"Mama! Ma!"
"Mama!"
Baru saja aku melangkah mendekat ke arah pintu, anak pertamaku sudah terdengar menjerit-jerit memanggil nama mamanya. Padahal aku pulang dari tempat kerja dengan sangat lelah dan ketika sampai di rumah aku ingin beristirahat.
Akan tetapi semuanya hanyalah khayalan karena Qiera bahkan tidak mampu membuat anak-anaknya terdiam.
"Iya, Sayang, sebentar!" Qiera pun ikut berteriak menyahut panggilan anaknya.
Ya ampun, wanita seperti apa yang sebenarnya aku nikahi tujuh tahun yang lalu? Sepetinya aku sudah salah memilih.
Setelah tidak terdengar suara teriakan, aku mulai memutar kenop pintu. Ya ampun, tepat di depan pintu dan mataku, anak kecil yang berusia dua tahun itu sedang memainkan air kencingnya di lantai.
"Qiera, apa ini?" Aku mulai berteriak memanggil namanya.
Lelah? Tentu saja aku lelah dan ingin istirahat dari kehidupan yang seperti ini, bila perlu selamanya agar aku tidak perlu pusing karena melihat hal-hal menjijikan.
"Kenapa berteriak, Mas, bukankah baru pulang? Ayo, masuk dan istirahat," ucap wanita yang berlari dari arah dapur itu sambil membawa spatula.
"Istirahat kau bilang?" Aku menatapnya tajam, "coba kau lihat anak-anak kamu itu, apa aku masih bisa istirahat ketika kamu dan kedua anakmu terus menjerit-jerit begitu?"
"Ya ampun, Mas, mereka kan anak kamu juga." Qiera langsung membawa bocah kecil itu ke kamar mandi. Sialnya lagi malah dibawa ke kamar mandi yang ada di kamar kami. Sudah pasti nanti dia memintaku untuk menjaganya dan dia pergi mengambil baju di box anak-anak yang ada di kamar satunya.
"Aku gak punya anak bandel begitu. Aku hanya akan punya anak yang nurut dan pintar seperti aku." Kembali aku berteriak ketika melihat Qiera menidurkan Zihan di kasurku.
"Sebentar, Mas, aku mau balik ikan dulu di dapur. Kamu jaga sebentar, ya?" Tanpa menunggu persetujuanku, dia langsung berlari ke arah dapur, dan meninggalkan aku dengan anak kecil yang suka buang air kecil sembarangan ini.
"Hei anak kecil, kenapa kau ada di sini? Bukankan seharusnya kau ikut ibumu?" Aku bertanya padanya dengan kesal, tapi anak itu malah tertawa kecil sambil bertepuk sebelah.
"Aku mau susu!" Satu kalimat dari darinya yang pertama kali aku dengar adalah kalimat perintah? Dasar anak tidak tahu diuntung.
Dari dulu, aku memang tidak pernah mendengar anak-anakku berbicara selain berteriak.
"Nanti tunggu Mama kamu!" Aku membelakanginya, lalu memejamkan mata untuk tidur.
"Mau sekarang!" Kembali bocah kecil ini menjerit.
"Diam!" Aku langsung berteriak dan memintanya untuk tidak berbicara lagi.
Lebih baik dia diam selamanya daripada menjerit-jerit seperti ini.
Aku punya beberapa teman yang anaknya seusia dengan anak-anakku, tapi mereka semuanya adalah anak-anak yang baik. Berbicara pun tidak pernah berteriak, sangat berbanding terbalik dengan anakku. Makanya aku lebih betah tinggal di rumah mereka daripada di rumah sendiri.
"Qiera!" Aku kembali memanggil istriku ketika mata kembali berat dan ingin tidur.
"Kenapa, Mas?" Setelah beberapa detik, dia baru muncul. Jelas-jelas dia tahu aku tidak suka orang yang lamban, tapi dia malah bersikap sengaja. Sungguh hanya bisa membuat jengkel saja.
"Ini anak kamu katanya mau susu!"
"Loh, kan Mas bisa buatkan, sebentar ini." Qiera malah menyuruhku.
"Aku suami kamu, kenapa jadi kamu yang menyuruhku?"
"Mas, pekerjaan rumah tangga itu tugas suami, tapi istri melakukannya dengan suka rela untuk mendapatkan pahala dan menambah amal kebaikan," ceramahnya membuatku semakin geram.
"Kalau kau mau, sana bawa anakmu pergi dan ceramah di masjid! Jangan di rumahku dan membuatku semakin lelah karena menjalani hari-hari bareng kalian!" Kali ini aku benar-benar lepas kendali dan mendorong mereka berdua agar segera menjauh dari kamarku.
***
"Mas sholat magrib dulu!"
Aku merasakan tubuhku diguncang pelan, sudah pasti Qiera yang melakukannya. Dia memang lebih memilih menggangguku daripada mengerjakan pekerjaan rumah.
"Mas, ayo sholat dulu. Sudah jam setengah tujuh, loh." Ia kembali bicara.
"Berisik!" Aku membentaknya dengan mata terpejam, lalu kembali tertidur. Namun, Qiera malah menarik selimut yang menutupi tubuhku.
Kali ini aku terpaksa harus membuka mata sebentar untuk memarahinya.
"Kau! Bisa tidak sekali saja biarkan aku istirahat? Aku itu lelah dan baru saja pulang bekerja, tidak seperti kau yang bisa bersantai dan enak-enakan di rumah!" Aku berteriak sekeras mungkin agar dia segera pergi.
"Jadi kamu capek karena habis kerja di luar rumah, Mas?" Ia malah tersenyum menyeringai. "Bagaimana kalau nanti aku yang kerja dan kamu mengurus anak-anak di rumah?"
"Gila! Anakmu tentu saja kamu yang urus, aku tidak punya waktu untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting!" Ingin rasanya aku mendorong wanita ini keluar, bahkan sampai terjatuh, tapi ada rasa tidak tega.
"Gapapa, Mas, agar kamu tahu bagaimana rasanya menjadi aku." Qiera malah mendekat, "iya, tidak, Mas?"
"Aku tolak. Aku adalah pria hebat yang sangat dibutuhkan di kantor, sementara kamu hanya wanita lemah yang urus rumah dan anak-anak saja tidak becus!" Aku membanting pintu kamar, lalu pergi ke dapur untuk makan.
Aku membuka tutup saji yang ukurannya cukup besar, tapi tidak ada makanan sama sekali. Hanya ada telur dadar gosong yang tidak mungkin aku masukkan ke dalam mulut. Tidak sudi, bisa-bisa nanti aku keracunan.
Apa jangan-jangan Qiera memang ingin meracuni aku?
"Qiera!" Aku kembali berteriak.
"Iya, Mas, mau makan, ya?" Qiera langsung mengambil piring dan sendok. Dia tahu aku tidak bisa makan pakai tangan dan garpu, meksipun tidak pakai sayur.
"Sudah tahu pake tanya!"
"Ini, Mas!" Qiera mulai membelah telur yang gosong tadi menjadi beberapa potong dengan pisau kecil.
"Ayo, masak!" Aku memberikan perintah.
Dia sudah tahu aku mau makan, tapi malah tidak menyiapkan apapun.
Bukannya melakukan apa yang baru saja aku perintahkan, dia malah duduk, dan membagi telur itu ke piringnya, dan juga piringku.
Prang ... aku membanting piring yang tadi dia ambilkan untukku ke lantai dengan sangat keras sampai benda itu hancur berkeping-keping.
"Argh!" Qiera berteriak sambil menutup telinganya. Ketika melihat Zion berlari ke arah pecahan kaca, dia langsung menariknya.
"Apa yang kamu lakukan, Mas? Apa kau tahu pecahan beling itu akan melukai kaki anakku?" Kini Qiera menatapku dengan penuh amarah yang tidak pernah dia perlihatkan. "Kau bela menghinaku dan melukaiku, tapi tidak dengan anak-anakku!" bentaknya.
"Oh, jadi kamu keberatan?" Aku tertawa terbahak-bahak. "Harusnya kamu itu masak ketika aku bilang lapar, bukan malah menyajikan telur gosong yang tidak layak dimakan!"
"Mas, bahan baku sudah habis. Ditambah bulan ini kamu sama sekali tidak memberikan aku uang, jadi bagaimana bisa aku menyiapkan makanan enak, Mas?" tanyanya yang aku sendiri tidak tahu dan malah ikut bingung.
Benar, bulan ini aku memang belum memberinya uang. Rasanya aku tidak sudi jika uang-uangku dihabiskan untuk orang yang bersantai-santai seperti Qiera.
Setelah perdebatan kemarin dan dia mengatakan tidak punya uang sama sekali, pagi ini aku akan memberinya uang. Enggak usah banyak, yang penting cukup. "Ini harus cukup untuk seminggu." Aku menyerahkan dua lembaran merah kepada Qiera yang menghampiriku dengan segelas kopi. "Iya, Mas. Alhamdulillah, tapi kamu jangan marah kalau aku gak masak ayam, daging, atau ikan, ya?" Ia tiba-tiba menyebutkan semua menu yang biasanya harus ada di meja, itu pun jika aku memberikannya uang satu juta setengah untuk satu bulan. Kali ini anggap saja aku memberinya seperempat, jadi tidak apa-apa jika makanan kesukaanku tidak masuk kategori. Asalkan uang itu cukup, lagipula aku bisa beli nanti di restoran atau rumah makan. Walaupun harganya lebih mahal, yang penting perutku kenyang, dan uangku tidak disia-siakan oleh orang yang hanya tau bermalas-malasan seperti Qiera itu. Aku tidak sudi. "Bagaimana, Mas? Kamu tidak akan marah bukan?" Qiera kembali meminta jawabanku. "Tentu saja tidak akan! Apa kau pi
"Kenapa? Tidak kan?" Tatapan matanya menatapku seolah ingin melahap hidup-hidup. Aku tahu orang ini memang keras, tapi tidak tahu kalau suka mencampuri urusan orang juga. Dasar tidak tahu malu, memang dia pikir dia siapanya aku? "Maaf, Pak, tapi saya tidak punya waktu untuk membantunya mengurus pekerjaan rumah." Aku menjawab jujur. "Tidak punya waktu? Padahal kau pulang jam lima sore, kan? Harusnya ada banyak waktu untuk membantu istrimu." Dia berkata seenak jidat. "Terus apa tadi maksudnya istrimu pandai menghabiskan uang, memang kamu memberinya berapa?" tanyanya lagi. Duh, kenapa sih, nih orang, kok, ingin tahu kehidupan pribadiku? "Enggak sampai dua juta bukan? Padahal gajimu di sini hampir lima juta, tapi memberikan setengahnya saja kamu tidak?" Dia menepuk-nepuk keningnya. "Kok, bisa saya punya pekerja yang pelitnya luar biasa sama istri sendiri tapi ingin dihidangkan makanan yang mewah?" Dia tertawa miris, lalu mengeluarkan kalimat-kalimat nasihat, tapi sayangnya aku tidak
Sinar matahari yang masuk lewat celah jendela membuatku membuka mata. Segera kulihat jam yang ada di samping, ternyata baru jam tujuh. Sepertinya sekarang sudah aman untuk aku keluar, semoga saja Qiera beli banyak bahan yang kemarin aku pesan. Usai mandi, aku kesulitan mencari baju yang akan aku pakai. Kucoba menekan beberapa angka di ponsel, yaitu nomor telepon Qiera, tapi tidak juga diangkat. Karena kesal, aku pun keluar kamar menuju tempat Qiera kemarin menyetrika banyak baju. Namun, tetap saja baju yang aku cari tidak ada di tempat itu, bahkan di jemuran saja tidak ada. Kembali aku menelpon nomor Qiera, tapi dering ponselnya malah terdengar di dekatku. Segera aku mendekat ke arah cucian baju yang menimpuk, tempat bunyi ponsel terdengar. Ah, sial, ternyata dia tidak membawa ponselnya. Mau marah, tapi marah pada siapa. Jadi aku berinisiatif untuk mencari kaus kaki dan beberapa perlengkapan yang akan aku bawa di hari Kamis ini, tapi sialnya semua yang akan aku bawa tidak ketemu
"Aku pulang ke rumah Mama dulu ya, Mas. Uang dua ratus yang kamu kasih kemarin sudah aku belikan makanan kesukaan Ibu dan Yani, sisanya aku simpan di atas kulkas. Maaf kalau aku tidak izin, ya, aku harap Mas bisa hidup tanpa aku dan anak-anak." "Pulang? Di saat ada Ibu sama Yani dia malah pulang? Dasar mantu durhaka. Sepertinya dia harus diberikan pelajaran!" Ibu langsung murka ketika tidak sengaja membuka memo yang sedang aku pegang. Qiera memang benar-benar sudah keterlaluan. Kalau memang dia tidak keberatan dengan kedatangan Ibu dan adikku, kenapa dia baru pulang sekarang? Kenapa tidak sebelum-sebelumnya? Aku kembali teringat dengan ponsel yang ada di keranjang baju kotor, tapi tidak ada. "Cari apa kamu di situ?" Ibu bertanya sambil menatapku jijik. "Tadi aku menemukan ponsel Qiera di sini, Bu, jadi kalau sekarang tidak ada, dia pasti bawa ponsel!" Aku terus mencarinya sampai bajunya aku lempar ke sembarang arah. Akan tetapi lagi-lagi yang aku temukan hanya kertas memo kecil
"Kenapa pulang lagi? Tidak jadi 'kah?" Ibu duduk di sampingku yang menghempaskan diri di sofa. "Sepertinya Qiera memang harus diberikan pelajaran, Bu." Aku menceritakan tentang apa yang terjadi barusan dan Ibu menjadi lebih emosi. "Sudah aku bilang dari dulu, Mas, kalau wanita itu memang bukan perempuan baik-baik." Yani ikut bicara dan duduk di samping kiriku. Kami pun mulai menyusun rencana untuk membuat Qiera kembali, pokoknya dia harus pulang tanpa dijemput, dan tanpa diantar keluarganya. "Nah, sekarang coba kamu telpon bapaknya!" titah Ibu dan aku langsung melakukannya. "Assalamu'alaikum, Yas, ada apa?" Suara Bapak mertua langsung terdengar, dapat aku pastikan kalau aku memang selalu menjadi menantu kesayangan karena Qiera adalah anak satu-satunya. Tentu saja aku juga termasuk ke dalam menantu satu-satunya, apalagi mamanya Qiera sudah menganggapku seperti anak sendiri. Jadi, dapat aku pastikan kalau kali ini Qiera tidak akan pernah bisa kabur lagi seperti ini. Aku akan mem
Aku mengerjapkan mata ketika melihat Mama dan Papa mertua juga turun dari mobil. Bukan hanya aku, Yani dan Ibu pun langsung kehilangan kata-kata. Pukulan yang tadi mendarat cukup keras di bahu Qiera, kini berubah menjadi elusan penuh kasih sayang. "Kamu capek 'kan, Sayang? Masuk dulu, yuk, nanti Ibu siapkan makanan yang paling enak," ucap Ibu dengan suara yang sangat berbeda dari tadi. "Masak? Kan di dalam masih berantakan, apa tidak apa-apa menyuruh mereka masuk?" bisikku di telinga Ibu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Mama dan Papa melihat dalam rumah yang begitu berantakan, bahkan lebih parah dari kapal pecah. Aku sendiri langsung pusing ketika melihatnya, apalagi mereka. Bisa-bisa kami bertiga langsung dibenci oleh mertuaku. "Gapapa, biar orang tuanya tahu kalau anaknya sudah pergi terlalu lama, dan menelantarkan suaminya begitu saja." Ibu bersikap percaya diri. Ya sudah, kalau Ibu sudah berkata begitu, aku tidak punya pilihan lain. Hanya bisa berdoa semoga apa sem
"Tidak!" Ibu menjerit-jerit histeris selama beberapa saat, lalu berlari ke arah Qiera, dan dan handak menamparnya. Aku tidak terkejut, Ibu memang sering melakukan itu kepada Qiera, tapi aku sangat berbeda ketika melihat Qiera menahan tangan ibu dan menjatuhkannya. "Kenapa? Mau jadi mantu durhaka ya, kamu?” Ibu kembali menjerit. "Aku tidak akan seperti ini kalau Ibu tidak mencari masalah lebih dulu. Dari awal aku memang selalu melakukan apapun yang Ibu perintahkan, karena aku sadar kalau Ibu adalah wanita yang harus aku hormati. Tapi apa yang aku dapatkan?" Qiera mengungkapkan isi hati yang selama ini selalu dia pendam. Aku sendiri tidak tahu kalau dia tertekan dengan keadaan ini. Aku pikir selama ini dia baik-baik saja, karena selalu tersenyum dan tidak pernah mengeluh. Ternyata aku salah. "Baik, maafkan Ibu, Qiera." Aku berkata tanpa sadar, sampai membuat Ibu menatap geram ke arahku. "Maafkan Ibu juga, apa yang seorang Ibu lakukan tidak pernah salah." Qiera yang awalnya terkej
"Bekal aku mana?" tanyaku pada Qiera sambil menatap meja kosong yang biasanya ada bekal untukku, yang biasanya aku kasihkan kepada Salsa. Namun, siapa sangka diminta bos, jadi aku bisa memanfaatkan hal ini untuk menambah bonus yang sangat banyak. "Bekal?" Qiera tampak kaget ketika aku bertanya barusan. "Enggak ada." "Apa? Kok, bisa?" "Tidak ada uang, berarti tidak ada bahan masakan yang bisa dibeli." Ia menjawab santai tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Kan pakai uangmu dulu bisa." Aku mendengus kesal. "Uang istri tetap milik istri, sementara uang suami adalah milik istri. Tapi kau ... sangat pelit. Jadi, sekarang tolong jelaskan kenapa aku harus berbaik hati padamu, memangnya kau juga baik padaku?" "Kau!" Ingin aku memaki dan memarahinya, tapi sekuat tenaga aku tahan karena kalau tidak berangkat sekarang aku akan terlambat. Semoga saja nanti dia masak, kalau tidak, aku takut Ibu dan Yani kelaparan selama ada di sini. Aku membawa kotak makan dari rumah dan beli makanan dari