Share

KETIKA SEORANG ISTRI BERHENTI PEDULI
KETIKA SEORANG ISTRI BERHENTI PEDULI
Penulis: Ucu Nurhami Putri

Bab 1

"Mama! Ma!"

 "Mama!"

 Baru saja aku melangkah mendekat ke arah pintu, anak pertamaku sudah terdengar menjerit-jerit memanggil nama mamanya. Padahal aku pulang dari tempat kerja dengan sangat lelah dan ketika sampai di rumah aku ingin beristirahat.

 Akan tetapi semuanya hanyalah khayalan karena Qiera bahkan tidak mampu membuat anak-anaknya terdiam.

 "Iya, Sayang, sebentar!" Qiera pun ikut berteriak menyahut panggilan anaknya.

 Ya ampun, wanita seperti apa yang sebenarnya aku nikahi tujuh tahun yang lalu? Sepetinya aku sudah salah memilih.

 Setelah tidak terdengar suara teriakan, aku mulai memutar kenop pintu. Ya ampun, tepat di depan pintu dan mataku, anak kecil yang berusia dua tahun itu sedang memainkan air kencingnya di lantai.

 "Qiera, apa ini?" Aku mulai berteriak memanggil namanya. 

 Lelah? Tentu saja aku lelah dan ingin istirahat dari kehidupan yang seperti ini, bila perlu selamanya agar aku tidak perlu pusing karena melihat hal-hal menjijikan.

 "Kenapa berteriak, Mas, bukankah baru pulang? Ayo, masuk dan istirahat," ucap wanita yang berlari dari arah dapur itu sambil membawa spatula.

 "Istirahat kau bilang?" Aku menatapnya tajam, "coba kau lihat anak-anak kamu itu, apa aku masih bisa istirahat ketika kamu dan kedua anakmu terus menjerit-jerit begitu?"

 "Ya ampun, Mas, mereka kan anak kamu juga." Qiera langsung membawa bocah kecil itu ke kamar mandi. Sialnya lagi malah dibawa ke kamar mandi yang ada di kamar kami. Sudah pasti nanti dia memintaku untuk menjaganya dan dia pergi mengambil baju di box anak-anak yang ada di kamar satunya.

 "Aku gak punya anak bandel begitu. Aku hanya akan punya anak yang nurut dan pintar seperti aku." Kembali aku berteriak ketika melihat Qiera menidurkan Zihan di kasurku.

 "Sebentar, Mas, aku mau balik ikan dulu di dapur. Kamu jaga sebentar, ya?" Tanpa menunggu persetujuanku, dia langsung berlari ke arah dapur, dan meninggalkan aku dengan anak kecil yang suka buang air kecil sembarangan ini.

 "Hei anak kecil, kenapa kau ada di sini? Bukankan seharusnya kau ikut ibumu?" Aku bertanya padanya dengan kesal, tapi anak itu malah tertawa kecil sambil bertepuk sebelah.

 "Aku mau susu!" Satu kalimat dari darinya yang pertama kali aku dengar adalah kalimat perintah? Dasar anak tidak tahu diuntung.

 Dari dulu, aku memang tidak pernah mendengar anak-anakku berbicara selain berteriak.

 "Nanti tunggu Mama kamu!" Aku membelakanginya, lalu memejamkan mata untuk tidur.

 "Mau sekarang!" Kembali bocah kecil ini menjerit. 

 "Diam!" Aku langsung berteriak dan memintanya untuk tidak berbicara lagi. 

 Lebih baik dia diam selamanya daripada menjerit-jerit seperti ini.

 Aku punya beberapa teman yang anaknya seusia dengan anak-anakku, tapi mereka semuanya adalah anak-anak yang baik. Berbicara pun tidak pernah berteriak, sangat berbanding terbalik dengan anakku. Makanya aku lebih betah tinggal di rumah mereka daripada di rumah sendiri.

 "Qiera!" Aku kembali memanggil istriku ketika mata kembali berat dan ingin tidur.

 "Kenapa, Mas?" Setelah beberapa detik, dia baru muncul. Jelas-jelas dia tahu aku tidak suka orang yang lamban, tapi dia malah bersikap sengaja. Sungguh hanya bisa membuat jengkel saja.

 "Ini anak kamu katanya mau susu!"

 "Loh, kan Mas bisa buatkan, sebentar ini." Qiera malah menyuruhku. 

 "Aku suami kamu, kenapa jadi kamu yang menyuruhku?"

 "Mas, pekerjaan rumah tangga itu tugas suami, tapi istri melakukannya dengan suka rela untuk mendapatkan pahala dan menambah amal kebaikan," ceramahnya membuatku semakin geram.

 "Kalau kau mau, sana bawa anakmu pergi dan ceramah di masjid! Jangan di rumahku dan membuatku semakin lelah karena menjalani hari-hari bareng kalian!" Kali ini aku benar-benar lepas kendali dan mendorong mereka berdua agar segera menjauh dari kamarku.

 ***

 "Mas sholat magrib dulu!" 

 Aku merasakan tubuhku diguncang pelan, sudah pasti Qiera yang melakukannya. Dia memang lebih memilih menggangguku daripada mengerjakan pekerjaan rumah.

 "Mas, ayo sholat dulu. Sudah jam setengah tujuh, loh." Ia kembali bicara.

 "Berisik!" Aku membentaknya dengan mata terpejam, lalu kembali tertidur. Namun, Qiera malah menarik selimut yang menutupi tubuhku.

 Kali ini aku terpaksa harus membuka mata sebentar untuk memarahinya.

 "Kau! Bisa tidak sekali saja biarkan aku istirahat? Aku itu lelah dan baru saja pulang bekerja, tidak seperti kau yang bisa bersantai dan enak-enakan di rumah!" Aku berteriak sekeras mungkin agar dia segera pergi.

 "Jadi kamu capek karena habis kerja di luar rumah, Mas?" Ia malah tersenyum menyeringai. "Bagaimana kalau nanti aku yang kerja dan kamu mengurus anak-anak di rumah?"

 "Gila! Anakmu tentu saja kamu yang urus, aku tidak punya waktu untuk mengurusi hal-hal yang tidak penting!" Ingin rasanya aku mendorong wanita ini keluar, bahkan sampai terjatuh, tapi ada rasa tidak tega.

 "Gapapa, Mas, agar kamu tahu bagaimana rasanya menjadi aku." Qiera malah mendekat, "iya, tidak, Mas?"

 "Aku tolak. Aku adalah pria hebat yang sangat dibutuhkan di kantor, sementara kamu hanya wanita lemah yang urus rumah dan anak-anak saja tidak becus!" Aku membanting pintu kamar, lalu pergi ke dapur untuk makan.

 Aku membuka tutup saji yang ukurannya cukup besar, tapi tidak ada makanan sama sekali. Hanya ada telur dadar gosong yang tidak mungkin aku masukkan ke dalam mulut. Tidak sudi, bisa-bisa nanti aku keracunan.

 Apa jangan-jangan Qiera memang ingin meracuni aku?

 "Qiera!" Aku kembali berteriak.

 "Iya, Mas, mau makan, ya?" Qiera langsung mengambil piring dan sendok. Dia tahu aku tidak bisa makan pakai tangan dan garpu, meksipun tidak pakai sayur.

 "Sudah tahu pake tanya!"

 "Ini, Mas!" Qiera mulai membelah telur yang gosong tadi menjadi beberapa potong dengan pisau kecil.

 "Ayo, masak!" Aku memberikan perintah.

 Dia sudah tahu aku mau makan, tapi malah tidak menyiapkan apapun.

 Bukannya melakukan apa yang baru saja aku perintahkan, dia malah duduk, dan membagi telur itu ke piringnya, dan juga piringku.

 Prang ... aku membanting piring yang tadi dia ambilkan untukku ke lantai dengan sangat keras sampai benda itu hancur berkeping-keping.

 "Argh!" Qiera berteriak sambil menutup telinganya. Ketika melihat Zion berlari ke arah pecahan kaca, dia langsung menariknya.

 "Apa yang kamu lakukan, Mas? Apa kau tahu pecahan beling itu akan melukai kaki anakku?" Kini Qiera menatapku dengan penuh amarah yang tidak pernah dia perlihatkan. "Kau bela menghinaku dan melukaiku, tapi tidak dengan anak-anakku!" bentaknya.

 "Oh, jadi kamu keberatan?" Aku tertawa terbahak-bahak. "Harusnya kamu itu masak ketika aku bilang lapar, bukan malah menyajikan telur gosong yang tidak layak dimakan!"

 "Mas, bahan baku sudah habis. Ditambah bulan ini kamu sama sekali tidak memberikan aku uang, jadi bagaimana bisa aku menyiapkan makanan enak, Mas?" tanyanya yang aku sendiri tidak tahu dan malah ikut bingung.

 Benar, bulan ini aku memang belum memberinya uang. Rasanya aku tidak sudi jika uang-uangku dihabiskan untuk orang yang bersantai-santai seperti Qiera.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
laki egis bukanya bantu marah ,di rumsh itu cape apa anak msdih kecil "kasih pembantu bisr ksmu jdi radja ,sdh ngrasain anak 3 kecil "jaraknya pulang mulut laki mrepet
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status