Di kamar Alisa, suasana mencekam. Aleeya duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan saudara kembarnya yang terlihat gelisah."Lisa, kamu yakin nggak mau bilang ke Ayah soal pesan Rio? Ini udah nggak main-main," ujar Aleeya dengan nada cemas.Alisa menggigit bibirnya, tangannya gemetar saat melihat layar ponselnya yang terus bergetar. "Aku takut, Aleeya. Kalau aku bilang, Ayah pasti makin marah. Aku nggak mau semuanya makin kacau.""Tapi kalau kamu diem aja, dia bisa makin berani! Kita nggak tahu dia bakal ngelakuin apa selanjutnya."Tiba-tiba, terdengar suara kaca pecah dari lantai bawah. Aleeya dan Alisa terlonjak kaget.---Di ruang tamu, Nadhif dan Tari langsung berlari ke arah sumber suara. Mereka menemukan jendela depan pecah, dan di lantai, ada batu besar dengan secarik kertas yang terikat di sekelilingnya.Nadhif mengambil kertas itu dengan tangan gemetar dan membacanya keras-keras. "Kalian pikir semua sudah berakhir? Petugas petugas itu teman saya. Ga mempan kalau meminta bantu
Mobil melaju kencang menembus gelapnya malam. Alisa duduk di kursi belakang, kedua tangannya terikat, sementara Rio terus menekan pedal gas. Di sampingnya, seorang pria berwajah kasar dengan luka di pipi menyeringai puas.Alisa berusaha berpikir jernih. Rio jelas sudah kehilangan akal sehat. Tapi yang lebih mengejutkan adalah ucapannya barusan."Bunda tak pernah cerita jika pernah secara tak langsung membunuh orang yang mencintainya?""Apa maksudmu tadi?" Alisa akhirnya bertanya, suaranya gemetar. "Apa hubungan ibuku dengan semua ini?"Rio tertawa kecil. "Akhirnya penasaran juga, ya?"Ia melirik Alisa melalui kaca spion. "Kamu pikir ibumu sesuci itu? Nggak, Lis. Dia punya masa lalu yang lebih kelam dari yang kamu bayangkan."Alisa menggeleng, menolak mempercayai kata-kata Rio. "Bohong! Ibu nggak mungkin—""Kamu tahu Elzio?" potong Rio tajam.Jantung Alisa mencelos. Nama itu asing, tapi ada sesuatu dalam cara Rio mengatakannya yang membuatnya bergidik."Elzio... siapa?"Rio menyer
Di Tempat ElzioMobil Rio berhenti di depan sebuah rumah tua yang terlihat menyeramkan. Cahaya lampu remang-remang menerangi halaman yang penuh dengan ilalang liar.Alisa menelan ludah. Perasaannya tidak enak."Kita di mana?" tanyanya dengan suara gemetar.Rio tidak menjawab. Ia keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Alisa. Pria dengan luka di pipi menyeret Alisa keluar."Lepaskan aku!" Alisa berusaha memberontak, tapi pria itu mencengkeramnya lebih keras.Mereka berjalan ke depan rumah. Rio mengetuk pintu beberapa kali, lalu menunggu.Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari dalam. Pintu kayu tua itu terbuka dengan berderit.Di baliknya berdiri seorang pria yang tampak lusuh. Rambutnya berantakan, wajahnya dipenuhi janggut yang tak terawat. Matanya kosong, tapi ada kilatan aneh di dalamnya."Om..." Rio memanggilnya dengan lembut, seperti berbicara pada anak kecil.Pria itu menatap mereka satu per satu sebelum matanya jatuh pada Alisa.Sekelebat emosi muncul di matan
Malam semakin larut, dan hawa dingin mulai menyelimuti rumah tua itu. Angin berdesir melewati celah-celah jendela yang tak terawat, membuat suasana semakin mencekam. Alisa duduk di sudut ruangan, tubuhnya tegang. Meski tangannya sudah terbebas, pikirannya masih terkunci dalam ketakutan.Di seberang ruangan, Elzio berjalan mondar-mandir, sesekali tertawa kecil tanpa alasan yang jelas. Tatapannya kosong, seperti seseorang yang tersesat dalam pikirannya sendiri. Sementara itu, Rio duduk di kursi dengan wajah kesal, jelas sekali dia tak suka bagaimana keadaan berbalik melawan rencananya."Kita nggak bisa nunggu Tari datang begitu aja," geram Rio. "Aku nggak mau buang waktu!"Elzio tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menoleh tajam ke arah Rio. "Diam kau! Aku yang memutuskan di sini!" suaranya bergetar, entah karena emosi atau kondisi mentalnya yang semakin tak stabil.Alisa memanfaatkan momen itu untuk berbicara. "Jika kau ingin ibuku datang, kau harus membiarkanku menghubunginya," katan
Alisa menahan napas. Bunda datang!Pintu rumah terbuka perlahan. Tari melangkah masuk dengan hati-hati, matanya langsung mencari putrinya."Alisa!"Alisa bangkit berdiri, matanya berkaca-kaca. "Bunda!"Namun, sebelum ia bisa melangkah, Rio menarik lengannya kasar. "Jangan bergerak!"Tari menegang, matanya beralih ke Elzio yang berdiri di sudut ruangan."Elzio…" bisiknya.Pria itu perlahan menoleh. Untuk beberapa detik, keduanya hanya saling menatap. Ada begitu banyak emosi di mata Elzio—kerinduan, kemarahan, kepedihan."Tari…" suaranya serak. "Akhirnya kau datang."Tari melangkah maju dengan hati-hati. "Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Elzio."Elzio tertawa kecil, tapi tawanya penuh kepahitan. "Tidak? Lalu kenapa aku kehilangan segalanya? Kenapa aku hidup dalam kegelapan selama ini?"Rio menatap Tari penuh kebencian. "Om, jangan dengarkan dia! Tari sudah menghancurkan hidupmu! Sekarang saatnya dia merasakan penderitaan yang sama!"Elzio menatap Rio lama. Kemudian, sesuatu yang tak
Suasana di rumah kembali sunyi setelah keributan yang begitu menegangkan. Tari memandang Alisa yang masih terisak dalam pelukannya, tangannya terus membelai lembut rambut putrinya, mencoba menenangkan gadis kecilnya yang baru saja mengalami kejadian mengerikan.Nadhif mendekati mereka, matanya masih menyiratkan amarah yang belum sepenuhnya reda. “Sudah selesai,” gumamnya lirih.Namun, tak ada yang benar-benar merasa lega. Bayangan kejadian barusan masih membekas di benak masing-masing.Alif berjalan menghampiri Alisa, menunduk di hadapan adiknya. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya pelan.Alisa mengangguk, meskipun jelas matanya masih menyimpan ketakutan. “Aku… aku cuma ingin pulang,” bisiknya.Tari mengusap pipi anaknya dengan lembut. “Kita pulang sekarang.”Nadhif berdeham, kemudian menoleh pada Wildan. “Kamu ikut pulang?”Wildan menatap lurus ke arah pintu yang baru saja dilewati polisi yang membawa Rio dan Elzio. Rahangnya mengeras sebelum akhirnya ia menggeleng. “Aku masih ada urusan
Keduanya kembali terdiam, hingga akhirnya rasa lelah mengalahkan ketakutan mereka. Perlahan, Alisa pun terlelap dalam genggaman saudari kembarnya.DI TEMPAT YANG BERBEDA…Di dalam ruang tahanan sementara, Rio duduk bersandar di dinding, wajahnya masih menyiratkan kemarahan. Bahunya yang terluka sudah diperban, tapi rasa sakit yang ia rasakan jauh lebih dalam dari sekadar luka fisik.Seorang pria duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi datar.“Kau benar-benar kacau, anak muda.”Rio menoleh, menatap pria itu dengan tajam. “Siapa kau?”Pria itu menyeringai tipis. “Seseorang yang tahu betul bagaimana rasanya dikhianati.”Rio memicingkan mata. “Apa maksudmu?”Pria itu menyandarkan kepalanya ke dinding. “Hanya saja… aku tertarik padamu. Aku bisa membantumu, jika kau mau.”Rio menyipitkan mata, curiga. “Bantu apa?”Pria itu tertawa kecil. “Balas dendam, tentu saja.”Rio terdiam. Lalu perlahan, sebuah senyum miring terukir di wajahnya.Mungkin… ini kesempatannya. Rasa sakit hati pad
Tari menelan ludah, tangannya mulai gemetar.Seolah memahami ada yang tidak beres, Nadhif yang baru keluar dari kamar mandi langsung menghampiri Tari. “Ada apa?”Tari menunjukkan ponselnya.Nadhif membaca pesan itu. Rahangnya mengeras.“Aku akan cari tahu siapa yang mengirim ini.”Tapi Tari tahu… perasaan mencekam yang menyelimutinya tidak akan hilang begitu saja.Ketakutan itu kembali.Kedamaian yang baru saja mereka rasakan…Telah direnggut lagi. Siapa lagi pelakunya? Rio lagi? Apa Elzio? Tak mungkin mereka keluar dari penjara secepat itu?***Malam di vila itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin pantai yang bertiup lembut seharusnya membawa ketenangan, tapi di dalam kamar, Tari justru merasakan hawa yang menyesakkan. Pesan singkat di ponselnya masih terpampang di layar, membuat dadanya semakin berdebar.Siapa pun yang mengirim pesan itu tahu persis bagaimana menghancurkan ketenangannya.Tari menoleh ke arah Nadhif, yang masih berdiri di dekat jendela dengan ekspresi serius. Ia
Tari nyaris roboh, jika saja Alif tak sigap memegang bahunya. Air mata yang sedari tadi ia tahan, akhirnya tumpah. Namun bukan karena cemburu. Bukan karena dendam. Tapi karena kenyataan bahwa lelaki yang ia cintai, menyimpan luka dan rahasia begitu dalam hingga ia sendiri tak pernah diberi kesempatan untuk tahu dan mengobatinya.Malam itu, setelah semua tamu pergi, Tari duduk berhadapan dengan Dara di ruang tamu. Nayara tertidur di pelukan Aleeya—anehnya, dua gadis itu langsung akrab, seakan darah mereka memang memanggil satu sama lain.Tari menatap Dara. “Apa kamu mencintainya?”“Ya. Tapi aku tahu tempatku di mana. Aku nggak pernah menuntut apa-apa. Mas Nadhif hanya bilang, hidupnya sudah rumit. Dia ingin membesarkan anak-anaknya tanpa drama. Maka aku menjauh.”Tari terdiam. Lalu berkata pelan, “Kalau dia masih hidup, mungkin aku akan marah. Tapi sekarang, aku cuma ingin memastikan Nayara tidak kehilangan arah. Kalau dia memang darah daging Mas Nadhif… maka dia juga keluargaku.”Dara
Tujuh Hari Setelah Kepergian NadhifTari berdiri mematung di depan makam suaminya. Angin sore membawa harum tanah basah dan bunga tabur yang mulai layu. Ia belum pernah merasa sesepi ini. Meskipun rumah selalu ramai oleh anak-anak, tapi kehangatan yang biasa ia rasakan... telah menguap bersama napas terakhir suaminya.Alif mendekat dan menggandeng tangan Tari. “Bun , Ayah titip semua ke Bunda. Kami bakal bantu jagain bunda juga.”Tari tersenyum lemah. Tapi air matanya menetes lagi.“Dulu waktu bunda nikah sama Ayah kalian... Bunda pikir perjalanannya akan mulus. Tapi hidup ternyata lebih rumit. Tapi Ayah kalian... dia tetap bertahan. Walau bunda sering salah paham, marah, bahkan sempat ingin pergi... dia tetap bertahan. Dan hari ini, dia pergi dengan tetap menggenggam tanganku..."Wildan mendekat. "Bun, aku tahu bunda bukan ibu kandungku. Tapi ibu satu-satunya ibu yang pernah aku punya. Aku janji bakal terus di sini buat bunda, buat semuanya."Tari menoleh pada Wildan, lalu memeluknya
Naira duduk sambil memangku Gio yang masih polos.“Mama, kenapa semua nangis?”Naira mencium dahi putranya. “Karena Eyang pergi, Nak. Pergi ke tempat yang jauh…”**Di pemakaman, tanah merah basah oleh hujan. Langit seperti ikut berduka. Satu demi satu tangan anak-anak Nadhif menaburkan bunga, sambil menahan tangis. Tak ada yang siap kehilangan, tak ada yang pernah siap ditBaik, kita lanjutkan ke Bab 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap Ditinggal dari Ketika IB Mengeluh Season 3. Bab ini akan fokus pada detik-detik terakhir kehidupan Nadhif, dengan nuansa haru, penyesalan, dan perpisahan yang menyayat. Cerita akan panjang dan mengaduk emosi.---BAB 15 – Kepergian yang Tak Pernah Siap DitinggalLangit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Nadhif terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sa
Langit mendung sejak pagi. Awan gelap bergelayut rendah seolah tahu bahwa hari itu takkan seperti hari-hari biasanya.Di kamar belakang, suara mesin oksigen mendesing pelan. Sejak pulang dari rumah sakit perawatan Nadhif dilakukan dirumah. Laki-laki itu terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya tampak cekung, dan napasnya makin berat.Tari duduk di sampingnya, menggenggam tangan suaminya yang dingin. Ada luka yang belum kering, tapi ada pula cinta yang terlalu dalam untuk diabaikan. Matanya sembab, tapi ia tak mau menangis lagi. Ia ingin kuat, setidaknya untuk hari ini."Mas...” bisiknya pelan, mengusap ubun-ubun suaminya. “Kamu janji bakal sembuh... Tapi kenapa makin lemah begini?”Nadhif membuka matanya perlahan. Suaranya nyaris tak terdengar. “Aku… capek, Dik…”Tari menahan tangisnya. “Aku tahu… Tapi jangan pergi dulu… kamu harus berjuang untuk aku, untuk anak anak kita."**Alif, Ammar, Abrar, Wildan, dan Aleeya berkumpul di luar kamar. Alisa juga datang pagi itu se
“Wildan… maaf… bunda.. salah... Bunda... terlalu keras… padamu juga Naira.”Tangis Naira meledak. Ia memeluk ibunya.Pelukan itu... akhirnya terjadi. Setelah bertahun-tahun saling menghindar, dua hati itu akhirnya bertemu.Namun di balik kehangatan itu, satu bayangan menanti: waktu Nadhif yang makin menipis… dan konflik baru yang mulai mengintai.**Di luar rumah, seseorang berdiri di balik pagar.Seorang wanita muda, mengenakan topi dan masker, menatap rumah itu tajam.Di tangannya, sebuah foto robek—foto lama Nadhif bersama seorang perempuan yang bukan Tari.Perempuan itu mengepalkan tangan. “Kamu pikir bisa hidup tenang setelah semua ini, Pak Nadhif? Kamu pikir aku akan diam?”Dia berbalik, masuk ke dalam mobil hitam yang menunggu tak jauh dari sana. Senyumnya tipis. Penuh dendam.***Keesokan harinya Nadhif diperbolehkan pulang, sembari menunggu proses transplantasi yang akan segera dilakukan.Udara pagi itu terasa ganjil. Rumah yang semalam penuh haru, kini kembali diliputi sunyi.
Malam itu terasa panjang.Gio sudah tertidur di kamar belakang bersama Wildan, tapi Naira tak bisa memejamkan mata. Ia duduk di tepi tempat tidur yang dulu ia tinggalkan dalam keadaan penuh luka. Matanya menatap langit-langit kamar yang belum pernah benar-benar berubah.Perabotan masih sama. Bau kayu tua itu pun masih ada. Yang beda hanya perasaan dalam dadanya—semuanya campur aduk. Antara lelah, bingung, dan takut.Tiba-tiba pintu kamar diketuk pelan. Naira menoleh.“Naira…” suara Tari dari balik pintu.Dengan enggan, Naira membuka. Mertuanya itu berdiri di sana, mengenakan mukena lusuh. Wajahnya pucat, seperti kurang tidur.“Ada yang mau bunda bicarakan,” ucapnya, suara datar.Naira hanya mengangguk. Mereka duduk di kursi dekat jendela, diam beberapa saat sebelum akhirnya Tari membuka suara.“bunda tahu kamu nggak senang tinggal di sini. Tapi tolong, jangan buat bunda merasa seperti orang asing di rumah ini…”Naira menghela napas. “Aku nggak berniat bikin bunda merasa seperti itu.”
“Apakah ayah mau menerima donor dari anak yang tak berguna seperti aku?" Deg.Nadhif terbelalak. Semua orang terhenyak. ---Mobil sewaan berhenti di depan pagar rumah besar yang dulu pernah menjadi ladang luka bagi Naira dan Wildan. Tak ada yang berubah. Pohon mangga di halaman depan masih berdiri kokoh, tapi Naira merasa seluruh rumah ini sudah menjadi tempat asing baginya.Wildan turun lebih dulu, membuka pintu belakang. Gio terlelap di kursi bayi. Naira memeluk anak itu, lalu memandangi rumah yang pernah ia tinggalkan.Wildan menatap istrinya. “Kamu siap?”Naira menarik napas. “Nggak juga. Tapi kita sudah sampai.”Pintu pagar terbuka. Alisa muncul dengan mata sembab.“Kak… akhirnya datang juga…” ucapnya pelan.Naira hanya mengangguk. Aleeya muncul dari balik pintu, menyusul dengan pelukan singkat yang terasa canggung. Rumah itu hening. Lalu dari dalam terdengar suara langkah tergesa.Tari berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat, mata sembab, dan tubuhnya lebih kurus dari terakhir
Suasana rumah sakit pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di ruang tunggu yang dipenuhi aroma obat dan bunyi sepatu suster yang lalu-lalang, Nayla duduk memeluk tas kecilnya. Alif mondar-mandir di depan ruang dokter spesialis hematologi, dia tak mau Tari, ibunya kelelahan. Aleeya sibuk membuka-buka berkas pemeriksaan. Alisa duduk di pojok, menggenggam tangan papanya yang tampak kelelahan setelah menjalani pemeriksaan lengkap."Ayah perlu istirahat, ya?" tanya Alisa lirih.Nadhif mengangguk. "Ayah cuma… pusing sedikit. Nggak usah panik, ya."Tapi semua tahu itu bukan sekadar pusing. Wajahnya pucat, suara napasnya tersengal, dan sejak kemarin malam ia muntah dua kali tanpa sebab jelas. Bahkan air putih terasa getir di lidahnya.Tak lama, dokter keluar."Keluarga Bapak Nadhif?"Alif berdiri. Tari dan Nayla menyusul. Mereka masuk ke ruang konsultasi.Dokter muda itu membuka map tebal. “Saya akan sampaikan dengan jujur. Bapak Nadhif mengalami gangguan sumsum tulang yang menyebabkan s
Nayla menatap ibu mertuanya itu. Lalu tiba-tiba berkata, “Kalau yang bunda butuh bukan kekuatan, tapi bahu buat bersandar… aku di sini,Bun.”Tangis Tari pecah. Dalam diam, rasa yang lama tercekat akhirnya menemukan jalan keluar.**Dan dari jauh… di kota kecil yang mulai mereka sebut rumah baru, Naira menatap langit malam sambil mendekap Gio yang mulai demam ringan lagi.Wildan memeluk dari belakang. “Kapan-kapan… kita pulang ya?”Naira tersenyum lirih. “Kalau Tuhan izinkan. Tapi sekarang, kita rawat luka kita dulu. Sampai semuanya kuat.”Dan di tengah ketidakpastian, mereka mulai belajar satu hal: keluarga bukan hanya soal bersama dalam tawa… tapi juga tetap tinggal di saat dunia hancur perlahan.—Tiga bulan setelah malam itu.Angin sore menyapu dedaunan di halaman rumah kecil di pinggir kota. Bukan kota besar, tapi cukup tenang. Udara bersih, suara motor jarang, dan langit masih menampakkan warna jingga saat senja tiba.Di teras rumah kecil itulah, Gio sedang bermain balok sambil s