Share

Bab 2

Setelah perdebatan kemarin dan dia mengatakan tidak punya uang sama sekali, pagi ini aku akan memberinya uang. Enggak usah banyak, yang penting cukup.

 "Ini harus cukup untuk seminggu." Aku menyerahkan dua lembaran merah kepada Qiera yang menghampiriku dengan segelas kopi.

 "Iya, Mas. Alhamdulillah, tapi kamu jangan marah kalau aku gak masak ayam, daging, atau ikan, ya?" Ia tiba-tiba menyebutkan semua menu yang biasanya harus ada di meja, itu pun jika aku memberikannya uang satu juta setengah untuk satu bulan.

 Kali ini anggap saja aku memberinya seperempat, jadi tidak apa-apa jika makanan kesukaanku tidak masuk kategori. Asalkan uang itu cukup, lagipula aku bisa beli nanti di restoran atau rumah makan.

 Walaupun harganya lebih mahal, yang penting perutku kenyang, dan uangku tidak disia-siakan oleh orang yang hanya tau bermalas-malasan seperti Qiera itu. Aku tidak sudi.

 "Bagaimana, Mas? Kamu tidak akan marah bukan?" Qiera kembali meminta jawabanku.

 "Tentu saja tidak akan! Apa kau pikir aku adalah lelaki yang suka marah-marah? Sudahlah, aku mau berangkat kerja dulu. Jangan lupa untuk membereskan rumah sebelum aku pulang, jangan cuman bisa bersantai tapi lupa pekerjaan," pesanku panjang lebar, tapi dia hanya mengangguk pelan.

 ***

 "Tadi pagi kamu datang kusut banget, sih. Ada apa?" tanya seorang teman.

 Di jam istirahat, dua temanku akan datang ke ruangan, terus kamu pergi ke kantin bersama.

 "Aku pusing menghadapi istriku. Andai saja kalian ada di posisiku, pasti gak akan sanggup untuk pulang ke rumah lagi." Ingin rasanya aku bercerita, tapi ini permasalahan keluarga yang tidak seharusnya diceritakan.

 "Lah, emang Qiera bagaimana? Perasaan selama ini dia baik banget, kamu aja suka bawa bekal. Sayangnya dia tidak tahu kalau bekal yang dibuatnya kamu berikan kepada sekretaris si bos itu." Jordi mulai memberikan komentar.

 "Lah, Salsa kan memang pantas mendapatkan perhatianku. Apalagi dia baik dan perhatian kepada semua karyawan, jadi sudah sepantasnya kita juga baik sama kita." Aku mulai mencari alasan, sebenarnya hati memang ingin mencoba untuk lebih dekat dengannya, tapi tidak ada keberanian karena dia selalu ada di samping bos muda itu.

 "Menurutku Qiera juga baik, baik banget malah. Nada bicaranya aja lembut gitu, terus tatapan matanya juga sabar." Angga ikut berkomentar.

 "Hadeh, itu karena kalian gak tahu sifat aslinya seperti apa. Yang jelas dia itu benar-benar menjengkelkan. Banyangkan saja bagaimana perasaan kalian ketika pulang kerja capek, letih, dan ingin istirahat, tapi malau melihat rumah dan setiap sudut ruangannya seperti kapal pecah. Ditambah bau pesing di mana-mana. Kuat?" Aku menatap mereka bergantian, lalu Angga menggeleng.

 "Nah, kan, kamu saja yang baru membayangkan sudah tidak kuat. Coba bayangkan bagaimana rasanya menjadi aku? Sepertinya kau tidak akan bertahan lebih dari satu minggu. Sementara aku sudah enam tahun menjalani semua ini, pokonya setelah menikah aku hanya tenang beberapa bulan saja.

 Setelahnya mulai sibuk dengan kehidupan Qiera dari mengandung.

 "Kamu enak masih bujang, Ga." Aku kembali bicara sambil mengacak rambut frustasi.

 "Lah, apa coba enaknya jadi aku yang tiap hari diteriakin emak, "Nikah, Ga, percuma kerja kantoran kalau belum juga ada cewek yang mau," gitu. Pokoknya gak ada enak-enaknya." Angga pun akhirnya mengacak rambut frustasi, sama seperti aku.

 Kini kami melihat ke arah arah Jordi yang hanya melemparkan tatapan heran ke arah kami.

 "Aku gak percaya kalau Qiera seperti itu. Maaf, ya, Yas, aku pernah lihat dia cantik, wangi, dan bersih. Aku rasa apa yang kamu katakannya tidak begitu sesuai." Jordi ternyata membela Qiera.

 Tenang, Yasa, tenang. Dia seperti ini karena tidak tahu bagaimana kondisi rumah yang berantakan seperti kapal pecah itu. Andai saja dia juga punya istri yang begitu jorok dan pemalas, sudah pasti dia akan lebih parah dariku.

 "Terserah, pokoknya aku itu paling males pulang ke rumah. Apabila Qiera boros banget, masa dikasih seberapa banyak pun suka langsung habis. Mana buat telor dadar aja gosong terus, ditambah kerjanya lelet. Ah, rasanya menyebalkan." Aku kembali bercerita bagaimana kacaunya rumah.

 Rasanya aku tidak akan bisa tenang kalau belum menceritakan unek-unek yang sudah lama aku simpan di dalam dada.

  "Sedang apa kalian?" Seorang lelaki muda yang baru menjabat di kantor ini tiba-tiba datang ke kantin dan duduk tepat di sampingku. Ada angin apa ini? Apa mungkin atas rekomendasi Salsa? Yah, dia memang orang yang baik, cantik lagi. Kalau Qiera sudah pasti lewat jika dibandingkan dengannya.

 "Em, gak ada, Bos. Hanya cerita-cerita saja." Aku langsung menjawabnya dengan percaya diri. Pokoknya aku harus menunjukkan sisiku yang paling baik, agar segera naik jabatan.

 "Cerita apa, kayaknya seru?" tanyanya lagi dengan raut wajah yang tidak bisa kami tebak.

 "Gak penting, kok, Bos." Jordi langsung nyeletuk.

  "Enggak penting gimana?"

 Waduh, malah tambah panjang ini. Apalagi Jordi dan Angga terlihat serba salah dan saling memalingkan wajah.

 "Saya pikir hanya wanita yang suka bergosip, ternyata pria juga. Saya benar-benar tidak habis pikir dengan karyawan seperti kalian ini," ucapnya tegas dengan wajah datarnya membuat kami ketakutan. "Kamu, Yasa, saya tunggu di ruangan segera!" titahnya membuat tubuhku gemetar.

 "Duh, kok, dia kaya yang mau marah gitu, ya? Aku takut kalau nanti kita dipecat, di mana lagi aku bisa kerja di umur yang sudah dewasa begini." Angga langsung ketakutan dan aku pun sama.

 "Gih, cepat ke sana! Jangan biarkan Pak Bos menunggu lama, terus nanti kamu juga dipecat," ucap Jordi.

 Benar apa yang dia katakan, aku harus segera ke sana.

 "Bentar, ya." Aku langsung bangkit dari duduk, menarik napas panjang berkali-kali, dan langsung pergi ketika tubuh sudah terkendali.

 "Bos." Aku mengetuk pintunya sendiri karena Salsa tidak ada di mejanya.

 "Masuk!" titahnya dengan suara yang tinggi.

 Badan yang sudah kembali normal kembali gemetaran ketika mendengar satu kata dari bibirnya. Aku menarik kursi untuk duduk, tapi dia malah menatapku tajam.

 "Kapan aku memintamu duduk?" ucapnya menakutkan.

 Aku kembali berdiri dan menundukkan kepala. Andai saja aku orang hebat, sudah pasti dia akan berada di bawah kendaliku. Awas saja kalau nanti keadaan kita berbanding terbalik, aku akan memberikan kamu pelajaran yang lebih menyedihkan.

 "Apa gunanya tadi kamu menceritakan aib di rumah kepada orang lain?" tanyanya dingin.

 "Mereka bukan orang lain, mereka adalah temanku." Aku menjawabnya kesal. 

  "Dalam rumah tangga, hanya ada suami, istri, dan anak kalau sudah ada. Kenapa kau libatkan teman?" tanyanya lagi.

 "Saya hanya curhat, bukankah itu tidak masalah daripada nanti kelamaan saya menjadi gila? Andai saja Bapak yang ada di posisi saya, apa benar Bapak tidak akan melakukan hal yang serupa?" Aku benar-benar kesal jadi kembali bicara dengan frontal.

 "Tadi kau bilang rumahmu selalu berantakan?"

 "Benar." Aku mengangguk cepat.

 "Apa selama ini kau pernah membantu pekerjaan rumah istrimu, seperti menyapu, mengepel, cuci piring, ganti popok anak, atau yang lainnya?" tanyanya lagi dan kali ini aku hanya bisa diam mematung.

 Selama ini aku tidak pernah sekalipun membantunya dalam membereskan pekerjaan rumah. Bukankah itu semua memang sudah menjadi tugas seorang istri?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
alasan klasik laki "yang punya inceran perempuan lain ,semua kegiatan istri di benci ,ntar juga nyungsep tu laki
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status