira hanya mendengkus. Ia tahu, memang tak seharusnya dia bicara begitu tapi melihat respon suaminya yang seperti orang kesetanan untuk membela pembantu muda itu membuatnya benar-benar di luar kendali. "Minta maaf sama Mbak Megan," ujar Safira menoleh pada ketiga anak itu. Ketiganya saling menoleh. "Ayo!" seru Safira. "Maaf," ujar Rio datar. Bahkan ia tidak memandang ke arah pembantu itu. "Hanya iseng saja," ujar Pricilia dengan wajah ketus. Bahkan ia membuang wajahnya langsung. "Maafkan kami Mbak. Maaf," ujar Arini terdengar lebih serius dan dari dalam hati. Danang mendekati putranya. Wajahnya masih tegang. "Minta maaf yang tulus, Rio. Kamu sudah salah. Kamu bisa dicontoh sama adikmu. Sekarang salim cium tangan Mbak Megan." Safira langsung menarik baju putranya yang akan bergerak. "Tak perlu. Tak usah. Sudah, kalian lanjutkan PR nya," ujar Safira dengan wajah yang pasti. Mulut Danang akan terbuka ingin Menimpali istrinya namun Safira seolah tidak mengizinkan pria itu bicara. "Dan kamu, Megan, balik kamarmu sekarang! Tak perlu kamu ketakutan begitu sampai-sampai lupa di sini itu kamu siapa." Safira mendengar suara deringan hpnya lalu melenggang pergi masuk kamar. Danang menoleh pada Megan. Merah urat-urat bola matanya yang besar itu. Megan meneteskan air mata tanpa suara. Dia menunduk lalu menengadah melihat Danang. Sorot matanya menunjukkan kemarahan yang besar, yang terpendam dan tak bisa dia ungkapan. Dan Danang paham itu. Ia ingin mendekat namun Megan langsung bergegas ke kamarnya. Bahkan suara pintu kamarnya yang ditutup dengan keras terdengar menghantam. "Papa mau bicara sama kamu Rio. Ikut Papa!" Tak bicara apa pun, Rio melangkah tanpa ragu. Ia yakin, Papanya tidak akan menyakitinya sebab bundanya selalu siap membelanya. Danang membawa putranya menjauh, ke taman belakang tepat di bawah pohon jambu batu. "Kenapa kamu menyimpan hamster itu di kamar Mbak Megan? Kamu tahu itu sangat salah, Rio. Kamu sudah buat keonaran. Kasihan Mbak Megan sampai gemetar begitu ketakutan." Rio diam saja. "Ayo bicara, Nak! Jangan buat Papa kembali marah. Papa gak mau kamu tumbuh jadi anak yang nakal." Rio masih diam. "Bicara, Rio! Berikan Papa alasan yang logis kenapa kamu sampai buli Mbak Megan?! Dia itu sudah ngurus kamu dan adikmu dengan tulus!" "Apa itu tulus, Pa? Tulus karena dia selingkuhan Papa?" Seperti tersambar ribuan kilat sehingga membuat Danang menjadi kaku. Ia langsung menoleh kiri kanan lalu duduk berjongkok sejajar dengan putranya. Danang langsung meraih pundak Rio. Anak laki-laki usia 12 tahun itu membuang wajahnya, tak ingin melihat ayahnya. Sejujurnya ia menahan air matanya agar tidak jatuh. Rio ingin menangis. "Lihat Papa, Rio. Lihat Papa." Danang menarik rahang wajah putranya namun Rio menyampingkan wajahnya. Danang menggeser posisinya agar bisa berhadapan dengan mata Rio namun dengan cepat Rio mengalihkan pandangannya yang sudah buram. "Papa minta kamu jelasin maksud ucapanmu tadi. Apa yang kamu ketahui, Nak?" Rio masih bergeming bertahan tidak mau bicara. Hatinya sangat sakit. Kenapa Papanya jahat sekali sekarang?! Kenapa harus Papanya?! "Rio!" Tangan besar Danang mencengkram bahu kecil Rio. "Apa?! Kenapa? Memangnya apa yang akan Papa lakukan kalau aku memang sudah tahu? Beberapa kali aku lihat Papa cium dia saat Bunda di kamar. Papa peluk dia! Papa bahkan masuk kamar dia! Kenapa Papa jahat sama aku? Sama adek? Papa sudah jahatin Bundaku!" "Selama ini aku diam karena aku takut sekali Bundaku sakit hatinya dan menjadi sedih. Sampai aku berpikir biar aku sendiri yang sedih jangan Buunda sama adek. Tapi kenapa Papa begitu sama Bundaku? Bunda itu ibu yang sangat baik dan sangat cantik di mataku. Dia wanita yang paling cantik di dunia ini. Bagaimana bisa Papa mencium dan memeluk wanita lain?! Papa jahat sekali melebihi seluruh penjahat di dunia ini karena sudah mengkhianati bundaku!" Rio berusaha melepaskan diri dari cengkraman ayahnya. Jantung Danang berdegub kencang mendangar ucapan putranya. Baru pertama kali ia mendengar Rio yang irit bicara sampai bicara sebanyak itu. Pria itu memaksa lidahnya untuk bicara meskipun tercekat. "De-de-dengarkan Papa, Nak. Ini tidak seperti yang kamu kira." "Aku tidak selalu tetap jadi anak kecil, Pa. Aku sudah besar. Aku sudah mengerti apa yang sedang terjadi. Kalau Papa gak mau usir wanita itu dari rumah ini, aku akan bilang sama Bunda!" ancam Rio dengan sorot mata tajam. "Jangan, Nak. Papa bisa jelaskan ini." "Lepasin! Aku benci sama Papa! Papa jahat!" Danang semakin mencengkram bahu putranya. Ia harus memastikan Rio tidak bicara apa pun pada istrinya. Bisa hancur berantakan rumah tangganya dengan Safira. Wanita itu bukanlah wanita yang bisa ditekan dan Danang tahu itu. "Lepasin aku, Pa!" "Dengarkan Papa dulu!" bentak Danang. "Mas! Lepasin!" teriak Safira mendekat dengan langkah cepat. Rio berhasil lepas dan langsung lari menjauh. Pricilia dan Arini yang mengintip langsung mengejar Rio yang berlari ke arah kamarnya. "Kamu kenapa sih, Mas?! Sampai bikin anak ketakutan gitu. Belum puas tadi kamu sudah mau pukul dia sekarang kamu cari tempat lain buat menekan putraku?" "Dia putraku juga, Fir. Kamu kalau ngomong suka gak saring." "Ya, karena orang tua yang bijak itu tidak mudah berbuat kasar pada anak, Mas. Rio itu sudah besar. Bentar lagi dia masuk SMP. Kamu jangan berlebihan, deh. Bela pembantu segitu banget. Bisa kan anak diajak bicara baik-baik," omel Safira. "Ini semua karena kamu terlalu memanjakannya, membelanya tanpa berpikir. Sudah tahu anak salah, masih dibela! Aku gak mau dia kebiasan nanti bulli orang lain!" Danang berusaha berkilah. Ia tak ingin istrinya curiga kalau memang dia sangat mengkhawatirkan Megan. Megan yang cantik, muda dan pandai memperlakukannya sebagai lelaki dewasa. "Kalau bukan Megan yang diisengin Rio, apakah responmu akan setegang ini, Mas?" cecar Safira tak berkedip menatap suaminya. "Apaan sih pertanyaanmu itu, gak mutu. Udah akh, aku capek. Didik anakmu itu supaya tidak mudah membulli orang lain!" Danang ketus dan masam untuk menutupi ketidak mampuannya menjawab pertanyaan istrinya. Ia pun melangkah cepat meninggalkan Safira seorang diri di halaman rumah itu. "Cepat atau lambat, aku akan mengetahui apa sebenarnya yang sedang terjadi, Mas." "Cepat atau lambat ...," desis Safira berulang."Kan sudah puluhan kali David melamarmu, kok baru sekarang kamu gemetar begini?" "Beda, Buk. Beda aja! Ibuk gak tahu gimana rupa Mamanya. Iihhh!" Senyum Bu Sartini makin lebar. "Ya, aku paham perasaanmu. Selama ini sama David, kamu merasa lebih enjoy, rileks karena memang kalian sudah sangat dekat sejak masih satu kantor." "Ya Buk. Terus gimana dong ini?" "Ya gimana apa? Kita siapkan diri lah," ketus Bu Sartini meraih hpnya. "Ya Allah, Buk." Safira kehilangan kata-kata. Ia seperti diambang dua sisi. Antara mau dan tidak mau menikah dengan David. Dia pun bingung dengan dirinya sendiri karena tidak bisa menentukan perasaan sesungguhnya itu bagaimana. "Ibu mau nelpon siapa?" "Nelpon Burhan. Mau suruh cari orang buat cat ulang rumah ini. Aku juga mau ganti sofa sama gorden baru." "Buat apa, Buk?!" "Astaghfirullah! Pake nanya lagi! Ya buat persiapan kamu dilamar lah! Memang kamu gak mau nikah sama David? Yang jelas caranya. Mau apa gak?!" "Aku bingung, Buk. Anak
Dengan percaya diri, Safira meletakkan setelan baju yang dia rekomendasikan di depan Bu Erlita. Wanita kaya itu merabanya lembut namun otaknya berpikiran hal lain. Ia ingin mengintimidasi pemilik butik dan mengetahui, sejauh mana wanita itu bisa bertahan. "Bagaimana seorang owner butik bisa mendapatkan hati pewaris tunggal Adingtong grup? Kau tahu, putraku itu sangat sulit didekati." "Hati adalah magnet, Nyonya. Dia akan tertarik pada energi yang sama dengannya." Bu Erlita tersenyum kecil. Dia wanita cerdas dan paham, Safira tidak mau merendahkan dirinya. Seolah mengatakan, dia sama hebatnya dengan putranya dan pantas. "Tapi, saya belum menerima putra Anda. Masih saya bertimbangkan, " sambung Safira yang membuat Bu Erlita tersenyum lebih lebar. Dia suka wanita yang tak mudah dan tak murah. "Kenapa? Bukankah putraku pria yang sempurna untuk dinikahi?" "Karena merasa hidup saya saat ini sudah sangat sempurna, Nyonya. Jodoh masih jadi rahasia. Saya memiliki anak-anak dan t
Beberapa waktu berlalu, Rio dan Amira makin dekat dengan David. Pria itu berhasil menjadikan dirinya bagian dari memori anak-anak itu. Ia mengira harus merogoh uang yang banyak untuk bisa mendapatkan perhatian anak-anak. Rupanya tidak. Tidak banyak modal yang dia keluarkan namun tenaganya yang sering kali harus dia isi ulang. Ternyata David sekarang paham, membuat anak-anak bahagia bukan hanya sekedar bermodal uang. Namun intraksi dan komunikasi itu, tidak hanya sekedar bersama tapi bercengkrama. Ada timbal balik antara orang dewasa dan anak yang membuat mereka menjadi lebih dekat. Di sela-sela kesibukannya, David menyempatkan dirinya melakukan panggilan vidio dengan anak-anak melalui ponsel Bu Sartini atau Mimi. Minggu ini, mereka antusias karena akan diajak bermain ke dino land. "Janji, ya, Om CEO!" seru Amira yang pandai berceloteh. Dia lebih lincah bicara daripada Rio yang hanya ikut-ikutan. "Om ada hadiah buat kalian. Nanti malam Om bawakan, ya!" Amira mengangguk. Nampak
Dua hari kemudian, Safira yang baru saja pulang dari butik langsung dikagetkan dengan berita jika ibunya sakit. "Ayo, Mi! Kita nginap di rumah ibuk. Kita bawa perlengkapan untuk nginap seminggu." "Siap, Nyonya." Benar saja, di rumah, Bu Sartini sudah memakai koyo di sisi kiri kanan kepalanya. Ia menggunakan selimut menutupi tubuhnya. "Ya Allah, Ibuk, kok tiba-tiba aja sih gini?" tanya Safira khawatir. "Makanya aku cariin bibik biar ada yang bantu, kenapa sih gak pernah mau?!" "Gak apa-apa. Aku baik-baik saja. Hanya nyilu-nyilu dikit. Mana anak-anak? Kamu bawa kan anak-anak?" "Rio les. Amira sedang tidur di kamar." Bu Sartini tersenyum. Menjelang isya, David datang. Safira yang sedang menikmati urap daun turi campur kol sampai batuk-batuk saat mendengar Mimi mengabari. "Astaghfirullah, ngapain orang itu di sini jam seginian, Mi?!" "Gak tau, Nyonya." Safira melepas makanannya lalu keluar menemui David. Wajah Safira sudah tegang. "Sebelum kamu bicara, aku mau ka
"Jangan bikin gaduh, Andin. Kita memang sahabat dekat tapi kalau sudah tidak sehat begini, habis nanti kubuat kalian. Serahkan Amira sekarang!" "Mbak selalu begitu. Selalu egois. Harus ya, kami ikut ngomongnya Mbak?! Mentang-mentang Mbak lebih kaya dari kami? Mentang-mentang kalian lebih kaya?!!" Bu Andin berkaca-kaca. Sudah serak suaranya. "Ya jelas! Anggap aja begitu. Kenapa memangnya? Lagian, baru saja anak-anak nyampe rumah, sudah mau dibawa pergi. Mereka itu punya rumah! Mereka punya ibu! Terus saja hampir tiap hari kalian bawa!" "Gimana gak mau aku bawa, Mbak?! Ibu mereka sibuk! Malah mau nikah sama laki-laki lain!" timpal Bu Andin menggebu-gebu. "Oooh ... Perkara itu?! Jelaslah! Putriku masih cantik, masih sehat, karirnya melesat. Sangat pantaslah kalau ada laki-laki kaya, pemilik perusahaan besar yang mau meminangnya. Malah akan kupasung Safira kalau dia gak terima pria itu. Hahahaha!" Bu Sartini tertawa jumawa. Safira sampai menutup mulutnya karena terkejut m
"Aku be-belum siap, Mas." "Itu karena kamu gak percaya sama aku, Fir. Please .... marry me." Dalam kegamangannya, Safira melihat mobil mertuanya semakin dekat. Jantung Safira seperti akan melompat keluar. Seperti dia merasa sedang berselingkuh dari putra kedua mertuanya itu. Jelas, wajahnya nampak panik. Mobil berhenti, lalu kaca mobil terbuka. "Ngapain kamu di sini, Safira?" tanya Bu Andin ketus. "Ii-iini, Ma ...." "Masuk!" "Ii-iiya." Mobil Bu Andin masuk garasi. Safira menyerahkan kembali buket uang itu. "Ini David, sorry." Dengan langkah seribu, wanita itu meninggalkan David yang kebingungan. Hatinya sangat sedih mendapati buket dolarnya jelas ditolak. Meskipun David tahu, Safira memiliki banyak uang tapi dia ingin wanita itu antusias menerima hadiah darinya. "Aku tak akan menyerah, Fir. Lihat saja," lirih David kembali masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan di dalam rumah, Safira sedang menerima pandangan melotot dari Bu Andin. "Mi! Ada salad?" tanya Saf