KSIBP 18 Ketenangan Sementara "Aku tidak melakukan apapun!" teriak Bu Yeni membuat Pak Hasan--suaminya geram. "Kenapa kau lebih percaya kepada menantu yang tidak tahu diri itu daripada percaya padaku?" Bu Yeni terus saja berteriak, sementara Yani hanya terdiam sambil menangis meratapi nasib yang jauh dari keindahan yang ada di khayalan. Pembicaraan tentang racun dan niat jahatnya membunuh Qiera dilapori ke pihak berwajib dan membuat mereka langsung dimasukkan ke dalam jeruji besi, juga dikenakan pasal berlapis. Sementara Yasa hanya bisa diam membisu. Ia sama sekali tidak bisa melakukan apapun karena ada Om Dino yang mencegat semua usahanya. "Kalau kau mau berubah dan menginginkan Ibu serta adikmu berubah menjadi manusia yang baik, kau harus relakan mereka berada di tempat yang sudah disiapkan. Tidak lama, paling hanya satu tahun," jelas Om Dion sebelum Pak Hasan menyerahkan istri dan anaknya ke kantor polisi.Dengan sikapnya ini, penahan Bu Yeni dan Yani berkurang empat bulan d
Amelia yang tahu kalau Yasa masih berusaha mengingatnya pun segera berlari sejauh mungkin, tapi Yasa juga ikut berlari mengejarnya."Melia! Tunggu!" teriak Yasa.Yasa bukan hanya memanggilnya, tapi menggunakan nama spesial yang mereka gunakan dulu.Amelia adalah wanita yang membuat Yasa berhasil luluh dan melupakan banyak wanita, tapi takdir tidak membuat mereka bersama, dan terpaksa harus berpisah meksipun hati sudah terikat dengan kuat.Amelia bersembunyi di balik sebuah mobil besar yang bisa menghalangi badannya dari pandangan Yasa. "Melia!""Melia!"Beberapa kali Yasa memanggil, tapi Amelia memilih untuk tidak menampakkan diri di depan lelaki yang hanya bisa menjadi kenangan saja. Ia sadar kalau di antara mereka hanya ada masa lalu, tapi tidak dengan masa depan karena kini dua-duanya sudah punya keluarga masing-masing.Amelia sungguh tidak ingin hadir kembali di kehidupan Yasa. Andai dia punya pilihan, ia akan memilih pergi dari lingkungan itu, dan berlari sekencangnya untuk menj
Pak Diko terdiam sejenak sambil memperhatikan bekal yang tadi pagi diberikan Yasa. Ia sungguh heran dengan sikap karyawannya itu yang mudah sekali berubah-ubah."Kamu di rumah pun gitu, ya, selalu berubah-ubah?" tanyanya tadi pagi kepada Yasa, tapi yang ditanya langsung pergi tanpa meninggalkan satu patah kata pun.Pak Diko sangat yakin kalau ada yang salah dengan Yasa dan istrinya yang akan sangat terluka dengan perubahannya ini.Makanya kali ini ia kembali meminta Yasa untuk datang ke ruangannya agar bisa berbicara dari hati ke hati. Bukan apa-apa, tapi akhir-akhir ini semenjak berubah lagi, Yasa lebih banyak diam. Pekerjaan pun tidak diselesaikan dengan baik dan banyak anggota tim Yasa yang mengeluhkan sikap atasannya ini."Kenapa, Bos? Perasaan saya gak ada salah." Yasa langsung duduk dan berbicara tanpa diperintah.Pak Diko menghela napas panjang. "Sepertinya anak ini sudah mulai ngelunjak karena aku memperlakukannya dengan sangat baik. Padahal aku begini karena dia adalah kepon
"Tidak mungkin, itu adalah hal yang dilarang." Qiera menolak ide yang diberikan Mala. Ia bangkit dari duduknya dan kembali menangis. "Jadi kau lebih memilih terluka sendiri daripada mengungkapkan isi hati? Ingatlah Qiera, hidup adalah pilihan, dan hanya satu kali." Mala kembali menyakinkan."Justru karena hidup hanya satu kali, aku ingin berada di sisi suamiku, dan mengabdi padanya. Justru karena hidup hanya satu kali luka yang aku rasakan pun nanti akan berakhir dan akan kutemukan kebahagiaan yang sebenarnya di akhirat." Qiera tetap memberikan kata demi kata penolakan. "Jadi kau membiarkan hatimu terluka, terbakar, dan hancur hanya untuk lelaki yang menjadikan kamu tempat pulang sementara? Kamu ingin melihat anak-anakmu menyaksikan papanya datang ke rumah dengan wanita lain?" Mala masih berusaha memberikan gambaran. Meksipun meminta cerai adalah cara yang tidak dibenarkan, tapi tetap saja Mala tidak sanggup jika harus membiarkan sahabatnya tenggelam di dalam luka kekecewaan. Qie
YasaAmelia adalah masa lalu yang tidak bisa aku lupakan. Ketika hidup terasa hampa, dia tiba-tiba datang dengan membawa ribuan kesejukan yang membuat hatiku terasa tentram.Ketika aku tidak punya alasan untuk hidup, dia tiba-tiba hadir kembali dan menjadi alasan terbesar kenapa aku harus bertahan hidup hingga nanti sampai ajal menjemput.Akan tetapi, dia malah berlari dan sengaja menghilang dari tatapan mataku. Awalnya aku berpikir pertemuan ini tidak akan berlanjut, jadi aku memutuskan untuk melupakan.Dua hati yang lalu, tepat di pagi hari dia tiba-tiba saja menemuiku dengan setengah berlari, dan memberikan aku secarik kertas yang berisi dua belas nomor. Hati ini kembali bergejolak ketika memegang kertas itu.Apa ini tanda kalau kita berjodoh dan Tuhan ingin kita bersama?Aku bahkan lupa kalau statusku saat ini bukan sendiri lagi, tapi sebagai suami dan juga ayah untuk anak-anakku. Namun, hatiku tetap ingin melakukan panggilan ke nomor yang tidak diberikan nama ini. Beberapa kali
Mala sampai mengajak Harun untuk bisa membuat Qiera sadar kalau Yasa bukanlah lelaki yang pantas untuk diperjuangkan. "Menyuruh cerai pasangan suami istri itu dosa, loh, Yang?" Harun melipat tangan di dada sambil menatap lekat istrinya yang sedang gundah gulana karena masalah sahabatnya. "Iya, aku tahu. Aku juga gak minta Qiera untuk cerai, Mas. Aku hanya ingin dia sadar kalau Yasa memang tidak layak untuk diperjuangkan. Yasa tidak berhak menerima ketulusannya yang begitu besar, Mas. Aku ingin Qiera bisa menilai kalau dirinya sangat berharga." Mala kembali menjelaskan maksud dan tujuannya. "Sama seperti kamu dulu?" Harun masih bingung maksud dari perkataan istrinya itu."Bukan, Mas. Aku ingin Mas ikut bicara sama aku, pokoknya Mas hanya sekadar ikut, nanti biar aku yang memulai pembicaraan." Kini Mala yang tambah terlihat kesal.Ia sama sekali tidak menyangka kalau suaminya yang sangat cerdas itu bahkan tidak mengerti perkataan dirinya. "Oh, jadi aku hanya ikut perkataanmu?" Hati
Yasa Mati di tangan wanita lain? Aku mencoba mencerna perkataan Pak Harun yang kata demi katanya kenapa mirip dengan Qiera? Seolah yang dibicarakannya memang Qiera, apalagi sahabat istrinya pun hanya Qiera seorang. Ah, tidak. Tidak mungkin kalau Pak Harun sedang membicarakan Qiera yang jelas-jelas aku adalah suaminya dan sedang ada di hadapannya. "Benar, kan, Abang?" tanya Pak Harun ke arah anak pertamaku. Tunggu, ada apa ini sebenarnya? Ziron beranjak dari pangkuanku dan mendekat ke arahnya. "Abang masih punya Papa, tapi Papa Abang ini jarang di rumah. Jadi Abang minta sama Om Harun agar Abang punya Papa yang lain yang selalu ada di samping Mama, Abang, sama Adek. Papa yang tahu kalau Mama sedang sakit, jadi gak kemana-mana." Anak yang baru berusia lima tahun itu menjelaskan keinginannya. Hati yang baru saja aku tata kembali hancur ketika mendengar kata demi kata yang keluar dari anak sulungku ini. "Bang," panggilku lirih, tapi dia malah sibuk berbicara dengan Pak Harun. "Iya,
Melia tidak bicara, dia malah menundukkan kepalanya dengan sesekali melirik ke arah pohon mangga yang ada di depan. Apa benar yang dikatakan Qiera? "Melia!!" Kali ini aku tidak tahan jika tidak membentaknya. "Ma-mana mungkin, Mas. Suamiku sudah meninggal lima bulan lalu, apa yang dikatakan istrimu itu bohong!" jawabnya gemetaran. "Bohong?" Aku menutup matanya lekat mencoba untuk mencari tahu kebohongan yang ada di matanya. Walaupun aku tidak mencintai Qiera, tapi aku tahu kalau Qiera tidak suka berbohong. Walaupun iya, beberapa menit kemudian dia akan membicarakan kebenarannya sambil tertawa. Buktinya sekarang dia tidak melakukan itu, berarti apa yang dia katakan dia itu benar. "Jawab yang jujur atau hubungan yang aku tawarkan padamu beberapa waktu lalu anggap saja tidak ada?" Terpaksa aku memberikan pilihan seperti ini padanya. Sebenarnya hanya untuk mengancam, tapi ya sudahlah. "Nanti aku diceritakan di mobil, Mas," lirihnya dengan suara yang parau. "Oke." Aku membukakan p